• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.4 Orientasi Kewirausahaan

2.4.2 Dimensi Orientasi Kewirausahaan

Lumpkin and Dess (2001) menyatakan bahwa inovasi, pengambilan risiko, dan proaktif membentuk kontribusi unik terhadap Orientasi Kewirausahaan suatu perusahaan. Miller and Freisen (1982) menyatakan bahwa tingkat kewirausahaan suatu perusahaan merupakan keseluruhan dari innovatif, proaktif dan kemampuan mengelola risiko. Pengukuran terhadap konsep Orientasi Kewirausahaan

memberikan kontribusi yang sama terhadap keseluruhan level organisasi pada semua situasi (Vitale et al., 2002).

Alasan mendasar Orientasi Kewirausahaan dijelaskan dengan tiga dimensi (inovatif, proaktif dan risk taking), pertama mengacu pada beberapa studi seperti : Covin and Slevin (1988) ; Lumpkin and Dess (2001) ; Vitale et al. (2002) ; Riana (2011) ; Korry (2013) yang menggunakan dimensi inovatif, proaktif dan risk taking. Kreiser et al, (2002) dalam analisis mereka terhadap dimensi Orientasi Kewirausahaan (inovatif, proaktif dan risk taking), menunjukkan bahwa pengenalan dimensi yang lain tidak menambahkan banyak nilai ke dalam Orientasi Kewirausahaan, yang mendukung pendekatan tiga dimensi. Selain itu, ketika memeriksa dimensi yang berbeda secara terpisah, tiga dimensi (inovatif, proaktif dan risk taking) telah terbukti memiliki hubungan kuat terhadap kinerja perusahaan.

Inovatif

Lumpkin and Dess (2001), Schumpeter (1934) adalah beberapa penelitian yang mengkaji tentang peran inovasi dalam proses kewirausahaan. Schumpeter (1934) menggambarkan kewirausahaan sebagai proses penciptaan kekayaan yang diukur melalui terjadinya perubahan struktur pasar yang ada karena pengenalan produk atau jasa baru yang menyebabkan penggunaan sumber daya meningkat dari sebelumnya sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan perusahaan baru. Lumpkin and Dess (2001) berpendapat bahwa proses penciptaan kreativitas dari seorang pengusaha akan menentukan keberhasilan suatu perusahaan.

Hubungan antara kewirausahaan dan inovasi didukung oleh penelitian Shane et al., (1991), yang menemukan bahwa inovasi adalah salah satu motif utama untuk memulai usaha.

Lumpkin and Dess (2001) menyatakan bahwa inovasi mencerminkan kecenderungan perusahaan untuk terlibat dan mendukung ide-ide baru, eksperimentasi, dan proses kreatif dalam menghasilkan produk baru, jasa, atau proses teknologi. Inovasi mengacu pada kesediaan untuk bergerak maju dari teknologi atau praktek yang ada dan mengeksplorasi di luar perbatasan saat ini menunjukkan bahwa inovasi perusahaan adalah menciptakan usaha dan memperkenalkan produk baru ke pasar (Zahra and Garvis, 2000). Inovasi sangat penting untuk menjaga kelangsungan hidup suatu perusahaan karena merupakan sumber ide-ide yang mengarah pada perbaikan serta pengembangan perusahaan (Lumpkin and Dess 2001).

Inovasi sangat penting karena kondisi pasar saat ini yang mengalami perubahan sangat cepat, mengharuskan sebuah perusahaan mampu mempertahankan keunggulan kompetitif. Inovasi dapat menjadi kunci dan sumber kemajuan yang berdampak signifikan pada pertumbuhan bagi perusahaan (Lumpkin and Dess, 2001).

Risk-Taking

Kemampuan mengelola atau mengambil risiko (risk taking) memerlukan kemauan dan keberanian untuk mengejar peluang subtansial yang menghasilkan kerugian atau perbedaan kinerja yang signifikan (Kuratko et al., 2001). Risk

taking biasanya dikaitkan dengan kewirausahaan karena konsep kewirausahaan termasuk asumsi pribadi mengambil risiko (Lumpkin and Dess, 2001). Pada tingkat perusahaan, pengambilan risiko mengacu pada kecenderungan untuk mendukung proyek-proyek dengan ketidakpastian tingkat pengembalian yang diharapkan (Walter et al, 2006).

Menurut Lumpkin and Dess (2001), organisasi atau perusahaan menghadapi tiga jenis risiko, yaitu risiko bisnis, risiko keuangan, dan risiko pribadi (personal risk). Risiko bisnis mengacu pada risiko memasuki pasar belum teruji, atau berkomitmen untuk teknologi yang belum terbukti (Baird and Lucey, 2013 ; Dess and Lumpkin, 2005). Risiko keuangan yang berkaitan dengan peningkatan sumber dana untuk peningkatan pertumbuhan perusahaan (Baird and

Lucey 2013 ; Dess and Lumpkin, 2005). Perusahaan dengan Orientasi Kewirausahaan yang tinggi akan terlibat dalam aktivitas bisnis yang berisiko, seperti penggunaan hutang yang tinggi dalam upaya untuk memperoleh keuntungan tinggi dengan memanfaatkan peluang di pasar (Lumpkin and Dess, 2001). Risiko pribadi berhubungan dengan tingkat keberanian seseorang. Manajer atau pemilik perusahaan diharuskan mengambil kebijakan terkait aktivitas operasional perusahaan, seperti memanfaatkan peluang, penggunaan hutang, dimana setiap keputusan yang diambil akan memiliki dampak tertentu. Risiko dalam hal ini berasal dari pengaruh eksekutif dalam menentukan arah perusahaan, yang memiliki kemungkinan terjadi kegagalan sehingga hal ini menjadi konsekuensi pribadi yang harus ditanggung (Dess and Lumpkin, 2005).

Semua aktivitas usaha menghadapi tingkat risiko tertentu (Lumpkin and

Dess, 2001). Risk taking tidak berarti berspekulasi terhadap risiko tetapi mengelola dan memperhitungkan kemungkinan terjadinya suatu risiko (Dess and Lumpkin, 2005). Risiko dalam hal ini tidak mengacu ekstrim pada usaha berisiko yang tidak terkendali (Kuratko et al, 2001). Risiko merupakan konsekuensi dari kesempatan yang berbeda diuji dan skenario yang berbeda dibuat dalam rangka mengurangi tingkat risiko (Dess and Lumpkin, 2005).

Proaktif

Proaktif mengacu pada mengambil inisiatif, mengantisipasi dan melaksanakan peluang baru, dan menciptakan pasar baru atau berpartisipasi aktif, juga berhubungan dengan kewirausahaan (Entrialgo et al. 2000 dan Walter et al. 2006).

Menurut Lumpkin and Dess (2001), sebuah perusahaan yang proaktif akan dapat mengidentifikasi masalah yang mungkin muncul dan mencari alternatif solusinya (Dess and Lumpkin, 2005). Proactiveness dapat menjadi kunci untuk keunggulan kompetitif, karena organisasi atau perusahaan secara aktif dan terus menerus mencari dan memanfaatkan setiap peluang.

Venkatraman (2001) proactiveness mengacu pada proses yang bertujuan untuk meramalkan dan bertindak atas kebutuhan masa depan dengan mencari peluang baru yang mungkin berhubungan dengan menyajikan operasi yang berbeda dari perusahaan tersebut. Proactiveness dapat mengacu pada pengenalan produk yang benar-benar baru dan melakukan perubahan atau perbaikan pada

aktivitas operasional disesuaikan dengan perubahan trend masyarakat dan perkembangan teknologi.

Orientasi Kewirausahaan dalam penelitian ini adalah perilaku wirausahawan dalam memanfaatkan peluang-peluang bisnis dan berani melakukan usaha-usaha yang berisiko serta melakukan perubahan dan perbaikan produk dan aktivitas usaha pada IKM Unggulan di Bali.

2.5 Resource Based View (RBV) Theory

Teori RBV mempertimbangkan kemampuan internal perusahaan sebagai faktor penting dalam mengelola sumber daya yang dimiliki perusahaan agar perusahaan mampu meraih keunggulan bersaing (competitive advantage). Schienstock (2009) mengemukakan bahwa konsekuensi dari kemampuan manajemen mengelola sumber daya perusahaan secara terintegrasi dapat meningkatkan posisi competitive advantage yang dimiliki perusahaan. Barney (1991) menyatakan bahwa kapabilitas manjerial akan meningkat seiring dengan peningkatan competitive advantage perusahaan sehingga akhirnya mampu meningkatkan kinerja organisasi.

Tipe kapabilitas dibedakan menjadi (1) Dynamic Capability, adalah kemampuan mencari dan menggunakan sumber daya perusahaan, kecepatan merespon peluang-peluang baru dan mampu menciptakan sesuatu yang baru serta beradaptasi dengan lingkungan eksternal. (2) Absorptive Capability, merupakan kemampuan terkait dengan proses mengolah informasi yang berasal dari lingkungan eksternal kemudian dipadukan dengan kemampuan mengintegrasikan

informasi tersebut dengan sumber daya yang dimiliki guna menyediakan produk yang sesuai dengan apa yang diinginkan pasar.

Davis et al, (2010) mengungkapkan bahwa kapabilitas terdiri dari (1)

Intentionalitas, yang berarti kemampuan manajer dalam menggunakan sumber daya baik berwujud maupun tidak berwujud untuk mencapai tujuan perusahaan. (2) Reliabilitas, yang berarti kemampuan manajer dalam mengelola operasional perusahaan yang diperlukan untuk menghasilkan produk berkualitas sesuai keinginan pasar.

Kapabilitis organisasi selain membantu manajer membuat keputusan yang tepat, juga memfasilitasi pembentukan, pengintegrasian jaringan kerjasama baik internal maupun eksternal. Kapabilitas memungkinkan perusahaan secara efektif memecahkan masalah-masalah utamanya (Davis et al, 2010)

Penelitian ini menggunakan variabel budaya organisasi yang digali dari kearifan lokal Bali (Catur Purusa Artha) yang merupakan sumber daya tidak berwujud (intangible asset) yang dapat mendorong meningkatkan kinerja keuangan IKM di Bali. Budaya Organisasi yang dimaksud dalam penelitian ini juga menjadi prediktor keputusan pendanaan bagi IKM di Bali.

Dokumen terkait