• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.3.2 Dimensi kepuasan kerja

Ada tiga dimensi yang diterima secara umum dalam kepuasan kerja. Pertama, kepuasan kerja merupakan respon emosional terhadap situasi kerja. Dengan demikian kepuasan kerja dapat dilihat dan dapat diduga. Kedua, kepuasan kerja sering ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai memenuhi atau melampaui harapan. Ketiga, kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang berhubungan. Sedangkan ketidak puasan kerja adalah fungsi gabungan dari banyak variabel. Seseorang mungkin akan puas dengan satu atau lebih aspek pekerjaannya tetapi pada saat yang sama mungkin tidak senang dengan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Milton (1981) dalam Leila (2002) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan kondisi emosional positif atau menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian pekerjaan berdasarkan pengalamannya. Lebih jauh lagi, Milton (1981) mengatakan, reaksi afektif karyawan terhadap pekerjaannya tergantung kepada taraf pemenuhan kebutuhan –kebutuhan fisik dan psikologis pekerja tersebut oleh pekerjaannya. Kesenjangan antara yang diterima pekerja dari pekerjaannya dengan yang diharapkan menjadi dasar bagi munculnya kepuasan atau ketidak puasan.

Kesamaan atau kesesuaian antara karyawan dan pekerja dianggap sebagai pediktor penting dari ketidak puasan kerja. Hasil Studi yang ada (Ahmad et. al, 2010) menunjukkan bahwa saat ini karyawan menempatkan nilai tertinggi pada faktor-faktor ekstrinsik seperti; gaji yang baik, lingkungan kerja yang sehat dan keamanan kerja.

Beberapa ahli mencoba mengemukakan faktor-faktor yang terlibat dalam mempengaruhi kepuasan kerja. Hezberg, seperti yang dikutif oleh Gilmer, 1961 dalam (Leila, 2002) mengemukakan faktor-faktor kemapanan atau keamanan pekerjaan, kesempatan untuk maju, pandangan pekerja mengenai perusahaan dan manajemannya, gaji, aspek-aspek intrinsic pekerjaan, kualitas penyeliaan, aspek- aspek social dari pekrjaan, komunikasi serta kondisi kerja fisik dan jam kerja sebagai faktor-faktor yang menentukan kepuasan kerja. Penelitian tersebut diperoleh dari laporan pekerja yang sebagian besar pekerja dalam kondisi yang

cukup baik, dengan gaji yang mencukupi dan hubungan dengan atasan dan bawahan cukup baik.

Kepuasan kerja mengacu pada sikap individu terhadap berbagai aspek dari pekerjaan mereka serta pekerjaan pada umumnya. Konflik peran yang tinggi dan kejelasan peran yang rendah berkontribusi pada kepuasan kerja yang rendah, yang pada gilirannya, dapat menyebabkan absensi meningkat dan turnover

(Lawler dan Porter, 1967 dalam Rogers et. al, 1994).

Luthans (2006) menyebutkan lima dimensi pekerjaan untuk merepresentasikan karakteristik pekerjaan yang paling penting di mana karyawan memiliki respon afektif, yaitu pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan promosi, pengawasan dan rekan kerja. Menurut Lutans, kepuasan kerja itu sendiri merupakan sumber utama kepuasan. Dalam hal di mana pekerjaan memberikan tugas yang menarik, kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab. Sejumlah upah yang diterima dan tingkat dimana hal ini bisa dipandang sebagai hal yang diangap pantas dibandingkan dengan orang lain dalam organisasi juga menjadi salah satu hal yang menimbulkan kepuasan kerja. Karyawan melihat gaji sebagai refleksi dari bagaimana manajemenmemandang kontribusi mereka terhadap perusahaan, di samping kesempatan untuk maju dalam organisasi, kemampuan penyelia untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku serta tingkat dimana rekan kerja pandai secara teknis dan mendukung secara social.

Robbins (1999) dalam Batigun dan Sahin (2006), mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sikap terhadap pekerjaannya secara umum. Berdasarkan literatur yangada Batigun dan Sahin (2006) mengembangkan suatu skala penilaian terkait dengan fakor-faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja, yang menempatkan kepuasan kerja sebagai anteseden dalam penelitian job stress. Mereka menyebutkan kepribadian type A dan kepuasan kerja adalah anteseden dari job stress.

2.3.3 Pengaruh kepuasan kerja tehadap intensi kelur

Ada konsekuensi ketika karyawan menyukai pekerjaan dan ada konsekuensi ketika karyawan tidak menyukai pekerjaan mereka. Robbins (2009) menyebutkan ada empat respon dari konsekuensi ketidakpuasan, yaitu (1) keluar

(exit), merupakan perilaku yang ditujukan utnuk meninggalkan organisasi termasuk mencari posisi baru dan mengundurkan diri; (2) aspirasi (voice), secara aktif dan konstruktif berusaha memperbaiki kondisi, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan dan beberapa bentuk aktivitas serikat kerja; (3) kesetiaan (loyality), secara pasif tapi optimis menunggu membaiknya kondisi, termasuk membela organisasi ketika berhadapan dengan kecaman eksternal dan mepercaai organisasi dan manajemen untuk melakukan hal yang benar; (4) pengabaian (neglect), secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk, termasuk ketidak hadiran atau keterlambatan yang terus- menerus, kurangnya usaha dan meningkatnya angka kesalahan.

Dalam beberapa disiplin ilmu seperti sosiologi, psikologi, ekonomi dan manajemen ilmu pengetahuan, kepuasan kerja dan ketidakpuasan adalah subjek yang sering dipelajari dalam literature pekerjaan dan organisasi. Hal ini terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa banyak ahli menganggap bahwa tren ketidakpuasan kerja dapat mempengaruhi perilaku pasar tenaga kerja dan berakibat terhadap produktivitas, absen karyawan dan tingkat perputaran karyawan. Selain itu, kepusan atau ketidakpuasan kerja dianggap sebagai predictor yang kuat dari keseluruhan individual well-being (Diaz-Serrano dan Vieira (2005) dalam Ahmad et. al. 2010).

Multahada (2008) menyatakan, kepuasan kerja memiliki implikasi yang sangat penting untuk kesuksesan organisasi. Organisasi dengan karyawan yang lebih puas cendrung menjadi lebih efektif dari pada organisasi dengan karyawan yang kurang puas. Karyawan yang tidak puas lebih besar kemingkinan tidak bekerja. Ketidak puasan kerja memastikan karyawan dapat menarik diri dari pekerjaan. Sebaliknya kepuasan kerja akan mendorong kehadrian. Kepuasan kerja yang tinggi belum tentu menghasilkan ketidakhadiran yang rendah tetapi kepuasan kerja yang rendah mungkin menyebabkan ketidakhadiran. Lutans (2006) menyatakan kepuasan kerja yang tinggi belum tentu menghasilkan ketidakhadiranyang rendah tetapi kepuasan kerja yang rendah mungkin menyebabkan ketidakhadiran.

Penelitian yang dilakukan oleh Robert (2003) dalam Multahada (2008) menyatakan bahwa di Chicago, pekerja dengan skor kepuasan yang tinggi mempunyai kehadiran yang jauh lebih tinggi daripada mereka dengan tingkat

kepuasan lebih rendah. Karyawan yang puas tampaknya akan lebih mungkin berbicara positif tentang organisasi, membantu orang lain dan jauh melebihi harapan yang normal dalam pekerjaan mereka. Karyawan yang lebih puas lebih bangga melebihi tugas mereka sehingga mereka mampu memberikan hal yang positif bagi organisasi. Hal ini tentu akan sangat menguntungkan organisasi dalam bidang produktivitas.

Menurut As’ad (2004) dalam Multahada (2008) menyatakan organisasi yang ingin memperhitungkan tentang produktivitas kerja karyawan, maka masalah kepuasan kerja yang harus diperhitungkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan hal yang penting bagi organisai karena kepuasan kerja merupakan variabel yang melihat pada tingkah laku yang produktif dan bukan sebaliknya yaitu adanya ketidakhadiran karyawan, stress, pemberhentian dan perilaku negatif lainnya.

Beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kepuasan kerja dapat mempengaruhi intention to quit disampaikan oleh: Bonenberger et. al. (2014) menyatakan bahwa kepuasan kerja berpengaruh terhadap niat berpindah kerja (turnover intention). Gamage (2013) menyatakan kepuasan kerja berpengaruh terhadap keinginan untuk keluar (intention to leave). Ali (2010) menyatakan kepuasan kerja berpengaruh signifikan terhadap keinginan keluar (turnover). Foon et. al. (2010) menyebutkan bahwa kepuasan kerja berhubungan negatif dengan turnover (keinginan berpindah kerja). Yahaya et. al. (2010) mengatakan kepuasan kerja berpengaruh negatif terhadap keinginan keluar dan ketidak hadiran. Alam dan Mohammad (2010) menyatakan bahwa kepuasan kerja berpengaruh negatif terhadap intensi keluar. Demikianpula Lee et. al. (2009) menyebutkan kepuasan kerja berpengaruh dominan terhadap intensi keluar.

Beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kepuasan kerja dapat mempengaruhi kualitas pelayanan disampaikan oleh: David and Wuk (2011) menyatakan bahwan kepuasan berpengaruh signifikan terhadap kualitas pelayanan rumah makan. Cerdric and Rong (2009) menyebutkan kepuasan pelangggan berpengaruh signifikan terhadap kualitas pelayanan hotel dan

restoran. Lagas (2005) menyatakan bahwa motivasi (kepuasan) berpengaruh signifikan terhadap kualitas pelayanan kesehatan rumah sakit. Sedangkan Kim et. al. (2005) juga menyatakan bahwa kepuasan kerja berpengaruh signifikan terhadap kualitas pelayanan restoran.

2.4. Keinginan Berpindah Kerja (Intention to Quit)

Dokumen terkait