• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stres merupakan hal yang dekat dengan kita. Dalam berbagai bidang kehidupan, kita dapat mengalami stress karena berbagai masalah atau kesulitan yang timbul di dalamnya. Mahasiswa sering kali mengalami stress yang di sebabkan oleh aktivitas-aktivitas akademiknya seperti tugas-tugas maupun ujian. Begitu juga dengan para pegawai yang merasakan stress karena pekerjaan-pekerjaannya. Robbins (1998) membuat tiga kategori penyebab potensial stres yaitu faktor lingkungan, faktor organisasional dan faktor individu. Faktor lingkungan dan organisasional menjadi faktor eksternal penyebab stres dikarenakan faktor ini berada di luar diri manusia. Seperti contonya tekanan untuk

menghadapi kekeliruan, menyelesaikan tugas pada waktu yang terbatas, serta beban kerja yang berlebihan. Faktor individu merupakan faktor internal dikarenakan faktor ini berada di dalam diri manusia (persepsi). Faktor inilah yang mempengaruhi tingkat ketahanan individu terhadap stres.

Terganggu atau tidaknya individu, tergantung persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Diana, 1991). Kemampuan untuk dapat mereduksi stres ini tergantung kepada presepsi positif masing-masing individu tersebut dalam menanggapi stress yang diterimanya.

MenurutSelye, (dalam Monk, 2001) Stressor yang sama dapat dipersepsi

secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif

individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat

berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul. Maka diperlukan sikap optimis dari individu

untuk dapat meganggap stressor sebagai peristiwa yang positif sehingga dapat

memunculkan respon yang positif pula.

Seligman (dalam Stoltz, 2000) menyatakan perbedaan itu sebagai individu yang pesimis dan optimis sebagai perbandingan seseorang yang memiliki

Adversity Quotient yang tinggi atau rendah. Individu pesimis akan memandang kesulitan sebagai situasi yang menetap, pribadi dan berdampak ke semua aspek

hidup lain, sedangkan individu optimis akan memandang kesulitan sebagai kondisi sementara, eksternal dan terbatas pada persoalan saat itu saja.

Sikap optimis juga menunjukkan adanya sifat tahan banting dan keuletan. Orang yang memiliki sifat tahan banting dan ulet mampu mengatasi kesulitan lebih baik daripada yang tidak memiliki sifat itu. Werner (dalam Stoltz, 2000) menyatakan bahwa orang yang optimis adalah para perencana yang mampu menyelesaikan masalah dan orang yang dapat memanfaatkan masalah sebagai peluang. Misalnya seorang pelajar mendapat nilai jelek dalam sebuah tes sehingga harus mengulang kembali. Pelajar tersebut menganggap masalah yang dihadapinya (mengulang tes) sebagai peluang untuk memperbaiki nilai.

Stoltz (2000) membagi Adversity Quotient individu atas empat dimensi

yang terdiri dari Control, Origin – Owner, Reach dan Endurance (CO2RE). Empat

dimensi ini menjadi indikasi bahwa seseorang yang memiliki Adversity Quotient

yang tinggi berarti individu tersebut memiliki tingkat kendali yang kuat atas kesulitan-kesulitan yang dialami, mengaggap bahwa sumber kesulitan tersebut berasal dari luar diri atau orang lain. Disamping itu individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas yang berarti tidak membiarkan kesulitan-kesulitan menjadi sebuah bencana dengan membiarkannya meluas. Individu tersebut juga berarti mengaggap kesulitan-kesulitan yang dialaminya bersifat sementara sehingga tidak terus menerus memikirkan tentang kesulitan tersebut dan menjalani hal-hal sulit dengan mengganggap hal tersebut adalah sebuah proses. Begitu juga sebaliknya

tidak mempunyai kendali atas kesulitan-kesulitan yang dialami. Menganggap kesulitan-kesulitan tersebut karena kesalahan diri dan akan memasuki area-area

lain dalam kehidupan. Individu yang memiliki Adversity Quotient yang rendah

juga memandang kesulitan sebagai peristiwa yang berlangsung lama.

Empat dimensi yang menjadi indikator tinggi rendahnya Adversity

Quotient ini mengacu kepada kesulitan yang dihadapi individu dalam hidupnya. Kesulitan-kesulitan yang dialami individu tentunya memberikan beban stres dan membuat individu berada dalam tekanan sehingga individu tersebut memberikan respon dalam menghadapi kesulitan atau stress dalam hidupnya. Terry Beehr dan John Newman (dalam Rice, 1992) membagi tiga gejala individu yang berada dalam stress yang tinggi. Tiga gejala ini meliputi gejala psikologis, gejala fisik, dan gejala prilaku. Gejala psikologis misalnya kecemasan, komunikasi tidak efektif, mengurung diri, depresi, merasa terasing dan mengasingkan diri, dan kebosanan. Gejala Fisik misalnya meningkatnya detak jantung dan tekanan darah, meningkatnya sekresi adrenalin dan noradrenalin, gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung), mudah terluka, lebih sering berkeringat, dan mudah lelah secara fisik. Begitu juga gejala prilaku seperti contohnya menunda ataupun menghindari pekerjaan/tugas, serta penurunan prestasi dan produktivitas.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa indikator-indikator pada Adversity Quotient

memberikan dampak gejala pada diri individu. Apabila individu tersebut tidak

mempunyai kendali (control) atas kesulitan-kesulitan yang dialami yang

berdampak pada individu tersebut sehingga berada dalam kondisi kecemasan, tertekan, dan depresi. Individu yang menganggap kesulitan-kesulitan tersebut

karena kesalahan diri (origin - ownership) dan akan memasuki area-area lain dalam kehidupan sehinga individu tersebut menjadi sensitif, kurang percaya diri, kurang kreatif, kurang spontan, dan sering menghindari pekerjaan. Begitu juga sebaliknya seseorang yang menganggap kesulitan-kesulitan tersebut berasal dari luar diri dan merespon kesulitan-kesulitan tersebut sesuatu yang terbatas (reach) berarti individu terbuka terhadap perubahan, percaya diri, dan spontan, serta kreatif. Sama halnya ketika individu tersebut memandang kesulitan yang terjadi

bersifat sementara (endurance) berarti individu tersebut akan lebih memiliki

semangat dan sikap optimis. Begitu juga sebaliknya, individu yang memandang kesulitan yang terjadi berlangsung lama sehingga individu tersebut akan merasa bosan, tidak puas dengan hasil kerjanya, dan kurang bersemangat.

Hal ini menjadi tolak ukur bagaimana kemampuan bertahan dalam

kesulitan atau Adversity Quotient pada diri seseorang sangat berpengaruh dalam

kemampuan seseorang menanggapi masalah atau kesulitan yang dihadapinya.

Dapat dikatakan juga apabila seseorang memiliki Adversity Quotient yang tinggi

maka seseorang tersebut memiliki kemampuan untuk memandang stress sebagai

suatu yang positif. Begitu juga sebaliknya, seseorang memiliki Adversity Quotient

yang rendah maka seseorang tersebut memiliki kemampuan untuk memandang stress sebagai suatu yang negatif.

Kita dapat lihat dinamika antara Adversity Quotient dan stres dalam bagan

D. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah Ha: Ada hubungan negatif

antara Adversity Quotient dan Stres pada mahasiswa yang bekerja. Semakin tinggi

Adversity Quotient maka semakin rendah stres pada mahasiswa yang bekerja.

Begitu juga sebaliknya, semakin rendah Adversity Quotient maka semakin tinggi

33 A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian inferensial kuantitatif korelasional. Penelitian inferensial adalah metode penelitian yang dirancang untuk membuat suatu kesimpulan tentang populasi dengan pengambilan sampel (Deuna, 1996). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dan membuat suatu kesimpulan antara dua variabel. Variabel tersebut adalah

adversity quotient dan stres pada mahsiswa yang bekerja.

Dokumen terkait