bisnis oleh pemiliknya.
“
“
“
kepentingannya terganggu tidak berani menyebut pers mana yang sebenarnya mereka khawatirkan tidak bersikap independen dalam pemberitaannya. Sebab, sesungguhnya tidak semua pers telah terkooptasi oleh pemiliknya. Masih ada pers yang mengedepankan profesionalisme dan independensi, terutama pers cetak.
Sehubungan dengan itu, diperlukan riset sistematis dan berkesinambungan melalui metode analisis isi media atas
berita-berita politik jelang Pemilu 2014
pada grup media konglomerasi. Perlu
diteliti bagaimana independensi media- media yang pemiliknya tidak berailiasi
dengan partai politik, meski, khususnya beberapa pemilik televisi swasta saat ini, tidak menunjukkan gelagat ke arah keberpihakan pada partai politik tertentu. Ini diperlukan untuk menjadikan perbandingan praktik media di 4 grup media di Indonesia (Media Group, Viva Group, CT Corp, Jawa Pos Group). Tujuan utama riset ini adalah untuk mengetahui independensi pemberitaan politik jelang Pemilu 2014 di 4 grup media di Indonesia. Data hasil riset akan sangat berguna sebagai instrumen untuk masukan perubaikan regulasi media
menjelang masa-masa pemilu 2014.
Penting dicatat, bahwa sampai
pertengahan tahun 2013, regulasi media yang tersedia seperti UU 32/2002 dan UU
40/1999 masih relatif lemah, tidak mampu mengatasi kecenderungan penggunaan
media dan ruang publik untuk kepentingan pemilik media yang berkiprah di partai politik.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana protret independensi 4 Grup media dilihat dari segi kepemilikan
media yang berailiasi dengan parpol dan yang tidak berailiasi dengan parpol serta
dilihat dari konten, dan jurnalis?
Regulasi seperti apa yang diperlukan untuk menjamin independensi media dilihat dari segi kepemilikan, konten dan profesionalisme jurnalis?
C. Tujuan
M e n g e t a h u i s e c a r a m e n d a s a r bagaimana independensi 4 Grup media dilihat dari segi kepemilikan, konten, dan jurnalis antara media yang pemiliknya
berailiasi dengan parpol maupun Calaon
presiden/calon wakil presiden tertentu
dengan yang pemiliknya tidak berailiasi.
Tujuan lebih jauh dari penelitian ini adalah mendorong lahirnya regulasi yang mampu membuat tegaknya independensi media dilihat dari segi kepemilikan, konten, dan jurnalis.
D. Manfaat Penelitian
Secara akademik penelitian ini bermanfaat untuk menambah khasanah
hasil-hasil penelitian media, terutama untuk isu independensi media yang akhir-
akhir ini menjadi sorotan tajam dari berbagai pihak. Hasil penelitian ini akan
9. Dikutip dalam http://koran.tempo.co/konten/2013/05/11/309653/KPI-Temukan-Ratusan-Iklan-Politik-
Dinamika Pers dan Pemilu 2014
47
menambah komprehensivitas referensi di bidang media massa yang berbasis penelitian.
Pada level pragmatik, hasil penelitin dapat menjadi masukan bagi pihak Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (K) I) untuk menyusun regulasi yang dapat menjamin terwujudnya independensi media dalam memberitakan Pemilu 2014 maupun pemilu selanjutnya. Sedangkan bagi pelaku media, hasil riset ini dapat menjadi masukan dan sekaligus kritik atas kinerja mereka dari aspek independensi. Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan para pengelola media mendapatkan alasan kuat untuk membongkat isu independensi di internal mereka.
E. Penerima Manfaat
Adapun para penerima langsung dari manaan penelitian ini adalah masyarakat pemerhati media, masyarakat pada umumnya, Dewan Pers, Jurnalis, pihak penyelenggara siaran televisi, pelaku media pada umumnya, Parpol Peserta Pemilu 2014, Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, Bawaslu, dan akademisi komunikasi dan media.
BAB 2
KERANGKA TEORI DAN METODE
A. Kerangka Teori
1. Media dalam Perspektif Kritis Media, dalam pandangan kritis, dipandang sebagai medan pertarungan ideologi antar berbagai kelompok dan kelas dalam masyarakat. Berbagai perangkat ideologi, dalam bentuknya sebagai entitas wacana, diangkat dan diperkuat oleh media massa, diberikan legitimasi, disebarluaskan secara
persuasif – sering secara mencolok –
kepada khalayak yang besar jumlahnya.
Dalam proses ini, gagasan-gagasan
dari sebuah ideologi tertentu akan
disajikan berulang-ulang sehingga
mendapatkan perhatian, memperoleh arti penting, serta memperkokoh makna dan penerimaannya.10
Namun, dalam pertarungan ideologi tersebut, media bukanlah sarana netral yang menampilkan berbagai ideologi dan kelompok apa adanya, tetapi media adalah subjek yang lengkap dengan pandangan, kepentingan, serta keberpihakan ideologisnya. Janet Woollacott dan David Barrat menegaskan pandangan para teoritisi Marxis bahwa ideologi yang dominanlah yang akan tampil dalam media.11 Media berpihak pada kelompok
dominan, menyebarkan ideologi mereka
10. James Lull, Media, Communication, Culture: A Global Approach, Cambridge: Polity Press, 1995, hal.
8-11.
11. David Barrat, Media Sociology, London and New York: Routledge, 1994, hal. 51-52.
12. Tony Bennet, “Media, Reality, Signiication”, dalam Michael Gurevitch, Bennet, James Curran dan
sekaligus mengontrol dan memarginalkan
wacana dan ideologi kelompok-kelompok
lain. Seperti penegasan Tony Bennett, media adalah agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas sesuai dengan kepentingannya.12
Bagi James Lull, bukan sebatas media berpihak kepada kelompok dominan melainkan bahkan para produsen ideologi dominan tersebut menjadi elit informasi.
Mereka menguasai lembaga-lembaga yang menyalurkan bentuk-bentuk
simbolik dari komunikasi, termasuk media massa. Media komunikasi (misalnya surat kabar atau televisi) cenderung dimiliki oleh para anggota kelas berada yang diharapkan menjalankan media tersebut bagi kepentingan kelas mereka sendiri.
2. Konglomerasi Media dan Implikasinya
Salah satu fenomena mutakhir dalam industri media adalah konglomerasi media, dimana sebuah grup media
memiliki perusahaan-perusahaan media
dengan jumlah yang cukup banyak, tersebar mulai dari media televisi, radio, koran, majalah, online, dan sebagainya.
B u k u y a n g p a l i n g g a m b l a n g menjelaskan hal ini adalah Media Monopoly karya Ben Bagdikian,
yang telah direvisi berkali-kali untuk
terus memutakhirkan data mengenai perkembangan kepemilikan media di Amerika Serikat. Menurut Bagdikian,
jumlah pemilik media di Amerika pada
tahun 1983 berjumlah 50 perusahaan.
Namun, 20 tahun kemudian, tepatnya
pada tahun 2003, 50 perusahaan media
tersebut telah diakuisisi oleh lima perusahaan besar yang memonopoli
industri media di Amerika, yaitu AOL-
Time Warner, Disney, Viacom, The News Corporation, dan Bertelsmann.13 Kelima
raksasa media tersebut, ditambah Vivensi
dan Sony Columbia, menguasai studio-
studio film utama di Amerika, hampir
seluruh jaringan televisi Amerika, 80-85%
pasar musik dunia, sejumlah besar satelit penyiaran seluruh dunia, sejumlah besar penerbitan buku dan majalah, hampir semua saluran televisi kabel komersial, dan masih banyak lagi.14
Apa dampak konglomerasi media ini? Yang jelas, para konglomerat ini menjadikan media sebagai bisnis besar
untuk mengumpulkan laba sebesar- besarnya dengan wilayah garapan seluas-
luasnya. Namun, implikasi konglomerasi media tidak hanya dalam ranah bisnis, namun juga pada ranah politik. Di
Amerika Serikat, lobi-lobi para raksasa
media kepada para politisi sangat ampuh, terlebih jika lawan politik mereka adalah publik yang tidak berdaya. Chesney (2006) menegaskan, ”....it makes the media giants perticularly effective political lobbyists at the national, regional, and global levels. The media giants have had a heavy hand in drafting these laws and regulations,
13. Ben Bagdikian, The New Media Monopoly, Boston: Beacon Press, 2003.
14. Robert McChesney, “Global Media, Neoliberalism & Imperialism”, 2006, www.thirdworldtraveler.
com/Robert_McChesney_page.html. 15. Robert McChesney, ibid.
Dinamika Pers dan Pemilu 2014
49