• Tidak ada hasil yang ditemukan

Soemiyati menyebutkan bahwa dari macam-macam orang yang dinyatakan berhak menjadi Wali, dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam Wali yaitu :

a. Wali Nasab atau kerabat

Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah patrilinear dengan calon mempelai perempuan. Jadi, yang termasuk Wali nasab ialah ayah, saudara laki-laki, paman, dan seterusnya.

Wali Nasab terbagi menjadi dua yaitu : 1) Wali Mujbir

Artinya Wali Nasab yang berhak memaksakan kehendaknya untuk mengawinkan calon mempelai perempuan tanpa minta ijin dulu dari yang bersangkutan.

Para ulama yang membolehkan Wali Mujbir menikahkan tanpa meminta ijin terlebih dahulu pada calon mempelai perempuan, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a) Antara Wali Mujbir dan gadis itu tidak ada permusuhan.

b) Laki-laki pilihan Wali harus sejodoh (kufu) dengan wanita yang dikawinkan. Sekufu disini yang berarti seimbang, sederajat atau setaraf mempunyai beberapa hal yang dianggap sebagai ukuran kufu antara lain karena keturunannya, bukan hamba sahaya/merdeka, beragama islam, mempunyai pekerjaan, karena kekayaannya dan karena kondisi

fisik/tidak cacat, namun demikian hal-hal tersebut masih dapat diperdebatkan. Akibat dari perkawinan sekufu antara lain :

o memiliki kualitas ahlak yang sama o sebagai ujian dari Allah SWT

o pernikahan karena perintah Allah SWT.31

c) Antara gadis dan calon suaminya tidak ada permusuhan.

d) Maharnya tidak kurang dari mahar mitsil (sebanding).

e) Laki-laki pilihan Wali akan dapat memenuhi kewajibanya terhadap isteri dengan baik dan tidak ada gambaran akan berbuat yang meyengsarakan isterinya. 32

Mengenai boleh tidaknya seorang Wali Mujbir menikahkan seorang gadis tanpa meminta ijin terlebih dahulu, disebutkan dalam hadits Nabi yang menyatakan :

“Dari Ibnu Abbas bahwasanya Jariyah, seorang gadis telah menghadap Rasullullah S.A.W. lalu menyampaikan bahwa bapaknya telah mengawinkannya dengan seorang laki-laki sedang ia tidak menyukainya.

Maka Rasullullah menyuruhnya untuk memilih”. (H. R. Ahmad Ibnu Dawud, Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni). 33

Berdasarkan hadits tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa Wali Mujbir boleh menikahkan gadis tanpa meminta ijin terlebih dahulu pada gadis yang bersangkutan asal gadis itu menyukai laki-laki pilihan si Wali. Kalau tidak menyukai ia boleh memutuskan.

31 www.mail-archive.com/syiar-islam@yahoogroups.com/msg02467.html

32 Soemiyati, Op Cit, hal. 46-47.

33 Soemiyati, Ibid, hal 47.

2) Wali Nasab Biasa

Artinya Wali Nasab yang tidak mempunyai kekuasaan memaksa.

Mengenai Wali Nasab, dalam Pasal 21 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan :

“Wali Nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai perempuan.

a) Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

b) Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

c) Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki sekandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

d) Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka”.

b. Wali Penguasa (sultan) atau Wali Hakim

Dari urut-urutan tertib Wali yang telah disebutkan diatas, itu ada yang disebut Wali dekat (Wali aqrab), misalnya ayah, kakek dan sudara laki-laki sekandung. Sedang yang lainnya disebut Wali jauh. Menurut Imam Syafi’i, Wali yang jauh tidak boleh menjadi Wali apabila Wali yang dekat masih ada.

Mengenai hal Wali dekat tidak ada (ghaib) dan tidak ada yang mewakilinya maka yang menjadi Wali ialah hakim, bukan Wali yang jauh, karena Wali yang dekat dianggap masih ada dan berhak menikahkan wanita yang ada di bawah perWaliannya selama ia masih hidup dan tidak gila.

Menurut Imam Abu Hanifah, Wali jauh boleh menikahkan asal dapat ijin dari Wali dekat, kalau tidak mendapat ijin maka nikahnya tidak sah. Apabila pemberian ijin tidak ada maka perwalian pindah ke tangan sultan (kepala negara)

atau orang yang diberi kuasa oleh kepala negara. Jadi Wali hakim ialah Wali yang ditunjuk dan diberi kuasa oleh kepala negara. 34

Perwalian nasab atau kerabat pindah kepada perwalian hakim apabila : 1) Wali nasab memang tidak ada.

2) Wali nasab bepergian jauh atau tidak ada ditempat tetapi tidak memberi kuasa kepada Wali yang lebih dekat yang ada.

3) Wali nasab kehilangan hak perwaliannya.

4) Wali nasab sedang berihram haji/umrah.

5) Wali nasab menolak bertindak sebagai Wali.

6) Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan yang ada di bawah perwaliannya. Hal ini terjadi apabila yang kawin adalah seorang perempuan dengan saudara laki-laki sepupunya, kandung atau seayah.

c. Wali Muhakam

Apabila Wali yang berhak tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai Wali karena sesuatu sebab tertentu atau karena menolak menjadi Wali. Demikian juga Wali hakim tidak dapat mengganti kedudukan Wali nasab karena berbagai sebab, maka calon mempelai perempuan dapat menunjuk seseorang yang dianggap mempunyai pengetahuan keagamaan yang baik untuk menjadi Wali. Wali yang ditunjuk oleh Wali perempuan tadi yang tidak ada hubungan saudara, dan juga bukan penguasa disebut Wali muhakam. 35

34 Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987

35 Soemiyati, Op Cit, hal. 46-49.

Pada Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam disebutkan sebagai berikut:

1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai Wali nikah apabila Wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.

2) Dalam hal Wali adhal atau enggan maka Wali hakim dapat bertindak sebagai Wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang Wali tersebut.

Menurut Mukti Arto untuk menetapkan adhalnya Wali harus ditetapkan berdasarkan keputusan dari Pengadilan Agama dengan mengajukan permohonan dari mempelai wanita. Kemudian Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya Wali dengan acara singkat, untuk memperkuat adhalnya Wali, maka perlu didengar keterangan saksi-saksi. 36

Menurut Mohd Idris Ramulyo dalam bukunya Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menyatakan bahwa yang dapat bertindak sebagai Wali atas permintaan pihak mempelai perempuan ialah Wali Hakim, yaitu Pejabat Pencatat Nikah/Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang mewilayahi tempat tinggal perempuan itu. Jadi Wali Hakim ialah pejabat yang diangkat sebagai Wali Nikah bagi wanita yang tidak mempunyai Wali atau wanita yang akan menikah itu berselisih paham dengan Walinya tentang calon pengantin laki-laki.37

Sebelum akad nikah dilangsungkan, Wali hakim meminta kembali kepada Wali nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, sekalipun sudah ada

36 Mukti Arto, 1996, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 238.

37 Mohd. Idris Ramulyo, Op Cit, hal. 3.

penetapan Pengadilan Agama tentang adhalnya Wali, apabila Wali nasab tetap adhal maka akad nikah dilangsungkan dengan Wali hakim. Wali hakim sebagai mana ditegaskan dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1987 tentang Wali Hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.

Dokumen terkait