• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merujuk pada makna yang terkandung dalam al-Qur'an surat al-Nahl (16:125), dakwah Islam dapat dirumuskan sebagai kewajiban muslim mukallaf untuk mengajak, menyeru dan memanggil orang berakal menjalani jalan Tuhan (din al Islam) dengan cara hikmah, mauzhah hasanah (supermotivasi positif), dan mujadalah yang ahsan (cara-cara yang lebih metodologis), dengan respons positif atau negatif dari orang berakal yang diajak, diseru dan dipanggil di sepanjang zaman dan di setiap ruang.

Hakikat dakwah Islam tersebut adalah perilaku keislaman muslim yang melibatkan unsur da'i, madu atau pesan, wasilah atau media, uslub atau metode, mad'u, dan respons serta dimensi hal-maqom atau situasi dan kondisi. Interaksi antarunsur dakwah Islam ini dalam semua tataran praksisnya adalah obyek formal kajian ilmu dakwah. Teori tentang obyek formal dan obyek material (perilaku keislaman muslim) menjadi substansi ilmu dakwah Islam. Dari sisi obyek materialnya, dakwah Islam bersentuhan dengan kajian ilmu keislaman selain dakwah dan tentang perilaku. Dengan demikian ilmu dakwah berkarakter interdisipliner.

Menurut al-Qur'an surat Fushilat (41:33), dakwah Islam dapat dirumuskan sebagai kewajiban menyeru, mengajak dan memanggil manusia untuk mengesakan Allah (tawhidullah) melalui ahsan qawl, amal salih, dan qala innani min al-Muslimiin (afirmasi ketundukkan kepada Tuhan).

Surat Fushilat (41:33) selengkapnya dapat dibaca demikian:

Siapakah yang lebih baik perkataannya dari orang yang menyeru kepada Allah dan beramal saleh dan berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.

Hakikat dakwah Islam ini menunjukkan bahwa terdapat tiga bentuk utama dalam proses mendakwahkan Islam, yaitu, pertama, melalui ahsan qawl atau bahasa yang baik, kedua, melalui ahsan amal atau perbuatan baik dan reformatif, dan ketiga, keterpaduan bentuk ahsan qawl dan ahsan amal, yaitu gerakan percontohan yang baik.

Mengacu pada uraian yang telah dikemukakan di atas, maka lahirlah dua proposisi hakikat dakwah Islam.Yaitu, pertama, dakwah Islam adalah proses internalisasi, transmisi, difusi, institusionalisasi dan transformasi dien al-Islam dalam totalitas kehidupan manusia mukallaf guna mencapai hakikat tujuan hidup di dunia kini dan di akhirat kelak. Kedua, bahwa proses dakwah Islam dari segi konteksnya mengharuskan terjadinya ketumpangtindihan dalam fokus dan pemokusannya.

Berdasarkan paparan sederhana di muka, maka dapat dikemukakan suatu kesimpulan sederhana bahwa menegakkan kebajikan (virtue, goodness) dan melaksanakan amar ma’ruf nahy munkar, adalah esensi dari tugas dakwah yang diemban manusia.

Dalam pandangan Alquran, manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi ini, atau makhluk Tuhan yang bertugas mengelola kehidupan dunia sesuai dengan keendak-Nya. Manusia muslim mempunyai tugas yang dinamis dan kreatif untuk mengemban tugas kekhalifahan tersebut. Dibekali dengan agama, rasio, dan amanah (free will), manusia-Muslim dihadapkan pada kemampuan untuk memecahkan masalah (problem solver) pada masalah-masalah yang ia hadapi dengan merujuk pada Alquran dan Sunnah sebagai paradigma, atau sebutlah term of reference-nya.

Dalam tugas kekhalifahannya itu, dakwah menjadi bagian paling subtansial, karena pembangunan manusia dan masyarakat pada umumnya sebagaimana dikehendaki Allah sebagai pemiliki kehidupan hanya dapat terselenggara jika secara individual maupun kolektif, manusia dan masyarakat bersedia menyambut dakwah ila Allah dan menebarkan perbuatan yang ma’ruf (amal saleh).

Pada praktiknya, dakwah ila Allah selalu ditekankan, dan bahkan menjadi tugas pokok seorang muslim. Penegasan ini perlu dikemukakan untuk membedakannya dengan dakwah ila al-nar atau ajakan masuk neraka, yang merupakan pekerjaan orang-orang musyrik (Q.S.2:221).

Dalam pandangan Amien Rais (1991:25), dakwah yang berisikan amar ma’ruf nahy munkar yang digerakkan orang-orang Muslim (Q.S 3:104), pada praktiknya memang berhadapan dengan dakwah amar munkar nahy ma’ruf yang dilakukan oleh orang-orang munafik. Lebih jauh Amien Rais menyatakan bahwa gerakan dakwah yang berlawan inilah yang pada hakikatnya menjadikan kehidupan dunia cukup menarik. Konfrontasi antara yang ma’ruf dan yang munkar, antara dakwah yang mengajak manusia agar menjadi golongan kanan (ashabu al-yamin) dan dakwah yang mendorong menusia supaya menjadi golongan kiri (ashabu al-syimal), antara calon-calon penghuni sorga (ashabu al-jannah) dan calon-calon penghuni neraka (ashabu al-nar), memang membuat kehidupan umat manusia menjadi penuh perjuangan, pergulatan dan pertentangan.

Pada kenyataannya, kegiatan dakwah dalam Islam sesungguhnya meliputi semua dimensi kehidupan manusia. Pasalnya adalah karena amar ma’ruf nahy munkar juga meliputi segala aspek kehidupan manusia. Penting dicatat bahwa para pendukung amar munkar nahy ma’ruf juga menggunakan segala

jalur kehidupan. Secara demikian, kegiatan budaya, politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain dapat dijadikan kegiatan dakwah, baik dakwah Islamiyah (dakwah ila Allah) maupun dakwah jahiliyah, yakni dakwah yang menjadikan neraka sebagai pelabuhan terakhir (dakwah ila al-nar).

Dalam dakwah ada ide tentang progresivitas, yakni sebuah proses terus menerus menuju kepada yang baik dan yang lebih baik dalam meujudkan tujuan dakwah itu. Sehingga dalam dakwah ada ide dinamis: sesuatu yang terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu.

Secara sosiologis-empiris, menurut Nurcholish Madjid (1999:97), dakwah yang berkembang di tengah masyarakat cenderung mengarah kepada nahy munkar, yakni tekanan-tekanan untuk melawan (fight againts –perjuangan reaktif), dan kurang amar ma’ruf-nya, yang mengajak kepada kebaikan, kebersamaan, suatu cita-cita (fight for –perjuangan proaktif). Barangkali ini sebabnya mengapa sikap pro-aktif masih menjadi tantangan besar kaum Muslim.

Dalam perspektif sosiologi, pada dasarnya keduanya, yakni al-ma’ruf dan al-munkar menunjuk kepada kenyataan bahwa kebaikan dan keburukan itu ada dalam masyarakat. Umat Islam dituntut untuk mampu mengenali kebaikan dan keburukan yang ada dalam masyarakat itu, kemudian mendorong, memupuk dan memberanikan diri kepada tindakan-tindakan kebaikan, dan pada waktu yang sama mencegah, menghalangi dan menghambat tindakan-tindakan keburukan.

Trilogi menyeru kepada al-khayr, amar ma’ruf dan nahy munkar, sebagaimana ditunjukkan oleh surat ke-104 dari surat Ali Imran, dapat dikatakan merupakan pusat perjuangan umat Islam sepanjang sejarah. Trilogi inilah yang menjadi dasar keunggulan umat Islam atas umat yang lain, sehingga mereka pun disebut

sebagai ―yang beruntung, yang menang atau yang bahagia‖ (al-muflihuun dalam ayat di atas). Tentu, semua ini tidak dapat disikapi dan diterima secara taken for granted. Karena yang pertama dari trilogi tadi, yakni seruan kepada al-khayr, menuntut kemampuan umat Islam untuk dapat memahami nilai-nilai etis dan moral universal. Tanpa kemampuan tadi, maka tidak mungkin ditemukan satu pedoman yang jelas untuk menghadapi masa depan.

Sementara aspek kedua dari trilogi tadi, yakni amar ma’ruf, menuntut kemampuan memahami lingkungan hidup sosial, politik dan kultural –lingkungan yang menjadi wadah terwujudnya al-khayr secara kongkret, dalam konteks ruang dan waktu. Dan aspek yang ketiga dari trilogi tadi, yakni nahy munkar menuntut kemampuan umat Islam mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan hidup kultural, sosial, politik, juga ekonomi, yang kiranya akan menjadi wadah bagi munculnya perangai, tindakan dan perbuatan yang berlawanan dengan hati nurani (tindakan yang tidak ma’ruf), kemudian diusahakan untuk mencegah dan menghambat pertumbuhan lingkungan itu.

BAB 8