• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tuhan) Kesempatan terakhir dari Tuhan Konsukuensi dari hidup

Lebih baik mati dari pada berbuat dosa

Keterangan

: Melingkupi : Mempengaruhi RELEGIUSITAS

-Keyakinan pada Tuhan -Ajaran Agama

-Nilai-nilai Ke-Tuhanan

Sebagai proses yang harus dijalani Berserah diri dan

Eksistensialisme modern sebagaimana yang diekspresikan oleh filsafat Simmel, Scheler, Jaspers, dan Heidegger (Koeswara, 1987), melihat kematian sebagai bagian konstitutif dan bukan semata-mata sebagai akhir hidup, dan menekankan gagasan bahwa hanya dengan mengintegrasikan konsep kematian ke dalam dirinyalah individu bisa mencapai keontetikan. Sanksi bagi pengingkaran atas kematian adalah kecemasan dan alienasi diri. Singkatnya, menurut pandangan eksistensialisme, manusia untuk bisa memahami dirinya secara penuh, haruslah berani menghadapi kematian, menyadari akan kematian dirinya.

Selanjutnya, menurut Heidegger (1962, Abidin 2002) bahwa kematian mampu menjadikan manusia sebagai dirinya yang solid, menjadi “diri” yang solid dan personal, dan hal itu akan dapat tercapai kalau manusia menerima kematian sebagai suatu fakta yang tidak terpisahkan dari eksistensinya. Berdasarkan pendapat Heidegger tersebut bahwa, penerimaan akan kematian pada subjek tidak terpisahkan dari eksistensinya sebagai manusia, yang mana manusia memiliki sifat dasar. Menurut Bastaman (Nashori, 2005) bahwa, manusia memilki sifat dasar yaitu kecenderungan kepada Agama atau keyakinannya pada Tuhan. Hal ini sesuai dengan pembahasan diatas yang mana faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan akan kematian muncul karena adanya dorongan relegiusitas dari diri subjek. Sebagai remaja akhir, subjek telah mengalami perubahan besar dan esensial mengenai fungsi rohani atau keagamaannya. Hal ini tampak dari penerimaan akan kematian dari diri subjek yang dipengaruhi oleh faktor dimensi keyakinan dan sikap yang mana faktor tersebut dipicu adanya relegiusitas dari diri subjek. Sesuai dengan pendapat Kartono (1990) mengenai masa remaja bahwa,

masa remaja juga sebagai masa penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada periode ini terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial mengenai fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah.

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa penerimaan akan kematian pada remaja akhir yang telah mengalami kritis dapat menunjukkan adanya proses yang menjadikan “diri” yang solid dan personal. Seperti yang dijelaskan Heidegger (Koeswara, 1987) yaitu, penerimaan yang tulus akan kematian bisa membantu manusia untuk hidup lebih otentik dan bahagia. Hidup yang otentik pada subjek dapat diketahui dengan adanya makna hidup pada diri subjek.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa proses terbentuknya makna hidup pada ketiga subjek dipengaruhi dengan adanya penderitaan (suffering) yang mana dalam hal ini adalah peristiwa ataupun kondisi kritis. Pengalaman situasi kritis secara medis yang telah dialami ketiga subjek pada awalnya menyebabkan ketiga subjek tersebut menjadi tidak optimal secara psikologis, tetapi sebagai makhluk yang berdaya dan dengan adanya dukungan sosial dari orang-orang terdekat, ketiga subjek telah mampu melakukan penghayatan diri atas kondisi yang telah dialaminya sehingga dari yang sebelumnya tidak bermakna menjadi bermakna. Dan perlu diketahui bahwa peran orang-orang terdekat sebagai social support seperti dengan memberi semangat hidup dan nasehat kepada individu yang mengalami situasi kritis hal ini dapat

membantu individu menjadi berdaya untuk memahami dirinya dan mengubah sikapnya yang sebelumnya tidak bermakna menjadi bermakna.

Subjek pertama meyakini bahwa peristiwa yang menjadikannya dalam keadaan kritis secara medis sebelumnya adalah sebagai peringatan Tuhan karena telah melakukan perbuatan tercela dan dengan hal tersebut telah menjadikan diri subjek meyakini bahwa hidup itu adalah bertindak sesuka hati tetapi tidak boleh melupakan perintah-perintah Allah SWT dan tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang Allah SWT.

Sedangkan subjek kedua menganggap bahwa kondisi kritis yang telah dialaminya telah membawa dirinya untuk yakin bahwa setiap orang memiliki jalan hidup yang berbeda-beda dan hidup itu bisa diperjuangkan tetapi tidak bisa mengaturnya yaitu dengan menyelesaikan yang menjadi bagian dirinya dan biarkan Tuhan yang menyelesaikan bagian-Nya.

Kemudian subjek ketiga pada sebelum mengalami perisitiwa yang menjadikan dirinya dalam keadaan kritis. Subjek ketiga memiliki banyak tujuan dan impian yang dianggapnya harus dilakukan, akan tetapi dengan menghayati peristiwa yang kritis yang telah dialaminya menjadikan diri subjek meyakini bahwa manusia itu terbatas dan tidak semua harus dilakukan tetapi semampunya dengan optimis.

Adapun berdasarkan pada pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa makna hidup pada remaja yang pernah mengalami situasi kritis secara medis antara lain ; Pertama, berhubungan dengan keluarga yaitu ; membahagiakan orang tua, hubungan yang abadi, berbakti kepada orang tua,

saling mendukung dan mengerti. Kedua, berhubungan dengan relegiusitas yaitu ; bersyukur kepada Tuhan, beribadah dan berdo’a kepada Tuhan, taqwa dan berpegang teguh pada ajaran agama, sabar dan ikhlas menjalani hidup, hati yang kaya, yakin kepada Tuhan, berserah diri (Tawakkal), dekat dengan Tuhan. Ketiga, berhubungan dengan kegiatan dan aktivitas yaitu ; melatih diri dan sebagai pengalaman, membagikan ilmu yang dimiliki. Keempat, berhubungan dengan orang lain dan masyarakat yaitu ; membahagiakan orang lain, tidak menyusahin orang lain, bermanfaat bagi orang lain, peduli dan berbagi. Dan terakhir Kelima, berhubungan dengan nilai-nilai bersikap yaitu ; hidup dijalani dengan optimis, bertanggung jawab, hidup itu ada kondisi maksimalnya, mengerti dengan keadaan diri, hidup yang terpenting dapat membuat diri nyaman, menjaga pola hidup sehat, hidup dijalani sebisanya, hidup tidak bisa dipesan, memahami sesuatu yang berbeda, melakukan perbuatan baik, memahami proses kehidupan, hidup seharusnya terarah.

Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang remaja yang mengalami situasi kritis secara medis tidak terlepas dari eksistensi manusia yaitu sebagai makhluk spritual yang menganggap penting dan butuh akan makna hidup. Yang disebutkan Frankl (2007) dengan ditandai oleh tiga hal, yaitu kerohanian (spirituality), kebebasan (freedom), dan tanggung jawab (responbility). Artinya manusia memiliki sumber daya rohaniah yang luhur di atas kesadaran akal, memiliki kebebasan untuk melakukan hal-hal terbaik bagi dirinya, dan bertanggung jawab sepenuhnya atas apa yang akan dan telah dilakukannya.

Selanjutnya, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan akan kematian pada remaja yang pernah mengalami kritis antara lain ; takdir (ketetapan Tuhan), berserah diri dan ikhlas, lebih baik mati dari pada berbuat dosa, konsukuensi dari hidup, karena kesempatan terakhir dari Tuhan, sebagai proses yang harus dijalani. Dan faktor-faktor tersebut dapat disederhanakan menjadi dua faktor yaitu faktor dimensi keyakinan dan faktor dimensi sikap. Yang kemudian dapat diambil kesimpulan bahwa adanya faktor-faktor tersebut dipengaruhi oleh sejauh mana tingkat relegiusitas pada diri individu.

Oleh karena itu penerimaan akan kematian pada remaja yang pernah mengalami kritis tidak terlepas juga dari eksistensinya sebagai manusia yang memiliki dimensi spiritual yaitu memiliki sumber daya rohaniah yang luhur di atas kesadaran akal atau memiliki keyakinan akan adanya nilai-nilai ke-Tuhanan. Dan hal ini menunjukkan adanya proses yang menjadikan individu-individu kepada “diri” yang solid dan personal. Seperti yang dijelaskan Heidegger (Koeswara, 1987) bahwa penerimaan yang tulus akan kematian bisa membantu manusia untuk hidup lebih otentik dan bahagia. Dan menurut hemat peneliti hidup yang otentik dapat diketahui dengan adanya makna hidup pada diri individu-individu itu sendiri.

Kemudian mengenai kelemahan penelitian bahwa penelitian ini masih terdapat beberapa kelemahan, adapun kelemahan-kelemahannya antara lain:

1. Personal document subjek tidak dipergunakan dalam memperkuat atau memperlengkap data penelitian.

2. Data pelengkap ataupun penguat yang berasal dari significant others belum dipergunakan.

3. Observasi belum akurat, bahasa tubuh subjek masih terabaikan.

Saran

1. Kepada remaja akhir yang telah mengalami kritis

Peristiwa kritis yang terjadi bukanlah akhir dari segalanya, ada pelajaran dan hikmah dari peristiwa yang dilalui. Dengan selalu yakin bahwa hidup ini bukan hanya untuk ditangisi tetapi kita dapat menemukan makna dari segala peristiwa yang telah terjadi, karena makna hidup akan membawa kita kepada kebahagian. Dan ketika seseorang mampu memandang penderitaan dari sudut agama maka ia akan mampu melihat hikmah dibalik itu semua.

2. Kepada peneliti selanjutnya

Setelah mendapatkan jawaban dari pertanyaan penelitian ini ada beberapa hal pula yang memunculkan pertanyaan baru, karena itu peneliti mengajukan saran-saran untuk penelitian lanjutan agar memperhatikan:

1. Untuk memperkuat atau memperlengkap data penelitian sebaik

Personal document subjek penelitian juga dijadikan pertimbangan.

2. Untuk memperkuat atau memperlengkap data penelitian sebaik

Significant others juga dipergunakan.

3. Observasi diharapkan dapat dilakukan dengan lebih akurat misalnya, dengan memperhatikan bahsa tubuh responden saat pengumpulan data.

Daftar Pustaka

Abidin. 2002. Analisis Eksistensial Untuk Psikologi dan Psikiatri. Bandung: Refika Aditama.

Agustiani. 2006. Psikologi Perkembangan Remaja. Bandung: Refika Aditama. Amazing True Story. 2008. Nyaris Kehilanganmu. http://www.jawaban.com Ancok, D & Suroso, F.N. 1994. Psikologi Islami : Solusi Islam atas

Problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Pustka Pelajar.

Azwar, S. 2007. Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bastaman, H.D 1996. Meraih Hidup Bermakna: Kisah Pribadi Dengan

Pengalaman Tragis. Jakarta: Paramadina.

Bastaman, H.D. 2007. Logoterapi Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan

Meraih Makna Hidup Bermakna. Jakarta: Rajawali Press.

Boeree, G (Alih Bahasa Muzir). 2005. Personality Theories. Jogjakarta: Prisma Sophie.

Cynthia, T. 2007. Proses Pencarian Makna Hidup Pada Perempuan yang

Mengalami Peristiwa Traumatis, Skripsi (Proceeding PESAT). Jakarta:

Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.

Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Endarmoko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta : Gramedia.

Frankl, V. 2003. Logoterapi Terapi Psikologi Melalui Pemaknaan Eksistensial. Jogjakarta: Kreasi Wacana.

Hardeny, M. 2004. Kebermaknaan Hidup dan Kesiapan Menghadapi Kematian

Pada Penderita Kanker. Skripsi (Naskah Publikasi). Jogjakarta: Fakultas

Psikologi Universitas Islam Indonesia.

Hidayat, K. 2006. Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme. Jakarta: PT Mizan Publika.

Misiak & Sexton (Alih Bahasa Koeswara). 2005. Psikologi Fenomenologi,

Eksistensial dan Humanistik. Bandung: Refika Aditama.

Moleong, L.J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Nashori, F. 2005. Potensi-potensi Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Petter & Yenny. 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press.

Susanti dkk. 2003. Makna Hidup dan Ketakutan Akan Kematian Pada Penderita

Kanker Usia Dewasa Madya : Studi Kasus. (Journal Anima). Surabaya:

Fakultas Psikologi Universitas Surabaya.

Susilo, D.J. 2006. Perkembangan Relegiositas Remaja Akhir. (Jurnal Insan). Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.

Strauss & Corbin. 2003. (Alih Bahasa Muhammad Shodiq & Imam Muttaqien)

Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tata Langkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sobur, A. 2003. Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah. Bandung: Pustaka Setia.

Tabrani, H. 1998. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: Penerbit Alumni.

Dokumen terkait