Mencermati pemikiran akhlak dalam pemikiran Abdurrauf menkcakup wilayah yang cukup luas, namun secara sederhana dapat disimpulkan meliputi empat teori yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Dimensi Rabbaniyah
Dimensi Rabbaniyah (Ketuhanan) dalam pemikiran Abdurrauf, diarahkan kepada pembentukan moralitas Ilahi, yaitu suatu moralitas yang ditegakkan melalui ketundukan kepada Allah dalam keadaan apapun. Menegakkan sendi-sendi Iman, membina manusia mentaati
Allah dengan menjauhi segala kesalahan terhadap Tuhan. Pelaksanaan ajaran Islam secara lahir, tanpa disertai ketundukan dan kepatuhan secara batin, maka sama halnya tidak melaksanakan secara penuh dan sempurna.204
Melaksanakan rukun Islam tanpa disertai ketundukan kepada Allah, maka seolah-olah sama sekali tidak melaksanakannya, meskipun amal dan ibadahnya banyak.205 Pembentukan moralitas ilahi dimulai dengan suatu model dalam bidang keyakinan, ibadah dan akhlak yang dibentuk dengan pengikraran shahadat tauhid, yang kemudian perwujudannya membangun etika berfikir. Seterusnya berperilaku dengan akhlak Ilahiyah yang mengangkat derajat kemanusiaan menuju wawasan intelektual yang bebas dari pengaruh egoisme dan kejumudan berpikir.206
Moralitas Ilahi menurut Abdurrauf agar umat Muslim tidak tertindas dalam bidang pemikiran dan penghambaan terhadap hidup duniawi. Abdurrauf mengarahkan hidup manusia agar senantiasa eksis menjalankan ajaran-ajaran Islam dan diisi dengan pengakuan terhadap keesaan Allah (shahadat tauhid) menjalani nilai-nilai Rabbani.207 Allah tidak menginginkan manusia berkedok islami, tetapi di dalamnya berbaur dengtan etika-etika berpikir di luar tauhid. Untuk itu agar sampainya manusia kepada predikat iman islami, maka yang pertama sekali harus diletakkan adalah akidah yang murni, yang tidak dicampuri dengan segala bentuk penyelewengan. Iman kepada Allah, hari kiamat dan segala yang datang dari Allah lewat Rasulnya diterima dengan lapang dada, merupakan fondasi yang signifikan dan pembentukan akhlak.208
Untuk memupuk akidah yang murni menuju Rabbnya, Abdurrauf sangat menekankan kepada pengalaman pribadi dalam memikirkan keagungan dan kemahakuasaan Tuhan. Lebih jauh lagi mengakui bahwa Allah saja Pengatur jagat raya yang sangat luas ini serta yang mengatur milyaran makhluk di dalamnya.209 Dari pemikiran Abdurrauf ini adalah suatu fenomena yang menarik dan selayaknya harus diaplikasikan dalam
204 Abdurrauf, ‘Umdat al-Muhtajin, 1.
205 Muhammad al-Ghazali, Al-Jamilu ‘Atifi min Islam, (Kairo: Dar
al-Dakwah, 1990), 87.
206 Muhammad al-Ghazali, Al-Tariq min Huna (Beirut: Dar al-Jail, tt), 12.
207 Abdurrauf, Mawa’iz al-Badi’ah, 65.
208 Abdurrauf, Mawa’iz al-Badi’ah, 1.
kehidupan masyarakat dalam rangka membina kesempurnaan moral menuju suatu yang trasendental. Walaupun pemikiran ini adanya dalam konsep, namun bagaimana metode dan pengembangan selanjutnya dalam mengatasi gejolak moral keimanan manusia sekarang merupakan inti dari keinginan dan dambaannya.
Dengan mengarahkan akhlak manuju Rabbani, nampak bahwa Abdurrauf sebagai sosok yag sangat mendukung penuh teori absolutisme moral, karena ia sangat menekankan pertimbangan nilai-nilai Ilahi dan penerapapan dalam kehidupan manusia. Ia tidak suka terhadap sikap orang bermuka dua dan tidak konsisten dalam keimanan. Juga benci terhadap orang yang terlihat tunduk dan patuh menjalankan ibadah, namun pada waktu-waktu yang lain melakukan hal-hal yang dilarang. Dalam pada itu juga, walau Abdurrauf nampaknya sangat mendukung absolutisme moral, di sisi lain juga penganut paham rasional, dimana semu konsep berupa ayat Allah harus ditafsirkan dengan mendialogkan akal pikiran dengan hal-hal yang terpaut dengan ayat sesuai konteks.
2. Dimensi Insaniyah
Dimensi Rabbaniyah yang mengarahkan seseorang muslim berupa iman, tauhid, khauf dan lainnya, pada hakikatnya merupakan dimensi-dimensi kemanusiaan (insaniyah), karena termasuk bagian dari eksistensi manusia sebagai makhluk yang fitrah manusia dan hal itu adalah rahasia-rahasia dari firman Allah. Sesungguhnya Rabbaniyah dalam kapasitasnya sebagai tujuan dan sasaran, merupakan keikhlasan dan amal yang sasarannya kepada Allah semata. Mencari ridha dan pahala sebagai tujuan akhir dan tertinggi bagi setiap tindakan dan ucapan. Maksud tertinggi bagi kehidupan manusia adalah kemerdekaan, kebahagiaan, kehormatan yang berpunca dari memuliakan manusia secara keseluruhannya. Abdurrauf berpandangan bahwa nilai keikhlasan adalah punca dari berbagai kebaikan210.
Perbuatan yang dilakukan dengan akhlak akan menumbuhkan kebaikan yang banyak. Amal perbuatan besar yang tidak dilandasi dengan keikhlasan tidak ada artinya di hadapan Allah. Ikhlas tempatnya
210 Abdurrauf, Mawa’iz al-Badi’ah, 65. Tantang akhlak insaniyah ini lebih
hanya dalam hati, karenanya hanya Ia saja yang lebih mengetahuinya.211
Menut Abdurrauf apa yang hendak dikerjakan harus dibarengi dengan kesucian batin, dengan hidup qana’ah dan iffah serta berkorban.212
Menurut Abdurrauf bahwa teori Rabbniyah dan Insaniyah213 pada dasarnya antara akal dan wahyu tak dapat terpisahkan. Dengan menggunakan akal, manusia akan sampai kepada pengetahuan ketuhanan yang menciptakan alam semesta, sedangkan penciptaan alam semesta dan planet-planetnya adalah suatu tanda dari kebasaran Allah Swt.214 Satu sisi manusia mengkui keagungan Allah, di pihak lain ia juga harus menghormati manusia sebagai hambaNya.
3. Dimensi Shumuliyah
Kata Shumul berasal dari bahasa Arab yang berarti universal, meliputi zaman, eksistensi dan kehidupan manusia. Teori syumul diungkapkan Abdurrauf termasuk karekteristik yang membedakan Islam dari segala sesuatu yang diketahui manusia dari agama-agama, filsafat dan mazhab-mazhab. Islam adalah risalah yang shumul yang berbicara kepada seluruh umat, suku, bangsa dan semua status sosial. Islam bukan risalah bagi bangsa tertentu yang mengklaim bahwa semua manusia harus tunduk kepadanya. Islam buka risalah bagi bangsa tertentu yang dalam aktivitasnya menundukkan kelas-kelas yang lain untuk mengabdikan diri demi kemaslahatannya dan mengikuti segala kemauannya. Islam benar-benar merupakan hidayah dan rahmat Allah bagi semua manusia. Jika Islam merupakan risalah bagi seluruh umat manusia dalam semua jenjang perkembangannya, risalah kehidupan dengan seluruh aspek dan bidangnya, maka Abdurrauf menempatkan ajaran Islam memiliki keistimewaan denga shumul ini dan melingkupi seluruh persoalan manusia. Karenanya akhlak Islam meliputi aspek
211 Alquran, Surah al-Bayyinah ayat (95): 5. Lihat juga Abdurrahman H. Habanakah, Ajnihat al-makni al-Thalathah wa Khawa fiha (Jakarta: Gema Insani Press,
2000), 73.
212 Abdurrauf, Mawa’iz al-Badi’ah, 65.
213 Sehububgan ini Allah berfirman dalam surah Ali ‘Imran [3] :122.
214 Menurut Muhammad Arkaoun seluruh aktivitas dan permasalahan hidup manusia di dunia sebagaimana wujudnya, adanya kelerasan yang ditentukan sebelumnya di antara nalar abadi dan ajaran yang diwahyukan. Liham Muhammad Arkoun, Nalar Islami dn Nalar Modern; Berbagai tantangan dan Jalan Baru, (Jakarta: Indonesia-Netherlands Coorperation in Islamic Studies-INIS, 1994), 125.
politik, sosial, budaya, seni dan pemerintahan.215 Berkaitan dengan teori shumuliah ini, Abdurrauf membaginya kepada beberapa bagian yaitu: akhlak yang berkaitan dengan diri,216 berkaitan kehidupan keluarga,217
berkaitan dengan kemasyarakatan218, berkaitan dengan makhluk, berkaitan dengan alam macro219 dan berkaitan dengan Khaliq.
4. Dimensi Waqi’iyah
Al-Waqi’iyyah berarti kontektual. Dalam konteks ini dalam pemikiran Abdurraf bukan seperti pandangan ahli filsafat materialis yang mengingkari segala yang tidak dapat dicerna indera dan menganggap bahwa yang waqi’ adalah segala sesuatu yang dapat diraba dan dirasa. Karenanya mereka kufur (mengingkari) Allah pencipta alam, adanya ruh dalam diri manusia, dan di alam ini tidak ada sesuatu yang bersifat ghaib. Mereka tidak mempercayai bahwa dunia adalah sebuah kehidupan, karena semuanya belum dapat dibuktikan dalam realita. Oleh karena itu, di dalam pengarahan pembentukan pola pikirnya, dalam moralnya dan dalam hukum konstitusionalnya, Islam tidak pernah melupakan realitas alam, kehidupan dan manusia dengan segala kondisi dan peristiwa yang melingkupinya. Oleh karena itu waqi’iyyah dalam Islam adalah al-waqi’iyyah al-mitsaliyah.
Dari pemikiran di atas nampaknya Abdurrauf berpandangan bahwa pengetahuan itu terbagi dua. Pertama, pengetahuan yang diwahyukan, yang diambil dari ayat-ayat Alquran sebagai sumber utama bagi akidah yang benar. Kedua, pengetahuan yang diperoleh bila melalui ilmu-ilmu alam yang ditempuh melalui pengalaman, perenungan serta penelusuran akan keagungan Allah melalui alam.220 Dalam hubungan ini Muhammad al-Ghazali berpendapat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sahabat bagi keimanan dan lawan bagi atheisme.221
215 Yusuf al-Qardawi, Al-Sheikh al-Ghazaliy Kama ‘Arafahu al-Nafsi Qamin (Qairo: Dar al-Wafa li al-Tiba’ah wa al-Nashar wa al-Tauzih, 1995).
216 Lihat, Abdurrauf, Al-Mawa’iz al-Badi’ah, 64-65.
217 Abdurrauf, Mawa’iz al-Badi’ah, 69.
218 Abdurrauf, Mawa’iz al-Badi’ah, 65 - 66.
219 Abdurrauf, Mawa’iz al-Badi’ah, 66-67.
220 Lihat, Abdurrauf, Mawa’iz al-Badi’ah, 67-68.
221 Muhammad al-Ghazali, Qadaya al-Mar at baina al-Taqalid al-‘aqidah al-Wafidah (Kairo: Dar al-Shuruq, 1994), 13.