• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Polri dalam Mengembangkan Kerjasama Internasional Guna Penanggulangan Kejahatan Narkotika yang Terorganisir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peranan Polri dalam Mengembangkan Kerjasama Internasional Guna Penanggulangan Kejahatan Narkotika yang Terorganisir"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

OLEH

ANDI RIAN DJAJADI 107005146 /HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERAN POLRI DALAM MENGEMBANGKAN KERJASAMA

INTERNASIONAL GUNA PENANGGULANGAN KEJAHATAN

NARKOTIKA YANG TERORGANISIR

TESIS

OLEH

ANDI RIAN DJAJADI

107005146/HK

PORGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

JUDUL TESIS : PERAN POLRI DALAM MENGEM BANGKAN KERJASAMA INTERNASIONAL GUNA PENANGGULANGAN KEJAHATAN NARKOTIKA YANG TERORGANISIR

NAMA MAHASISWA : ANDI RIAN DJAJADI

NIM : 107005146

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Suhaidi.,SH.,MH)

(Dr. M. Hamdan.,SH.,MH) (Dr. Mahmul Siregar.,SH.,M. Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi.,SH.,MH) (Prof. Dr. Runtung.,SH.,M. Hum)

(4)

Telah Diuji Pada

Tanggal : 26 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Suhaidi.,SH.,MH Anggota : 1. Dr. M. Hamdan.,SH.,MH

(5)

yang luas sehingga memerlukan pengembangan kerjasama internasional yang dilakukan oleh Polri dalam penanggulangannya, baik kerjasama secara multilateral, bilateral maupun regional. Kerjasama internasional yang dilakukan saat ini masih berorientasi pada pertemuan-pertemuan rutin tahunan negara-negara regional Asia terkait kejahatan transnasional (SOMTC) ataupun kerjasama lembaga-lembaga kepolisian (ASEANAPOL, INTERPOL) dengan sasaran kerjasama pada tugas-tugas pemberantasan kejahatan transnasional secara umum, belum secara khusus atau spesifik membahas tentang issu-issu kejahatan narkotika terorganisir dengan sindikat pelaku internasional serta teknis kerjasama dalam penanggulangannya.

Adapun permasalahan yang diangkat pada penulisan tesis ini yakni pengaturan kerjasama internasional, peran Polri dalam pengembangan kerjasama, kendala dan upaya dalam pengembangan kerjasama dalam penanggulangan kejahatan narkotika terorganisir Sifat penelitian yang dilakukan dalam tesis ini adalah deskriptif analisis. Data penelitian ini didapatkan melalui studi kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan obyek penelitian yang meliputi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research).Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif.

(6)
(7)

multilateral, bilateral, and regional cooperation. This international cooperation which exists today is still oriented to routine annual meetings among the Asian countries, concerning international crime (SOMTC) or cooperation among the Police institutions in the bilateral, regional, regional, and international level (ASEANAPOL, INTERPOL), with the target of cooperation in the mission of combating international crime in general without specifically talks about the issues of international narcotics crime and its syndicates technically and how to handle it.

The problems in the research were organizing international cooperation, the role the Police in developing the cooperation, and obstacles and efforts in developing the cooperation in combating organized narcotics crime. The research used descriptive analytic method. The data were gathered by conducting library research and analyzed qualitatively.

International instrument in combating organized narcotics crime is by international convention which is ratified in the national law and in the bilateral and regional regulations. The role of the police in developing international cooperation is by taking proactive measures in its dandling, but in its implementation it faces some obstacles such as the cooperation is only about an agreement, and mutual help is done without intensifying operational cooperation. This is because of the lack of the willingness of the State that is asked to help does not handle the perpetrators. The problem is that there is no technical formula among the nation in combating the perpetrators who are accused of committing narcotics crime so that there is no task force action from the Police of each nation. Besides that, there is no cooperation among the nations concerning the tracing and the confiscation of the assets of the organized narcotics crime perpetrators among the nations. The attempt to develop intensive cooperation should involve all nations.

(8)

Sebagai pembuka, penulis mengucap syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Besar, Maha Adil dalam Hukumnya, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, karena atas berkat dan anugrahNya,penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “PERAN POLRI DALAM MENGEMBANGKAN KERJASAMA INTERNASIONAL GUNA PENANGGULANGAN KEJAHATAN NARKOTIKA YANG TERORGANISIR”.

Penulis menyadari bahwa, uraian yang terdapat dalam tesis ini belumlah merupakan hasil pemikiran yang bersifat final dan menyeluruh, tetap disadari bahwa masih mengandung kekurangan, kelemahan dan ketidaksempurnaan, baik dalam untaian kata dan kalimatnya maupun substansi yang menjadi topik bahasan. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari semua pihak untuk menyempurnakan penulisan tesis ini.

(9)

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), SpA(K),

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan yang telah diberikan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H. selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum FH USU sekaligus Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan perhatian penuh, mendorong dan membekali penulis dengan ilmu yang bermanfaat dalam menyelesaikan studi

(10)

6. Seluruh Guru Besar dan dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum FH Universitas Sumatera Utara pada umumnya yang telah ikhlas memberikan ilmu dan membuka cakrawala berfikir penulis.

7. Direktur IV TP Narkoba dan KT Bareskrim Polri, Bapak Brigjen Pol Drs. Arman Depari, S.H. dan seluruh staf, yang telah memberikan kesempatan penulis untuk melakukan penelitian dan wawancara.

8. Secara Khusus penulis sampaikan terimakasih untuk Ibunda Hj. Ellyani Hafid yang tercinta dan Ibu Mertuaku Hj. Hernawaty, atas kesabaran, dukungan moril dan spritual yang diberikan kepada penulis, serta memberikan cinta dan kasih sayang yang tiada henti-hentinya bagi penulis sehingga penulis dapat berhasil dengan baik.

(11)

11. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman sekelas, belajar bersama teman seangkatan merupakan kenangan yang terindah dan tidak akan pernah terlupakan, termasuk kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam penulisan tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan maaf yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan kekeliruan.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Medan, Agustus 2014 Penulis,

(12)

Nama : Andi Rian Djajadi

Tempat / Tanggal Lahir : Ujung Pandang, 25 Agustus 1968 Alamat : Jl. STM Sukajadi No. 7C Medan

Pekerjaan : POLRI

Agama : Islam

Nama Ayah : H. Andi Djajadi Jusuf (Alm) Nama Ibu : Hj. Ellyani Hafid

Suku / Bangsa : Bugis / Indonesia

II. PENDIDIKAN

SD Negeri Pembangunan III, Ujung Pandang (1975-1981) SMP Kartika Chandra Kirana, Ujung Pandang (1981-1984) SMA Negeri I, Ujung Pandang (1984-1987)

(13)

DAFTAR ISI

Abstraksi ... i

Abstract ... ii

Kata Pengantar ... iii

Riwayat Hidup ... vii

Daftar Isi ... viii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 14

a. Kerangka Teori ... 14

b. Kerangka Konsepsi ... 23

G. Metode Penelitian ... 26

a. Jenis dan Sifat Penelitian ... 26

b. Sumber Data ... 27

c. Teknik Pengumulan Data ... 28

d. Analisis Data ... 29

(14)

B. Aturan Regional tentang Kerjasama Penanggulangan Kejahatan

Narkotika ... 44

III. PERAN POLRI DALAM PENGEMBANGAN KERJASAMA

INTERNASIONAL UNTUK MENANGGULANGI KEJAHATAN NARKOTIKA YANG TERORGANISIR

A. Dampak Peredaran Narkotika Terorganisir terhadap StabilitasKeamanan Dalam Negeri sehingga memerlukan PengembanganKerjasama Internasional ... 54 B. Kerjasama Internasional yang dilakukan Polri dalam

PenanggulanganKejahatan Narkotika Terorganisir ... 78

IV. KENDALA DAN UPAYA DALAM ENGEMBANGAN

KERJASAMA INTERNASIONAL GUNA PENANGGULANGAN KEJAHATAN NARKOTIKA TERORGANISIR

A. Kerjasama Internasional belum mengarah pada Pelacak dan Penyitaan Asset dan Harta Kekayaan sebagai hasil kejahatan narkotika ... 94 B. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pengembangan

KerjasamaInternasional yang dilakukan oleh Polri ... 97 C. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi kendal dalam

KerjasamaInternasional Penanggulangan Kejahatan Narkotika Terorganisir ... 106 V. KESIMPULAN DAN SARAN

(15)

multilateral, bilateral, and regional cooperation. This international cooperation which exists today is still oriented to routine annual meetings among the Asian countries, concerning international crime (SOMTC) or cooperation among the Police institutions in the bilateral, regional, regional, and international level (ASEANAPOL, INTERPOL), with the target of cooperation in the mission of combating international crime in general without specifically talks about the issues of international narcotics crime and its syndicates technically and how to handle it.

The problems in the research were organizing international cooperation, the role the Police in developing the cooperation, and obstacles and efforts in developing the cooperation in combating organized narcotics crime. The research used descriptive analytic method. The data were gathered by conducting library research and analyzed qualitatively.

International instrument in combating organized narcotics crime is by international convention which is ratified in the national law and in the bilateral and regional regulations. The role of the police in developing international cooperation is by taking proactive measures in its dandling, but in its implementation it faces some obstacles such as the cooperation is only about an agreement, and mutual help is done without intensifying operational cooperation. This is because of the lack of the willingness of the State that is asked to help does not handle the perpetrators. The problem is that there is no technical formula among the nation in combating the perpetrators who are accused of committing narcotics crime so that there is no task force action from the Police of each nation. Besides that, there is no cooperation among the nations concerning the tracing and the confiscation of the assets of the organized narcotics crime perpetrators among the nations. The attempt to develop intensive cooperation should involve all nations.

(16)

Kondisi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika (narkotika, prekursor narkotika dan psikotropika-red) saat ini telah mengalami perkembangan yang cukup memprihatinkan baik dari segi modus maupun karakteristik pelaku yang berasal dari kalangan yang berpendidikan (white collar crime)1

1

Sutherland dalam Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas

Kejahatan Di Bidang Kehutanan, Disampaikan Pada Seminar, Pemberantasan Kejahatan Hutan

Melalui Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diselenggarakan atas

kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Medan, tanggal 6 Mei 2004), bahwa konsep white collar crime adalah suatu “crime committed by a person respectability and high school status in the

course of his occupation”. Kejahatan kerah putih ini sudah pada taraf transnasional, tidak lagi

mengenal batas-batas wilayah negara sehingga mengharuskan bagi negara berkembang untuk menggunakan perangkat hukum yang tersedia untuk memberantas pelaku kejahatan.

(17)

perlu dilakukanpengembangan kerjasama internasional dalam penanggulangannya, baik secara regional maupun internasional.2

Kondisi faktual kerjasama internasional yang dilakukan oleh Polri dalam penanggulangan kejahatan narkotika terorganisir dirasakan belum maksimal sehingga di dalam implementasinya dirasakan masih kurang efektif dengan indikator yakni:3

2Kejahatan transnasional(

Transnational Crime) adalah tindak pidana yang dilakukan oleh

seorang warga negara dari suatu negara maupun warga negara asing atau digerakkan oleh warga negara asing atau barang bukti atau hasil kejahatan atau alat yang digunakan di negara lain atau produk illegal di negara lain atau terungkap jaringan organisasi kejahatan dari berbagai negara lain sehingga terpenuhi unsur-unsur tindak pidana transnasional. Upaya memerangi kejahatan Transnasional telah berlangsung lama, secara internasional didukung oleh PBB, antara lain melalui

United Nation Convention Against Transnational Organized Crime di Palermo Nopember 2000

(Palermo Convention)menetapkan bahwa kejahatan-kejahatan yang termasuk transnational crime ada

5 (lima) jenis, yaitu : narkotika, pembantaian massal (genocide), uang palsu, kejahatan di laut bebas

dan cyber crime. Dari semangat memerangi kejahatan lintas negara tersebut, pada tanggal 20

Desember 1997 negara-negara anggota Asean menyepakati “ASEAN Declaration on Transnational

Crimes”. melalui pertemuan para Menlu ASEAN di Manila.Implementasi dari Deklarasi tersebut,

adalah terbentuknya forum AMMTC (ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime) yang secara teknis operasional dilaksanakan oleh SOMTC (Senior Officer Meeting on Transnational

Crime). Pada pertemuan AMMTC ke-2 tanggal 23 Juni 1999 telah disepakati 6 (enam) isu kejahatan

yang termasuk isu kejahatan transnasional yaitu Terrorism, Illicit Drug Trafficking, Trafficking in

person, Money Loundering, Arm Smuggling dan Sea Piracy. Kemudian dengan disepakatinya 2 (dua)

isu kejahatan lainnya yaitu Cyber Crime dan International Economic Crime menjadi isu kejahatan transnasional pada pertemuan AMMTC ke-3 di Singapura tanggal 11 Oktober 2001, maka kejahatan transnasional menjadi 8 (delapan) isu yaitu : Terrorism, Illicit Drug Trafficking, Trafficking in person, Money Loundering, Arm Smuggling, Sea Piracy, Cyber Crime dan International Economic

Crimemeliputi; Illicit drug trafficking (perdagangan gelap narkoba), Money loundering, Terrorism,

Arm smuggling (penyelundupan senpi), Trafficking in Persons, Sea piracy (bajak laut), Economics crime & curency counterfeiting / Pemalsuan uang dan Cyber crime.Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal, Perkembangan Dan Penanggulangan Kejahatan

Terhadap Kekayaan Negara Dan Kejahatan Transnasiona, Bahan Pembekalan Pasis Sespim Polri

Dikreg ke-47 TP. 2008, hal. 2 3

Laporan Direktorat IV Bareskrim Mabes Polri, Pengembangan Kerjasama Internasional

dalam Penanggulangan Kejahatan Narkotika Terorganisir, 2012

(18)

dimaksud adalah masih terpaku pada kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tertentu dalam bingkai perjanjian ekstradisi, pertemuan-pertemuan rutin tahunan negara-negara regional Asia terkait kejahatan transnasional (SOMTC) ataupun kerjasama lembaga-lembaga kepolisian baik pada tingkat bilateral, regional maupun internasional (ASEANAPOL, INTERPOL) dengan sasaran kerjasama pada tugas-tugas pemberantasan kejahatan transnasional secara umum, belum secara khusus atau spesifik membahas tentang issu-issu kejahatan narkotika internasional dan sindikat pelakunya serta teknis kerjasama dalam penanggulangannya.

Polri sendiri dalam kerangka pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika,disamping mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, juga mengacu pada Undang-Undang Narkotika yang merumuskan suatu perbuatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sebagai tindak pidana. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, landasan hukum dalam pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.4

4

Lihat Pertimbangan huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs And

Psychotropic Substance, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Pemberantasan

Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika,1988), bahwa Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk bersama-sama dengan anggota masyarakat dunia lainnya aktif mengambil bagian dalam upaya memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika, oleh karena itu telah menandatangani United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic

Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap

Narkotika dan Psikotropika, 1988) di Wina, Australia pada tanggal 17 Maret 1989 dan telah pula

(19)

tegas menguraikan beberapa perbuatan mulai dari mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan narkotika, yang jika dilakukan tanpa pengendalian dan pengawasan dari pihak yang berwenang, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.5

Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan ketentuan hukum tentang perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi pidana bagi yang melanggar ketentuan tersebut.6

meratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 dan Konvensi Psikotropika 1971, dengan undang-undang Nomor 8 Tahun 1996, serta membentuk Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.

5

Perbedaan mendasar UU No. 22 tahun 1997 dengan UU No. 35 tahun 2009 yakni: Pertama, undang-undang baru tersebut lebih tegas dan jerat hukumnya pun lebih berat. Kedua, dibandingkan undang-undang lama, seperti seseorang mengetahui keluarganya ada yang memakai Narkoba, namun tidak dilaporkan, maka yang bersangkutan akan dikenai hukuman 6 bulan penjara. Ketiga, memuat ancaman hukuman bagi penyidik dan jaksa yang tidak menjalankan aturan setelah menyita barang bukti narkotika. Keempat, hakim berwenang meminta terdakwa kasus narkotika membuktikan seluruh harta kekayaan dan harta benda istri/suami, anak, dan setiap orang atau korporasi bukan dari kejahatan Narkoba yang dilakukannya. Jika tidak dapat membuktikan, hakim akan memutuskan harta tersebut sebagai milik Negara. Kelima, para pengguna Narkoba yang dihukum penjara dan terbukti menjadi korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Tempat ia menjalani rehabilitasi ditunjuk oleh pemerintah dan masa rehabilitasi dihitung sebagai masa hukuman. Keenam, Narkoba jenis psikotropika yang selama ini masuk dalam golongan 1 dan 2 seperti shabu-shabu dan ekstasi, dijadikan narkotika golongan 1.

6

Sudarto, Hukum Pidana I, cetakan ke II, (Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, 1990), hal. 12, bahwa fungsi khusus bagi hukum pidana ialah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya (rechtsgiiterschutz) dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang hukum lainnya. Kepentingan-kepentingan hukum (benda-benda hukum) ini boleh dari orang seorang dari badan atau dari kolektivitasnya. Sanksi yang tajam itu dapat mengenai harta benda, kehormatan, badan dan kadang-kadang nyawa seseorang yang memperkosa benda-benda hukum itu. Dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk menanggulangi perbuatan jahat.

(20)

peristiwa pidana dan banyak istilah lainnya.7Pelakunya dapat diancam sanksi sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.8

Pelaksanaan tugas pokok Polri, khususnya dalam penegakan hukum untuk menanggulangi kejahatan narkotika yang terorganisir dengan jaringan yang luas, maka Polri diberikan kewenangan untukmelakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional sekaligus mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional.9

Pada prakteknya, kerjasama internasional yang dilakukan oleh Polri dalam penanggulangan peredaran gelap narkotikaberskala internasional, terutama untuk melakukan tindakan pemberantasan (represif) mengalami beberapa kendala, antara lain10

1. Keterbatasan kewenangan sesuai batas negara dan yurisdiksi. Kewenangan penegakan hukum dibatasi oleh suatu wilayah negara yang berdaulat penuh sebagai batas dari yurisdiksi hukum yang dimilikinya. Sedangkan di sisi lain para pelaku kejahatan dapat bergerak dengan lebih bebas melewati batas negara sepanjang didukung dengan dokumen keimigrasian yang memadai. Memang telah ada upaya dan kesepakatan kerjasama untuk menangani kejahatan, namun dalam pelaksanaannya harus melalui proses birokrasi yang cukup rumit, sehingga tidak mudah bagi suatu negara dalam mengungkap suatu kasus yang bersifat transnasional tanpa kerja sama antar negara yang benar-benar diatur secara jelas sehingga :

7

Munculnya istilah-istilah ini merupakan terjemahan dari kata “Strafbaarfeit”, terjemahan dilakukan berdasarkan kemampuan para ahli hukum sehingga tidak ada terjemahan baku.

8Pasal 10 KUH Pidana menyebutkan: Pidana terdiri dari: a. pidana pokok yang meliputi

pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda, b. Pidana tambahan yang terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

9

Pasal 15 ayat (2) huruf h dan j UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

10

(21)

memudahkan institusi penegak hukum terkait dalam mengungkap dan menangani kasusnya.

2. Perbedaan sistem hukum. Terdapat kendala yuridis antara lain disebabkan adanya perbedaan sistem hukum pidana masing-masing negara, misalnya dalam kerangka pertanggungjawaban pidana yang berlaku di Indonesia berdasarkan sistem hukum yang dianut.11

3. Ekstradisi, sesuai dengan Pacta Sunservanda, yaitu prinsip hukum internasional yang artinya bahwa setiap negara harus mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah ditandatangani atau disepakatinya. Perjanjian ekstradisi antara dua negara yang berkepentingan (bilateral) merupakan landasan kepastian hukum untuk memburu para pelanggar hukum dan dapat ditindaklanjuti dengan proses hukum selanjutnya, seperti pengembalian aset-aset hasil kejahatannya yang diduga merupakan hasil kejahatan narkotika yang telah dicuci oleh pelaku dengan melakukan money laundering model.

Ada negara yang menganut sistim continental dan ada pula yang menganut sistim anglo saxon. Perbedaan besar terutama terdapat dalam sistem peradilan pidana yaitu ada yang menganut Due Process Model/DPM (lebih menitikberatkan pada perlindungan HAM bagi tersangka, sehingga menimbulkan birokrasi yang cukup panjang dalam peradilan pidana) dan ada yang memilih Crime Control Model/CCM (menekankan efisiensi dan efektivitas peradilan pidana dengan berlandaskan asas praduga tak bersalah) dengan menitikberatkan pada proses yang lebih praktis.

12

11

Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 67. bahwa prinsip pertanggungjawaban pidana di dalam KUH Pidana pada dasarnya dapat diminta pertanggungjawabkan kepada diri seseorang pelaku tindak pidana harus memenuhi 4 (empat) persyaratan sebagai berikut: Pertama, ada suatu tindakan (commission atau ommission) oleh si pelaku.

Kedua, yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang. Ketiga, tindakan itu bersifat

“melawan hukum” atau unlawful serta pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan.

Payung hukum

12

Sunu W. Purwoko, Money Laundering,Praktek Dan Pemberantasannya, Karyawan PT Bank Ekspor Indonesia (Persero), BEI NEWS Edisi 7 Tahun II, Oktober-Desember 2001, bahwa Modus kejahatan pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup complicated. Secara sederhana, kegiatan ini pada dasarnya dapat dikelompokkan pada tiga pola kegiatan, yakni: placement, layering dan integration.

Placement, merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktifitas kejahatan

(22)

ekstradisi di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979. Sampai saat ini Indonesia baru memiliki beberapa Perjanjian Ekstradisi dengan 6 (enam) negara yaitu dengan Malaysia (UU 9/1974), Filipina (UU 10/1976), Thailand (UU 2 /1978), Australia (UU 8/1984), Hongkong (UU 1/2001). Sedangkan dengan Singapura, masih dalam bentuk perjanjian / Extradition Treaty, belum dalam bentuk UU. Yang masih dalam perencanaan adalah dengan RRC dan Kanada.

Dari fakta tersebut terungkap bahwa mekanisme ekstradisi tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya upaya untuk menanggulangi kejahatan internasonal oleh Polri, karena sekalipun sudah ada perjanjian ekstradisi, dalam prakteknya proses penyerahan seorang pelaku kejahatan dari satu negara ke negara lain, juga harus melalui proses yang tidak sederhana.

4. Perjanjian bantuan timbal balik di bidang proses pidana, bagi negara-negara yang belum memiliki perjanjian ekstradisi, masih terbuka kemungkinan terjadinya penyerahan seorang pelaku kejahatan berikut aset-asetnya dari satu negara ke negara lain. Prinsip ini tercantum dalam United Nation (UN) Model tentang Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLA) 1990. Di dalamnya dianut prinsip surrender

of property yakni negara yang dimintakan ekstradisi bisa

menyerahkan pelaku berikut aset hasil kejahatannya. MLA merupakan upaya memberikan bantuan kerjasama penerapan hukum dalam penanganan kasus kriminal yang biasanya dilakukan dengan azas

resiprokal (timbal balik). Indonesia telah menandatangani MLA dengan sejumlah negara ASEAN, termasuk Singapura, pada tahun

(23)

2003, namun dalam pelaksanaannya masih mengalami beberapa kendala diantaranya yurisdiksi.13

Kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika bukan semata-mata menjadi masalah dalam negeri suatu negara melainkan telah menjadi masalah yang melintasi batas antar negara atau berdimensi internasional dengan jaringan organisasi yang luas.14

Instrumen internasional yang memuat kebijakan mengenai narkotika dan psikotropika seperti halnya konvensi-konvensi tentu juga harus diperhatikan. Indonesia telah meratifikasi beberapa kesepakatan internasioal termasuk yang diratifikasi belakangan adalah “The United Nations Convention Againts Illict Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988” dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 dan pengaturan psikotropika berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 yang bertujuan untuk menjamin ketersediaan guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah penyalahgunaan psikotropika serta

Sehingga dalam upaya penanggulangan terhadap kejahatan peredaran gelap narkotika harus dilakukan secara bersama yang melibatkan kerjasama lintas negara.

13

Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal,Op.cit, hal. 4 14

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, ( Semarang: BP. Universitas Diponegoro, 2002), hal, 190-192 bahwa elemen Internasional lainnya terdiri dari atas ancaman baik langsung maupun tidak langsung terhadap kedamaian dunia dan menimbulkan perasaan terguncang terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Merujuk Konvensi PBB tentang kejahatan transnasional yang terorganisir, di Palermo Tahun 2000 telah memberikan karakteristik tentang kejahatan transnasional sebagai berikut:

a. Dilakukan lebih dari satu negara.

b. Dilakukan di suatu negara tetapi bagian substansi dari persiapan, perencanaan, petunjuk atau pengendaliannya dilakukan di negara lain.

c. Dilakukan di sebuah negara tetpai melibatkan organisasi kejahatan yang terikat dalam tindak kejahatan lebih dari satu negara.

(24)

pemberantasan peradaran gelap psikotropika. Penyelenggaraan konferensi tentang psikotropika pertama kali dilaksanakan oleh The United Nations Conference for the Adoption of Protocol on Pscyhotropic Substances mulai tanggal 11 Januari-21 Februari di Wina, Australia telah menghasilkan Convention Psyhotropic Substances

1971. Materi muatan konvensi tersebut berdasarkan pada resolusi The United Nations

Economic and Social Council Nomor 1474 (XLVIII) tanggal 24 Maret 1970

merupakan aturan-aturan untuk disepakati menjadi kebiasaan internasional sehingga harus dipatuhi oleh semua negara.15

Berdasarkan aspek kebijakan yang menyatakan bahwa masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotikaadalah masalah internasional, sehingga kerjasama internasional perlu terus dikembangkan, bukan saja mencakup antar negara melainkan kerjasama antara negara-negara dengan organisasi-organisasi internasional yang bergerak menangani masalah ini.

Baik konvensi maupun undang-undang kesemuanya menekankan begitu pentingnya penanggulangan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika untuk dilakukan secara bersama-sama.

16

15

Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 1.

16

Ibid, hal. 52 bahwa dalam konteks hubungan hukum Internasional secara subtansial telah mengatur beberapa hal, yakni:

Konsekuensi dijadikannya masalah tersebut

a. Merupakan perangkat hukum Internasional yang mengatur kerjasama Internasional tentang penggunaan dan peredaran psikotropika.

(25)

menjadi masalah internasional sehingga dalam upaya-upaya penanggulangannya, Polri dituntut mampu bekerja sama dengan lembaga-lembaga kepolisian negara lain,17

B. Rumusan Masalah

termasuk memberdayakan hukum pidana internasional.

Identifikasi masalah dalam penelitian ini difokuskan untuk menemukan suatu pemecahan masalah yang telah diidentifikasi dalam permasalahan. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan kerjasama internasional (instrumen internasional) dalam penanggulangan kejahatan narkotika yang terorganisir?

2. Bagaimana peran Polri dalam pengembangan kerjasama internasional guna menanggulangi kejahatannarkotika yang terorganisir?

3. Apakendala dan upaya dalam pengembangan kerjasama internasional guna penanggulangan kejahatannarkotikayang terorganisir?

c. Dari aspek kepentingan dalam negeri, Indonesia dapat lebih mengonsolidasikan upaya pencegahan dan perlindungan kepentingan masyarakat umum, terutama generasi muda terhadap akibat buruk yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan psikotropika.

d. Disamping itu, tindakan tersebut akan memperkuat dasar-dasar tindakan Indonesia dalam melakukan pengaturan yang komprehensif mengenai peredaran psikotropika di dalam negeri. e. Dengan demikian, penegakan hukum terhadap tindak pidana penyalahgunaan psikotropika akan

lebih dapat dimantapkan.

17

(26)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dikemukakan diatas maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah:

1. Untuk mengetahui ketentuan internasional yang mengatur tentang kerjasama penanggulangankejahatan narkotikayang terorganisir.

2. Untuk mengetahui peran Polri dalam pengembangan kerjasama internasional guna menanggulangi kejahatan narkotika yang terorganisir.

3. Untuk mengetahui kendala dan upaya dalam pengembangan kerjasama internasional guna menanggulangikejahatannarkotikayang terorganisir.

D. Manfaat Penelitian

Bertitik tolak dari tujuan penulisan yang didasarkan pada tujuan penelitian yaitu:“…… to discover answers to questions through the application of scientific procedures. These procedures have been developed in order to increase the

likelihood that the information gathered will be relevant to the question asked and

will be reliable and unbiased.18

18

Calire Seltz et.,al: 1977, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hal. 9

(27)

narkotika terorganisir. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan hukum dalam pemberantasan tindak pidana narkotika. Sedangkan secara praktis memberikan masukan kepada aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) khususnya penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika untuk mengambil beberapa tindakan pemberantasan yang melibatkan antar negara, sehingga dapat mengantisipasi implikasi tindakan yang menghambat pemberantasan narkotika baik secara global, regional maupun nasional, selanjutnya penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana narkotika dalam mengambil beberapa rangkaian kebijakan, misalnya Polri maupun BNN.

E. Keaslian Penelitian

(28)
(29)

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Penanggulangan dan pencegahan kejahatan melalui pendekatan teori

criminal policy dapat dilakukan dengan sarana “Penal“ dan “Non Penal“, keduanya harus berjalan secara seimbang. Criminal policy diartikan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.19 Defenisi ini diambil dari defenisi Marc Ancel yang merumuskan sebagai “the rational organization of the control of crime by society”.20 Bertolak dari pengertian yang dikemukakan Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “Criminal Policy is the rational organization of the social reaction to crime”.21

Berdasarkan pendekatan teori criminal policy, Polri di dalam menanggulangi kejahatan narkotikasecara terorganisir juga melakukan 2 (dua) pendekatan “Penal” dan “Non Penal’.Pendekatan penal yang dilakukan Polri berarti melakukan kegiatan yang bersifat represif berupa tindakan upaya paksa antara lain melakukan penangkapan terhadap para pelaku kejahatan, melakukan penggeledahan, penyitaan barang bukti, penahanan dan proses penyidikan sampai pelimpahan ke JPU. Pendekatan “Non Penal” yang berarti kegiatan yang bersifat preventif yaitu kegiatan yang dilakukan oleh petugas

19

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 1

20

Ibid

21

(30)

Polri maupun masyarakat itu sendiri. Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan wewenangnya bukan tanpa batas, melainkan harus selalu berdasarkan hukum, karena menurut Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dirumuskan “Bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Guna terselenggaranya fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia diberikan wewenang yang pada hakekatnya berupa “kekuasaan negara di bidang kepolisian untuk bertindak atau untuk tidak bertindak” baik dalam bentuk upaya preventif mapun upaya represif.

Agar upaya yang dilakukan oleh Polri untuk menanggulangi kejahatan narkotikayang terorganisir bisa optimal, maka pendekatan yang diperlukan adalah dengan melakukan pendekatan kerjasama internasional dengan mengedepankan tindakan pencegahan maupun pemberantasan. Penegakan hukum terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotikamelalui pengembangan kerjasama internasional tentunya terlebih dahulu dimulai dengan menerapkan beberapa kebijakan kriminal yang mengkriminalisasi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sebagai tindak pidana dengan membuat peraturan pidana yang berisikan sanksi bagi pelaku kejahatan.22

22

(31)

Kriminalisasi terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dapat dilihat dalam ketentuan yang termuat pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan pengelompokan yakni dari segi bentuk perbuatannya menjadi kejahatan yang menyangkut produksi narkotika, kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika, kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transit narkotika, kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika, kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika, kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika, kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika, kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika, kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika, kejahatan yang menyangkut keterangan palsu (dalam kasus narkotika) dan kejahatan yang menyangkut penyimpangan fungsi; lembaga (dalam kasus narkotika).23 Di samping itu, Undang-Undang Narkotika mengenal adanya ancaman pidana minimal, hal tersebut dimaksudkan untuk pemberatan hukuman saja, bukan untuk dikenakan perbuatan pokoknya. Ancaman pidananya hanya dapat dikenakan apabila tindak pidananya di dahului dengan pemufakatan jahat dan dilakukan secara terorganisir serta dilakukan oleh korporasi.24

Undang-Undang Narkotika dibentuk pada hakekatnya untuk terciptanya suatu kepastian hukum sebagai suatu tujuan hukum. Hal ini

23

Gatot Suparmono, Hukum Narkoba di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2001), ha.193-194.

24

(32)

sebagaimana dikemukakan oleh GustavRadbruch bahwa ada tiga tujuan hokumyakni kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Tujuan hukum merupakan arah atau sasaran yang hendak diwujudkan dengan memakai hukum sebagai alat dalam mewujudkan tujuan tersebut dalam tatanan mengatur masyarakat.25

Asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi “principle of legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). P.A.F. Lamintangdan C. Djisman Samosirmerumuskan dengan terminologi sebagai, “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu”.

Kepastian hukum pada dasarnya merupakan suatu prinsip dari asas legalitas di dalam hukum pidana.

26

Andi Hamzahmenterjemahkan dengan terminologi, “Tiada suatu perbuatan (feit)

yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan

tanggal 13 September 2013

26

(33)

undangan pidana yang mendahuluinya”.27Moeljatnomenyebutkan pula bahwa, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.28Oemar Seno Adjimenentukan prinsip “legality” merupakan karakteristik yang esensial, baik ia dikemukakan oleh “Rule of Law”, faham “Rechtstaat” dahulu, maupun oleh konsep “Socialist Legality”. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum pidana secara retroaktif atau

retrospective, larangan analogi, berlakunya azas “nullum delictum” dalam hukum pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip “legality”.29Nyoman Serikat Putra Jaya menyebutkan perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung makna asas lex temporis delicti, artinya undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang ada pada saat delik terjadi atau disebut juga asas “nonretroaktif”, artinya ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara surut. Asas legalitas juga berkaitan dengan larangan penerapan ex post facto criminal law dan larangan pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (nonretroactive application of criminal laws and criminal sanctions).30

27Andi Hamzah,

Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Yarsif Watampone, 2005), hal. 41

28

Moeljatno,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001), hal. 3 29

Oemar Seno Adji,Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1980), hal. 21 30

(34)

Selanjutnya sanksi pidana yang dapat dijatuhkan dari kejahatan dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yakni Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dapat berupa sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda. Untuk menanggulangi bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, Barda Nawawi di dalam kebijakan yang tertuang dalam kedua undang-undang tersebut telah mengidentifikasi yang pada intinya mengambarkan bahwa,31

Peran Polri terhadap pengungkapan dan pemberantasan tindak pidana narkotika pada hakikatnya merupakan fungsionalisasi hukum pidana.

undang-undang tentang narkotika mengkualifikasi sanksi pidana penjara terhadap pelaku yang tanpa hak dan melawan hukum serta tindak pidana tersebut didahului dengan pemufakatan jahat, di samping itu menyangkut tentang tindak pidana yang dilakukan secara terorganisasi.

32

31

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Penanggulangan Narkoba Dengan Hukum Pidana, Makalah pada Seminar di Fakultas Hukum, Universitas Gunung Djati, Cirebon, tanggal 19 Mei 2000.

32

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal, Makalah disampaika pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991 bahwa Salah satu upaya menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum termasuk hukum pidana merupakan bidang kebijakan penegakan hukum yang bertujuan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat. Upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social wefare). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

(35)

Tugas kepolisian preventif dan represif non justisial dilaksanakan oleh seluruh anggota Polri, dengan demikian setiap anggota Polri dengan sendirinya memiliki wewenang umum kepolisian. Tugas kepolisian justisial dilaksanakan oleh setiap anggota Polri yang karena jabatannya diberikan wewenang khusus kepolisian di bidang penyidikan. Sifat represif berupa penyidikan yang dilakukan Polri untuk mengungkap dan memberantas kejahatan narkotika dilakukan dalam rangka penegakan hukum yang ditinjau dari sudut objeknya yakni dari hukumnya itu sendiri.33 Artinya bahwa pada dasarnya tujuan dari penegakan hukum untuk menanggulangi kejahatan narkotika yang ingin dicapai adalah pemidanaan untuk memperbaiki pribadi penjahat itu sendiri dan membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan dan untuk membuat mereka menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni mereka yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.34

Penanggulangan kejahatan narkotika sebagai transnational crime yang dilakukan oleh Polri tentunya memerlukan kerjasama internasional.

33

Hukum yang baik adalah hukum yang mampu menampung dan membagi keadilan pada orang-orang yang akan diaturnya. Hukum tidak hanya bersifat praktis, efisien dan efektif, melainkan juga harus bermaksud mewujudkan suatu tatanan yang oleh masyarakat dirasakan adil. Untuk menemukan perasaan masyarakat itu semua unsur yang relevan bagi perasaan masyarakat dalam tertib hukum harus diperhatikan seperti nilai-nilai, norma-norma kehidupan, pola dan struktur hidup bermasyarakat, peranan sosial, situasi dan keadaan hubungan-hubungan sosial lembaga-lembaga dengan fungsi dan kedudukannya masing-masing. Lihat, Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengatar

Filsafat Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal. 53. Lihat juga, Darji Darmodiharjo dan Shidarta,

Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2004), hal. 110-111.

34

(36)

Kerjasama yang dilakukan tidak dapat dipisahkan dari hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional yang tentunya berkorelasi dengan kedaulatan negara dan kedudukan hukum internasional dalam tata hukum. Permasalahan hubungan hukum internasional dan hukum nasional berdasarkan teori hukum internasional ada dua pandangan yaitu pandangan yang dinamakan voluntarisme yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauan negara. Sedangkan pandangan objektivis yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional lepas dari kemauan negara.35

a. Paham dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya. Alasan yang diajukan oleh penganut aliran dualisme adalah: Pertama, kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara. Kedua, kedua perangkat hukum itu berlainan subjek hukumnya. Subjek hukum dari hukum nasional ialah

Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya aliran dualisme dan paham monisme, dapat diuraikan sebagai berikut:

35

(37)

orang perseorangan baik dalam apa yang dinamakan hukum perdata maupun hukum publik, sedangkan subjek dari hukum internasional ialah negara. Ketiga, sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional menampakkan perbedaan dalam strukturnya. Lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum dalam kenyataannya seperti mahkamah dan organ eksekutif hanya ada dalam bentuk yang sempurna dalam lingkungan hukum nasional. Alasan lain yang dikemukakan sebagai argumentasi yang didasarkan atas kenyataan ialah bahwa daya laku atau keabsahan kaidah hukum nasional tidak terpengaruh oleh kenyataan bahwa kaidah hukum nasional itu bertentangan dengan hukum internasional. Dengan perkataan lain dalam kenyataan ketentuan hukum nasional tetap berlaku secara efektif sekaligus bertentangan dengan ketentuan hukum internasional.36

b. Paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Dalam rangka pemikiran ini hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Akibat pandangan monisme ini ialah bahwa antara dua perangkat ketentuan ini mungkin ada hubungan hirarki. Persoalan hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional inilah yang melahirkan beberapa sudut pandangan yang berbeda dalam aliran

36

(38)

monisme mengenai masalah hukum manakah yang utama dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional ini. Ada pihak yang menganggap bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama ialah hukum nasional. Paham ini adalah paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham lain berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama ialah hukum internasional. Pandangan ini disebut paham monisme dengan primat internasional. Menurut teori monisme kedua-duanya mungkin.37

2. Kerangka Konsepsional

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu:

Pertama:kejahatannarkotika; danKedua:Peran Polri dalam mengembangkan kerjasama internasional. Dari 2 (dua) variabel tersebut akan dijelaskan pengertian dari masing-masing sebagai berikut:

a. Kejahatan. Istilah kejahatan dikenal dari beberapa rumusan tindak pidana, antara lain istilah "Strafbaar Feit" yang mengandung arti sebagai kelakuan (Hendeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.Unsur-unsur tindak pidana: Pertama, Unsur Obyektif: perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu mungkin ada keadaan tertentu yang

37

(39)

menyertai perbuatan itu. Kedua, Unsur Subyektif: orang yang mampu bertanggung jawab, adanya kesalahan (Dolus atau Culpa). Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau keadaan mana perbuatan itu dilakukan.38

b. Kejahatannarkotika adalah suatu perbuatan yang diancam oleh sanksi pidana terhadap pelaku yang menyalahgunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

c. Peran Polri dalam mengembangkan kerjasama internasional merupakan penguatan hubungan setara institusi kepolisian antara dua negara atau lebih dalam melakukan aktivitas guna mencapai tujuan yang telah ditentukan yakni penanggulangan kejahatan narkotika secara terorganisir.

d. Kerjasama internasional dalam penanggulangan kejahatan narkotika terorganisir, yakni peningkatan penanggulangan dan pemberantasan melalui pengembangan kerjasama sebagai upaya represif dalam memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, dengan alasan bahwa kejahatan tersebut pada umumnya

38

(40)

tidak dilakukan oleh orang perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisir secara rapi dan sangat rahasia dengan tujuan kejahatan yang dilakukan terus berkembang.

e. Penanggulangan kejahatan narkotika sebagai kebijakan kriminal adalah suatu atau usaha yang rasional dari masyarakat dan negara untuk menanggulangi masalah kejahatanperedaran gelap narkotika, dengan pertimbangan bahwa kejahatan tersebut membawa kerugian dan dampak yang sangat besar, bahkan tidak mengenal usia maupun status sosial para korban yang ditimbulkan, sehingga menjadi kejahatan antar negara (transnational crime). Upaya penanggulangan kejahatan pada hekekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social welfare).39

f. Kejahatan narkotika yang terorganisir adalah bentuk kejahatan yang terorganisasi (organized crime), dan korbannya tidak pilih kasih (indiscriminate), serta jaringan pelakunya dilaksanakan dengan sistem sel (pyramidal and cell system) dan antar negara (transnational crime).

39

(41)

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan SifatPenelitian

Permasalahan pokok dalam penelitian ini merupakan masalah penanggulangan kejahatan narkotika terorganisir melalui pengembangan kerjasama internasional. Oleh karena itu pendekatan terhadap masalah ini adalah pendekatan yang berorientasi pada penanggulangan. Namun mengingat sasaran utama penelitian ini adalah pengembangan kerjasama internasional maka jenis penelitian yakni penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) sebagai metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.40 Di samping itu, pendekatan yuridis normatif dapat juga digunakan bersama-sama dengan metode pendekatan lain.41

40

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 14

Dengan demikian penelitian ini ditunjang dan dilengkapi pula dengan, pendekatan yuridis empiris dengan melihat efektifitas kerjasama saat ini dalam penanggulangan kejahatan narkotika teorganisir khususnya kerjasama penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri. Di samping itu, penelitian dalam tesis ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis peran Polri dalam

41

(42)

pengembangan kerjasama internasional guna penanggulangan kejahatan narkotika yang terorganisir melalui kebijakan kriminal dan penegakan hukum.

2. Sumber Data

Sumber data suatu penelitian berasal dari data primer dan data sekunder. Karena penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maka sumber yang diteliti adalah sumber data sekunder. Bahan pustaka melalui penelitian kepustakaan (library research) merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yakni Undang-UndangNomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,KUHPidana, konvensi-konvensi internasional antara lain United Nations Convention Againts Illicit Traffic on Narcotic Drugs and

Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) dan United Nation

Convention Against Transnational Organized Crime di

(43)

(ICPO-Interpol) dan Aseanapol, dalam hal ini Polri berfungsi sebagai

National Central Bureau ICPO-Interpol Indonesia.

b. Bahan Hukum Sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika dan kerjasama internasional, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini. c. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang

mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian42

3. Teknik Pengumpulan Data .

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik studi pustaka (library research) sebagai instrumen dari studi dokumen. Metode ini penulis lakukan tidak lain hanya mengumpulkan bahan-bahan melalui kepustakaan, yakni berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, putusan-putusan pengadilan jurnal, dokumen-dokumen serta sumber-sumber teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian pokok masalah dalam tesis

42

(44)

ini. Keseluruhan data ini kemudian digunakan untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi. Di samping itu dikumpulkan juga data primer yang dilakukan melalui wawancara dengan informan yakni Direktorat Narkoba Polda Sumut maupun Direktorat IV Tipid Narkoba Bareskrim Polri.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh berupa data sekunder akan disajikan secara sistematis dengan mempertimbangkan keterkaitan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang dikemukakan dalam penelitian tesis ini, selanjutnya akan dianalisis secara yuridis kualitatif normatif dengan penguraian secara deskriptif dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan, diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian dalam tesis ini. Penentuan metode analisis demikian dilandasi oleh pemikiran bahwa penelitian ini tidak hanya bermaksud mengungkapkan atau melukiskan data apa adanya, melainkan jugaberupaya memberikan argumentasi.

(45)

teorganisir. Penggunaan logika berfikir deduktif –induktif dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai titik tolak untuk melakukan penelitian.43

43Lexy J. Moleong,

Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda, 2006), hal. 26-29

(46)

KEJAHATANNARKOTIKA

A. Aturan Multirateral tentang Kerjasama Penanggulangan Kejahatan Narkotika

Kerjasama multirateral diartikan sebagai perjanjian antar banyak pihak yang timbul dari adanya perjanjian internasional sebagai law making treaties atau traite-lois dimaksudkan perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan. Kerjasama lebih fokus pada perjanjian yang mengakibatkan hak dan kewajiban antar para pihak yang mengadakan perjanjian.44Perjanjian internasional dapat timbul dari perundingan (negotiation), penandatanganan (signature) dan pengesahan (ratification).45

Kejahatan merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang (deviant

behavior) yang selalu ada dan melekat (inherent) dalam setiap

bentukmasyarakat,

Hal inilah yang mendasari terjadinya kerjasama Internasional dalam penanggulangan kejahatan Narkotika terorganisir.

46

44

Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, hal. 122 45

Ibid, hal. 125 46

Goode, Erich, Deviant Behavior, (New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1984), hal. 43

(47)

dikatakan telah menjadi the oldest social problem of human kind.47

Salah satu wujud dari kejahatan trasnasional yang krusial karena menyangkut masa depan generasi suatu bangsa, terutama kalangan generasi muda negeri ini adalah kejahatan dibidang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Selain memiliki dimensi lokal, nasional dan regional kejahatan juga dapat menjadi masalah internasional, karena seiring dengan kemajuan teknologi transportasi, informasi dan komunikasi yang canggih, modus operandi kejahatan masa kini dalam waktu yang singkat dan dengan mobilitas yang cepat dapat melintasi batas-batas negara (borderless countries). Inilah yang dikenal sebagai kejahatan yang berdimensi transnasional (transnational crime).

48

Modus operandi sindikat peredaran narkotika dengan mudah dapat menembus batas-batas negara di dunia melalui jaringan manajemen yang rapi dan teknologi yang canggih dan masuk ke Indonesia sebagai negara transit (transit-state) atau bahkan sebagai negara tujuan perdagangan narkotika secara ilegal (point of market-state). Dalam kurun waktu dua dasa warsa terakhir ini, Indonesia telah menjadi salah satu negara yang dijadikan pasar utama dari jaringan sindikat peredaran narkotika yang berdimensi internasional untuk tujuan-tujuan komersial.49

47

Ibid

48

Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 45

49

I Nyoman Nurjana, Penanggulangan Kejahatan Narkotika: Eksekusi Hak Perspektif

Sosiologi Hukum, http///www.google.com, diakses tanggal 5 Desember 2013.

(48)

penelusuran harta kekayaan hasil tindak pidana peredaran gelap Narkotika pada proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana Narkotika sehingga uang hasil kejahatan mudah untuk digunakan. Hal ini ditandai dengan masuknya negara Indonesia sebagai salah satu negara black list dan pencucian uang sebagai salah satu kategori serious crime. Desakan Internasional antara lain dari Financial Action Task Force (FATF)50 dimana sebelumnya (Juni 2001) Indonesia bersama 17 (tujuh belas) negara lainnya mendapat ancaman sanksi Internasional serta dimasukkan sebagai negara yang tidak kooperatif dalam memberantas pencucian uang (Non Cooperative Countries and Trytorries to Combat Money Laundering/NCCT).51

50FATF adalah suatu badan Internasional di luar PBB yang anggotanya terdiri dari negara

donor dan fungsinya sebagai satuan tugas dalam pemberantasan pencuciang uang.FATF ini sangat disegani selain karena keanggotaannya juga badan ini terbukti mempunyai suatu komitmen yang serius untuk memberantas pencucian uang. Keberadaan FATF berwibawa karena antara FATF dan OECD

(Organization for Economic Cooperation Development) menjalin hubungan yang sangat baik terutama

dalam hal tukar menukar informasi berkaitan dengan masalah korupsi dan pencucian uang pada negara-negara yang akan mendapatkan bantuan dana, dalam Yenti Garnasih, Tindak Pidana Pencucian

Uang sebagai fenomena “baru” di Indonesia dan permasalahannya, Makalah pada Seminar

Sosialisasi (Pemahaman Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang), diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman RI, Medan 9 September 2004, hal. 1. Selanjutnya lihat, Zulkarnain Sitompul, Peran

PPATK Mencegah Dan Memberantas Pencucian Uang, Disampaikan pada acara Pelatihan Anti

Pencucian Uang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada tanggal 15 September 2005 di Medan, bahwa Pada awal 1990an mulai didirikan Financial Intelligence Unit (FIU) sebagai jawaban terhadap kebutuhan akan keberadaan suatu lembaga atau intitusi yang bertugas menerima, menganalisis dan memproses laporan transaksi keuangan yang disampaikan oleh lembaga keuangan. Dalam dekade berikut jumlah FIU meningkat secara signifikan yang kemudian mendorong negara-negara mendirikan suatu organisasi informal dengan nama Egmont Group. Pada tahun 2003

Financial Action Task Force (FATF) mengeluarkan revisi rekomendasi yang untuk pertama kalinya

secara eksplisit merekomendasikan agar didirikan FIU untuk mencegah dan memberantas pencucian uang.Langkah ini kemudian diikuti oleh IMF dan Word Bank dengan memberikan bantuan tekhnis kepada negara-negara anggotanya dalam mendirikan FIU.

51

Ibid.

Tahun 1997 Indonesia telah meratifikasi United Convention Narcotic and Pschotropic Subsancess

(49)

waktu itu segera melakukan kriminalisasi pencucian uang.52

52

Ibid, bahwa pengaturan pencucian uang di Indonesia relatif baru dan sebagaimana diketahui kriminalisasi pencucian uang ini sarat dengan nuansa politik dan dilakukan atas desakan Internasional.

Konvensi 1988 dipandang sebagai puncak dari upaya Internasional untuk menetapkan suatu

International Anti Money Laundering Legal Regime, dengan lahirnya United Nation Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psyhotropic Substances atau lebih dikenal dengan nama UN Drug Convention tahun 1988, dimana Indonesia sudah menjadi anggota tetapi belum meratifikasinya. Pada tanggal 19 Desember 1988 lahir

UN Convention Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances

di Wina, Australia. Ditanda tangani oleh 106 negara.

(50)

Gambar 1: Rute Peredaran Gelap Heroin dari Segitiga Emas

Sumber data: Direktorat Tindak Pidana narkoba Mabes Polri 2014.

Kelompok bandar terbesar dalam distribusi heroin ini adalah dari Nigeria. Kelompok ini biasa disebut Nigerian Drugs Travellers. Sementara itu, untuk distribusi kokain, mafia Black African juga menguasai di jalur pasca produksi. Kokain yang dibawa dari Amerika Selatan, didistribusikan di Bangkok setelah transit di Eropa. Mereka juga yang membawa kokain itu ke Indonesia, untuk disampaikan ke pengedar-pengedar yang mayoritas orang Indonesia. Misalnya ke wilayah kota Medan masuk dari Negara Singapura dan Kuala Lumpur. Sedangkan jenis narkoba ganja yang memang produksi dalam negeri sepenuhnya dikuasai oleh bandar-bandar lokal, dari tingkat hulu sampai hilir. Jumlah pemakai narkoba di dunia hingga tahun 2009 sebanyak ± 200 juta orang.53

53

Anjan Pramuka Putra, Strategi Peningkatan Kerjasama Penanggulangan Kejahatan Narkoba Internasional Guna Mengakselerasi Grand Strategi Polri Dalam Rangka Mewujudkan

(51)

jenis shabu, ecstassy dan marijuana internasional yang dikirim ke Indonesia melalui Jakarta dan di distribusikan ke seluruh wilayah termasuk kota Medan, digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2: Rute Peredaran Gelap Shabu, Ecstassy, Marijuana

Sumber data: Direktorat Tindak Pidana Narkoba Mabes Polri 2014.

Masalah penyalahgunaan narkotika dalam kurun waktu tiga dasa warsa terakhir ini bukan saja menjadi masalah nasional dan regional ASEAN tetapi juga menjadi masalah internasional. Karena itu, upaya penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika dalam negeri harus disinergikan dan diintegrasikan dengan kebijakan penanggulangan masalah narkotika melalui kerjasama regional maupun internasional.Kebijakan global penanggulangan kejahatan narkotika pada awalnya

Stabilitas Keamanan Nasional, Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Sekolah

(52)

dituangkan dalam The United Nation's Single Convention on Narcotic Drugs 1961.

Konvensi ini pada dasarnya dimaksudkan untuk54

1. Menciptakan satu konvensi internasional yang dapat diterima oleh negara-negara di dunia dan dapat mengganti peraturan mengenai pengawasan internasional terhadap penyalahgunaan narkotika yang terpisah-pisah di 8 bentuk perjanjian internasional;

:

2. Menyempurnakan cara-cara pengawasan peredaran narkotika dan membatasi penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan; dan

3. Menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan peredaran narkotika untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas.

Konvensi PBB yang mengatur tentang pemberantasan gelap narkotika diatur dalam United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narkotic Drugs and Psyhotropic Substance 1988. Pertimbangan lahirnya konvensi ini, didorong oleh rasa keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya produksi, permintaan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika serta kenyataan bahwa anak-anak dan remaja digunakan sebagai sasaran hasil produksi, distribusi dan perdagangan gelap narkotika, sehingga mendorong lahirnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelapnarkotika tahun 1988. Konvensi tersebut secara keseluruhan berisi pokok-pokok pikiran, antara lain, sebagai berikut55

1.Masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia perlu memberikan perhatian dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika;

:

2.Pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika merupakan masalah semua negara yang perlu ditangani secara bersama pula;

(53)

3.Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961, Protokol 1972 Tentang Perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, dan Konvensi Psikotropika 1971, perlu dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana hukum untuk mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika; dan

4.Perlunya memperkuat dan meningkatkan sarana hukum yang lebih efektif dalam rangka kerjasama internasional di bidang kriminal untuk memberantas organisasi kejahatan transnasional dalam kegiatan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.

United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narkotic Drugs and

Psyhotropic Substance 1988, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional yang lebih efektif terhadap berbagai aspek peredaran gelap narkotika. Untuk tujuan tersebut, para pihak akan menyelaraskan peraturan perundang-undangan dan prosedur administrasi masing-masing sesuai konvensi ini dengan tidak mengabaikan asas kesamaan kedaulatan, keutuhan wilayah Negara serta asas tidak mencampuri urusan yang pada hakikatnya merupakan masalah dalam negeri masing-masing. Tanpa mengabaikan prinsip-prinsip hukum masing-masing, tiap-tiap negara diharapkanakan mengambil tindakan yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan setiap peredaran gelap narkotika dan psikotropika.56

Setiap pihak seyogyanya dapat menjamin bahwa lembaga peradilan dan pejabat berwenang lainnya yang mempunyai yurisdiksi dapat mempertimbangkan keadaan nyata yang menyebabkan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam konvensi tersebut merupakan kejahatan serius, seperti57

56

Ibid

57

Ibid

Gambar

Gambar 1: Rute Peredaran Gelap Heroin dari Segitiga Emas
Gambar 2: Rute Peredaran Gelap Shabu, Ecstassy, Marijuana
Tabel 1: Penanganan Kasus oleh BNN Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2012
Tabel 2: Penanganan Kasus oleh Polri Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2012
+6

Referensi

Dokumen terkait

Bank Permata Cabang Banjarmasin perlu lebih intensif mempromosikan PermataRancang Dana dengan menekankan manfaat utama dari produk tersebut yang akan membantu

Asuhan keperawatan merupakan kegiatan pokok yang sering menjadi barometer tentang baik atau buruknya suatu pelayanan kesehatan di rumah sakit, hal ini disebabkan karena di

Papa, Mama, Koko, Jonet, Martha yang telah banyak memberikan bantuan moral, spiritual dan material dalam menyelesaikan pendidikan Strata-1 di Fakultas Farmasi,

mahkota Berbentuk bundar melebar Pangkal kecil Ujung tumpul Berwarna kuning kehijauan dengan garis tegak sejajar berwarna hijau tua atau merah kehijauan Ujung

 Bagian pelaporan memuat kesimpulan akhir yang kurang sesuai dengan data, tidak terdapat pengembangan hasil pada masalah lain.  Kerjasama

Berdasarkan analisis terhadap penelitian “Gerakan Perlawanan Ideologi Patriarki di Bali dalam Karya Sastra Oka Rusmini Tahun 2000-2012”, terdapat beberapa hal yang

Berdasarkan analisa hidrolika yang dilakukan dengan menggunakan masukan (input) data berupa : debit banjir rancangan dengan dua kala ulang 2 dan 25 tahunan pada sungai Jragung,

Penetapan harga gelar kebangsawanan dalam tradisi perkawinan adat sasak di desa Batujai Lombok Tengah yang dilakukan ketika proses Sorong Serah Aji Kerama adalah Harga orang itu