• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya yang dilakukan dalam mengatasi kendala dalam Kerjasama Internasional Penanggulangan Kejahatan Narkotika Terorganisir

NARKOTIKA TERORGANISIR

C. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi kendala dalam Kerjasama Internasional Penanggulangan Kejahatan Narkotika Terorganisir

Guna mengatasi kendala-kendala dalam pengembangan kerjasama internasional dalam kerangka penanggulangan kejahatan narkotika yang terorganisir, baik secara multilateral, bilateral maupun regional yaitu dengan memanfaatkan perjanjian internasional yang didasarkan pada materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk, nama (nomenclature) perjanjian.109 Adapun upaya yang dilakukan oleh Polri dimaksud yakni110

109

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.cit, hal. 120 110

Hasil wawancara dengan Kasubdit Narkotika Bareskrim Polri, tanggal 7 Desember 2013

: Pertama, membuat MoU (Memorandum of Understanding) dengan sasaran prioritas pertukaran informasi dan data intelijen, investigasi gabungan, controlled delivery, dukungan staf ahli, patroli pencegahan secara bersama di perbatasan-perbatasan negara. Dengan adanya MoU maka program partnership building yang dilaksanakan akan mempunyai arah dan batasan yang jelas sehingga para mitra Polri yang telah sepakat untuk bermitra akan mengetahui aturan main serta batasan mana yang dapat dilakukan dan tidak boleh dilanggar. MoU yang harus didahului dengan menyatukan komitmen pimpinan Polri beserta jajarannya yang ada di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk melakukan tindakan-tindakan dalam penanggulangan dan pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sebagai suatu kejahatan transnasional dan extra ordinary crime. Komitmen dimaksud disertai dengan perencanaan yang terpadu dan terintegrasi antara kebutuhan anggaran, sarana dan prasarana dengan

kemungkinan kegiatan operasional.111

Di samping itu, kekhawatiran internasional terhadap narkotika dan pencucian uang melahirkan suatu kesepakatan yang disebut sebagai International Legal Regime to Combat MoneyLaundering dan bahkan ada kecenderungan bahwa pencucian uang dilakukan dengan sangat rumit.

Kedua, penandatangan kesepakatan dalam hal pengejaran/penangkapan pelaku dan jaringannya yang berada di luar negeri, pemeriksaan tersangka atau saksi yang ada diluar negeri, penggeledahan orang/barang dan penyitaan barang bukti yang ada di luar negeri. Ketiga, membangun komunikasi yang efektif. Kerjasama yang telah terjalin dan terbentuk serta diikat dengan MoU tidak akan dapat berlangsung secara baik apabila masing masing negara-negara dan organisasi internasional yang terkait didalamnya tidak saling berkomunikasi. Oleh karena itu, Polri selaku pihak yang paling berkepentingan dalam pemberantasan kejahatan narkotika terorganisir di Indonesia, harus senantiasa mampu membuka dan menjalin komunikasi dengan para mitranya. Keempat, proaktif dalam kesepakatan-kesepakatan internasional menyangkut penanganan terhadap pelaku kejahatan narkotika lintas negara. Perlu mengintensifkan perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral untuk mensiasati perbedaan sistem hukum di tiap-tiap negara.

112

111

Anjan Pramuka Putra, Op.cit, hal. 53

Untuk diperlukan upaya pengembangan kerjasama

112

Komisi Kepolisian Nasional, Narkoba sebagai Kejahatan Transnasional, Bahan Pembekalan Sespim Polri Dikreg 48 TP. 2009, hal. 28 bahwa dalam International Narcotics Control

Strategy Report (INCSR) yang dikeluarkan oleh Bureau for International Narcotics and Law

Enforcement Affairs, United States Department of State pada bulan Maret 2003, Indonesia ditempatkan

kembali ke dalam deretan major laundering countries di wilayah Asia Pacific bersama dengan 53 negara antara lain seperti Australia, Kanada, Cina, Cina Taipei, Hong Kong, India, Jepang, Macau

internasional dalam penanggulangan kejahatan narkotika terorganisir terutama menyangkut upaya pelacakan dan penyitaan asset atau harta kekayaan pelaku yang patut diduga merupakan hasil kejahatan sebagai follow up crime melalui tindakan pelacakan dan penyitaan asset atau harta kekayaan para pelaku kejahatan narkotika yang terorganisir (mata rantai yang menghidupi peredaran gelap narkotika) dengan melibatkan sistim keuangan dalam negeri dan lembaga-lembaga terkait lainnya, baik di dalam maupun luar negeri, misalnya Financial Action Task Force (FATF). Agar

Cina, Myanmar, Nauru, Pakistan, Filipina, Singapura, Thailand, United Kingdom dan Amerika Serikat.

Predikat major laundering countries diberikan kepada negara-negara yang lembaga dan sistem

keuangannya dinilai terkontaminasi bisnis narkotika internasional yang ditengarai melibatkan uang dalam jumlah yang sangat besar. Lebih jauh, INCSR menyoroti pula beberapa hal yaitu upaya Indonesia dalam memberantas peredaran gelap narkoba yang dianggap masih belum memadai, kenaikan angka penyalahgunaan narkoba di dalam negeri, serta maraknya lalu lintas perdagangan gelap narkoba dari dan ke Indonesia yang melibatkan negara-negara seperti Thailand, Burma, Singapura, Afghanistan, Pakistan dan Nigeria. Kejahatan peredaran gelap narkoba sejak lama diyakini memiliki kaitan erat dengan proses pencucian uang. Sejarah perkembangan tipologi pencucian uang menunjukkan bahwa perdagangan obat bius merupakan sumber yang paling dominan dan kejahatan asal (predicate crime) yang utama yang melahirkan kejahatan pencucian uang.Organized crime selalu menggunakan metode pencucian uang ini untuk menyembu-nyikan, menyamarkan atau mengaburkan hasil bisnis haram itu agar nampak seolah-olah merupakan hasil dari kegiatan yang sah.Selanjutnya, uang hasil jual beli narkoba yang telah dicuci itu digunakan lagi untuk melakukan kejahatan serupa atau mengembangkan kejahatan-kejahatan baru.Perkembangan peredaran obat bius di beberapa negara bahkan telah mencapai titik nadir.Gerard Wyrsch (1990) mengungkapkan bahwa pencucian uang yang berasal dari bisnis narkotika di Amerika Serikat diperkirakan mencapai 100 sampai dengan 300 milyar dollar pertahunnya. Sedangkan di Eropa berkisar antara 300 sampai 500 milyar dollar pertahunnya, suatu angka yang fantastis.FATF (Financial Action Task Force on Money Laundering) dalam annual

report tahun 1995-1996 memperkirakan bahwa dari 600 milyar sampai satu trilyun dollar uang yang

dicuci pertahunnya, sebagian besar berasal dari bisnis haram perdagangan gelap narkoba.Perkiraan jumlah di atas setiap tahun mengalami peningkatan sehingga dikenal istilah narco dollar, sekaligus menunjukkan bahwa persoalan peredaran gelap narkoba merupakan kejahatan internasional

(international crime) dan persoalan seluruh negara.Sejarah mencatat pula bahwa kelahiran rezim

hukum internasional yang memerangi kejahatan pencucian uang dimulai pada saat masyarakat internasional merasa frustrasi dengan upaya memberantas kejahatan perdagangan gelap narkoba.Pada saat itu, rezim anti pencucian uang dianggap sebagai paradigma baru dalam memberantas kejahatan yang tidak lagi difokuskan pada upaya menangkap pelakunya, melainkan lebih diarahkan pada penyitaan dan perampasan harta kekayaan yang dihasilkan. Logika dari memfokuskan pada hasil kejahatannya adalah bahwa motivasi pelaku kejahatan akan menjadi hilang apabila pelaku dihalang- halangi untuk menikmati hasil kejahatannya. Melihat korelasi yang erat antara kejahatan peredaran gelap narkoba sebagai predicate crime dan kejahatan pencucian uang sebagai derivative-nya, maka sangat jelas bahwa keberhasilan perang melawan kejahatan peredaran gelap narkoba di suatu negara sangat ditentukan oleh efektivitas rezim anti pencucian uang di negara itu.

efektifnya tindakan ini tentunya diperlukan adanya SOP (Standar Operasional Prosedur).113Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa kejahatan penyalahgunaan narkotika merupakan darah segar yang menghidupi kegiatan bisnis illegal dengan modus mengalihkan, menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana narkoba ke lembaga legal dan melakukan pencucian uang melalui lembaga keuangan sehingga dianggap harta kekayaan merupakan harta yang legal. Selanjutnya melalui modus ini pelaku secara terus menerus mendanai kegiatan bisnis haram. Hal ini mensyaratkan bahwa instrumen yang paling dominan dalam tindak pidana pencucian uang biasanya menggunakan perbankan, salah satu alasan penggunaan perbankan sebagai instrumen yang dominan digunakan oleh pelaku didasarkan pada penawaran instrumen keuangan yang paling banyak bila dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya. Pemanfaatan bank dalam pencucian uang dapat berupa:114

a. Menyimpan uang hasil tindak pidana dengan nama palsu;

b. Menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito/tabungan/rekening/giro. c. Menukar pecahan uang hasil kejahatan dengan pecahan lainnya yang lebih

besar atau lebih kecil.

d. Menggunakan fasilitas transfer.

e. Melakukan transaksi eksport-import fiktif dengan menggunakan L/C dengan memalsukan dokumen bekerjasama dengan oknum terkait.

f. Pendirian/pemanfaatan bank gelap.

Tindakan lainnya agar efektinya kerjasama dalam upaya pelacakan dan penyitaan asset atau harta kekayaan pelaku yang patut diduga dilakukan pencucian uang oleh pelaku yakni menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga keuangan untuk

113

Hasil wawancara dengan Kasubdit Narkotika Bareskrim Polri tanggal 8 Desember 2012 114

Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi, (Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, 2004), hal. 71

melakukan tindakan pelacakan harta kekayaan yang terindikasi memiliki kaitan dengan jaringan pelaku kejahatan narkotika, dengan maksud untuk memudahkan dalam melakukan tindakan pelacakan dan pemblokiran rekening-rekening tersebut. Hal ini tentunya memerlukan intensifikasi kerjasama lintas fungsi yang ada di Polri maupun antar lembaga kepolisian, khususnya untuk membantu melacak sumber- sumber pembiayaan kejahatan narkotika, asset atau harta kekayaan pelaku yang patut diduga merupakan hasil kejahatan narkotika yang dialihkan dan disamarkan di Negara lain.115

Upaya lainnya yakni mengintensifkan koordinasi dan kerjasama internasional antar penegak hukum guna mengungkap, memerangi dan menghancurkan sindikat narkotika internasional yang disertai dengan langkah konkrit intitusi Kepolisan misalnya mendorong Kementerian Luar Negeri untuk mengembangkan perjanjian ektradisi, khusus dengan negara-negara yang banyak terkait dengan kejahatan narkotika internasional. Perjanjian ekstradisi memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya merealisasikan kesepakatan-kesepakatan kerjasama bilateral ataupun multilateral yang akan dilakukan, karena dengan adanya perjanjian ekstradisi akan mengikat suatu negara untuk bersama-sama menanggulangi kejahatan dan jaringan pelakunya yang melintasi antar negara.116

Upaya penanggulangan kejahatan narkotika terorganisir yang berskala internasional merupakan salah satu misi yang harus dilakukan oleh Polri guna

115

Hasil wawancara dengan Kasubdit Narkotika Bareskrim Polri tanggal 8 Desember 2012 116

efektifnya penanggulangan kejahatan di dalam negeri.Artinya,penguatan kerjasama internasional yang dilakukan untuk mengungkap jaringan pelaku kejahatan narkotika terorganisir melalui MoU antara lain didasarkan pada pertimbangan bahwa korban yang timbul akibat kejahatan narkotika tidak pandang bulu (indiscriminate), serta jaringan pelakunya kebanyakan berbentuk sel dan terputus (pyramidal and cel system). Untuk itu perlu dilakukan pendayagunaan dan penguatan (empowerment) langkah-langkah taktik dan teknik yang dilakukan oleh Polri antara lain penyamaran (undercover agent) yang meliputi tindakan untuk menelusuri jaringan peredaran gelap narkotika dengan melibatkan personil Polri yang telah diberi perintah untuk melakukan penyamaran dalam jaringan peredaran gelap narkotika, pemantauan (observation) adalah tindakan yang dilakukan oleh Polri untuk memantau segala tindakan pelaku yang terindikasi sebagai bahagian dari jaringan peredaran gelap narkotika, pengawasan (surveillance) meliputi pengawasan terhadap orang yang telah terindikasi sebagai sindikat peredaran gelap narkotika maupun tindakan pengawasan terhadap barang yang masuk maupun keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia yang telah diindentifikasi mempunyai keterkaitan dengan peredaran gelap narkotika, pembelian terselubung (undercover buy) adalah tindak Polri untuk melakukan pembelian narkotika dari pelaku yang sudah diindetifikasi sebagai bahagian dari sindikat peredaran gelap narkotika, penyerahan yang diawasi (controlled delivery) merupakan tindak Polri untuk mengantisipasi penyalahgunaan narkotika terhadap personil yang melakukan tindakan penyamaran.

Di samping pendayagunaan dan penguatan (empowerment) langkah-langkah taktik dan teknik yang dilakukan oleh Polri sebagaimana diuraikan di atas diperlukan juga tindakan pengawasan setiap barang kiriman melalui pos atau alat-alat penghubung lainnya yang diduga memiliki kaitan dengan perkara yang sedang ditangani, menyadap pembicaraan melalui telepon dan/atau komunikasi elektronik lainnya yang dilakukan oleh orang yang dicurigai atau diduga keras sebagai jaringan pelaku kejahatannarkotika terorganisir. Selanjutnya menyusun Raid and Planning Execution (RPE) yang betul-betul efektif untuk menangkap pelaku secara tertangkap tangan, penyitaan dan penanganan barang bukti narkotikasecara benar serta merencanakan danmelaksanakan ekstradisi terhadap pelaku kejahatan narkotika lintas negara.

Secara umum, pengungkapan pelaku kejahatan narkotika yang dilakukan oleh Polri selama ini, masih cenderung mengaplikasikanteknik penyelidikan dan penyidikan untuk memenuhi unsur ”menyalahgunakandan mengedarkan narkotika secara ilegal” tanpa melakukan upaya pengembangan penyelidikan dan penyidikan untuk melacak dan menyita asset atau harta kekayaan yang merupakan hasil kejahatan narkotika (follow up crime). Teknik penyelidikan dan penyidikan konvensional seperti ini tentunya kurang efektif untuk menanggulangi dan mengungkap jaringan pelaku kejahatan narkotika yang lebih besar dan terorganisir, sehingga tidak akan menimbulkan efek jera bagi para pelaku. Untuk itu diperlukan adanya SOP untuk melacak dan menyita asset atau harta kekayaan para pelaku yang

diduga diperoleh hasil kejahatan narkotika atau patut diduga digunakan untuk menggerakkan sindikat peredaran gelap narkotika yang terorganisir.

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada Bab-Bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pengaturan kerjasama internasional dalam penanggulangan kejahatan narkotika diatur dalam perjanjian-perjanjian internasional yang meliputi perjanjian multilateral, bilateral dan regional. Perjanjian internasional ini merupakan aturan-aturan dan kesepakatan internasional yang memuat kebijakan mengenai narkotika, seperti halnya konvensi-konvensi internasional yang harus diperhatikan untuk selanjutnya dilakukan transformasi kedalam sistem hukum nasional. Untuk itu, Indonesia telah meratifikasi beberapa kesepakatan internasional tersebut diantaranya adalah “The United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic

Substances 1988”. Di samping itu, Indonesia telah melakukan

kerjasama bain regional misalnya yang termuat dalam aturan ASEAN Drugs Experts Meeting on the Prevention and Control of Drug Abuse

maupun bilateral misalnya aturan menyangkut kesepakat yang tebuat dalam U.S Department of Justice Drug Enforcement Administration

2. (DEA), AFP (Kepolisian Australia), PDRM (Kepolisian Malaysia) dan CNB (Badan Narkotika Singapura).

3. Peran Polri dalam pengembangan kerjasama internasional untuk menanggulangi kejahatan narkotika terorganisir adalah melakukan tindakan-tindakan secara proaktif dalam menjalin kerjasama Internasional dengan Negara-negara yang dianggap koorporatif dalam penanggulangan peredaran gelap narkotika internasional. Namun kerjasama ini pada implementasinya belum efektif antara lain kerjasama internasional cenderung diarahkan pada pertukaran informasi(information exchange) tentang identitas pelaku dan sindikatnya, serta modus operandi yang digunakan. Belum sepenuhnya mengarah pada mekanisme kerjasama antar negara dalam penanggulangan dan penangkapan terhadap para pelaku kejahatan narkotika. Di samping itu kerjasama internasional yang ada belum melibatkan negara-negara yang terindikasi sebagai jalur atau bagian dari peredaran gelap narkotika yang dikendalikan oleh sindikat internasional.

4. Kendala yang dihadapi Polri dalam penanggulangan kejahatan narkotika terorganisir dapat diidentifikasi antara lain belum adanya

joint task force dari masing-masing institusi kepolisian dan belum intensifnya komunikasi antar lembaga dan institusi penegak hukum sehingga sulit untuk mendapatkan informasi tentang sindikat narkotika

internasional yang melibatkan beberapa negara. Di samping itu hambatan yang sangat krusial yakni terdapat beberapa negara asal pelaku kejahatan narkotika yang belum tergabung dalam forum kerjasama internasional, baik bilateral, regional maupun internasional seperti IDEC dan kerjasama internasional belum mengarah pada tindakan teknis penelusuran dan penyitaan terhadap asset atau harta kekayaan yang diduga diperoleh atau diduga digunakan untuk membiayai kegiatan sindikat narkotika internasional. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala yang dihadapi oleh Polri antara lain terciptanya MoU (Memorandum of Understanding) dengan sasaran prioritas pertukaran informasi dan data intelijen, investigasi gabungan, controlled delivery, dukungan staf ahli, patroli pencegahan secara bersama di perbatasan-perbatasan negara.

B. Saran

Selanjutnya disusun beberapa saran dan masukan untuk direkomendasikan antara lain:

2. Pengaturan kerjasama internasional yang terjalin antara negara dalam penanggulangan kejahatan narkotika terorganisir diharapkan dapat terjalin dengan semua negara-negara yang terindikasi sebagai jalur atau bagian peredaran gelap narkotika yang dikendalikan oleh sindikat internasional. Disamping itu diperlukan kerjasama menyangkut

pelacakan dan penyitaan asset atau harta kekayaan pelaku kejahatan narkotika terorganisir, untuk itu diperlukan konvensi internasional yang mensyaratkan kepada negara-negara yang meratifikasi, untuk dapat menerapkan hanya dengan asas patut diduga, sudah dapat dilakukan tindakan pelacakan yang selanjutnya dapat dilakukan tindakan penyitaan.

3. Guna meningkatkan kualitas peran Polri dalam kerjasama internasional yang tidak berkutat hanya pada pertukaran informasi, maka Polri perlu menginisiasi pengembangan kerjasama internasional pada tataran praktis operasional yang merumuskan mekanisme teknis penanggulangan kejahatan narkotika terorganisir antar negara dalam bentuk Satuan Tugas Gabungan, baik dalam kerangka kerjasama dengan Kepolisian Negara Asia Pasifik (HONLEA), kerjasama

Colombo Plan, maupun dalam kerangka kerjasama dengan Kepolisian Internasional (ICPO-Interpol)atau dengan International Narcotic Control Board (PBB).

4. Polri perlu lebih intensif mendorong Kementerian Luar Negeri agar lebih aktif melakukan diplomasi internasional, baik kepada PBB

(United Nations) maupun kepada negara-negara yang memiliki

pengaruh kuat, untuk meminta atau bahkan menekan negara-negara yang diduga sebagai basis asal pelaku atau asal narkotika

agarmeratifikasi konvensi internasional tentang pemberantasan peredaran gelap narkotika.

Aditya Bakti, 2002

Adji, Oemar Seno,Peradiolan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga, 1980

Atmasasmita, Romli, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2000 Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Stelsel Pidana, Teori-Teori

Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Yarsif Watampone, 2005

Haynes, Andrew, Money Laundering and Changes in International Banking Regulations, J.Int’l Banking Law, 1993

Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Bandung: Alumni, 2004

Jaya, Nyoman Serikat Putra, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008

Kountur, Ronny, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta: PPM, 2003

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: BP. Universitas Diponegoro, 2002

Moelyanto, Asas-asas Hukum Pidana,Jakarta:Bina Aksara, 1987

---,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001 Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda, 2006

Lamintang, P.A.F., Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, 1984

---, dan Djisman Samosir,Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1990

Purnomo, Bambang, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985 Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi, Pengatar Filsafat Hukum, Bandung: Mandar

Maju, 2002

Setiadi, Edi, Hukum Pidana Ekonomi, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, 2004

Shidarta, Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986

---dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di

dalam Penelitian Hukum,Jakarta:Pusat Dokumentasi Hukum

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979

---, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1990

Suparmono, Gatot, Hukum Narkoba di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2001

Sunarso, Siswanto, Penegakan Hukum Psikotropika, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004