• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

5. Diktum Penetapan

a. Mengabulkan permohonan Pemohon ;

b. Menyatakan bahwa Wali nikah Pemohon adalah Wali Adhal ;

c. Menetapkan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon berhak menikahkan Pemohon dengan calon suami Pemohon Rojaya bin Rasita sebagai Wali Hakim ;

d. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.771.000,- (Tujuh ratus tujuh puluh satu ribu rupiah) ;

B. PEMBAHASAN

Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, untuk itu agar perbuatan hukum itu mengikat para pihak dan juga pihak ketiga, maka perkawinan tersebut harus sah. Mengenai sahnya suatu perkawinan disebut dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1), yang menyatakan bahwa:

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Kemudian dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut menjelaskan bahwa :

”Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu termasuk ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”.

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 beserta penjelasannya itu, dapat disimpulkan bahwa perkawinan itu harus dilakukan

menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, kalau tidak perkawinan itu tidak sah.

Sehubungan dengan adanya ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) di atas, maka bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam apabila hendak melaksanakan perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan tentang perkawinan yang telah diatur dalam hukum perkawinan Islam, yaitu harus memenuhi syarat dan rukun perkawinan.

Rukun perkawinan yaitu hakekat dari suatu perkawinan, supaya perkawinan dapat dilaksanakan ialah :

1. Pihak-pihak yang akan melaksanakan akad nikah yaitu calon mempelai pria dan wanita

2. Wali calon pengantin perempuan 3. 2 orang saksi

4. Akad nikah atau ijab dan qabul44

Syarat perkawinan ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan itu sendiri. Kalau salah satu syarat perkawinan tidak dipenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah atau batal demi hukum..

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak jelas mengatur tentang ketentuan adanya Wali, namun demikian dalam Pasal 6 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat izin dari kedua orang tua.

44 Soemiyati, Ibid, hal. 37.

Wali dalam perkawinan yang dianut di Indonesia diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam :

1. Ayah.

2. Kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki.

3. Saudara laki-laki kandung.

4. Saudara laki-laki seayah.

5. Kemenakan laki-laki kandung.

6. Kemenakan laki-laki seayah.

7. Paman kandung.

8. Paman seayah.

9. Saudara sepupu laki-laki kandung.

10. Saudara sepupu laki-laki seayah.

11. Sultan atau hakim.

12. Orang yang ditunjuk oleh mempelai yang bersangkutan.45

Soemiyati menyebutkan bahwa dari macam-macam orang yang dinyatakan berhak menjadi Wali, dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam Wali yaitu :

1. Wali Nasab atau kerabat

Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah patrilinear dengan calon mempelai perempuan. Jadi, yang termasuk Wali nasab ialah ayah, sodara laki-laki, paman, dan seterusnya. Wali nasab dibagi menjadi dua yaitu : Wali nasab yang dapat

45 Soemiyati, Ibid, hal. 45.

memaksakan kehendak untuk mengawinkan calon mempelai perempuan tanpa meminta izin terlebih dahulu dari yang bersangkutan, Wali nasab yang demikian disebut dengan Wali mujbir, dan Wali nasab yang tidak mempunyai kekuasaan memaksa atau Wali nasab biasa.

2. Wali Penguasa (sultan) atau Wali Hakim

Urut-urutan tertib Wali yang telah disebutkan diatas, itu ada yang disebut Wali dekat (Wali aqrab), misalnya ayah, kakek dan sudara laki-laki sekandung.

Sedang yang lainnya disebut Wali jauh. Menurut Imam Syafi’i, Wali yang jauh tidak boleh menjadi Wali apabila Wali yang dekat masih ada.

Hakim dapat bertindak sebagai Wali apabila Wali dekat tidak ada (ghaib) dan tidak ada yang mewakilinya, bukan Wali yang jauh, karena Wali yang dekat dianggap masih ada dan berhak menikahkan wanita yang ada di bawah perWaliannya selama ia masih hidup dan tidak gila.

Menurut Imam Abu Hanifah, Wali jauh boleh menikahkan asal dapat ijin dari Wali dekat, kalau tidak mendapat ijin maka nikahnya tidak sah. Apabila pemberian ijin tidak ada maka perWalian pindah ke tangan sultan (kepala negara) atau orang yang diberi kuasa oleh kepala negara. Jadi Wali hakim ialah Wali yang ditunjuk dan diberi kuasa oleh kepala negara. 46

Perwalian nasab atau kerabat pindah kepada perwalian hakim apabila : a. Wali nasab memang tidak ada.

b. Wali nasab bepergian jauh atau tidak ada ditempat tetapi tidak memberi kuasa kepada Wali yang lebih dekat yang ada.

46 Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987

c. Wali nasab kehilangan hak perWaliannya.

d. Wali nasab sedang berihram haji/umrah.

e. Wali nasab menolak bertindak sebagai Wali.

f. Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan yang ada di bawah perwaliannya. Hal ini terjadi apabila yang kawin adalah seorang perempuan dengan saudara laki-laki sepupunya, kandung atau seayah.

3. Wali Muhakam

Wali yang berhak atau Wali nasab tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai Wali karena sesuatu sebab tertentu atau karena menolak menjadi Wali.

Demikian juga Wali hakim tidak dapat mengganti kedudukan Wali nasab karena berbagai sebab, maka calon mempelai perempuan dapat menunjuk seseorang yang dianggap mempunyai pengetahuan keagamaan yang baik untuk menjadi Wali.

Wali yang ditunjuk oleh Wali perempuan tadi yang tidak ada hubungan saudara, dan juga bukan penguasa disebut Wali muhakam. 47

Beberapa alasan Wali jika menolak menikahkan, apakah alasan syar’i atau alasan tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan oleh hukum syara’, misalnya anak gadis Wali tersebut sudah dilamar orang lain dan lamaran ini belum dibatalkan, atau calon suaminya adalah orang kafir, atau orang fasik (misalnya pezina dan suka mabok), atau mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika Wali menolak menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti ini, maka Wali wajib ditaati dan kewaliannya tidak berpindah kepada orang lain (Wali hakim). Jika

47 Soemiyati, Ibid, hal. 46-49.

seorang perempuan memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi seperti ini, maka akad nikah tidak sah alias batil, meskipun dia dinikahkan Wali hakim.

Sebab hak kewaliannya sesungguhnya tetap berada ditangan Wali perempuan tersebut, tidak berpindah kepada Wali hakim. Jadi perempuan itu sama saja dengan menikah tanpa Wali, maka nikahnya batil.

Adakalanya Wali menolak menikahkan dengan alasan yang tidak syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan hukum syara’. Misalnya calon suaminya bukan dari suku yang sama, orang miskin, bukan sarjana, atau wajah tidak rupawan dan sebagainya. Ini adalah alasan-alasan yang tidak ada dasarnya dalam pandangan syariah, maka tidak dianggap alasan syar’i. Jika Wali tidak mau menikahkan anak gadisnya dengan alasan yang tidak syar’i seperti ini, maka Wali tersebut disebut Wali adhal. 48

Dapat dideskripsikan alasan dari Wali nasab yaitu Paman-paman Pemohon yang menduga bahwa jika Pemohon menikah dengan calon mempelai pria maka akan menjual rumah milik orang tua Pemohon dan hasil pejualan rumah tersebut digunakan untuk membayar hutang-hutang orang tua Pemohon, dan alasan tersebut tidak termasuk dalam syariat islam. Selain hal tersebut dapat didskripsikan bahwa apakah calon mempelai pria itu sekufu (seimbang) atau tidak.

Pada dasarnya hak untuk menjadi Wali dalam perkawinan ada di tangan Wali nasab. Hanya Wali nasab saja yang berhak mengawinkan perempuan yang ada dalam perwaliannya. Demikian pula ia berhak melarang kawin dengan seseorang apabila ada sebab yang dapat diterima misalnya suami tidak sekufu atau

48 http://blog.umy.ac.id/agung/2012/01/17/pernikahan-tanpa-restu-Wali/

karena si perempuan sudah dipinang oleh orang lain, atau cacat badan yang menyebabkan perkawinan dapat di fasakhkan. Dalam hal-hal semacam ini Wali nasab adalah berhak menjadi Wali dan haknya tidak dapat berpindah kepada orang lain atau kepada hakim. 49

Pelaksanaan akad nikah yang dilakukan oleh calon mempelai wanita dan calon mempelai pria dengan menggunakan Wali hakim, Wali hakim disini meminta kembali kepada Wali nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, apabila Wali nasab tetap adhal maka akad nikah dilaksanakan menggunakan Wali hakim sesuai dengan Pasal 6 Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 Tentang Wali Hakim yang menyebutkan :

Pasal 6

(1) Sebelum akad nikah dilangsungkan Wali hakim meminta kembai kepada Wali nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, sekalipun sudah ada penetapan Pengadilan Agama tentang adhalnya Wali.

(2) Apabila Wali nasabnya tetap adhal, maka akad nikah dilangsungkan dengan Wali hakim.

Berdasarkan hasil penelitian nomor 1 tentang identitas Pemohon, dari data tersebut Watnengsih binti Sunilah masih berumur 20 tahun, sehingga Watnengsih dalam melangsungkan perkawiinan harus meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) yang menentukan bahwa untuk melangsungkan perkawinan bagi seorang yang belum genap berumur 21 tahun harus mendapat izin terlebih dahulu kepada orang tua.

49 H. S. A. Alhamdani, Op Cit, hal. 90.

Hasil penelitian nomor 2 (a) dan (b) menjelaskan bahwa Watnengsih (Pemohon) sudah tidak mempunyai ayah kandung dan kakek dikarenakan sudah meninggal dunia, dan juga tidak mempunyai saudara laki-laki sekandung. Namun ayah Pemohon mempunyai 4 saudara kandung laki-laki (paman Pemohon) sehingga ke empat (4) paman Pemohon tersebut yang berhak menjadi Wali bagi si Pemohon, ini sesuai dengan tertib Wali menurut madzhab Syafi’i dan juga pada Pasal 20 Kompilasi Hukum Islam. Pada pasal 20 Kompilasi Hukum Islam disebutkan sebagai berikut:

a. Yang bertindak sebagai Wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh.

b. Wali Nikah terdiri dari:

1) Wali nasab 2) Wali hakim.50

Berdasarkan hasil penelitian nomor 2 (g) dan (h) tentang upaya Pemohon untuk meminta kesediaan pamannya (Dunia, Sonang, Casma, Caskim) agar dinikahkan dengan calon suaminya tetapi ditolak dan tidak bersedia menjadi Wali nikah. Penolakan tersebut berdasarkan pada alasan bahwa Pemohon akan menjual rumah milik orang tua dari Pemohon untuk membayar hutang-hutang alm.

ayahnya semasa hidup, sedangkan paman-paman Pemohon melarang menjual rumah itu. Dan Pemohon telah berusaha minta bantuan keluarga namun usaha Pemohon tetap tidak membawa hasil. Dalam peraturan Perundang-Undangan yang berlaku tidak mengatur tentang penolakan seseorang untuk menjadi Wali

50 2007, Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, Bandung, hal. 235

dikarenakan harta atau warisan keluarga. Islam hanya ditentukan bahwa perkawinan dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Adapun salah satu rukun nikah adalah Wali nikah bagi calon mempelai perempuan, sebab perkawinan yang dilakukan tanpa Wali nikah bagi calon mempelai perempuan adalah dapat dibatalkan. Hal ini sesuai dengan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan :

“Untuk melaksanakan perkawinan harus ada : a. calon suami

b. calon isteri c. Wali nikah d. dua orang saksi e. ijab dan qobul”

Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam, menyatakan bahwa :

”Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.

Hasil penelitian di atas dapat dideskripsikan bahwa untuk mengatasi kesulitannya Watnengsih (Pemohon) mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama agar Paman-pamanya ditetapkan sebagai Wali adhal dan mensahkan perkawinannya dengan Wali hakim. Apabila dihubungkan dengan data nomor 2 (g) dan diktum penetapan nomor 5 (b) dan (c) terbukti bahwa semua paman Pemohon tidak mau menikahkan dan menolak menjadi Wali nikah dikarenakan alasan Pemohon akan menjual rumah milik orang tua Pemohon untuk membayar hutang-hutang alm.ayah Pemohon semasa hidup. Oleh karena itu Pengadilan

menetapkan semua paman Pemohon (Dunia, Sonang, Casma, Caskim) sebagai Wali adhal dan memerintahkan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon untuk menikahkan Pemohon dengan calon suiami Pemohon Rojaya bin Rasita sebagai Wali Hakim, karena Wali yang berhak itu tetap pada adhalnya. Pengadilan Agama dalam menetapkan adhalnya Wali harus memeriksa bukti penolakan Wali nasab untuk menikahkan calon mempelai wanita baik secara singkat maupun lisan, hal ini sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim, yang menyebutkan :

Pasal 2

(1) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau diluar negeri atau wilayah ekstra teritorial Indonesia ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat atau Mafqud atau berhalangan atau adhal maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim.

(2) Untuk menyatakan adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) Pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.

(3) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya Wali dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan Wali calon mempelai wanita.

Pertimbangan Hukum Hakim tersebut juga telah sesuai dengan ketentuan Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam, yang menjelaskan bahwa :

Pasal 23

(1) Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai Wali nikah apabila Wali Nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhal atau enggan.

(2) Dalam hal Wali adhal atau enggan maka Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai Wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang Wali tersebut.

Hasil penelitian diatas, hakim dalam menetapkan adhalnya Wali tidak hanya melihat dari pihak calon mempelai wanita saja, tetapi juga harus melihat dari pihak calon mempelai pria, apakah calon mempelai pria tersebut tidak sekufu atau cacat badan yang menyebabkan perkawinan dapat di fasakhkan. Hakim disini juga telah memanggil Wali nikah pemohon secara patut, namun tidak hadir tanpa ada keterangan ataupun alasan yang sah, dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakil atau kuasanya. Perkawinan antara pemohon dan calon mempelai pria dengan menggunakan Wali hakim dapat dibenarkan, karena alasan dari Paman-pamannya itu adalah alasan harta dan alasan tersebut bukan merupakan alasan-alasan Wali boleh menolak berdasarkan syariat Islam.

BAB V

Dokumen terkait