• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASKAH PUBLIKASI MAKNA HIDUP DAN PENERIMAAN AKAN KEMATIAN PADA REMAJA YANG TELAH MENGALAMI KRITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NASKAH PUBLIKASI MAKNA HIDUP DAN PENERIMAAN AKAN KEMATIAN PADA REMAJA YANG TELAH MENGALAMI KRITIS"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

PADA REMAJA YANG TELAH MENGALAMI KRITIS

Oleh :

Muhammad Nur Syuhada’ Yapsir Gandi Wirawan Miftahun Ni’mah Suseno

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

(2)

NASKAH PUBLIKASI

MAKNA HIDUP DAN PENERIMAAN AKAN KEMATIAN

PADA REMAJA YANG TELAH MENGALAMI KRITIS

Telah Disetujui Pada Tanggal ____________________________

Dosen Pembimbing Utama

(3)

MAKNA HIDUP DAN PENERIMAAN AKAN KEMATIAN

PADA REMAJA YANG TELAH MENGALAMI KRITIS

Muhammad Nur Syuhada’ Yapsir Gandi Wirawan Miftahun Ni’mah Suseno

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi makna hidup pada remaja yang pernah mengalami situasi kritis secara medis. Kemudian faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi penerimaan akan kematian pada remaja yang pernah mengalami situasi kritis secara medis.

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja akhir yang pernah mengalami situasi kritis secara medis dengan rentang usia antara 19-22 tahun dan dengan rentang waktu pernah mengalami kritis paling lama 5 tahun sebelumnya. Subjek dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan teknik case reprecentativeness.

Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa makna hidup pada remaja yang pernah mengalami situasi kritis secara medis antar lain ; Pertama, berhubungan dengan keluarga yaitu ; membahagiakan orang tua, hubungan yang abadi, berbakti kepada orang tua, saling mendukung dan mengerti. Kedua, berhubungan dengan relegiusitas yaitu ; bersyukur kepada Tuhan, beribadah dan berdo’a kepada Tuhan, taqwa dan berpegang teguh pada ajaran agama, sabar dan ikhlas menjalani hidup, hati yang kaya, yakin kepada Tuhan, berserah diri (Tawakkal), dekat dengan Tuhan. Ketiga, berhubungan dengan kegiatan dan aktivitas yaitu ; melatih diri dan sebagai pengalaman, membagikan ilmu yang dimiliki. Keempat, berhubungan dengan orang lain dan masyarakat yaitu ; membahagiakan orang lain, tidak menyusahin orang lain, bermanfaat bagi orang lain, peduli dan berbagi. Dan terakhir Kelima, berhubungan dengan nilai-nilai bersikap yaitu ; hidup dijalani dengan optimis, bertanggung jawab, hidup itu ada kondisi maksimalnya, mengerti dengan keadaan diri, hidup yang terpenting dapat membuat diri nyaman, menjaga pola hidup sehat, hidup dijalani sebisanya, hidup tidak bisa dipesan, memahami sesuatu yang berbeda, melakukan perbuatan baik, memahami proses kehidupan, hidup seharusnya terarah.

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan akan kematian pada remaja yang pernah mengalami situasi kritis secara medis antara lain ; takdir (ketetapan Tuhan), berserah diri dan ikhlas, lebih baik mati dari pada berbuat dosa, konsukuensi dari hidup, karena kesempatan terakhir dari Tuhan, sebagai proses yang harus dijalani. Yang kemudian faktor tersebut dapat disimpulkan menjadi dua faktor yaitu faktor dimensi keyakinan dan faktor dimensi sikap.

(4)

Pengantar

Kelahiran, pertumbuhan, kemunduran, dan kematian merupakan lingkaran yang dialami oleh manusia. Topik-topik tentang masa depan, cita-cita, dan keberhasilan banyak bermunculan, sedangkan pemikiran tentang kematian sedikit sekali direnungkan karena topik ini kelihatan begitu suram dan kurang menarik. Kematian dan seksualitas merupakan topik yang tabu untuk dibicarakan, tetapi pada tahun tujuh puluhan masyarakat mulai membicarakan kehidupan seks, sedangkan kematian mulai banyak dibicarakan sekitar tahun delapan puluhan (Susanti, 2003).

Kastenbaum (Susanti dkk, 2003) menulis bahwa kematian merupakan konsep yang relatif dan sering berubah. Pemahaman seseorang mengenai kematian sangat relatif, tergantung pada tingkat perkembangan, situasi dan budaya, dan mungkin juga dapat berubah ketika faktor-faktornya berubah. Anak-anak dan orang dewasa memiliki pengertian berbeda mengenai kematian. Kebudayaan juga memiliki pandangan yang berbeda mengenai kematian. Kebudayaan teknologi modern secara umum menekankan konsep kematian pada pengertian biologi, sedangkan kebudayaan yang lain memiliki pandangan konsep bahwa konsep kematian berkaitan dengan unsur magis dan metafisika.

Perjalanan kehidupan seseorang, tentunya akan banyak pengalaman yang dialami baik yang menyenangkan, menyedihkan ataupun menyakitkan. Pengalaman hidup yang tidak menyenangkan dan bersifat traumatis seringkali menyebabkan munculnya masalah-masalah psikologis dan membuat individu menjadi tidak dapat berfungsi optimal dalam berbagai aspek kehidupan. Padahal

(5)

menurut Yusuf (Cynthia, 2007), keadaan tersebut sangat berkaitan dengan pemeliharaan psikologis individu, sehingga individu tersebut dapat terhindar dari kerusakan mental atau maladjusment. Yusuf (Cynthia, 2007) menyebutkan bahwa salah satu prinsip dari pencapaian kesehatan mental oleh indvidu didasarkan kepada hakikat manusia, yaitu perilaku individu harus sesuai dengan hakikat kemanusiaannya sebagai makhluk yang memiliki moral, intelektual, agama, emosional, dan sosial. Kesehatan mental juga dapat dicapai dengan memperluas pengetahuan tentang diri sendiri, disertai dengan usaha-usaha perbaikan diri dan perwujudan diri. Kestabilan mental individu sendiri dapat dicapai dengan pengembangan moral yang luhur dalam diri individu, seperti bersikap adil, hati-hati, keteguhan hati-hati, semangat, integritas pribadi, rendah hati dan kejujuran. Selanjutnya, nilai-nilai moral atau spiritual yang dimiliki individu yaitu kejujuran, kasih sayang, harapan, ketekunan, keteguhan, kreativitas, diri yang tumbuh dan berkembang, akan sangat memungkinkan individu untuk dapat mengatasi permasalahan yang dihadapinya, untuk kemudian tumbuh menjadi pribadi yang semakin matang dan berdaya, sehingga dapat mengatasi permasalahan yang dihadapinya, untuk kemudian tumbuh menjadi pribadi yang semakin matang dan berdaya, sehingga dapat berfungsi secara optimal dan hidupnya lebih bermakna.

Penelitian yang dilakukan oleh Hardeny (2004) mengenai kebermaknaan hidup dan kesiapan mengahadapi kematian pada penderita kanker di Rumah Sakit Sardjito menyimpulkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara kebermaknaan hidup dan kesiapan menghadapi kematian. Kenyataan ini

(6)

maka semakin siap penderita kanker tersebut menghadapi kematian. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya mengenai makna hidup dan ketakutan akan kematian pada penderita kanker usia dewasa madya, oleh Susanti (2003) yang menyimpulkan bahwa makna hidup dapat dicapai dengan merealisasikan nilai-nilai kreatif, nilai-nilai-nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai-nilai-nilai bersikap. Realisasi ketiga nilai-nilai tersebut dapat menentukan seberapa banyak bentuk manifestasi dari ketakutan akan kematian yang dialami. Bila makna hidup belum ditemukan, individu semakin banyak mengalami berbagai bentuk ketakutan akan kematian.

Bastaman (Cynthia, 2007) menyebutkan bahwa, proses pencapaian kebermaknaan hidup pada umumnya diawali dengan penderitaan (suffering). Dalam kehidupan, individu seringkali tidak dapat menghindari terjadinya peristiwa traumatis yang menimpa diri, keluarga, dan lingkungannya, sekalipun usaha pencegahan telah dilakukan secara serius dan upaya penanggulangannya pun telah secara opitimal dilakukan. Diantara peristiwa-peristiwa traumatis itu adalah kegagalan dalam mencapai tujuan, mendapat hukuman karena kesalahan dosa, mengalami kecelakaan, menderita cacat, mengidap penyakit yang sulit disembuhkan, menerima perlakuan tidak adil dari pihak lain, kehilangan pekerjaan dan sumber nafkah hidup, kebangkrutan usaha, kehamilan yang tidak terelakkan, kematian orang-orang yang dikasihi, menunggu saat-saat kematian sendiri, dan beragam peristiwa lainnya. Peristiwa yang tidak terelakkan, baik yang bersumber dari dalam diri maupun dari lingkungan, sudah pasti akan menimbulkan stres dan perasaan kecewa, tertekan, susah, sedih, cemas, marah, malu, terhina, rendah diri, putus asa, hampa, dan tidak bermakna. Tetapi dilain

(7)

pihak, banyak juga individu yang berhasil dengan gemilang mengatasi kesulitan-kesulitan dan perasaan-perasaan tidak menyenangkan akibat penderitaannya. Mereka mampu mengubah kondisi penghayatan dirinya dari penghayatan tidak bermakna (meaningless) menjadi bermakna (meaningful). Bahkan tidak sedikit diantara individu tersebut yang berhasil mencapai prestasi tinggi, bahkan mampu menemukan hikmah dari penderitaannya (meaning in suffering).

Kemampuan mencari makna hidup pada tahap perkembangan manusia sudah ada pada usia remaja akhir. Hal ini seperti yang diungkapkan Monks dkk (Susilo, 2006), remaja akhir ditandai dengan perjuangan dari individu untuk memenuhi tugas-tugas perkembangannya dan menghadapi permasalahan yang ada; memiliki kebutuhan yang khas dan perilaku yang khas pula dalam memenuhi kebutuhan tersebut; dan memiliki permasalahan dalam keyakinan, pencarian makna, penentuan pilihan dan penentuan tujuan hidup.

Kapanpun seseorang bisa berhadapan dengan sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan, sesuatu yang tak terhindarkan, nasib yang tidak bisa berubah, penyakit yang tidak terobati ; yang dengan demikian itu seseorang diberi kesempatan terakhir untuk mengaktualkan nilai tertinggi, untuk mengisi makna terdalam, yaitu makna penderitaan. Menghadapi semua hal di atas perlu kesiapan sikap untuk menjalani penderitaan, sebuah sikap dimana kita menanggung penderitaan itu di atas diri kita sendiri (Frankl, 2003). Nilai-nilai bersikap, yaitu menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi, seperti sakit yang tidak dapat

(8)

dilakukan secara maksimal. Perlu dijelaskan disini dalam hal ini yang diubah bukan keadaannya, melainkan sikap (attitude) yang diambil dalam menghadapi keadaan itu. Ini berarti apabila menghadapi keadaan yang tidak mungkin diubah atau dihindari, sikap yang tepatlah yang masih dapat dikembangkan. Sikap menerima dengan penuh ikhlas dan tabah hal-hal tragis yang tidak mungkin dielakkan lagi dapat mengubah pandangan kita dari yang semula diwarnai penderitaan semata-mata menjadi pandangan yang mampu melihat makna dan hikmah dari penderitaan itu. Selain itu, Martin Heidegger (1889-1976) seorang filsuf jerman dan pencipta filsafat eksistensial (Koeswara, 1987), menyatakan bahwa penerimaan yang tulus akan kematian bisa membantu manusia untuk hidup lebih otentik dan bahagia.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus, dalam arti pendekatan yang dilakukan terhadap sampel adalah secara individual, penggalian secara eksploratif terhadap dunia individual, dan penggambaran hasil penelitian dalam pencandraan secara sistematis, akurat, dan deskriptif. Sifat dari penelitian studi kasus adalah melihat kembali pada kehidupan yang sudah dijalani oleh individu. Eksplorasi seakurat mungkin dilakukan terhadap peristiwa, perasaan, dan pikiran sampel dengan menemukan faktor-faktor penyebab dan mengetahui pengaruhnya terhadap kehidupan subjek saat ini (Moleong, 2002).

(9)

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja akhir yang telah mengalami kritis dengan rentang usia antara 19-22 tahun dengan rentang waktu paling lama 5 tahun sebelumnya. Subjek dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan teknik case reprecentativeness.

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini melalui wawancara dan observasi. Menurut Moleong (2002) wawancara adalah percakapan yang mengandung maksud tertentu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara dan yang diwawancarai. Tujuan wawancara adalah untuk mengetahui penjelasan tentang pertanyaan penelitian, dengan metode wawancara ini diharapkan peneliti mendapatkan informasi yang lebih mendalam. Model wawancara semi terstruktur, yaitu wawancara terfokus pada permasalahan yang akan digali namun juga tidak menutup kemungkinan pertanyaan akan terus melebar disesuaikan dengan informasi yang diperoleh untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak. Sedangkan observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki.

Data yang dikumpulkan akan dianalisis secara kualitatif, sehingga hasil penelitian akan dijabarkan dalam bentuk deskripsi. Karena interpretasi yang dilakukan adalah kualitatif, yang dipentingkan adalah unsur subjektifitas dari individu itu sendiri. Data kualitatif yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan content analysis. Pada content analysis ini dibagi pada beberapa tahap, yaitu:

(10)

2. Axial Coding, di mana kode-kode yang telah dimasukkan dalam tema dibuat menjadi kategori-kategori, biasanya akan terwujud struktur pohon

3. Selective Coding, yaitu di mana mencari hubungan antara kategori yang selanjutnya diuji dan tema baru dapat dikembangkan.

Hasil Penelitian Tabel 1

Makna hidup pada remaja akhir yang telah mengalami kritis

Kategori Makna hidup pada remaja akhir yang telah mengalami kritis

Hubungan keluarga 1. Membahagiakan orang tua

2. Hubungan yang abadi 3. Berbakti kepada orang tua 4. Saling mendukung dan mengerti

Relegiusitas (Agama) 1. Bersyukur kepada Tuhan

2. Beribadah dan berdo’a kepada Tuhan 3. Taqwa dan berpegang teguh pada

ajaran agama

4. Sabar dan Ikhlas menjalani hidup 5. Hati yang kaya

6. Yakin kepada Tuhan 7. Berserah diri (Tawakkal) 8. Dekat dengan Tuhan

(11)

2. Membagikan ilmu yang dimiliki

Orang lain atau masyarakat 1. Membahagiakan orang lain 2. Tidak menyusahin orang lain 3. Bermanfaat bagi orang lain 4. Peduli dan berbagi

Nilai-nilai bersikap 1. Hidup dijalani dengan optimis 2. Bertanggung jawab

3. Hidup itu ada kondisi maksimalnya 4. Mengerti dengan keadaan diri

5. Hidup yang terpenting dapat membuat diri nyaman

6. Menjaga pola hidup sehat 7. Hidup dijalani sebisanya 8. Hidup tidak bisa dipesan

9. Memahami sesuatu yang berbeda 10. Melakukan perbuatan baik 11. Memahami proses kehidupan 12. Hidup seharusnya terarah

(12)

Tabel 2

Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan akan kematian pada remaja akhir yang telah mengalami kritis

Faktor-faktor penerimaan akan kematian pada remaja akhir yang telah mengalami kritis 1. Takdir (ketetapan Tuhan)

2. Berserah diri dan ikhlas

3. Lebih baik mati dari pada berbuat dosa 4. Konsukuensi dari hidup

5. Karena kesempatan terakhir dari Tuhan 6. Sebagai proses yang harus dijalani

Pembahasan

1. Makna Hidup pada Remaja Akhir yang telah mengalami Kritis

Sebelum masuk pada penjelasan mengenai makna hidup pada remaja akhir yang telah mengalami kritis sekiranya perlu dijelaskan berdasarkan temuan penelitian yang ada bagaimana proses dan kondisi unik subjek-subjek dalam terbentuknya makna hidup pada remaja akhir yang telah mengalami kritis. Berikut ini penjelasan mengenai proses terbentuknya makna hidup pada setiap subjek dengan gambaran dan penjelasan sebagai berikut :

(13)

a. Subjek Pertama

Gambar 1.1 Proses Terbentuknya Makna Hidup Pada Subjek Pertama Relegius : ? Marah kepada Tuhan (S1-W1 137-138) Peristiwa Kritis (Kecelakaan) Kelemahan Fisik :

Sulit untuk menghafal (S1-W1, 165-170)

Psikologis :

? Kecewa (S1-W1 136-137) ? Tidak menerima dengan

kondisinya (S1-W1 66-70) ? Menganggap diri tidak normal

(S1-W1 148-155)

Social Support

Keluarga (Kakak dan Ibu), Teman, dan Guru Agama : ? Memberi semangat (S1-W1 256-262)

? Menemanin (S1-W1 236-246).

? Guru agama memberi nasehat (S1-W1 140-143) ? Menghibur (S1-W1 274-280) ? Menenangkan hati (S1-W1 251-254) Nilai-nilai Agama (S1-W1, 404-416) Pemahaman Diri Penghayatan nilai-nilai dan pengubahan sikap

Psikologis :

? Berani bersikap l(S1-W1 155-158) ? Merasa normal (S1-W1, 280-284)

Religius :

? Relegius meningkat, beribadah (S1-W1 209-213) ? Bertaubat (S1-W1 143-145)

Terbentuknya

Makna Hidup

Kegiatan sehari-hari dan Organisasi

Tidak Ada Tujuan dan Makna Hidup

(14)

b. Subjek Kedua

Gambar 1.2 Proses Terbentuknya Makna Hidup Pada Subjek Kedua

Relegius :

? Marah kepada Tuhan , menganggap Tuhan tidak Adil (S2-W1, 430-439) Kondisi Kritis

(Kumat)

Sosial :

? Tidak suka orang lain khawatir (S2-W1, 239-244)

? Tidak punya teman (S2-W1, 110-111) Psikologis : ? Tidak menerima dengan kondisi diri (S2-W1, 216-220) Social Support

Keluarga (Ayah dan Ibu), Dokter dan Teman : ? Memberi semangat (S2-W1, 140-145) ? Menemanin (S2-W1, 520-529 & 547)

? Mendapat Nasehat dan Pelajaran (S2-W1, 133-145) ? Kepercayaan dari orang tua (S2-W1, 582-589)

Nilai-nilai Agama (S2-W1, 131-141 & 311-331) Pemahaman Diri Penghayatan nilai-nilai dan pengubahan sikap

Psikologis :

? Menerima dan sadar dengan kondisinya (S2-W1, 285-286) ? Merasa ada kondisi yang

tidak bisa dilanggar (S2-W1, 274-277 & 465-475)

Religius :

? Relegiusitas meningkat, beribadah dan meyakini Tuhan Maha Adil dan Maha Benar (S2-W1, 439-444)

? Menghargai apa yang telah diberikan Tuhan (S2-W1, 290-297)

Terbentuknya

Kegiatan sosial

Tidak Ada Makna Hidup Kelainan Klep

Jantung Sejak Lahir

Sosial :

? Mampu bermasyarakat (S2-W1, 1025-1046) ? Menganggap semua

orang berbeda dan bersikap toleran (S2-W1, 1094-1113) Kelemahan fisik : ? Rentan dengan penyakit (S2-W2, 327-331)

(15)

c. Subjek Ketiga

Gambar 1.3 Proses Terbentuknya Makna Hidup Pada Subjek Ketiga

Social Support Relegius : ? Mempertanyakan takdir (S3-W1 51-57 & 66-70) Peristiwa Kritis (Kecelakaan) Fisik : ? Rentan dengan penyakit (S3-W1, 38-41) Psikologis : ? Cemas (S3-W1, 194-196) ? Tidak menerima dengan

kondisinya S3-W1, 93-95) Teman-teman : ? Memberi semangat (S3-W1 349-355, 375-393, 430-434) ? Menemani (S3-W1 375-393 & 349-355) ? Nasehat (S3-W1 491-494) Nilai -nilai Ideal (S3-W1 317-319 & 546-586) Pemahaman Diri

Penghayatan nilai -nilai dan pengubahan sikap

Psikologis :

? Menerima dan sadar dengan kondisinya (S2-W1 285-286, S3-W1 101-105) ? Berani bersikap (S1-W1 155-158) Religius : ? Mengambil Hikmah (S3-W1 77-84, 108-113 & 801-803)

Terbentuknya

Makna Hidup

Kegiatan sosial dan organisasi

Memiliki Banyak Tujuan dan Impian yang Harus

dilakukan

Sosial :

? Peduli dengan orang lain (S3-W1 568-582)

(16)

Gambar 1.4. Proses Terbentuknya Makna Hidup pada Remaja Akhir yang telah men galami Kritis

Peristiwa Kritis

Kelemahan Fisik : ? Rentan dengan penyakit (S2-W2 327-331, S3-W1 38-41) ? Aktifitas fisik terbatas

(S1-W1 35-40 & 183-191, S2-W1 979-980, S3-W1 42-46) Psikologis : ? Kecewa (S1-W1 136-137) ? Cemas (S3-W1 194-196) ? Tidak menerima dengan

kondisinya (S1-W1 66-70, S2-W1 216-220, S3-W1 93-95)

? Menganggap diri tidak normal (S1-W1 148-155)

Sosial :

? Tidak suka orang lain khawatir (S2-W1 239-244) ? Tidak punya teman (S2-W1 110-111) Social Support

Keluarga (Saudara, Ayah dan Ibu), Teman, Dokter, dan Guru Agama : ? Memberi semangat (S1-W1 256-262, S2-W1 140-145, S3-W1 349-355, 375-393, 430-434) ? Menemanin (S1-W1 236-246, S2-W1 520-529 & 547, S3-W1 375-393 & 349-355) ? Nasehat (S1-W1 140-143, S2-W1 133-145, S3-W1 491-494) ? Kepercayaan (S2-W1 582-589) ? Menghibur (S1-W1 274-280) ? Menenangkan hati (S1-W1 251-254) Nilai -nilai Agama dan Idealis (S1-W1 404-416, S2-W1 131-141 & 311-331, S3-W1 317-319 & 546-586) Pemahaman Diri Penghayatan nilai dan pengubahan sikap Psikologis :

? Menerima dan sadar dengan kondisinya (S2-W1 285-286, S3-W1 101-105)

? Berani bersikap (S1-W1 155-158) ? Optimis (S3-W1 202-204, 227-229 &

255-258)

? Ada kondisi yang tidak bisa

dilanggar (S2-W1 274-277 & 465-475)

Sosial :

? Mampu bermasyarakat (S2-W1 1025-1046, S3-(S2-W1 600-605) ? Peduli dengan orang lain

(S3-W1 568-582)

? Menganggap semua orang berbeda dan toleran (S2-W1 1094-1113)

Religius :

? Relegius meningkat (S1-W1 209-213, S2-W1 439-444) ? Bertaubat (S1-W1 143-145) ? Menghargai apa yang telah

diberikan Tuhan (S2-W1 290-297) ? Mengambil Hikmah (S3-W1 77-84, 108-113 & 801-803)

Terbentuknya

Makna Hidup

Kegiatan dan Aktifitas sosial Relegius : ? Marah pada Tuhan (S1-W1 137-138, S2-W1 430-439) ? Mempertanyaka n takdir (S3-W1 51-57 & 66-70) Keterangan Tidak Ada Makna Hidup

(17)

Selanjutnya dari proses terbentuknya makna hidup pada remaja akhir yang telah mengalami kritis, dari hasil penelitian yang ada peneliti akan membahas dari pengkategorian yang berkenaan dengan makna hidup pada remaja akhir yang telah mengalami kritis. Perlu diingat kembali bahwa makna hidup yang dimaksud adalah sesuat u yang dianggap penting, benar dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang (Bastaman, 2007 ). Seperti yang diungkapkan oleh Frankl (2003), bahwa makna hidup bisa berbeda antara manusia satu dengan yang lainya dan berbeda setiap hari, bahkan setiap jam. Karena itu, yang penting bukan makna hidup secara umum, melainkan makna khusus dari hidup seseorang pada suatu saat tertentu. Dan pada pembahasan makna hidup ini yang dimaksud adalah makna hidup yang me miliki makna khusus yaitu pada remaja akhir yang telah mengalami kritis.

Bastaman (2007) menyebutkan bahwa, proses pencapaian kebermaknaan hidup pada umumnya diawali dengan penderitaan ( suffering). Ungkapan seperti ”Makna dalam Derita” ( Meaning in Suffering) atau ”Hikmah dalam Musibah” (Blessing in Disquise) menunjukkan bahwa dalam penderitaan sekalipun makna hidup tetap dapat ditemukan. Sedangkan penderitaan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah peristiwa kritis yaitu suatu keadaan dengan perburukan

patofisiologi yang cepat dan dapat menyebabkan kematian. Dan hal ini

dikhususkan pada remaja akhir yang mana merupakan waktu yang tepat dalam mencari makna hidup. Seperti yang dijelaskan Monks dkk (Susilo, 2006) bahwa pada usia remaja akhir, pencarian makn a hidup adalah hal yang berarti dalam

(18)

telah ditemukan disini adalah bersifat unik dan khusus, yang berdasarkan hasil penelitian yang ada bahwa makna hidup pada remaja akhir yang telah mengalami kritis dikategorikan menjadi lima kategori yaitu ; hubungan keluarga, relegiusitas, kegiatan atau aktivitas, orang lain atau masyarakat (sosial), dan nilai -nilai bersikap.

Pertama, makna hidup yang berhubungan dengan keluarga yang antara

lain ; membahagiakan orang tua, hubungan yang abadi, berbakti kepada orang tua , saling mendukung dan mengerti. Dalam “panca cara temuan makna” salah satunya adalah pengakraban hubungan yaitu ; meningkatkan hubungan baik dengan pribadi -pribadi tertentu ( misalnya a nggota keluarga, teman, rekan kerja, tetangga), sehingga masing -masing merasa saling menyayangi, saling memerlukan satu dengan lainnya, serta saling membantu. Makna hidup yang berhubungan dengan keluarga ini merupakan termasuk jenis makna cinta, seperti yang diungkapkan Frankl (Bastman, 1996) bahwa eksistensi manusia didasari oleh keunikan dan keistimewaan individu tersebut. Dalam cinta terjadi penerimaan penu h akan nilai -nilai, tan pa kontribusi maupun usaha dari yang dicintai, cinta membuat si pecinta mene rima segala keuni kan dan keistimewaan orang yang dicintainya. Hal ini menunjukkan bagi subjek bahwa orang tua dan keluarga adalah individu -individu yang istemewa baginya, sehingga dari makna hidup yang ada tersebut memberi pengertian bahwa hidup subjek mem iliki makna ketika dapat membahagiakan orang tua, adanya hubungan yang abadi dalam keluarga, berbakti kepada orang tua, serta saling mendukung dan mengerti dalam keluarga. Yang mana orang tua dan keluarga disini memiliki makna cinta sebagai

(19)

individu -indivi du yang istimewa dan sangat berarti bagi subjek. Dari pengalaman kritis yang telah dialami subjek dapat diketahui bagaimana orang tua dan keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan subjek.

Kedua, makna hidup yang berhubungan dengan relegi usitas yang antara

lain ; bersyukur kepada Tuhan , beribadah dan berdo’a kepada Tuhan , taqwa dan berpegang teguh pada ajaran agama, sabar dan ikhlas menjalani hidup , hati yang kaya, yakin kepada Tuhan , berserah diri (Tawakkal) , dekat dengan Tuhan. Victor Frankl menyebutkan (Bastaman, 2007 ) bahwa manusia memiliki dimensi spiritual disamping dimensi -dimensi ragawi dan kejiwaan (termasuk sosial -budaya) yang satu sama lainnya terintegrasi dan tak terpisahkan. Frankl melihat dimensi spiritual demikian penting dan menganggap bahwa eksistensi manusia ditandai oleh tiga hal, yaitu kerohanian ( spirituality), kebebasan (freedom), dan tanggung jawab (responbility). Artinya manusia memiliki sumber daya rohaniah yang luhur diatas kesadaran akal, memiliki kebebasan untuk m elakukan hal -hal yang terbaik bagi dirinya, dan bertanggung jawab sepenuhnya atas apa yang akan dan telah dilakukannya. Bagi Frankl (Bastaman, 2007) bahwa sebutan “ spirituality” dalam pandangan logoterapi tidak mengandung konotasi keagamaan karena dimensi ini dimiliki tanpa memandang ras, ideologi, agama, dan keyakinannya. Pengertian spirit dan dimensi spiritual dalam logoterapi dengan demikian bercorak antropologis dan bukan teologi s. Gagasan Frankl (Boeree,1997) mengenai agama dan spiritualitas harus dip ahami lebih luas dari pada pengertian biasa. Tuhan yang dimaksud Frankl disini bukanlah Tuhan dalam pengertian sempit, bukan Tuhan

(20)

dalam satu agama. Tuhan disini adalah Tuhan yang ada dalam batin setiap manusia, Tuhan yang ada dalam hati. Orang ateis atau agnostik pun, jelas Frankl, dapat menerima gagasan Transendensi tanpa harus memaknai kata “Tuhan”.

Makna hidup subjek yang berhubungan dengan relegiusitas tersebut, peneliti berpenda pat bahwa makna hidup disini adalah eksistensi subjek sebagai manusia yang memiliki sumber daya rohaniah, memiliki kebebasan untuk melakukan hal yang terbaik bagi dirinya, dan bertanggung jawab sepenuhnya atas perilakunya. Misalnya, makna hidup dengan bert aqwa dan berpegang teguh pada ajaran Agama. Artinya bagi subjek hidup akan bermakna dengan Taqwa dan berpegang teguh pada ajaran Agama, dan dari contohnya memberi pengertian bahwa makna tersebut memiliki sumber daya rohaniah yaitu keyakinannya kepada Tuhan , dan adanya kebebasan dari subjek dengan berpegang teguh pada ajaran agama merupakan pilihan yang terbaik baginya. Kemudian pengertian dimensi spiritual menurut Frankl (Bastaman, 2007) dalam logoterapi yang lebih bercorak pada antropologis (manusia) buka n teologis (agama). Dan menurut Ancok dan Nashori (2005) mengenai konsep utama manusia dalam psikologi Islami disebut sebagai konsep fithrah yaitu ; fithrah manusia adalah mempercayai dan mengakui Allah sebagai Tuhannya. Selanjutnya Bastaman (Nashori, 200 5) mengatakan bahwa fithrah manusia adalah suci dan beriman, kecenderungan kepada Agama merupakan sifat dasar manusia; sadar atau tidak sadar manusia selalu merindukan Tuhan. Oleh karena itu dari temuan makna hidup diatas tepatnya beberapa makna hidup tersebut dapat dikategorikan berhubungan dengan relegiusitas. Hal ini dapat diperkuat dengan teori dimensi relegiusita s (keberagamaan) menurut Glock dan

(21)

Stark (Ancok dan Suroso, 1994) ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu dimensi keyakinan, dimensi prakti k agama, dimensi penghayatan, dimensi pengamalan, dan dimensi pengetahuan agama. Jelasnya beberapa makna hidup tersebut sesuai dengan dimensi -dimensi relegiusitas, antara lain ; Pertama,

dimensi keyakinan yaitu, yakin kepada Tuhan, Taqwa dan berpegang tegu h pada ajaran agama). Kedua dimensi praktik agama yaitu, beribadah dan berdo’a kepada Tuhan. Ketiga, dimensi penghayatan yaitu, hati yang kaya, dekat dengan Tuhan.

Keempat, dimensi pengamalan yaitu, berserah diri (Tawakkal) , sabar, ikhlas,

bersyukur. Dari uraian diatas jelasnya, makna hidup yang berhubungan dengan relegiusitas tersebut tidak terlepas sebagai sifat dasar manusia yang memiliki kecenderungan kepada Agama, yang peneliti katakan sebagai makna hidup yang memiliki nilai -nilai Ilahiyah atau Ke-Tuhanan.

Ketiga, makna hidup yang berhubungan dengan kegiatan dan aktivitas

yang antara lain ; melatih diri dan sebagai pengalaman, membagikan ilmu yang dimiliki. Bastaman (2007) mengatakan bahwa dalam kehidupan ini terdapat tiga bidang kegiatan yang secara po tensial mengandung nilai -nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidup di dalamnya apabila nilai -nilai itu diterapkan dan dipenuhi, salah satunya adalah creative values. Nilai

kreatif dapat diraih melalui berbagai kegiatan. Nilai kreatif disini m aksudnya adalah kegiatan berkarya, bekerja, mencipta serta melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik -baiknya dengan penuh tanggung jawab (Bastaman, 2007). Kegiatan yang dimaksud tidaklah semata -mata kegiatan mencari uang, namun

(22)

sebagai sesuatu yang dinilainya berharga bagi dirinya sendiri atau orang lain maupun kepada tuhan. Aktivitas atau kegiatan yang dilakukan subjek seperti mengikuti organisasi dan beberapa aktivitas sosial lainnya a dalah sebagai aktivitas yang dapat merealisasikan potensi -potensi yang dimiliki dan berharga bagi dirinya serta orang lain. Seperti refleksi dari kegiatan untuk melatih diri dan menambah pengalaman serta membagikan ilmu yang dimiliki kepada orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa makna hidup yang berhubungan dengan kegiatan pada subjek memiliki arti tersendiri bagi dirinya dan memberikan manfaat pada orang lain. Oleh karena itu kegiatan atau aktivitas yang telah dilakukan subjek mempengaruhi terbentuknya makn a hidup pada dirinya.

Keempat, makna hidup yang berhubungan dengan orang lain dan

masyarakat yang antara lain ; membahagiakan orang lain , tidak menyusahin orang lain , bermanfaat bagi orang lain , peduli dan berbagi. Pekerjaan atau kegiatan menurut Frankl (Bastaman, 1996) mem presentasikan keunikan keberadaan individu dalam hubunganya dengan masyarakat dan karenanya memperolah makna dan nilai. Dari peristiwa kritis yang telah dialami sebelumnya, subjek melakukan penghayatan atas peristiwa tersebut dan dengan a danya interaksi sosial dan kegiatan yang telah dilakukannya, subjek menemukan nilai dan makna mengenai hubungannya dengan orang lain ataupun masyarakat. Makna yang berhubungan dengan orang lain ataupun masyarakat tersebut kita dapat mengetahui bagaimana su bjek mempresentasikan keunikan keberadaan individu dengan orang lain dan masyarakat dengan makna hidup yang dapat memberikan manfaat pada orang lain.

(23)

Kelima, makna hidup yang berhubungan dengan nilai -nilai bersikap yang

antara lain ; hidup dijalani dengan optimis, bertanggung jawab, hidup itu ada kondisi maksimalnya , mengerti dengan keadaan diri , hidup yang terpenting dapat membuat diri nyaman, menjaga pola hidup sehat , hidup dijalani sebisanya , hidup tidak bisa dipesan , memahami sesuatu yang berbeda , melakukan perbuatan baik , memahami proses kehidupan , hidup seharusnya terarah. Nilai -nilai bersikap tersebut terbentuk dengan adanya pengaruh dari peristiwa kritis yang telah dialami subjek sehingga pengalaman kritis subjek yang berbeda memberikan makna yang khusus dan unik terhadap subjek. Menurut Bastaman (2007) bahwa nilai -nilai bersikap yaitu menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi, seperti sakit yang tidak dapat disembuhkan, ke matian, dan menjelang kematian, setelah segala upaya dan ikhtiar dilakukan secara maksimal. Nilai ini sering dianggap paling tinggi karena didalam menerima kehilangan kita terhadap kreativitas maupun kehilangan kesempatan untuk menerima cinta kasih, manusi a tetap bisa mencapai makna hidupnya melalui penyikapan terhadap apa yang terjadi. Perlu dijelaskan disini dalam hal ini yang diubah bukan keadaannya, melainkan sikap ( attitude)

yang diambil dalam menghadapi keadaan yang tidak mungkin diubah atau dihindari , sikap yang tepatlah yang masih dapat dikembangkan. Dengan nilai -nilai sikap dari hal tragis ataupun kritis yang telah dialami subjek yang semulanya diwarnai penderitaan semata -mata kemudian menjadi pandangan yang mampu melihat makna dan hikmah dari peris tiwa yang telah dialaminya. Penderitaan

(24)

terhadap peristiwa kritis tersebut menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu makna hidup yang berhubungan dengan nilai -nilai bersikap pada subj ek adalah sebagai pengahayatan atas peristiwa kritis yang telah dialaminya.

Dari uraian diatas dapat diketahui dengan pengalaman kritis yang telah dilalui dan sebagai remaja akhir, subjek telah memenuhi tugas -tugas perkembangannya yaitu pemenuhan dalam pen entuan tujuan hidup, dan pencarian makna. Seperti yang dikatakan Monks dkk (Susilo, 2006) bahwa, remaja akhir ditandai dengan perjuangan dari individu untuk memenuhi tugas -tugas perkembangannya seperti; pencarian makna, penentuan pilihan dan penentuan tujuan hidup. Selain itu Kartono (1990) mengatakan bahwa yang menonjol pada periode remaja akhir adalah kesadaran yang mendalam mengenai diri sendiri dimana remaja mulai meyakini kemampuannya, potensi dan cita -cita sendiri. Dengan kesadaran tersebut remaja be rusaha menemukan jalan hidupnya dan mulai mencari nilai -nilai tertentu. Dari hasil penelitian yang ada, sebagai remaja akhir yang telah mengalami peristiwa kritis, subjek telah menyadari dan memahami dirinya yang hal ini membawa subjek untuk menemukan makn a hidupnya dan nilai -nilai tertentu dari kehidupan yang telah dilaluinya.

Untuk memperjelas makna hidup pada remaja akhir yang telah mengalami kritis dapat dijelaskan dengan gambar sebagai berikut :

(25)

Makna Hidup pada

Remaja Akhir yang

telah Mengalami

Kritis

Relegiusitas Nilai Sikap Sosial Aktivitas

? Bersyukur kepada Tuhan ? Beribadah dan berdo’a

? Taqwa dan berpegang teguh pada ajaran agama ? Sabar dan Ikhlas menjalani hidup

? Hati yang kaya ? Yakin kepada Tuhan ? Berserah diri (Tawakkal) ? Dekat dengan Tuhan ? Membahagiakan orang lain ? Tidak menyusahin orang lain ? Bermanfaat bagi orang lain ? Peduli dan berbagi

? Melatih diri dan sebagai pengalaman ? Membagikan ilmu yang dimiliki ? Hidup dijalani dengan optimis ? Bertanggung jawab

? Hidup itu ada kondisi maksimalnya ? Mengerti dengan keadaan diri

? Hidup yang terpenting dapat membuat diri nyaman ? Menjaga pola hidup sehat

? Hidup dijalani sebisanya ? Hidup tidak bisa dipesan

? Memahami sesuatu yang berbeda ? Melakukan perbuatan baik ? Memahami proses ke ? Hidup seharusnya terarah

Keterangan :

: Tema : Spesifik

(26)

2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Akan Kematian pada Remaja Akhir Yang Telah Mengalami Kritis

Pembahasan kedua yaitu mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan akan kematian pada remaja akhir yang telah mengalami kritis. Sebelum memasuki pembahasan pada faktor-faktor yang mempengaruhi, peneliti akan membahas hal-hal apa saja yang dapat mendorong faktor-faktor tersebut muncul. Dari hasil wawancara, peneliti menemukan adanya hal-hal yang dapat mendorong subjek untuk menerima akan kematian, antara lain ; ajaran agama, keyakinan pada Tuhan, dan nilai-nilai Ke-Tuhanan. Subjek pertama mengatakan, yang mendorong dirinya menerima akan kematian pada saat kritis adalah Al-Qur’an yaitu ajaran-ajaran agama, bagi subjek pertama bila tidak menerima akan kematian berarti telah berbuat dosa karena tidak menerima takdirnya. Begitu juga dengan subjek kedua menjelaskan, orang diajarin untuk mengerti bahwa setiap orang pasti akan mati, karena semua itu pasti kembali keasalnya. Kemudian subjek kedua juga meyakini bahwa Tuhan itu Maha Adil dan Maha Benar karena hidup pasti mati. Selanjutnya subjek ketiga mengatakan bahwa ia harus menerima akan kematian karena nilai-nilai Ilahiyah atau KeTuhanan. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa adanya dorongan yang memicu diri subjek untuk menerima akan kematian. Yang mana dorongan tersebut telah memunculkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi subjek untuk menerima akan kematian. Bila ditinjau dari sudut pandang relegiusitas menurut Glock & Stark (Ancok & Suroso, 1994), bahwa hal-hal yang mendorong tersebut dapat dikatakan sebagai relegiusitas. Yang mana menurut Glock & Stark (Ancok & Suroso, 1994)

(27)

relegiusitas adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya itu terpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling makawi (ultimate meaning).

Selanjutnya, berdasarkan hasil temuan penelitian bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan akan kematian pada remaja akhir yang telah mengalami kritis antara lain ; takdir (ketetapan Tuhan), berserah diri dan ikhlas, lebih baik mati dari pada berbuat dosa, konsukuensi dari hidup, karena kesempatan terakhir dari Tuhan, sebagai proses yang harus dijalani. Dari faktor-faktor tersebut peneliti berpendapat bahwa, faktor-faktor-faktor-faktor tersebut dapat disederhanakan menjadi dua faktor yaitu, faktor dimensi keyakinan dan faktor dimensi sikap, yang dapat dijelaskan antara lain ;

Pertama, dimensi keyakinan ; sesuai dengan pendapat Glock & Stark

(Ancok & Suroso, 1994) bahwa, dimensi keyakinan berisi pengharapan-pengharapan dimana orang relegius berpegang pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Hal ini searah dalam pandangan psikologi islami yang menurut Ancok & Suroso (1994) bahwa, dimensi keyakinan atau aqidah Islam menunjuk pada seberapa tingkat keyakinan Muslim terhadap kebenaran ajaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Dalam keberislaman, isi dimensi keimanan menyangkut keyakinan tentang Allah, para malaikat, Nabi/Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan qadar. Dari penjelasan diatas adapun beberapa faktor penerimaan akan kematian pada remaja akhir yang telah

(28)

terakhir dari Tuhan, konsukuensi dari hidup. Jelasnya, berdasarkan defenisi dimensi keyakinan diatas dapat dikatakan bahwa ketiga faktor tersebut sebagai dimensi keyakinan. Karena faktor-faktor tersebut merupakan keyakinan subjek mengenai kematian berdasarkan keyakinan Agamanya seperti, keyakinan tentang takdir Tuhan, Qadha dan Qadar, sehingga keyakinan ini mendorong subjek untuk menerima akan kematian.

Kedua, dimensi sikap ; menurut Allport dkk (Azwar, 2007), sikap

merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dapat dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respons. Dan LaPierre (Azwar, 2007), mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Mengenai definisi sikap Sobur (2003) menyimpulkan beberapa hal tentang sikap yang salah satunya bahwa, sikap adalah kecenderungan bertindak, berpikir, berpersepsi, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai. Sikap bukanlah perilaku, tetapi lebih merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap bisa berupa orang, benda, tempat, gagasan, situasi, atau kelompok. Dari pemaparan teori diatas sekiranya beberapa faktor penerimaan akan kematian pada remaja akhir yang telah mengalami kritis seperti, berserah diri dan ikhlas, lebih baik mati dari pada berbuat dosa, menjalani proses yang harus dijalani. Beberapa faktor tersebut dapat

(29)

dikatakan sebagai faktor dimensi sikap. Karena seperti, berserah diri dan ikhlas, lebih baik mati dari pada berbuat dosa, serta menjalani proses yang harus dijalani adalah sebagai kecenderungan diri subjek untuk bertindak, berpersepsi, merasa dalam menghadapi situasi atau keadaan yang dalam hal ini adalah kematian. Contohnya, ketika subjek merasa dirinya akan berakhir atau mati ia akan menerima kematiannya dengan adanya sikap yang diberikannya yaitu berserah diri dan ikhlas atas situasi tersebut.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui dengan jelas bahwa adanya faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan akan kematian pada remaja akhir yang telah mengalami kritis. Hal ini tampak dari ungkapan subjek berdasarkan hasil wawancara yaitu, subjek menerima akan kematian dikarenakan faktor-faktor tersebut. Kemudian perlu ditegaskan bahwa faktor-faktor tersebut muncul karena adanya dorongan relegiusitas dari diri subjek.

Untuk memperjelas pembahasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan akan kematian pada remaja akhir yang telah mengalami kritis, dapat dijelaskan pada gambar sebagai berikut :

(30)

Gambar 2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan akan kematian pada subjek pertama

DIMENSI KEYAKINAN

i

DIMENSI SIKAP

Lebih baik mati dari pada berbuat dosa

(S1-W1, 665-669 &697-& 700) Takdir (Ketetapan Tuhan) (S1-W1, 693-698) Kesempatan terakhir dari Tuhan (S1-W1, 693-698) Konsukuensi dari hidup (S1-W1, 699-703) Keterangan : Melingkupi : Mempengaruhi : Memunculkan RELEGIUSITAS

-Keyakinan pada Tuhan -Ajaran Agama

-Nilai-nilai Ke-Tuhanan

Berserah diri dan Ikhlas (S1-W1, 669-674 & 731-735)

(31)

Gambar 2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan akan kematian pada subjek kedua

DIMENSI KEYAKINAN

i

DIMENSI SIKAP

Takdir (Ketetapan Tuhan)

(S2-W2, 161-167) Keterangan : Melingkupi : Mempengaruhi : Memunculkan RELEGIUSITAS

-Keyakinan pada Tuhan -Ajaran Agama

Sebagai proses yang harus dijalani

(32)

Gambar 2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan akan kematian pada subjek ketiga

DIMENSI KEYAKINAN

Untuk memperjelas pembahasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan akan kematian pada remaja akhir yang telah mengalami kritis, dapat dijelaskan pada gambar sebagai berikut :

Takdir (Ketetapan Tuhan)

(S3-W1, 1063-1068) Keterangan : Melingkupi : Mempengaruhi : Memunculkan RELEGIUSITAS -Nilai-nilai Ke-Tuhanan

(33)

Gambar 2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan akan kematian pada remaja akhir yang telah mengalami kritis

DIMENSI KEYAKINAN

i

DIMENSI SIKAP

Takdir (Ketetapan Tuhan) Kesempatan terakhir dari Tuhan Konsukuensi dari hidup

Lebih baik mati dari pada berbuat dosa

Keterangan

: Melingkupi : Mempengaruhi RELEGIUSITAS

-Keyakinan pada Tuhan -Ajaran Agama

-Nilai-nilai Ke-Tuhanan

Sebagai proses yang harus dijalani Berserah diri dan

(34)

Eksistensialisme modern sebagaimana yang diekspresikan oleh filsafat Simmel, Scheler, Jaspers, dan Heidegger (Koeswara, 1987), melihat kematian sebagai bagian konstitutif dan bukan semata-mata sebagai akhir hidup, dan menekankan gagasan bahwa hanya dengan mengintegrasikan konsep kematian ke dalam dirinyalah individu bisa mencapai keontetikan. Sanksi bagi pengingkaran atas kematian adalah kecemasan dan alienasi diri. Singkatnya, menurut pandangan eksistensialisme, manusia untuk bisa memahami dirinya secara penuh, haruslah berani menghadapi kematian, menyadari akan kematian dirinya.

Selanjutnya, menurut Heidegger (1962, Abidin 2002) bahwa kematian mampu menjadikan manusia sebagai dirinya yang solid, menjadi “diri” yang solid dan personal, dan hal itu akan dapat tercapai kalau manusia menerima kematian sebagai suatu fakta yang tidak terpisahkan dari eksistensinya. Berdasarkan pendapat Heidegger tersebut bahwa, penerimaan akan kematian pada subjek tidak terpisahkan dari eksistensinya sebagai manusia, yang mana manusia memiliki sifat dasar. Menurut Bastaman (Nashori, 2005) bahwa, manusia memilki sifat dasar yaitu kecenderungan kepada Agama atau keyakinannya pada Tuhan. Hal ini sesuai dengan pembahasan diatas yang mana faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan akan kematian muncul karena adanya dorongan relegiusitas dari diri subjek. Sebagai remaja akhir, subjek telah mengalami perubahan besar dan esensial mengenai fungsi rohani atau keagamaannya. Hal ini tampak dari penerimaan akan kematian dari diri subjek yang dipengaruhi oleh faktor dimensi keyakinan dan sikap yang mana faktor tersebut dipicu adanya relegiusitas dari diri subjek. Sesuai dengan pendapat Kartono (1990) mengenai masa remaja bahwa,

(35)

masa remaja juga sebagai masa penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada periode ini terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial mengenai fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah.

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa penerimaan akan kematian pada remaja akhir yang telah mengalami kritis dapat menunjukkan adanya proses yang menjadikan “diri” yang solid dan personal. Seperti yang dijelaskan Heidegger (Koeswara, 1987) yaitu, penerimaan yang tulus akan kematian bisa membantu manusia untuk hidup lebih otentik dan bahagia. Hidup yang otentik pada subjek dapat diketahui dengan adanya makna hidup pada diri subjek.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa proses terbentuknya makna hidup pada ketiga subjek dipengaruhi dengan adanya penderitaan (suffering) yang mana dalam hal ini adalah peristiwa ataupun kondisi kritis. Pengalaman situasi kritis secara medis yang telah dialami ketiga subjek pada awalnya menyebabkan ketiga subjek tersebut menjadi tidak optimal secara psikologis, tetapi sebagai makhluk yang berdaya dan dengan adanya dukungan sosial dari orang-orang terdekat, ketiga subjek telah mampu melakukan penghayatan diri atas kondisi yang telah dialaminya sehingga dari yang sebelumnya tidak bermakna menjadi bermakna. Dan perlu diketahui bahwa peran orang-orang terdekat sebagai social support seperti dengan memberi semangat hidup dan nasehat kepada individu yang mengalami situasi kritis hal ini dapat

(36)

membantu individu menjadi berdaya untuk memahami dirinya dan mengubah sikapnya yang sebelumnya tidak bermakna menjadi bermakna.

Subjek pertama meyakini bahwa peristiwa yang menjadikannya dalam keadaan kritis secara medis sebelumnya adalah sebagai peringatan Tuhan karena telah melakukan perbuatan tercela dan dengan hal tersebut telah menjadikan diri subjek meyakini bahwa hidup itu adalah bertindak sesuka hati tetapi tidak boleh melupakan perintah-perintah Allah SWT dan tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang Allah SWT.

Sedangkan subjek kedua menganggap bahwa kondisi kritis yang telah dialaminya telah membawa dirinya untuk yakin bahwa setiap orang memiliki jalan hidup yang berbeda-beda dan hidup itu bisa diperjuangkan tetapi tidak bisa mengaturnya yaitu dengan menyelesaikan yang menjadi bagian dirinya dan biarkan Tuhan yang menyelesaikan bagian-Nya.

Kemudian subjek ketiga pada sebelum mengalami perisitiwa yang menjadikan dirinya dalam keadaan kritis. Subjek ketiga memiliki banyak tujuan dan impian yang dianggapnya harus dilakukan, akan tetapi dengan menghayati peristiwa yang kritis yang telah dialaminya menjadikan diri subjek meyakini bahwa manusia itu terbatas dan tidak semua harus dilakukan tetapi semampunya dengan optimis.

Adapun berdasarkan pada pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa makna hidup pada remaja yang pernah mengalami situasi kritis secara medis antara lain ; Pertama, berhubungan dengan keluarga yaitu ; membahagiakan orang tua, hubungan yang abadi, berbakti kepada orang tua,

(37)

saling mendukung dan mengerti. Kedua, berhubungan dengan relegiusitas yaitu ; bersyukur kepada Tuhan, beribadah dan berdo’a kepada Tuhan, taqwa dan berpegang teguh pada ajaran agama, sabar dan ikhlas menjalani hidup, hati yang kaya, yakin kepada Tuhan, berserah diri (Tawakkal), dekat dengan Tuhan. Ketiga, berhubungan dengan kegiatan dan aktivitas yaitu ; melatih diri dan sebagai pengalaman, membagikan ilmu yang dimiliki. Keempat, berhubungan dengan orang lain dan masyarakat yaitu ; membahagiakan orang lain, tidak menyusahin orang lain, bermanfaat bagi orang lain, peduli dan berbagi. Dan terakhir Kelima, berhubungan dengan nilai-nilai bersikap yaitu ; hidup dijalani dengan optimis, bertanggung jawab, hidup itu ada kondisi maksimalnya, mengerti dengan keadaan diri, hidup yang terpenting dapat membuat diri nyaman, menjaga pola hidup sehat, hidup dijalani sebisanya, hidup tidak bisa dipesan, memahami sesuatu yang berbeda, melakukan perbuatan baik, memahami proses kehidupan, hidup seharusnya terarah.

Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang remaja yang mengalami situasi kritis secara medis tidak terlepas dari eksistensi manusia yaitu sebagai makhluk spritual yang menganggap penting dan butuh akan makna hidup. Yang disebutkan Frankl (2007) dengan ditandai oleh tiga hal, yaitu kerohanian (spirituality), kebebasan (freedom), dan tanggung jawab (responbility). Artinya manusia memiliki sumber daya rohaniah yang luhur di atas kesadaran akal, memiliki kebebasan untuk melakukan hal-hal terbaik bagi dirinya, dan bertanggung jawab sepenuhnya atas apa yang akan dan telah dilakukannya.

(38)

Selanjutnya, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan akan kematian pada remaja yang pernah mengalami kritis antara lain ; takdir (ketetapan Tuhan), berserah diri dan ikhlas, lebih baik mati dari pada berbuat dosa, konsukuensi dari hidup, karena kesempatan terakhir dari Tuhan, sebagai proses yang harus dijalani. Dan faktor-faktor tersebut dapat disederhanakan menjadi dua faktor yaitu faktor dimensi keyakinan dan faktor dimensi sikap. Yang kemudian dapat diambil kesimpulan bahwa adanya faktor-faktor tersebut dipengaruhi oleh sejauh mana tingkat relegiusitas pada diri individu.

Oleh karena itu penerimaan akan kematian pada remaja yang pernah mengalami kritis tidak terlepas juga dari eksistensinya sebagai manusia yang memiliki dimensi spiritual yaitu memiliki sumber daya rohaniah yang luhur di atas kesadaran akal atau memiliki keyakinan akan adanya nilai-nilai ke-Tuhanan. Dan hal ini menunjukkan adanya proses yang menjadikan individu-individu kepada “diri” yang solid dan personal. Seperti yang dijelaskan Heidegger (Koeswara, 1987) bahwa penerimaan yang tulus akan kematian bisa membantu manusia untuk hidup lebih otentik dan bahagia. Dan menurut hemat peneliti hidup yang otentik dapat diketahui dengan adanya makna hidup pada diri individu-individu itu sendiri.

Kemudian mengenai kelemahan penelitian bahwa penelitian ini masih terdapat beberapa kelemahan, adapun kelemahan-kelemahannya antara lain:

1. Personal document subjek tidak dipergunakan dalam memperkuat atau memperlengkap data penelitian.

(39)

2. Data pelengkap ataupun penguat yang berasal dari significant others belum dipergunakan.

3. Observasi belum akurat, bahasa tubuh subjek masih terabaikan.

Saran

1. Kepada remaja akhir yang telah mengalami kritis

Peristiwa kritis yang terjadi bukanlah akhir dari segalanya, ada pelajaran dan hikmah dari peristiwa yang dilalui. Dengan selalu yakin bahwa hidup ini bukan hanya untuk ditangisi tetapi kita dapat menemukan makna dari segala peristiwa yang telah terjadi, karena makna hidup akan membawa kita kepada kebahagian. Dan ketika seseorang mampu memandang penderitaan dari sudut agama maka ia akan mampu melihat hikmah dibalik itu semua.

2. Kepada peneliti selanjutnya

Setelah mendapatkan jawaban dari pertanyaan penelitian ini ada beberapa hal pula yang memunculkan pertanyaan baru, karena itu peneliti mengajukan saran-saran untuk penelitian lanjutan agar memperhatikan:

1. Untuk memperkuat atau memperlengkap data penelitian sebaik

Personal document subjek penelitian juga dijadikan pertimbangan.

2. Untuk memperkuat atau memperlengkap data penelitian sebaik

Significant others juga dipergunakan.

3. Observasi diharapkan dapat dilakukan dengan lebih akurat misalnya, dengan memperhatikan bahsa tubuh responden saat pengumpulan data.

(40)

Daftar Pustaka

Abidin. 2002. Analisis Eksistensial Untuk Psikologi dan Psikiatri. Bandung: Refika Aditama.

Agustiani. 2006. Psikologi Perkembangan Remaja. Bandung: Refika Aditama. Amazing True Story. 2008. Nyaris Kehilanganmu. http://www.jawaban.com Ancok, D & Suroso, F.N. 1994. Psikologi Islami : Solusi Islam atas

Problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Pustka Pelajar.

Azwar, S. 2007. Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bastaman, H.D 1996. Meraih Hidup Bermakna: Kisah Pribadi Dengan

Pengalaman Tragis. Jakarta: Paramadina.

Bastaman, H.D. 2007. Logoterapi Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan

Meraih Makna Hidup Bermakna. Jakarta: Rajawali Press.

Boeree, G (Alih Bahasa Muzir). 2005. Personality Theories. Jogjakarta: Prisma Sophie.

Cynthia, T. 2007. Proses Pencarian Makna Hidup Pada Perempuan yang

Mengalami Peristiwa Traumatis, Skripsi (Proceeding PESAT). Jakarta:

Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.

Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Endarmoko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta : Gramedia.

Frankl, V. 2003. Logoterapi Terapi Psikologi Melalui Pemaknaan Eksistensial. Jogjakarta: Kreasi Wacana.

Hardeny, M. 2004. Kebermaknaan Hidup dan Kesiapan Menghadapi Kematian

Pada Penderita Kanker. Skripsi (Naskah Publikasi). Jogjakarta: Fakultas

Psikologi Universitas Islam Indonesia.

Hidayat, K. 2006. Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme. Jakarta: PT Mizan Publika.

(41)

Misiak & Sexton (Alih Bahasa Koeswara). 2005. Psikologi Fenomenologi,

Eksistensial dan Humanistik. Bandung: Refika Aditama.

Moleong, L.J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Nashori, F. 2005. Potensi-potensi Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Petter & Yenny. 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press.

Susanti dkk. 2003. Makna Hidup dan Ketakutan Akan Kematian Pada Penderita

Kanker Usia Dewasa Madya : Studi Kasus. (Journal Anima). Surabaya:

Fakultas Psikologi Universitas Surabaya.

Susilo, D.J. 2006. Perkembangan Relegiositas Remaja Akhir. (Jurnal Insan). Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.

Strauss & Corbin. 2003. (Alih Bahasa Muhammad Shodiq & Imam Muttaqien)

Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tata Langkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sobur, A. 2003. Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah. Bandung: Pustaka Setia.

Tabrani, H. 1998. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: Penerbit Alumni.

Gambar

Gambar 1.1 Proses Terbentuknya Makna Hidup Pada Subjek Pertama     Relegius :  ? Marah kepada  Tuhan  (S1-W1  137-138)Peristiwa Kritis (Kecelakaan) Kelemahan Fisik : Sulit untuk menghafal (S1-W1, 165-170)
Gambar 1.2 Proses Terbentuknya Makna Hidup Pada Subjek Kedua
Gambar 1.3 Proses Terbentuknya Makna Hidup Pada Subjek Ketiga
Gambar 1.4. Proses Terbentuknya Makna Hidup pada Remaja Akhir    yang telah men galami Kritis
+5

Referensi

Dokumen terkait

efektifitas ketinggian shuttlecock 36 0. Hasil yang didapatkan dari penelitian diperoleh rata-rata skor keseluruhan yang didapatkan dari servis panang forehand adalah

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul : Analisis Kinerja Bidang Pelayanan Pencatatan Sipil Pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan

Respon dengan karakteristik Larger The Better (Laju Pemotongan dan Arus Kesenjangan) pada metode gabungan GRA dan PCA menghasilkan nilai prediksi yang lebih

Dengan mengacu pada beberapa sumber, melanjutkan penelitian yang telah dilakukan oleh saudara Cahyo Utomo dan penelitian Vinit Grewal, maka penelitian ini

• Pasien posisi terlentang, buka jalan nafasnya dengan tehnik head tilt chin lift atau Jaw thrust • berikan nafas buatan sambil melihat pengembangan dada untuk meyakinkan bahwa

Hadhrat Khalifatul Masih bersabda tidak ada seorangpun yang dikecualikan dari perintah Tuhan; tidak beliau sendiri, tidak pula orang lain; baik mereka pengurus Jemaat, mubaligh

Mild persistent or moderate- severe intermittent Oral antihistamines, Intranasal corticosteroids, intranasal Intranasal decongestants, Sodium cromoglicate Sodium

Selain dari beberapa karya di atas, Fazlur Rahman pernah menulis artikel yang berjudul “Iqbal in Modern Muslim Thoght” Rahman mencoba melakukan survei terhadap