• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS

II.2 Komunikasi AntarPribadi

II.4.1 Dimensi Self Disclosure

Self disclosure memiliki berbagai dimensi menurut Joseph A. Devito (1997:40) menyebutkan ada 5 dimensi self disclosure, yaitu (1) ukuran self-disclosure, (2) valensi self-self-disclosure, (3) kecermatan dan kejujuran, (4) maksud dan tujuan, dan (5) keakraban. Ini berbeda dengan dimensi yang dikemukakan dalam Fisher (1986 : 261) yang menyebutkan dua sifat pengungkapan yang umum dalam self-disclosure adalah memperhatikan jumlah (seberapa banyak informasi tentang diri yang diungkapkan) dan valensi (informasi yang diungkapkan bersifat positif atau negatif). Apabila diperbandingkan, fokus yang dikemukakan Fisher hanya pada jumlah atau dalam istilah Devito “ukuran” dan valensi saja.

Kini kita mencoba untuk mendalami kelima dimensi tersebut dengan memadukan apa yang diungkapkan Devito dan Fisher, dengan melihat contohnya dalam hidup keseharian kita.

1. Ukuran/jumlah self-disclosure

Hal ini berkaitan dengan seberapa banyak jumlah informasi diri kita yang diungkapkan. Jumlah tersebut bisa dilihat berdasarkan frekuensi kita menyampaikan pesan-pesan self-disclosure atau bisa juga dengan menggunakan ukuran waktu, yakni berapa lama kita menyampaikan pesan-pesan yang mengandung self-disclosure pada keseluruhan kegiatan komunikasi kita dengan lawan komunikasi kita. Misalnya, dalam percakapan antara anak dan orang tuanya, tentu tidak sepanjang percakapan di antara keduanya. Taruhlah berlangsung selama 30 menit itu bersifat self-disclosure. Mungkin hanya 10 menit saja dari waktu itu yang percakapannya menunjukkan self-disclosure, seperti saat anak menyatakan kekhawatirannya nilai rapornya jelek untuk semester ini atau tatkala si anak menyatakan tengah jatuh hati pada seseorang.

2. Valensi Self-disclosure

Hal ini berkaitan dengan kualitas self-disclosure kita: positif atau negatif. Saat kita menyampaikan siapa diri kita secara menyenangkan, penuh humor, dan menarik seperti yang dilakukan seorang tua yang berkepala botak yang menyatakan, “Inilah model rambut yang paling cocok untuk orang seusia saya.” Ini merupakan self-disclosure yang positif. Sebaliknya, apabila orang tersebut mengungkapkan dirinya dengan menyatakan, “Sudah berobat ke sana ke mari dan mencoba berbagai metode mencegah kebotakan yang ternyata bohong semua, inilah hasilnya. Ini berarti self-disclosure negatif. Dampak dari self-disclosure

yang berbeda itu tentu saja akan berbeda pula, baik pada orang yang mengungkapkan dirinya maupun pada lawan komunikasinya.

3. Kecermatan dan Kejujuran

Kecermatan dalam self-disclosure yang kita lakukan akan sangat ditentukan oleh kemampuan kita mengetahui atau mengenal diri kita sendiri. Apabila kita mengenal dengan baik diri kita maka kita akan mampu melakukan self-disclosure dengan cermat. Bagaimana kita akan bisa menyatakan bahwa kita ini termasuk orang yang bodoh apabila kita sendiri tidak mengetahui sejauh mana kebodohan kita itu dan tidak bisa juga merumuskan apa yang disebut pandai itu. Di samping itu, kejujuran merupakan hal yang penting yang akan mempengaruhi self-disclosure kita. Oleh karena kita mengemukakan apa yang kita ketahui maka kita memiliki pilihan, seperti menyatakan secara jujur, dengan dibungkus kebohongan, melebih-lebihkan atau cukup rinci bagian-bagian yang kita anggap perlu. Untuk hal-hal yang bersifat pribadi, banyak orang memilih untuk berbohong atau melebih-lebihkan. Namun, self-disclosure yang kita lakukan akan bergantung pada kejujuran kita. Misalnya, kita bisa melihat perilaku orang yang hendak meminjam uang. Biasanya orang yang hendak berhutang mengungkapkan permasalahan pribadinya seperti tak memiliki uang untuk belanja besok hari, anaknya sakit atau biaya sekolah anaknya. Sering pula kemudian self-disclosure dalam wujud penderitaan itu dilebih-lebihkan untuk memancing iba orang yang akan dipinjami.

4. Maksud dan Tujuan

Dalam melakukan self-disclosure, salah satu hal yang kita pertimbangkan adalah maksud atau tujuannya. Tidak mungkin orang tiba-tiba menyatakan dirinya

apabila tidak memiliki maksud dan tujuan tertentu. Contohnya pada saat untuk mengurangi rasa bersalah atau untuk mengungkapkan perasaan. Inilah yang populer disebut sebagai curhat itu. Kita mengungkapkan diri kita dengan tujuan tertentu. Oleh karena menyadari adanya maksud dan tujuan self-disclosure itu maka kita pun melakukan kontrol atas self-disclosure yang kita lakukan. Orang yang melebih-lebihkan atau berbohong dalam melakukan self-disclosure pada satu sisi bisa dipandang sebagai salah satu bentuk kontrol supaya self-disclosure-nya mencapai maksud atau tujuan yang diinginkannya.

5. Keakraban

Seperti yang dikemukakan Fisher (1986:261-262), keakraban merupakan salah satu hal yang serta kaitannya dengan komunikasi self-disclosure. Apa yang diungkapkan itu bisa saja hal-hal yang sifatnya pribadi atau intim misalnya mengenai perasaan kita, tetapi bisa juga mengenai hal-hal yang sifatnya umum, seperti pandangan kita terhadap situasi politik mutakhir di tanah air atau bisa saja antara hal yang intim/pribadi dan hal yang impersonal publik. Berkenaan dengan dimensi self-disclosure yang disebut terakhir, kita bisa mengacu pada apa yang dinamakan Struktur Kepribadian Pete yang dikembangkan Irwin Altman dan Dalmas Taylor dengan Teori Penetrasi Sosial-nya (Griffin, 2003:134). Dalam Struktur Kepribadian Pete ini, digambarkan kepribadian manusia itu seperti bawang, yang memiliki lapisan-lapisan. Setiap lapisan itu menunjukkan derajat keakraban orang yang menjalin relasi atau berkomunikasi kerangka Teori Penetrasi Sosial - kita menjalin hubungan dengan orang lain. Misalnya, pada tahap awal kita berbincang-bincang soal yang sifatnya umum saja. Kita bicara soal perkuliahan yang kita ikuti. Bisa juga

berbincang-bincang soal selera makanan kita. Di sini kita hanya berbicara pada lapisan pinggiran dari bawang tadi yang disebut periferal. Makin lama akan makin masuk ke lapisan berikutnya. Kita mulai berbicara mengenai keyakinan agama kita, aspirasi dan tujuan hidup kita, akhirnya konsep diri kita sebagai lapis terdalam “bawang” kepribadian itu. Hal tersebut menunjukkan bahwa self-disclosure tidak berlangsung secara tiba-tiba. Tidak seluruh informasi yang kita sampaikan berisikan informasi yang sifatnya pribadi. Bisa saja bercampur baur dengan informasi yang bersifat umum atau berada pada tataran periferal.

Dalam konteks ini berarti kita sudah mulai membicarakan soal kedalaman (depth) dan keluasan (breadth) self-disclosure. Sejauh mana kedalaman dalam self-disclosure itu akan ditentukan oleh derajat keakraban kita dengan lawan komunikasi. Makin akrab kita dengannya maka akan makin dalam self-disclosure-nya. Selain itu, akan makin luas juga cakupan bahasan yang kita komunikasikan melalui self-disclosure itu. Ini merupakan hal yang logis. Bagaimana kita mau berbincang-bincang mengenai lapisan terdalam dari diri kita apabila kita tidak merasa memiliki hubungan yang akrab dengan lawan komunikasi kita. Apabila kita tidak akrab dengan seseorang, sebutlah dengan orang yang baru kita kenal di dalam bis atau pesawat terbang maka kita akan berbincang mengenai lapisan terluar “bawang” tadi. Begitu juga halnya dengan upaya kita membangun keakraban maka akan menuntut kita untuk berbicara mengenai diri kita. Pada awalnya tidak menyentuh lapisan terdalam melainkan lapisan yang berada agak di luar. Misalnya, kita berbicara tentang makanan yang kita sukai atau model dan warna pakaian yang digemari. Makin lama kita akan makin membuka diri apabila

lawan komunikasi kita pun memberikan respons yang baik dengan juga turut membuka dirinya

II.5 Pembentukan Perilaku

Menurut Rakhmat (2004:33), perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga subsistem dalam kepribadian manusia, Id, Ego, Superego. Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia pusat insting (hawa nafsu). Id bergerak berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle), ingin segera memenuhi kebutuhannya. Id egoistis, tidak bermoral dan tidak mau tahu dengan kenyataan. Id adalah tabiat hewani manusia.

Ego adalah mediator antara hasrat-hasrat hewani dengan tuntutan rasioanl dan realistic. Ego lah yang menyebabkan manusia mampu menundukan hasrat hewaninya dan hidup sebagai wujud yang rasional (pada pribadi yang normal).

Superego singkat dalam psikoanalisis prilaku manusia merupakan interaksi antara komponen biologis (Id), komponen psikologis (Ego), dan komponen social (Superego), atau unsur animal, rasional, dan moral (hewani, akal dan nilai).

Perilaku manusia yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: a. Faktor Personal

Rakhmat (2004:38) menekankan pentingnya faktor-faktor dalam menentukan interaksi sosial dan masyarakat. Prespektif yang berpusat pada personal mempertanyakan faktor-faktor internal apakah, baik berupa sikap, insting, motif, kepribadian, sistem kognitif yang menjelaskan perilaku

manusia. Secara garis besar ada dua faktor yakni faktor biologis dan faktor sosiopsikologis.

• Faktor Biologis

Faktor biologis dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan berpadu dengan faktor-faktor sosipsikologis. Bahwa warisan biologis manusia menetukan prilakunya, dapat diawali sampai struktur DNA yang menyimpan seluruh memori warisan biologis yang diterima dari kedua orang tuannya.

Perilaku sosial di bimbing oleh aturan-aturan yang sudah diprogram secara genetis dalam jiwa manusia. Program ini disebut sebagai “epigenetic rules’, mengatur prilaku manusia sejak kecenderungan menghindari incest, kemampuan memahami ekspersi wajah, sampai kepada persaingan politik.

Telah diakui secara meluas adanya perilaku tertentu yang merupakan bawaan manusia, dan bukan pengaruh lingkungan atau situasi. Dahulu orang menyebutnya “insting”, sekarang dinamakan species-characteristic behavior.

Diakui pula adanya faktor-faktor biologis yang mendorong perilaku manusia, yang lazim disebut sebagai motif biologis.

• Faktor Sosiopsikologis

Karena manusia mahkluk sosial, dari proses sosial ia meperoleh beberapa karakteristik yang memperoleh prilakunya. Kita dapat mengklasifikasikan ke dalam tiga komponen, yaitu komponen afektif merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis. Komponen afektif

adalah aspek intelektual, yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia. Komponen kognitif adalah aspek intelektual, yaitu berkaitan dengan apa yang diketahui manusia. Komponen kognitif adalah aspek volosional, yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak.

Komponen afektif terdiri dari motif sosiogenis, sikap, dan emosi. Komponen kognitif terdiri dari kepercayaan. Sedangkan komponen konatif terdiri dari kebiasaan dan kemauan.

 Motif sosiogenis

Motif sosiogenis, sering juga disebut motif sekunder sebagai lawan motif primer (motif biologis). Peranannya dalam membentuk prilaku sosial bahkan sangat menentukan.

Berbagai klasfikasi motif sosiogenis disajikan di bawah Thomas dan Florian Znaniecki: 1. Keinginan memperoleh pengalaman baru ; 2. Keinginan untuk mendapat respons ; 3. Keinginan akan pengakuan ;

4. Keinginan akan rasa aman. David Mc Clellland:

1. Kebutuhan berprestasi;

2. Kebutuhan akan kasih sayang; 3. Kebutuhan berkuasa.

Abraham Maslow;

2. Kebutuhan akan ketertarikan rasa cinta; 3. Kebutuhan akan penghargaan;

4. Kebutuhan akan pemenuhan diri. Melvin H,Marx:

1. Kebutuhan organbimis - Motif ingin tahu; - Motif kompetensi; - Motif prestasi. 2. Motif-motif sosial:

- Motif kasih sayang; - Motif kekuasaan; - Motif kebebasan.

Secara singkat, motif-motif sosiogenis diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Motif ingin tahu: mengerti, manata, dan menduga. Setiap orang berusaha memahami dan memperoleh arti dari dunianya. Kita memerlukan kerangka rujukan (frame of reference) untuk mengevaluasi situasi baru dan mengarahkan tindakan yang sesuai.

2) Motif kompetensi. Setiap orang ingin membuktikan bahwa ia mampu mengatasi persoalan kehidupan apapun. Perasaan mampu amat bergantung pada perkembangan intelektual, sosial dan emosional. Motif kompetensi erat hubungannya dengan kebutuhan rasa aman.

3) Motif cinta. Berbagai penelitian membuktikan bahwa kebutuhan akan kasih sayang yang tidak terpenuhi akan menimbulkan perilaku manusia yang kurang baik: orang akan menjadi agresi, kesepian, frustasi, bunuh diri.

4) Motif harga diri dan kebutuhan untuk mencari identitas. Hilangnya identitas diri akan menimbulkan perilaku yang patalogis (penyakit): implusif, gelisah, mudah terpengaruh, dan sebagainya.

5) Kebutuhan akan nilai, kedambaan dan makna kehidupan. Dalam menghadapi gejolak kehidupan, manusia membutuhkan nilai-nilai untuk menuntunnya dalam mengambil keputusan atau memberikan makna pada kehidupannya. Termasuk kedalam motif ini adalah motif-motif keagamaan.

6) Kebutuhan akan pemenuhan diri. Kebutuhan akan pemenuhan diri dilakukan melalui berbagai bentuk: (1) mengembangkan dan menggunakan potensi-potensi kita dengan cara yang kreatif; (2) memperkaya kualitas kehidupan denagn memperluas rentangan dan kualitas pengalaman serta pemuasan; (3) membentuk hubungan yang hangat dan berarti dengan orang-orang lain di sekitar kita; (4) berusaha “manusia” , menjadi persona yang kita dambakan.

 Sikap

Sikap adalah konsep yang paling penting dalam psikologi sosial dan yang paling banyak didefinisikan. Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Dari berbagai definisi kita dapat menyimpulkan bebarapa hal. Pertama, sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap boleh berupa

benda, orang, tempat, gagasan atau situasi, atau kelompok. Sikap haruslah diikuti oleh kata”terhadap”, atau “pada” objek sikap.

Kedua, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apakah harus pro atau kontra terhadap sesuatu; menentukan apa yang disukai, diharapkan, dan diinginkan; mengesampingkan apa yang tidak diinginkan, apa yang harus dihindari. Ketiga, sikap relatif lebih menetap. Berbagai studi menunjukan bahwa sikap politik kelompok cenderung dipertahankan dan jarang mengalami perubahan. Keempat, sikap mengandung aspek evaluatif: artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan. Kelima, sikap timbul dari pengalaman; tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat diperteguh atau diubah.

 Emosi

Emosi menunjukan kegoncangan organisme yang disertai oleh gejala-gejala kesadaran, keperilakuan, dan proses fisologis. Emosi tidak selalu jelek. Paling tidak ada empat fungsi emosi. Pertama, emosi adalah pembangkit energi (energizer). Tanpa emosi kita tidak sadar atau mati. Kedua, emosi adalah pembawa informasi (messenger). Bagaimana keadaan diri kita dapat kita ketahui dari emosi kita. Ketiga, emosi buka n saja pembawa pesan dalam komunikasi interpersona. Keempat, emosi juga merupakan sumber informasi tentang keberhasilan kita.

Emosi berbeda-beda dalam intensitas dan lamanya. Ada emosi yang ringan, berat dan disentegratif. Emosi ringan meningkatkan perhatian kita kepada situasi yang dihadapi, disertai dengan perasaan tegang sedikit. Emosi kuat

disertai rangsangan fisiologis yang kuat. Emosi yang disentegratif tentu saja terjadi dalam intensitas emosi memuncak.

Dari segi lamanya, ada emosi yang berlangsung singkat dan ada yang berlangsung lama. Mood adalah emosi yang menetap selama berjam-jam atau beberapa hari. Mood mempengaruhi persepsi kita atau penafsiran kita pada stimuli yang merangsang alat indera kita.

 Kepercayaan

Kepercayaan adalah komponen kognitif dari faktor sosiopsikologis. Kepercayaan disini adalah keyakinan bahwa sesuatu itu’benar’. Jadi, kepercayaan dapat bersifat rasional atau irrasional.

 Kebiasaan

Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis tidak direncanakan. Kebiasaan mungkin merupakan hasil pelaziman yang berlangsung pada waktu yang lama atau sebgai reaksi khas yang diulangi seseorang berkali-kali. Setiap orang mempunyai kebiasaan yang berlainan dalam menanggapi stimulus tertentu. Kebiasan inilah yang memberikan pola perilaku yang dapat diramalkan.

 Kemauan

Kemauan erat berkaitan dengan tindakan, bahwa ada yang mendefinisikan kemauan sebagai tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan. Menurut Richad Dewey dan W.J. Humber (Rakhmat :2004,89), kemauan merupakan: (1) hasil keinginan untuk mencapai tujuan tertentu yang begitu kuat sehingga mendorong orang untuk mengorbankan nilai-nilai yang lain, yang tidak sesuai dengan pencapaian tujuan; (2) berdasarkan

pengetahuan tentang, cara-cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan; (3) dipengaruhi oleh kecerdasan dan energy yang diperlukan untuk mencapai tujuan; plus (4) pengeluaran energi yang sebenarnya dengan satu cara yang tepat untuk mencapai tujuan.

• Faktor Situasional

Respon otak sangat dipengaruhi oleh “setting” atau suasana yang melingkupi organism (Rakhmat :2004,93). Kesimpulan itu membawa kita kepada pengaruh situasional terhadap prilaku manusia. Edward G. Sampson merangkumkan seluruh faktor situasional sebagai berikut:

I. Aspek-aspek objektif sebagai berikut: a. Faktor ekologis

1. Faktor geografis

2. Faktor iklim dan meteorologist b. Faktor disain dan arsitektural c. Faktor temporal

d. Analisis suasana prilaku e. Faktor teknologis f. Faktor sosial 1. Struktur organisasi 2. Sistem peranan 3. Struktur kelompok 4. Karakteristik populasi

II. Lingkungan psikososial seperti persepsi oleh kita a. Iklim organisasi dan kelompok

b. Ethos dan iklim institusional dan kultural

III. Stimuli yang mendorong dan mmeperteguhkan perilaku a. Orang lain

b. Situasi pendorong orang lain • Faktor Ekologis

Kaum determinisme lingkungan sering menyatakan bahwa keadaan alam akan mempengaruhi gaya hidup dan prilaku.

• Faktor Rancangan

Suatu rancangan arsitektural dapat mempengaruhi pola komunikasi diantara orang-orang yang hidup dalam naungan arsitektural tertentu. Pengaturan ruangan juga terbukti mempengaruhi pola-pola perilaku yang terjadi ditempat itu.

• Faktor Temporal

Suatu pesan komunikasi yang disampaikan pada pagi hari akan memberikan makna yang lain bila disampaikan pada tengah malam. Jadi, yang mempengaruhi manusia bukan saja di mana mereka berada tetapi juga bilamana mereka berada.

Lingkungan dibaginya ke dalam beberapa satuan yang terpisah, yang disebut suasana perilaku. Pada setiap suasana terdapat pola-pola hubungan yang mengatur perilaku orang-orang didalamnya.

• Teknologi

Lingkungan teknoligis yang meliputi sistem energi, sistem produksi, dan sistem distribusi, membentuk serangkaian prilaku sosial yang sesuai dengannya. Bersamaan dengan itu tumbuhlah pola-pola penyebaran informasi yang mempengaruhi suasana kejiwaan setiap angggota masyarakat.

• Faktor-faktor Sosial

Sistem peranan yang ditetapkan dalam suatu masyarakat, struktur kelompok dan organisasi, karakteristik populasi, adalah faktor-faktor sosial yang menata perilaku manusia. Kelompok orang tua melahirkan pola perilaku yang pasti berbeda dengan kelompok anak muda.

• Lingkungan Psikososial

Lingkungan dalam persepsi kita lazim disebut iklim. Dalam organisasi, iklim psikososial menunjukan persepsi orang tentang kebebasan individual, ketetapan pengawasan, kemungkinan kemajuan, dan tingkat keakaraban. Pola-pola kebudayaan yang dominan atau ethos, idiologi dan nilai dalam persepsi anggota masyarakat, mempengaruhi seluruh prilaku sosial.

Situasi yang permisif memungkinkan orang melakukan banyak hal tanpa harus merasa malu. Sebaliknya, situasi restriktif menghambat orang untuk berperilaku sekehendak hatinya.

Manusia dapat berperilaku negatif karena beberapa sebab, yaitu pendidikan yang buruk, undang-undang yang tidak adil, pengangguran dan kekayaan,kondisi hidup yang sulit, seperti: kefakiran, peperangan, merebeknya kezahliman, diasingkan atau merasa asing, perselisihan atau pertikaian social. Dan perbedaan agama, aliran, warna atau ras (Badran, 2005 : 33-34)

II.6 Narapidana

Pengertian narapidana berasal dari dua suku kata yaitu Nara = orang dan Pidana = hukuman dan kejahatan (pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, narkoba, korupsi dan sebagainya). Jadi pengertian narapidana menurut kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai orang hukuman (orang yang menjalani hukuman) karena melakukan tindak pidana (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001:612).

Dalam pengertian sehari-hari narapidana adalah orang-orang yang telah melakukan kesalahan menurut hukum dan harus dimasukkan ke dalam penjara. Menurut Ensiklopedia Indonesia, status narapidana dimulai ketika terdakwa tidak lagi dapat mengajukan banding, pemeriksaan kembali perkara atau tidak ditolak permohonan agrasi kepada presiden atau menerima keputusan hakim pengadilan. Status terdakwa menjadi status terhukum dengan sebutan napi sampai terhukum selesai menjalani hukuman (penjara) atau dibebaskan.

Dalam pengertian tersebut dapat disampaikan bahwa seseorang yang sedang dalam proses pengadilan dana belum jatuh hukumannya berdasarkan keputusan hakim tidak dapat disebut napi atau orang terpidana.

Narapidana disebut juga sampah masyarakat dan merupakan orang yang tidak berguna. Sesungguhnya walaupun seseorang berstatus napi tidak boleh diperlakukan dengan kejam dan semana-mena, melainkan selama berada dalam lembaga pemasyarakatan mereka seharusnya dibina dan didik sehingga dapat hidup selaras dengan masyarakat dan tidak melanggar hukum lagi.

Dokumen terkait