i
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Program Studi Psikologi
Oleh:
Frederikus Renda Tricahya
NIM: 059114019
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
v
vi
tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah saya sebutkan
dalam kutipan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 30 September 2010
Penulis
vii
Frederikus Renda Tricahya
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara Adversity Quotient
dan Stres pada mahasiswa yang bekerja. Hipotesis dari penelitian ini adalah bahwa ada hubungan yang negatif antara Adversity Quotient dan stres pada mahasiswa yang bekerja. Dengan demikian peneliti menarik asumsi bahwa apabila Adversity Quotient tinggi maka stres akan menjadi rendah dan begitu juga sebaliknya apabila Adversity Quotient rendah maka stres akan menjadi tinggi. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang masih aktif dalam hal akademis dan bekerja sebagai pekerja paruh waktu (part timer). Mahasiswa yang masih aktif dalam hal akademis adalah mahasiswa yang masih mengambil minimal 12 sks dalam setiap semester dan tidak dalam masa cuti studi. Sedangkan pekreja paruh waktu adalah pekerja yang bekerja minimal 4 jam sehari dengan waktu kerja minimal 5 hari dalam seminggu. Alat pengumpul data yang digunakan terdiri dari dua alat ukur, skala Adversity Quotient dan skala stres. Masing-masing skala telah melalui penyaringan item dengan tryout, sehingga diperoleh 40 item pada skala Adversity Quotient dengan koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,917 dan 39 item pada skala stres dengan koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,934. Dari hasil analisis data penelitian diperoleh koefisien korelasi sebesar -0,329 dengan signifikasi sebesar 0,003. Hal ini berarti terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara variabel Adversity Qoutient dan Stres. Hal juga ini menandakan bahwa hipotesis awal penelitian, yaitu ada hubungan negatif dan signifikan antara adversity quotient dan stress pada mahasiswa yang bekerja dapat diterima.
viii
Frederikus Renda Tricahya
ABSTRACT
The aim of the research was to test whether any relationship between Adversity Quotient and stress on the working students. The hypothesis of the research was that there was negative relationship between Adversity Quotient and stress on the working students. Thus, the researcher assumed that the higher the Adversity Quotient the lower the stress and the lower the Adversity Quotient the higher the stress. The subjects of the research were academically active students and worked as part timers. Academically active students were students who still took at least 12 credits on each semester and were not on the free period of study. Part timers were workers who worked at least 4 hours a day with minimum 5 days working period a week. The instruments used were 2 scaling devices those were Adversity Quotient scale and stress scale. Each scale had items sorting by tryouts so there were 40 items on the Adversity Quotient scale with 0.917 alpha reliability coefficients and 39 items on the stress scale with 0.934 alpha reliability coefficients. The result of the data analysis indicated that the correlation coefficients were 0.329 with 0.003 significances. It indicated that there was negative and significant relationship between the Adversity Quotient and stress variables. It also indicated that the hypothesis of the research, there was negative and significant relationship between Adversity Quotient and stress on working students was acceptable.
ix
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama
: Frederikus Renda Tricahya
Nomor Mahasiswa
: 059114019
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Hubungan Antara Adversity Quotient dan Stres
Pada Mahasiswa Yang Bekerja
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media
lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 30 September 2010
Yang menyatakan,
x
rahmatnya kepada penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada
waktunya. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1.
Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
2.
Y. Heri Widodo, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3.
Minta Istono, S.Psi., M.Si.
selaku dosen penguji skripsi, yang telah
membimbing dan memberikan masukan hingga mempermudah
pengerjaan skripsi ini
4.
Agnes Indar Etikawati, S.Psi., Psi,. M.Psi. selaku dosen penguji
skripsi, yang telah memberikan masukan hingga mempermudah
pengerjaan skripsi ini.
5.
Bapak Ibu dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan ilmu dan
pengetahuannya selama penulis menempuh studi di Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
6.
Segenap karyawan Fakultas Psikologi (Mas Gandung, Mbak Nanik,
Mas Muji, Mas Doni dan Pak Gie), terimakasih atas segala kerjasama
yang diberikan untuk kelancaran studi penulis di Fakultas Psikologi.
7.
Bapak, Ibu, Mas Kebo, Mbak Puput, dan segenap Keluarga Besar
xi
9.
Teman-teman di kontrakan AKSI 05 ( Lucky, Hanes, Tristan, Sherly,
Arya, Aan, Bagoes, Bayu), teman-teman PASTEL, teman-teman Red
Pavlov, teman-teman UNISON dan teman-teman di Psikologi yang
selalu memberikan semangat dan tempat untuk mengaduh serta yang
slalu memberikan keceriaan
kepadaku.
10.
Kurt Cobain, Eddie Vedder, dan Alexander Supertramp, yang telah
memberikan inspirasi dan pelajaran hidup yang berharga.
11.
Semua pihak yang tidak bisa penulis tulis satu persatu. Terimakasih
semuanya.
Penulis,
xii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN...xvii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A.
Latar Belakang Masalah ... 1
B.
Rumusan Masalah ... 6
C.
Tujuan Penelitian ... 6
D.
Manfaat Penelitian ... 6
BAB II : LANDASAN TEORI ... 7
xiii
4
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketahanan Terhadap Stres ... 14
5
Stres Pada Mahasiswa Yang Bekerja ... 15
B.
Adversity Quotient ... 19
1
Pengertian Adversity Quotient ... 19
2
Dimensi Adversity Quotient ... 20
3
Tiga Tipe Manusia Berdasar Adversity Quotient ... 23
4
Adversity Quotient Pada Mahasiswa Yang Bekerja ... 26
C.
Dinamika Adversity Quotient dan Stres ... 27
D.
Hipotesis ... 32
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 33
A.
Jenis Penelitian ... .33
B.
Identifikasi Variabel Penelitian ... .33
C.
Definisi Operasional Variabel Penelitian ... .33
D.
Subyek Penelitian ... .34
E. Metode dan Alat Penelitian ... .35
F. Pertanggungjawaban Mutu... .38
1
Estimasi Validitas Alat Tes ... .38
2
Seleksi Aitem ... .39
3
Estimasi Reliabilitas ... .40
xiv
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... .46
A.
Pelaksanaan Penelitian ... .46
B.
Data Demografi Subjek Penelitian ... .46
B.
Uji Asumsi ... .47
1
Uji Normalitas ... .47
2
Uji Linearitas... .48
C.
Hasil Penelitian ... .48
1
Uji Hipotesis ... .48
2
Uji Tambahan ... .49
E. Pembahasan ... .51
BABV KESIMPULAN DAN SARAN ... .56
A.
Kesimpulan ... .56
B.
Saran ... .56
DAFTAR PUSTAKA ... .57
xv
2.
Tabel Skor Jawaban Subjek Pada Skala Adversity Quotient ... 37
3.
Tabel Spesifikasi Item-Item Skala Stres ... 38
4.
Tabel Skor Jawaban Subjek Pada Skala Stres... 38
5.
Tabel Skala Adversity Quotient Sebelum Dan Sesudah Uji Coba ... 41
6.
Tabel Spesifikasi Item-Item Skala Adversity Quotient Setelah Uji Coba .... 42
7.
Tabel Skala Stres Sebelum Dan Sesudah Uji Coba ... 43
8.
Tabel Spesifikasi Item-Item Skala Stres Setelah Uji Coba ... 44
9.
Tabel Data Pekerjaan Subjek ... 47
10.
Tabel Hasil Uji Normalitas ... 47
xvii
Lampiran 1 : Skala ... 59
1.1
Skala Adversity Quotient Sebelum Uji Coba ... 60
1.2
Skala Stres Sebelum Uji Coba ... 65
1.3
Skala Adversity Quotient Setelah Uji Coba ... 69
1.4
Skala Stres Setelah Uji Coba... 72
Lampiran 2 : Hasil Analisis Aitem Dan Reabilitas ... 75
2.1
Reabilitas Skala Adversity Quotient ... 75
2.2
Reabilitas Skala Stres ... 81
Lampiran 3 : Data Penelitian... 85
3.1
Data Skala Adversity Quotient ... 86
3.2
Data Skala Stres ... 92
Lampiran 4 : Hasil Uji Asumsi ... 98
4.1
Uji Normalitas ... 99
4.2
Uji Linearitas ... 99
Lampiran 5 : Hasil Uji Hipotesis dan Tambahan ... 100
4.1
Uji Hipotesis ... 101
4.2
Data Deskriptif Statistik ... 101
1 A. Latar Belakang
Bekerja merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manusia karena bekerja merupakan hakikat dasar, sehingga bekerja akan memberikan status pada orang tersebut. Kerja juga bisa mengikat individu, sehingga pada akhirnya dapat memberikan isi dan makna kehidupan seorang manusia. (Anoraga, 1995). Fenomena yang berkembang pada saat ini adalah banyak mahasiswa yang selain kuliah memanfaatkan waktunya untuk bekerja. Mereka bekerja dengan motivasi yang berbeda-beda. Ada yang bekerja dengan alasan ekonomi, atau dengan alasan psikologis yang berhubungan dengan tingkat perkembangan yang telah dicapai, yaitu remaja ingin mewujudkan dirinya sendiri, ingin merdeka dan menentukan hidupnya sendiri (Monk, 2001). Disamping itu ada sebagian mahasiswa yang bekerja dengan keinginan untuk mencari pengalaman kerja. Dengan adanya pengalaman kerja mereka berharap dapat memberi nilai tambah bagi mereka ketika melamar pekerjaan baru selepas menempuh pendidikan di Universitas atau perguruan tinggi (Lina, 2000).
Sasaran pertama yang dilakukan mahasiswa adalah menjadi pekerja paruh
waktu (part timer). Bekerja part time dapat di definisikan sebagai bekerja selama
di simpulkan bahwa bekerja paruh waktu adalah bekerja dengan standard yang
lebih rendah dari pada bekerja full time. Dari segi waktu dan pendapatan,
umumnya waktu kerja pada pekerjaan paruh waktu juga lebih pendek dan gajinyapun lebih sedikit tergantung dari kesepakatan atau kontrak kerja yang di sepakati.
Seorang mahasiswa yang bekerja tentunya memiliki kesibukan-kesibukan akademik juga seperti adanya tugas-tugas mata kuliah dan jadwal kuliah yang harus dihadapi setiap harinya. Oleh karena itu, beban tugas dan pada mahasiswa yang bekerja tentu lebih besar dari pada beban tugas mahasiswa pada umumnya karena mahasiswa yang bekerja memiliki tanggung jawab lain yaitu bekerja di sela-sela kesibukan akademisnya sebagai seorang mahasiswa (Handianto, 2006). Seringnya terjadi benturan dua tuntutan yang berbeda ini menimbulkan tegangan (stres) pada diri mahasiswa yang bekerja. Stres yang dialami mahasiswa yang
bekerja dapat berupa kelebihan beban atau overload dalam hal tuntutan
tugas-tugas yang harus dikerjakannya, time pressur, dan konflik peran (role conflict) (Girdano,1990).
mahasiswa yang bekerja tuntutan tugas mereka dua kali lipat karena pada satu peran ia harus mengerjakan tugas-tugas kuliah dan pada peran lainnya harus mengerjakan tugas-tugas kantornya. Tuntutan peran berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada seseorang sebagai suatu fungsi dari peran tertentu yang dimainkan dalam organisasi itu. Peran sebagai mahasiswa dan peran karyawan
seringkali mengalami ketidaksesuaian. Pada mahasiswa yang bekerja, time
pressure yang mereka rasakan pasti tidak bisa dihindari. Time pressure ini terjadi karena harus melakukan terlalu banyak hal dengan waktu yang sedikit (Munandar, 1995). Munandar mengatakan bahwa waktu dalam masyarakat industri merupakan suatu unsur yang sangat penting. Setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat. Waktu merupakan salah satu ukuran dari efisiensi. Atas dasar ini orang sering harus bekerja berkejaran
dengan waktu. Tugas harus diselesaikan sebelum waktu berakhir (dead line).
Bagaimanapun juga stres yang dialami mahasiswa yang memiliki peran ganda harus dihadapi agar segala yang menjadi keinginan dalam bekerjanya dapat terpenuhi. Kemampuan untuk bertahan dalam keadaan stres yang dialami mahasiswa yang bekerja ini tentunya juga dipengaruhi oleh berbagai kekuatan dari dalam seorang mahasiswa tersebut untuk bertoleransi terhadap stress yang atara lain self esteem, self efficacy, locus of control, tipe kepribadian A – B dan
coping strategy. Ada wacana baru yang yang mengungkap suatu kemampuan individu dalam menghadapi stres dan kesulitan sehingga individu tersebut dapat menghadapi stres dengan baik. Kemampuan ini oleh Paul G. Stoltz (2000)
pengaruh yang sangat besar dalam mengadapi kegagalan, kondisi-kondisi sulit, dan tekanan. Dengan Adversity Quotient, seseorang tidak hanya dapat menghadapi kondisi sulit dan kegagalan namun juga dapat mengubahnya menjadi peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar. Di Amerika telah banyak
perusahaan-perusahan yang besar telah menggunakan model training Adversity
Quotient untuk menghadapi stres kerja dan burnout yang sering dirasakan
karyawan pada perusahaan tersebut. Dengan training Adversity Quotient ini tidak
hanya mampu mengurangi stres yang dirasakan karyawan namun juga dapat memberikan peningkatan produktivitas pada perusahaan tersebut (Century, 2004).
Bagi mahasiswa yang bekerja, Adversity Quotient ini menjadi sangat penting
karena Adversity Quotient akan memberikan cara dalam menghadapi situasi sulit
(stres) yang dialami mahasiswa yang bekerja sehingga tidak menghambat aktifitasnya baik sebagai mahasiswa maupun pekerja.
Adversity Quotient sendiri merupakan derajat kemampuan seseorang dalam bertahan dan menanggulangi situasi yang dianggapnya sebagai masalah. Satu proses yang dimulai dari persepsi seseorang terhadap sebuah situasi yang menentukan tindakan orang itu dalam menghadapi situasi tersebut. Tindakan ini akan menjadi pola reaksi dari individu yang mana pola ini dapat berubah dan
diubah. Selanjutnya Adversity Quotient (AQ)akan berinteraksi dengan kecerdasan
umum (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) sehingga memungkinan individu mampu menghadapi rintangan hidup. Surekha (2001) menambahkan bahwa
yang membentuk suatu pola–pola tanggapan kognitif dan prilaku atas stimulus peristiwa-peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan.
Mahasiswa yang bekerja telah menerima segala konsekuensi dari keputusannya untuk bekerja seperti harus membagi waktu kuliah dengan bekerja demi mendapatkan tambahan uang saku, pengalaman kerja dan pengembangan diri dalam kaitannya dengan persaingan di dunia kerja yang sebenarnya (pujianto 2002). Seligman (dalam Stoltz, 2000) menyatakan perbedaan individu yang
pesimis dan optimis sebagai perbandingan seseorang yang memiliki Adversity
Quotient yang tinggi atau rendah. Kondisi stress yang terima oleh mahasiswa yang bekerja tentunya dapat direduksi apabila seseorang tersebut memiliki
Adversity Quotient yang tinggi karena kesulitan- kesulitan yang didapatkan dalam aktivitasnya baik dalam bekerja maupun belajar dapat dihadapi dengan baik, sehingga segala macam tujuan yang menjadi motivasi dalam diri mahasiswa yang bekerja dapat tercapai.
Dari berbagai uraian di atas dapat dilihat adanya hubungan yang erat
antara Adversity Quotient seseorang dalam menghadapi stres. Banyak penelitian
sebelumnya tentang stres kerja yang dialami oleh karyawan atau pekerja. Beberapa penelitian meneliti tentang stres pada mahasiswa. Tetapi belum banyak penelitian yang menyoroti kemampuan individu dalam menghadapi stres dari segi internal pada mahasiswa yang bekerja. Oleh karena itu dalam penelitian ini ingin
meneliti tentang hubungan antara Adversity Quotient dan stres pada mahasiswa
B. Rumusan Masalah
Atas dasar latar belakang diatas maka rumusan masalahnya adalah apakah
ada hubungan antara Adversity Quotient dan stres pada mahasiswa yang bekerja?
C. Tujuan Penelitian
Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara Adversity Quotient dan stres pada mahasiswa yang bekerja
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat memberi sumbangan kepada perkembangan ilmu Psikologi Perkembangan dan Industri.
2. Manfaat Praktis
7 A. STRES
1. Pengertian Stres
Menurut Hans Selye dalam buku Hawari (2001) stres dapat di definisikan sebagai respon tubuh yang bersifat nonspesifik terhadap setiap tuntutan yang melebihi kemampuanya
Hal tersebut sama dengan definisi yang di ungkapkan oleh Rice (1992) bahwa stres merupakan subjektif respon. Ini berasal dari internal seseorang seperti emosinya dan bagaimana ia menanggapi dan mengatasi stimulus tersebut.
Menurut David (1990) stres juga didefinisikan sebagai respon otomatis dari tubuh yang berasal dari pikiran-pikiran, perubahan-perubahan, dan tantangan yang muncul pada kehidupan sehari-hari yang menyebabkan seseorang merasa terganggu.
Stress dapat juga berarti respon fisiologis, psikologis, dan prilaku dari seseorang dalam upaya untuk menyesuaikan diri dari tekanan baik secara internal maupun eksternal (Laurentius, 2003).
2. Gejala Stres
Menurut Terry Beehr dan John Newman (dalam Rice, 1992) gejala stres dapat di bagi dalam 3 (tiga) aspek, yaitu :
a. Gejala Psikologis : Kecemasan, ketegangan; bingung, marah, sensitif; memendam perasaan; komunikasi tidak efektif; mengurung diri; depresi; merasa terasing dan mengasingkan diri; kebosanan; ketidakpuasan kerja; lelah mental; menurunnya fungsi intelektual; kehilangan daya konsentrasi; kehilangan spontanitas dan kreativitas; kehilangan semangat hidup; menurunnya harga diri dan rasa percaya diri.
b. Gejala Fisik : Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah;
meningkatnya sekresi adrenalin dan noradrenalin; gangguan
gastrointestinal (misalnya gangguan lambung); mudah terluka; mudah lelah secara fisik; kematian; gangguan kardiovaskuler; gangguan pernafasan; lebih sering berkeringat; gangguan pada kulit; kepala pusing, migrain; kanker ketegangan otot; problem tidur (sulit tidur, terlalu banyak tidur)
ngebut, berjudi; meningkatnya agresivitas dan kriminalitas;penurunan kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman; kecenderungan bunuh diri
3. Faktor-faktor yang menyebabkan stres
a) Stres Akademik
Menurut P. G. Hanson (1987) Stres akademik adalah stres yang berasal dari akademi atau pendidikan. Lingkungan dimana mahasiswa kuliah dapat berperan dalam menimbulkan stres seperti misalnya lingkungan yang padat dan ramai. Dalam menghadapi ujian dapat mengakibatkan terjadinya stres. Kecemasan dalam menghadapi ujian merupakan masalah utama yang dihadapi mahasiswa. Mengerjakan tugas
yang banyak dapat menyebabkan terjadi academic overload. Lingkungan
masyarakat dimana terdapat tuntutan untuk mendapat pendidikan yang tinggi membuat lingkungan pendidikan menjadi sangat kompetitif. Tuntutan untuk mendapat gelar agar bisa mendapatkan pekerjaan yang baik menjadi sebuah tekanan yang mengakibatkan stres bagi pelajar.
b) Stres Pekerjaan
Yang menjadi penyebab stres pada faktor pekerjaan adalah
banyaknya beban pekerjaan (overload). Overload adalah keadaan dimana
tuntutan atau kebutuhan melebihi kapasitas individu untuk melakukannyan
(Girdano,1990). Overload ini dapat dibedakan secara kuantitatif dan
yang ditarge tkan melebihi kapasitas individu tersebut. Akibatnya karyawan tersebut mudah lelah dan berada dalam "tegangan tinggi".
Overload secara kualitatif bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit, sehingga menyita kemampuan teknis dan kognitif karyawan. Dalam sebuah perusahaan tidak jarang seorang karyawan mengerjakan tugas yang sebenarnya bukan bidangnya.
c) Stres Organisasi
Organisasi adalah suatu unit sosial yang dikoordinasikan dengan sadar, yang terdiri dari dua orang atau lebih, yang berfungsi atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan bersama (Robbins, 1998). Perusahaan atau universitas dapat digolongkan sebagai sebuah organisasi.
Robbins (1998) membuat tiga kategori penyebab potensial stres yaitu faktor lingkungan, faktor organisasional dan faktor individu. Karena sekolah, perusahaan atau unit kegiatan lain termasuk dalam dikategorikan sebagai organisasi maka faktor organisasional tentunya akan lebih berpengaruh.
atasan yang menuntut dan tidak peka, serta rekan kerja yang tidak menyenangkan merupakan beberapa contoh.
Berdasarkan contoh-contoh tersebut, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi berkisar dalam kategori tuntutan tugas, tuntutan peran, tuntutan antar pribadi, struktur organisasi dan kepemimpinan organisasi. Tuntutan tugas merupakan faktor yang dikaitkan pada pekerjaan seseorang. Faktor ini mencakup desain pekerjaan, kondisi kerja, dan tata letak kerja fisik.
Tuntutan peran berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada seseorang sebagai suatu fungsi dari peran tertentu yang dimainkan dalam organisasi itu. Konflik peran terjadi bila harapan-harapan tidak dapat diwujudkan atau dipuaskan . Peran yang kelebihan beban dialami bila individu diharapkan untuk melakukan lebih daripada yang dimungkinkan oleh waktu. Tuntutan antarpribadi adalah tekanan yang diciptakan oleh rekan kerja. Kurangnya dukungan sosial dari rekan-rekan dan hubungan antar pribadi yang buruk dapat menimbulkan stres yang cukup besar.
Struktur organanisasi menentukan tingkat diferensiasi
Kepemimpinan organisasi menggambarkan gaya manajerial dari eksekutif senior organisasi. Beberapa pejabat eksekutif kepala menciptakan suatu budaya yang dicirikan oleh ketegangan, rasa takut, dan kecemasan. Mereka membangun tekanan yang tidak realistis untuk berprestasi dalam jangka pendek, memaksakan pengawasan yang berlebihan ketatnya, dan secara rutin memecat karyawan yang tidak dapat mengikuti.
d) Faktor Individu (Internal)
Selain faktor-faktor penyebab stres yang berasal dari luar (eksternal), ada pula yang berasal dari faktor individu sendiri (internal).
Faktor ini adalah berdasarkan kepribadian (personality) individu yang
bersangkutan. Allport (dalam Hawari 2001) mendefinisikan personality
sebagai :
“Personality is the dynamic organization within the individual of those psychophysical systems that determine his unique adjustments to his environment”.
Setiap individu memiliki penyesuaian tersendiri terhadap lingkungannya. Hal ini mempengaruhi tingkat ketahanan individu terhadap stres. Aspek-aspek kepribadian yang dapat mempengaruhi tingkat
ketahanan individu terhadap stres antara lain self esteem, self efficacy,
locus of control, dantipe kepribadian A – B
Self esteem atau pandangan yang positif terhadap diri sendiri
merupakan sumber coping untuk stres. Individu dengan self esteem yang
untuk mengadopsi strategi coping yang efektif untuk mengatasi stres
ketimbang individu dengan self esteem yang rendah.
Self efficacy adalah sebagaimana baik seorang individu dapat mengatasi atau menghadapi sebuah situasi (Bandura, 1982). Jika individu yakin dengan kemampuannya untuk mengatasi sebuah situasi dengan baik
atau dengan kata lain mempunyai self efficacy yang tinggi lebih tahan
dalam menghadapi stres.
Wrightsman & Deaux (dalam Hawari, 2001) menyebutkan, Locus
Of Control (LOC) merupakan kecenderungan secara umum untuk meyakini bahwa kontrol atas kejadian-kejadian dalam kehidupan ada secara internal maupun eksternal. LOC internal cenderung merasa yakin bahwa kontrol kejadian-kejadian ada di dalam tangannya sendiri. LOC eksternal memiliki keyakinan bahwa kehidupannya dipengaruhi oleh orang lain atau peristiwa-peristiwa yang tidak dapat dikontrolnya. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa individu dengan LOC internal lebih tahan terhadap stres. Hal ini disebabkan karena mereka percaya bahwa mereka dapat mengontrol situasi atau keadaan yang ada dalam mencapai tujuan mereka (Hawari, 2001).
1. ambisius, agresif dan kompetitif
2. kurang sabar, mudah tegang, mudah tersinggung dan marah (emosional)
3. kewaspadaan berlebihan, kontro diri kuat, percaya diri berlebihan
(over confidence)
4. cara bicara cepat, bertindak cepat, hiperaktif, tidak dapat diam
5. bekerja tidak mengenal waktu (workcoholik)
6. pandai berorganisasi dan memimpin dan memerintah (otoriter) 7. lebih suka bekerja sendirian
8. kaku terhadap waktu, tidak dapat tenang (tidak relaks), serba tergesa-gesa
9. mudah bergaul, pandai menimbulkan perasaan empati dan bila tidak tercapai maksudnya mudah bersikap bermusuhan
10. tidak mudah dipengaruhi, kaku (tidak fleksibel)
11. bila berlibur pikirannya ke pekerjaan, tidak dapat santai 12. berusaha keras untuk dapat segala sesuatunya terkendali
4. Faktor- faktor yang mempengaruhi ketahanan (resilience) terhadap
stres
Menurut Norman Garmezy (dalam Santrock, 2003) faktor-faktor yang
mempengaruhi stres ketahanan (resilience) seseorang terhadap stresyaitu :
1. ketrampilan kognitif (perhatian, pemikiran reflektif) dan respon
2. keluarga, ditandai dengan adanya kehangatan, keterikatan satu sama lain, dan ada orang dewasa yang memperhatikan
3. ketersediaan sumber dukungan eksternal, seperti ketika kebutuhan
yang kuat akan tokoh ibu dapat dipenuhi oleh tokoh guru, tetangga, orang tua teman, atau struktur institusional.
5. Stress pada mahasiswa yang bekerja
Seorang mahasiswa tentunya memiliki kesibukan-kesibukan akademik seperti adanya tugas-tugas mata kuliah dan jadwal kuliah yang harus dihadapi setiap harinya. Oleh karena itu, beban tugas pada mahasiswa yang bekerja tentu lebih besar dari pada beban tugas mahasiswa pada umumnya karena mahasiswa yang bekerja memiliki tanggung jawab lain yaitu bekerja di sela-sela kesibukan akademisnya sebagai seorang mahasiswa (Handianto, 2006). Seringnya terjadi
benturan dua tuntutan yang berbeda ini menimbulkan tegangan (stres) pada diri
mahasiswa yang telah bekerja. Seseorang yang berada dalam keadaan seperti itu akan merasa kelebihan beban dan menjadi tegang. Kelebihan beban itu yang
disebut overload (Girdano,1990).
Overload ini dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif (Girdano, 1990). Dikatakan overload secara kuantitatif jika banyaknya pekerjaan yang
ditargetkan melebihi kapasitas seseorang. Overload secara kualitatif bila
pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit, sehingga menyita kemampuan teknis dan kognitif. Mahasiswa maupun karyawan dapat saja mengalami
kuantitatif dan kualitatif dialami secara bersamaan. Overload secara kuantitatif pada mahasiswa dapat terjadi bila mendapat materi kuliah yang diberikan untuk ujian dan tugas yang diberikan terlalu banyak sedangkan waktu yang diberikan
untuk mempelajari dan mengerjakannya tidak sebanding. Overload secara
kualitatif pada mahasiswa terjadi bila materi kuliah yang diberikan terlalu beragam sehingga sulit untuk dapat memahaminya dan tugas yang diberikan terlalu komplek dan sulit bagi mahasiswa untuk mengerjakannya. Pada karyawan yaitu bila tugas yang diberikan juga beragam dan terlalu sulit sehingga sangat menyita kemampuannya atau bahkan tidak sesuai dengan kemampuannya untuk mengerjakanya.
Keputusan seorang mahasiswa ini menjadikan seorang mahasiswa yang juga bekerja memiliki peran ganda baik sebagai mahasiswa maupun pekerja.
Peran (role) adalah aspek fungsional yang berasosiasi dengan posisi spesifik
dalam konteks sosial. Setiap orang memiliki lebih dari satu peran dalam kehidupannya. Ada kalanya peran-peran yang dijalani memiliki ketidaksesuaian antara kebutuhan atau tuntutan peran yang satu dengan yang lainnya.
Ketidaksesuaian ini menyebabkan terjadinya konflik peran (role conflict)
(Girdano, 1990).
Role conflict dapat dibedakan menjadi dua yaitu interrole conflict dan
intrarole conflict. Kedua jenis role conflict itu dialami oleh mahasiswa yang
bekerja. Sebagai mahasiswa, mereka mengalami intrarole conflict ketika harus
atau lebih tugas pada waktu yang relatif bersamaan. Pada mahasiswa yang
bekerja selain konflik tersebut mereka juga mengalami interrole conflict. Ini
terjadi karena peran mereka sebagai karyawan yang harus melakukan aktivitas dalam pekerjaannya dan juga sebagai mahasiswa yang harus melakukan aktivitas dalam kuliahnya.
Tuntutan tugas merupakan faktor yang dikaitkan pada pekerjaan seseorang. Mahasiswa mempunyai tugas begitu juga dengan karyawan. Mahasiswa dalam kuliahnya meskipun tidak semua mata kuliah diberikan tugas dan tidak semua dosen memberikan tugas tapi setiap semesternya pasti ada beberapa tugas yang harus dikerjakan. Selain itu mahasiswa juga harus belajar untuk mempersiapkan ujian dan dalam kuliah terdapat juga beberapa kuis. Karyawan sudah pasti mempunyai tugas yang diberikan dati tempat ia bekerja. Pada mahasiswa yang bekerja tuntutan tugas mereka dua kali lipat karena pada satu peran ia harus mengerjakan tugas-tugas kuliah dan pada peran lainnya harus mengerjakan tugas-tugas kantornya. Tuntutan peran berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada seseorang sebagai suatu fungsi dari peran tertentu yang dimainkan dalam organisasi itu. Telah dijelaskan sebelumnya tentang peran ganda yang dialami mahasiswa yang bekerja. Peran sebagai mahasiswa dan peran karyawan seringkali mengalami ketidaksesuaian. Hal ini mungkin merupakan sumber potensial stes yang besar bagi mahasiswa yang bekerja.
Pada mahasiswa yang bekerja, time pressure yang mereka rasakan pasti
tidak bisa dihindari. Time pressure ini adalah salah satu penyebab utama
melakukan terlalu banyak hal (Munandar, 1995). Munandar mengatakan bahwa waktu dalam masyarakat industri merupakan suatu unsur yang sangat penting. Setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat. Waktu merupakan salah satu ukuran dari efisiensi. Atas dasar ini orang sering harus bekerja berkejaran dengan waktu. Tugas harus diselesaikan
sebelum waktu berakhir (dead line).
Individu yang mempunyai aktivitas, baik dalam sekolah (academic)
maupun pekerjaan (occupational) akan menemui masalah deadline (Hanson,
1986). Deadline merupakan salah satu penyebab terjadinya time pressure.
Mahasiswa dalam aktivitas kuliahnya sering menghadapi time pressure.
Banyaknya bahan mata kuliah yang harus dipelajari sebelum ujian dan
tugas-tugas yang harus dikumpulkan pada waktunya (deadline) merupakan time
pressure yang mereka hadapi.
Mahasiswa yang bekerja ketika menghadapi deadline baik dari kuliahnya
dan pekerjaannya akan mengalami time pressure yang besar karena pada saat
yang bersamaan mereka harus menyelesaikan kedua tugas tersebut. Hal ini mungkin juga merupakan sumber potensial stes yang besar bagi mahasiswa yang bekerja.
B. Adversity Quotient
1. Pengertian Adversity Quotient
Adversity memiliki akar kata “adverse” yang berarti negatif atau bertolak
belakang. Berdasarkan akar kata tersebut adversity memiliki arti yang luas.
Mulai dari berita buruk, kesusahan, nasib sial sampai pada penyakit yang tak
tersembukan, masa-masa sulit, kepedihan dan bencana. Adversity dapat juga
dipahami sebagai sebuah keadaan tidak beruntung atau bencana, kesusahan dan digambarkan sebagai kecelakaan yang tak terelakan (Laksmono, 2001)
Sementara Quotient, menurut esiklopedia Wikipedia selain berarti hasil
akhir dari pembagian soal, juga dapat diartikan sejenis test seperti Test
Kecerdasan (Intelligent Quotient) yang mana dalam hal ini quotient memberikan
gambaran derajat atau tingkat kecerdasan individu dalam bentuk skor. Jadi
berdasarkan akar katanya, Adversity Quotient berarti skor seseorang saat
bertahan dalam kepedihan, kesulitan, bencana, kecelakaan atau situasi negatif
lain. Stoltz (2000) menyatakan Adversity Quotient adalah daya juang yang
diuraikan sebagai derajat kemampuan seseorang dalam bertahan,
menanggulangi situasi yang dianggapnya sebagai masalah, dan melampaui masalah yang dihadapi dalam bentuk skor.
Dari uraian diatas maka Adversity Quotient dapat didefinisikan sebagai
2. Dimensi Adversity Quotient
Stoltz (2000) membagi daya juang individu atas empat dimensi yang
terdiri dari Control, Origin – Owner, Reach dan Endurance (CO2RE). Berikut
ini diuraikan tiap-tiap dimensi tersebut. a. Control/C (control)
Dimensi ini menekankan kemampuan seseorang mengendalikan respons dirinya dalam situasi yang ada serta mempengaruhi situasi tersebut secara positif. Seseorang yang berpandangan optimis mampu mengendalikan respons diri agar tetap aktif, memegang kontrol dan mampu mempengaruhi situasi yang dihadapinya. Sementara pandangan pesimis akan berdampak sebaliknya.
Gandhi (dalam Stoltz, 2000) meyakini bahwa manusia dapat mengubah penjajahan (situasi tertekan) bukan dengan mengubah pandangan sang penjajah (situasi) itu sendiri tetapi dengan mengubah keyakinan yang ada dalam dirinya yaitu kemerdekaan dapat diwujudkan. Jadi kontrol atas diri (kemerdekaan) Gandhi tidak ada pada penjajah (situasi) tetapi pada diri sendiri, walau kontrol lingkungan hidup ada pada penjajah. Gandhi mulai mengubah anggapan bangsa India melalui kesediaan untuk mengambil kontrol hidup dari tangan penjajah. Semakin besar kontrol seseorang, semakin seseorang dimampukan untuk bertindak, berkembang, dan hidup bahagia.
1) Pengendalian Seketika, yaitu individu dapat mengendalikan respons sekaligus segera memberikan respon positif saat berhadapan dengan situasi bermasalah.
2) Pengendalian Tertunda, yaitu individu mampu mengendalikan respons tetapi belum segera memberikan respon positif saat berhadapan dengan situasi bermasalah
3) Luapan Emosi Secara Verbal, yaitu individu yang tak mampu mengendalikan respon dan memberikan respon negatif berupa ungkapan verbal yang negatif.
4) Luapan Emosi Secara Fisik, yaitu individu yang tak mampu mengendalikan respon dan memberikan respon negatif berupa ungkapan fisik yang negatif.
b. Origin dan Ownership (O2)
Adalah sejauh mana seseorang mau mengakui masalah yang dihadapi dan bersedia menanggung akibat atas situasi yang dihadapi secara objektif.
1) Ownership (pengakuan)
kemampuan untuk bertanggung jawab secara wajar serta mengakui bagian yang memang harus ditanggung. Sementara orang berdaya juang rendah cenderung tidak bertanggung jawab karena enggan mengakui kesalahan mereka.
2) Origin (asal-usul)
Adalah dimensi yang mencari akar persoalan dengan titik berat pada siapa dan apa yang menjadi asal usul kesulitan yang ada. Hal ini berkaitan dengan rasa bersalah dan penyesalan seseorang. Jika seseorang menghadapi kegagalan, maka akan baik jika orang tersebut mengalami rasa bersalah yang adil dan penyesalan yang wajar. Orang tersebut tidak melemparkan semua kesalahan pada diri sendiri atau pada lingkungan. Tapi sebaliknya, orang tersebut dapat melihat sisi mana yang dapat dipertanggung-jawabkan sebagai kesalahan diri sendiri dan sisi mana yang memang merupakan bagian dari kekurangan lingkungan.
c. Reach/R (jangkauan)
Dimensi ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melokalisasi permasalahan yang dihadapi. Individu yang berdaya juang tinggi melihat persoalan yang dihadapi secara tepat dan tetap fokus sehingga tidak mempengaruhi semua aspek hidupnya. Sedangkan individu berdaya juang rendah cenderung memandang persoalan yang dihadapi akan meluas dan mempengaruhi aspek hidup lain.
d. Endurance/E (daya tahan)
Dimensi ini merujuk pada prediksi waktu seseorang atas situasi yang dihadapi. Individu berdaya juang rendah akan memprediksi situasi yang dihadapi berlangsung lama karena penyebab persoalan dipandang sebagai sesuatu yang permanen serta tak dapat diperbaiki. Sebaliknya individu berdaya juang tinggi menganggap situasi yang dihadapi akan segera berakhir karena penyebabnya dapat diubah dan diperbaiki.
3. Tiga Tipe Manusia Berdasarkan Derajat Daya Juang
Stoltz (2000) dalam penelitiannya menemukan bahwa adalah tiga jenis kelompok manusia berdasarkan tingkatan daya juang. Berikut ini diuraikan ketiga jenis kelompok tersebut:
1. Quiters (Penyerah), yaitu orang dengan daya juang rendah
tanpa makna. Di tempat kerja umumnya bekerja sekadar saja, tidak ada ambisi, mutu kerja di bawah standar, tidak mau ambil resiko dan tidak kreatif. Relasinya memiliki banyak teman sejenis untuk memupuk rasa tak berdaya. Respon terhadap perubahan cenderung menolak atau lari bahkan menyabot peluang kesuksesan diri secara aktif. Menggunakan kalimat yang bersifat membatasi dan menolak seperti “saya tidak mampu”, “saya tidak bisa” dan sebagainya. Kontribusi yang diberikan sedikit dan tak ada visi dalam berkarya karena ambang daya tahan yang rendah
2. Campers (Mapan), yaitu orang dengan daya juang sedang.
tetapi tidak banyak karena campers belum menggunakan kemampuannya secara optimal. Ambang daya tahannya lebih besar dari
quitters tetapi tidak cukup besar untuk menghadapi perubahan yang cepat dan lama.
3. Climbers (Pendaki), yaitu orang dengan daya juang tinggi.
Ciri-ciri tipe ini adalah memiliki karakter ingin terus bertumbuh dan mengembangkan diri dengan gaya hidup penuh gairah, gigih, ulet, tabah, tidak takut, bersedia diam bahkan mundur untuk kemudian maju lagi. Ditempat kerja memiliki inisiatif yang tinggi, kreatif dan semangat
untuk terus maju berkembang. Climbers cenderung membuat segala
sesuatunya mejadi terwujud. Climbers bekerja dengan visi, memiliki
inspirasi dan karenanya mampu menjadi pemimpin yang baik. Membentuk berbagai jenis relasi dan tidak takut untuk menjajaki semua potensi yang ada. Menyambut baik resiko akibat kritikan tetapi memiliki
relasi yang bemakna. Komitmen climbers dalam berelasi adalah mampu
menerima keceriaan sama seperti rasa sakit dan penderitaan. Respons
terhadap perubahan adalah positif. Bagi climbers perubahan adalah
tantangan dan tantangan membuat climbers semakin berkembang.
Climbers adalah jenis orang yang dapat diandalkan saat adanya
perubahan. Climbers sadar bahwa perubahan adalah sesuatu yang tak
dapat dihindarkan. Climbers berkembang pesat berkat adanya
perubahan. Bahasa yang digunakan oleh climbers selalu penuh dengan
kerjakan’, ‘kita pasti bisa’, ‘jika satu pintu tertutup pasti pintu lain terbuka’, ‘masalah bukan untuk dihindari tetapi untuk dihadapi’ dan sebagainya. Jenis orang seperti ini merupakan orang yang paling banyak
memberikan kontribusi. Climbers menggunakan seluruh kemampuannya
untuk bertumbuhkembang serta mengembangkan lingkungan
sekelilingnya. Climbers secara aktif mengupayakan hasil optimal dalam
tiap perubahan hidup. Ambang daya tahan climbers sangat tinggi.
Climbers mampu bekerja di bawah tekanan dan tetap berkembang.
4. Adversity Quotient pada mahasiswa yang bekerja
Sikap optimis juga ditunjukan pada mahasiswa yang bekerja yang berani mengambil keputusan untuk bekerja dan membagi waktunya antara belajar dan bekerja menunjukkan adanya sifat tahan banting dan keuletan. Werner (dalam Stoltz, 2000) menyatakan bahwa orang yang optimis adalah para perencana yang mampu menyelesaikan masalah dan orang yang dapat memanfaatkan masalah sebagai peluang. Hal ini didukung oleh penelitian Seligman (dalam Stoltz, 2000) menyatakan perbedaan individu yang pesimis
dan optimis sebagai perbandingan seseorang yang memiliki Adversity
Quotient yang tinggi atau rendah. Individu pesimis akan memandang kesulitan sebagai situasi yang menetap, pribadi dan berdampak ke semua aspek hidup lain, sedangkan individu optimis akan memandang kesulitan sebagai kondisi sementara, eksternal dan terbatas pada persoalan saat itu saja.
C. Dinamika Adversity Quotient dan Stress
menghadapi kekeliruan, menyelesaikan tugas pada waktu yang terbatas, serta beban kerja yang berlebihan. Faktor individu merupakan faktor internal dikarenakan faktor ini berada di dalam diri manusia (persepsi). Faktor inilah yang mempengaruhi tingkat ketahanan individu terhadap stres.
Terganggu atau tidaknya individu, tergantung persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Diana, 1991). Kemampuan untuk dapat mereduksi stres ini tergantung kepada presepsi positif masing-masing individu tersebut dalam menanggapi stress yang diterimanya.
MenurutSelye, (dalam Monk, 2001) Stressor yang sama dapat dipersepsi
secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif
individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat
berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul. Maka diperlukan sikap optimis dari individu
untuk dapat meganggap stressor sebagai peristiwa yang positif sehingga dapat
memunculkan respon yang positif pula.
Seligman (dalam Stoltz, 2000) menyatakan perbedaan itu sebagai individu yang pesimis dan optimis sebagai perbandingan seseorang yang memiliki
hidup lain, sedangkan individu optimis akan memandang kesulitan sebagai kondisi sementara, eksternal dan terbatas pada persoalan saat itu saja.
Sikap optimis juga menunjukkan adanya sifat tahan banting dan keuletan. Orang yang memiliki sifat tahan banting dan ulet mampu mengatasi kesulitan lebih baik daripada yang tidak memiliki sifat itu. Werner (dalam Stoltz, 2000) menyatakan bahwa orang yang optimis adalah para perencana yang mampu menyelesaikan masalah dan orang yang dapat memanfaatkan masalah sebagai peluang. Misalnya seorang pelajar mendapat nilai jelek dalam sebuah tes sehingga harus mengulang kembali. Pelajar tersebut menganggap masalah yang dihadapinya (mengulang tes) sebagai peluang untuk memperbaiki nilai.
Stoltz (2000) membagi Adversity Quotient individu atas empat dimensi
yang terdiri dari Control, Origin – Owner, Reach dan Endurance (CO2RE). Empat
dimensi ini menjadi indikasi bahwa seseorang yang memiliki Adversity Quotient
yang tinggi berarti individu tersebut memiliki tingkat kendali yang kuat atas kesulitan-kesulitan yang dialami, mengaggap bahwa sumber kesulitan tersebut berasal dari luar diri atau orang lain. Disamping itu individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas yang berarti tidak membiarkan kesulitan-kesulitan menjadi sebuah bencana dengan membiarkannya meluas. Individu tersebut juga berarti mengaggap kesulitan-kesulitan yang dialaminya bersifat sementara sehingga tidak terus menerus memikirkan tentang kesulitan tersebut dan menjalani hal-hal sulit dengan mengganggap hal tersebut adalah sebuah proses. Begitu juga sebaliknya
tidak mempunyai kendali atas kesulitan-kesulitan yang dialami. Menganggap kesulitan-kesulitan tersebut karena kesalahan diri dan akan memasuki area-area
lain dalam kehidupan. Individu yang memiliki Adversity Quotient yang rendah
juga memandang kesulitan sebagai peristiwa yang berlangsung lama.
Empat dimensi yang menjadi indikator tinggi rendahnya Adversity
Quotient ini mengacu kepada kesulitan yang dihadapi individu dalam hidupnya. Kesulitan-kesulitan yang dialami individu tentunya memberikan beban stres dan membuat individu berada dalam tekanan sehingga individu tersebut memberikan respon dalam menghadapi kesulitan atau stress dalam hidupnya. Terry Beehr dan John Newman (dalam Rice, 1992) membagi tiga gejala individu yang berada dalam stress yang tinggi. Tiga gejala ini meliputi gejala psikologis, gejala fisik, dan gejala prilaku. Gejala psikologis misalnya kecemasan, komunikasi tidak efektif, mengurung diri, depresi, merasa terasing dan mengasingkan diri, dan kebosanan. Gejala Fisik misalnya meningkatnya detak jantung dan tekanan darah, meningkatnya sekresi adrenalin dan noradrenalin, gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung), mudah terluka, lebih sering berkeringat, dan mudah lelah secara fisik. Begitu juga gejala prilaku seperti contohnya menunda ataupun menghindari pekerjaan/tugas, serta penurunan prestasi dan produktivitas.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa indikator-indikator pada Adversity Quotient
memberikan dampak gejala pada diri individu. Apabila individu tersebut tidak
mempunyai kendali (control) atas kesulitan-kesulitan yang dialami yang
karena kesalahan diri (origin - ownership) dan akan memasuki area-area lain dalam kehidupan sehinga individu tersebut menjadi sensitif, kurang percaya diri, kurang kreatif, kurang spontan, dan sering menghindari pekerjaan. Begitu juga sebaliknya seseorang yang menganggap kesulitan-kesulitan tersebut berasal dari luar diri dan merespon kesulitan-kesulitan tersebut sesuatu yang terbatas (reach) berarti individu terbuka terhadap perubahan, percaya diri, dan spontan, serta kreatif. Sama halnya ketika individu tersebut memandang kesulitan yang terjadi
bersifat sementara (endurance) berarti individu tersebut akan lebih memiliki
semangat dan sikap optimis. Begitu juga sebaliknya, individu yang memandang kesulitan yang terjadi berlangsung lama sehingga individu tersebut akan merasa bosan, tidak puas dengan hasil kerjanya, dan kurang bersemangat.
Hal ini menjadi tolak ukur bagaimana kemampuan bertahan dalam
kesulitan atau Adversity Quotient pada diri seseorang sangat berpengaruh dalam
kemampuan seseorang menanggapi masalah atau kesulitan yang dihadapinya.
Dapat dikatakan juga apabila seseorang memiliki Adversity Quotient yang tinggi
maka seseorang tersebut memiliki kemampuan untuk memandang stress sebagai
suatu yang positif. Begitu juga sebaliknya, seseorang memiliki Adversity Quotient
yang rendah maka seseorang tersebut memiliki kemampuan untuk memandang stress sebagai suatu yang negatif.
Kita dapat lihat dinamika antara Adversity Quotient dan stres dalam bagan
D. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah Ha: Ada hubungan negatif
antara Adversity Quotient dan Stres pada mahasiswa yang bekerja. Semakin tinggi
Adversity Quotient maka semakin rendah stres pada mahasiswa yang bekerja.
Begitu juga sebaliknya, semakin rendah Adversity Quotient maka semakin tinggi
33 A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian inferensial kuantitatif korelasional. Penelitian inferensial adalah metode penelitian yang dirancang untuk membuat suatu kesimpulan tentang populasi dengan pengambilan sampel (Deuna, 1996). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dan membuat suatu kesimpulan antara dua variabel. Variabel tersebut adalah
adversity quotient dan stres pada mahsiswa yang bekerja.
B. Identivikasi Variabel Penelitian
Penelitian ini memiliki dua variabel yang diidentifikasi sebagai berikut :
1. Variabel prediktor yaitu Adversity Quotient
2. Variabel kriterium yaitu stres
C. Definisi Operasional Variabel Pnelitian
1. Adversity Quotient
Adversity Quotient merupakan daya juang yang diuraikan sebagai derajat kemampuan seseorang dalam bertahan dan menanggulangi situasi
yang dianggapnya sebagai masalah. Adversity Quotient diukur
dimensi menurut Paul G. Stoltz (2000), yaitu : Control, Origin-Ownership, Reach, dan Endurance
Seseorang dapat dinyatakan memiliki stres yang tinggi apabila seseorang
tersebut memiliki skor yang tinggi pada item-item Control, Origin-Ownership, Reach, dan Endurance
2. Stres
Stres merupakan bentuk respon psikologis dari stimulus yang berasal dari suatu kejadian, lingkungan dan kondisi fisik yang dapat menyebabkan seseorang menjadi tegang dan berada dalam tekanan. Stres diungkapkan dengan menggunakan skala stres yang di susun berdasarkan gejala stres menurut Terry Beehr dan John Newman (dalam Rice, 1992) yaitu gejala psikogis, gejala fisik, dan gejala prilaku.
Seseorang dapat dinyatakan memiliki Adversity Quotient yang tinggi
apabila seseorang tersebut memiliki skor yang tinggi pada item-item yang menunjukan gejala psikogis, gejala fisik, dan gejala prilaku.
D. Subjek Penelitian
pekerja yang bekerja minimal 4 jam sehari dengan waktu kerja minimal 5 hari dalam seminggu.
E. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini mengukur hubungan antara Adversity Quotient dengan
stres pada mahasiswa yang bekerja. Maka untuk mengolah data digunakan tehnik korelasi. Adapun alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Skala Adversity Quotient
2. Skala Stres
Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan menggunakan skala model Linkert. Pernyataan yang digunakan dalam skala merupakan skala terstruktur, yang mana jawaban sudah disediakan dan subjek hnaya memilih satu jawaban yang sesuai dengan kondisi diri subjek.
Adapun skala yang digunakan dalam masing-masing variabel penelitian ini adalah:
1. Skala Adversity Quotient
Penyusunan skala Adversity Quotient disusun berdasarkan 4 dimensi yang dikemukakan oleh Paul G. Stoltz yaitu
a. Control
b. Origin dan Ownership
Adalah sejauh mana seseorang menempatkan masalah yang dihadapi tidak hanya pada diri sendiri namun juga melihat faktor dari luar sebagai asal usul masalah dan bersedia menanggung akibat atas situasi sulit yang dihadapi secara objektif.
c. Reach
Adalah kemampuan seseorang untuk melokalisasi permasalahan yang dihadapi agar tidak merembes ke hal-hal lain.
d. Endurance
Dimensi ini merujuk pada prediksi waktu seseorang atas situasi sulit yang dihadapi.
Berdasarkan empat dimensi diatas, selanjutnya peneliti menyusun 80 butir pernyataan yang terdiri dri 40 pernyataan favorable dan 40 pernyataan unfavorabel. Pernyataan-pernyataan tersebut dapat dilihat dari tabel sebagai berikut
Tabel 1
Tabel spesifikasi item-item Skala Adversity Quotient
Dimensi Adversity Quotient
No Item
Bobot Jumlah
Aitem
Favourable Unfavorable
Control 4, 5, 10, 21, 45, 50,
51, 52, 71, 72
6, 8, 11, 29, 30, 31,
32, 53, 54, 55 25% 20
Origin
O2
Ownership
2, 25, 26, 27, 28, 7, 48, 49, 67, 68
25% 20
3, 33, 46, 47, 56 9, 34, 35, 65, 66
Reach 1, 12, 13, 36, 37, 38,
57, 58, 59, 60
14, 15, 16, 19, 20, 69,
70, 74, 75, 76 25% 20
Endurance 17, 18, 22, 23, 24, 73,
77, 78, 79, 80
39, 40, 41, 42, 43, 44,
61, 62, 63, 64 25% 20
Skor jawaban subjek pada Skala Adversity Quotient, yaitu : Tabel 2
Skor jawaban subjek pada Skala Adversity Quotient
Respon favorabel unfavorabel
Sangat Sesuai (SS) 4 1
Sesuai. (S) 3 2
Tidak Sesuai (TS) 2 3
Sangat Tidak Sesuai
(STS) 1 4
Semakin tinggi skor subjek yang diperoleh, maka semakin tinggi
juga Adversity Quotient yang dimiliki. Sebaliknya semakin rendah
skor total yang diperoleh, maka semakin rendah juga Adversity
Quotient yang dimiliki.
2. Skala Stres
Penyususnan skala Stres disusun berdasarkan 3 gejala yang dikemukakan oleh Terry Beehr dan John Newman (dalam Rice, 1992) yaitu:
a. Gejala Psikologis
b. Gejala Fisik
c. Gejala Prilaku
Tabel 3
Tabel Spesifikasi Item-item Stres
Indikator stress No Item bobot Jumlah
Aitem Gejala
Psikologis
1, 2, 3, 11, 12, 13, 21, 22, 23, 24,
25, 36, 37, 38, 42, 50, 51, 52, 56, 57 33,3% 20
Gejala Fisik 4, 5, 6, 10, 17, 18, 19, 20, 28, 29,
30, 31, 34, 35, 44, 45, 48, 49, 53, 59 33,3% 20
Gejala Prilaku 7, 8, 9, 14, 15, 16, 26, 27, 32, 33,
39, 40, 41, 43, 46, 47, 54, 55, 58, 60 33,3% 20
Jumlah 100% 60
Tabel 4
Skor jawaban subjek pada Skala Stres
Respon favorabel unfavorabel
Sangat Sering (SS) 4 1
Sering (S) 3 2
Jarang (TS) 2 3
Tidak Pernah (STS) 1 4
Semakin tinggi skor subjek yang diperoleh, maka semakin tinggi pula tingkat stres yang dialami. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah skor subjek yang diperoleh, maka semakin rendah pula tingkat stres yang dialami.
F. Pertanggungjawaban Mutu
1. Estimasi Validitas
adalah validitas isi. Validitas isi dilakukan melalui pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat penilaian (judment) yang bersifat subyektif. Validitas isi terdapat 2 jenis yaitu validitas tampang dan validitas logik (Azwar, 1997).
Validitas tampang adalah validitas yang paling rendah signifikasinya karena hanya berdasarkan penilaian terhadap format penampilan tes. Validitas ini dilakukan dengan cara memeriksa sebuah skala dan menyimpulkan apakah skala tersebut dapat memberi kesan
mengukur sikap yang akan diukur (profesional judgement).
2. Seleksi Aitem
Seleksi aitem dilakukan dengan cara menguji karateristik masing-masing aitem yang menjadi bagian tes. Apabila terdapat aitem tidak memenuhi syarat kualitas, maka tidak dapat diikutkan dalam bagian tes. Salah satu kualitas yang baik adalah konsistensi antara aitem dengan tes secara keseluruhan atau sering disebut dengan korelasi aitem total. Pengujian reliabilitas dan validitas hanya dapat dilakukan terhadap aitem-aitem yang telah teruji dan terpilih (Azwar, 1999). Sebagai kriteria pemilihan berdasarkan koefisien korelasi total,
digunakan batasan (rix) 0,3. Semua aitem yang mencapai koefisien
Peneliti melakukan uji coba Skala Adversity Quotient dan Skala Stres dengan melibatkan 50 mahasiswa yang bekerja. Setelah data
terkumpul, Skala Adversity Quotient dan Skala Stres kemudian
diproses menggunakan SPSS for windows seri 17.
3. Estimasi Reliabilitas
Reliabilitas merupakan penerjemahan dari kata reliability yang
mempunyai asal kata rely dan ability. Pengukuran yang memiliki
reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel (Azwar, 1997).
Penelitian Adversity Quotient dan Stres menggunakan estimasi
reliabilitas konsistensi internal Alpha-Cronbach yaitu melalui pendekatan reliabilitas konsistensi internal. Koefisien Alpha merupakan estimasi yang baik terhadap reliabilitas pada banyak situasi pengukuran (Azwar, 2008). Nilai reliabilitas skala dianggap memuaskan apabila mendekati 0,90. Koefisien yang tidak setinggi itu kadang sudah dianggap memuaskan (Azwar, 1997).
4. Hasil Uji Coba Alat Penelitian
a. Hasil Uji Coba Skala Adversity Quotient
Skala Adversity Quotient dihitung menggunakan SPSS for
dan sama dengan atau lebih besar dari 0,3 (Azwar, 1999). Uji reliabilitas Skala Adversity Quotient pada 80 aitem dengan = 0,9093 dan 40 aitem gugur. Setelah menghilangkan aitem gugur, koefisien reliabilitas = 0,917 dengan 40 aitem. Hasil uji coba
Skala Adversity Quotient dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5
Tabel Skala Adversity Quotient Sebelum dan Sesudah Uji Coba
Pada tabel diatas nomer item yang diberi tanda bintang adalah nomor item yang gugur. Adanya item yang gugur membuat proporsi pada setiap aspek menjadi berbeda, sehingga peneliti memutuskan untuk menyamakan proporsi tiap aspek dengan cara memilih 10 item dengan reabilitas terbaik pada tiap aspek.
Tabel 6 berikut ini menunjukan spesifikasi item Skala Adversity
Quotient setelah dilakukan penelitian uji coba : Dimensi
Adversity Quotient
No Item
Jumlah Aitem
Favourable Unfavorable
Control 4, 5*, 10, 21, 45, 50*, 51,
52, 71, 72
6, 8* 11*29, 30, 31*
32, 53, 54, 55* 14
Origin
O2
Ownership
2*, 25*, 26* 27, 28* 7* 48, 49, 67* 68*
10
3, 33, 46, 47, 56 9* 34, 35* 65* 66
Reach 1, 12, 13, 36* 37, 38* 57,
58, 59*,60*
14* 15, 16* 19, 20, 69,
70* 74* 75, 76* 11
Endurance 17, 18, 22* 23, 24, 73, 77,
78, 79* 80
39* 40, 41, 42, 43, 44,
61* 62* 63* 64 14
Tabel 6
Tabel spesifikasi item-item Skala Adversity Quotient Setelah Uji Coba
Dimensi Adversity
Quotient
No Item
Bobot Jumlah Aitem
Favourable Unfavorable
Control 3, 5, 13, 28,
37, 38 4, 15, 29, 30 25% 10
Origin
O2
Ownership
14 26, 27
25% 10
2, 16, 24, 25,
31 17, 35
Reach 1, 6, 7, 18, 32,
33 8, 11, 12, 36 25% 10
Endurance 9, 10, 49, 40 19, 20, 21, 22, 23,
34 25% 10
Jumlah 22 18 100% 40
b. Hasil Uji Coba Skala Stres
Skala Stres dihitung menggunakan SPSS for Windows versi
Tabel 7
Tabel Skala Stres Sebelum dan Sesudah Uji Coba
Indikator stress No Item Jumlah
Gejala Psikologis 1*, 2, 3, 11, 12, 13, 21, 22*, 23, 24, 25, 36, 37,
38, 42, 50, 51, 52*, 56, 57 17
Gejala Fisik 4, 5, 6, 10, 17, 18, 19, 20, 28, 29, 30, 31, 34,
35, 44, 45*, 48*, 49*, 53, 59* 16
Gejala Prilaku 7*, 8*, 9, 14*, 15, 16, 26, 27, 32, 33*, 39, 40,
41*, 43, 46, 47*, 54*, 55, 58, 60 13
Jumlah 46
Pada tabel diatas nomer item yang diberi tanda bintang adalah nomor item yang gugur. Adanya item yang gugur membuat proporsi pada setiap aspek menjadi berbeda, sehingga peneliti memutuskan untuk menyamakan proporsi tiap aspek dengan cara memilih 13 item dengan reabilitas terbaik pada tiap aspek.
Tabel 8
Tabel Spesifikasi Item-item Skala Stres Setelah Uji Coba
Indikator stress No Item bobot Jumlah
Aitem Gejala
Psikologis
1, 2, 8, 13, 14, 15, 24, 25, 26. 29,
34, 36, 37 33,3% 13
Gejala Fisik 3, 4, 5, 7, 11, 17, 18, 19, 20, 22, 23,
31, 33 33,3% 13
Gejala Prilaku 6, 9, 10, 16, 17, 21, 27, 28, 30, 32,
35, 38, 39 33,3% 13
Jumlah 100% 39
G. Tehnik Analisis Data
1. Uji Asumsi
Uji asumsi merupakan salahsatu syarat dalam penggunaan tehnik korelasi untuk memperoleh kesimpulan yang benar berdasarkan data yang ada. Adapun uji asumsi yang dilakukan adalah sebagai berikut :
berdistribusi normal. Pada penelitian ini uji normalitas dilakukan
dengan Kolmogorov-Smirnov pada SPSS for Windows versi 17.0
b. Uji linearitas, yaitu untuk mengetahui apakah hubungan antara skor variabel prediktor dan variabel kriterium merupakan bergaris lurus atau tidak. Jika hubungan antara dua variabel tersebut menunjukan garis lurus maka dapat dinyatakan terdapat korelasi linier antara kedua variabel. Data dinyatakan linear apabila dua variabel mempunyai signifikasi kurang dari 0.05 (Priyatno, 2008).
2. Uji Hipotesis
Uji hipotesis dilakukan untuk melihat apakah ada hubungan negatif
antara adversity quotient dan stres pada mahasiswa yang bekerja.
Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan formula teknik
46 A. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada Senin, 14 Juni 2010 sampai dengan 5 Juli 2010. Penelitian ini melibatkan 70 subjek. Pengumpulan data penelitian dilaksanakan dengan cara meminta subjek untuk memberikan
jawaban pada kuesioner yang berisi dua skala, yaitu Skala Adversity
Quotient dan Skala Stres. Peneliti membagikan 70 skala pada subjek dan kembali dengan jumlah yang sama pada peneliti.
B. Data Demografi Subjek Penelitian
Tabel 9
Data Pekerjaan Subjek
Pekerjaan Jumlah Presentase
OP Warnet 46 65,71%.
Waitres 12 17,14%.
Penjaga toko 10 14,28%.
Seles 2 2,8%
C. Uji Asumsi
1. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sebaran variabel dalam penelitian normal atau tidak. Apabila sebaran variabel tidak normal maka data tidak dapat dianalisis. Penelitian uji
normalitas diolah dengan menggunakan SPSS for Windows versi
17.0.
Tabel 10
Hasil Uji Normalitas
Variabel Kolmogorov-
Smirnov Signifikansi Keterangan
Adversity
Quotient 1,062 0,209 Normal
Hasil di atas diperoleh Kolmogorov-Smirnov untuk variabel
Adversity Quotient sebesar 1,063 dengan signifikansi 0,209. Nilai
signifikansi tersebut lebih besar dari 5 % pada variabel Adversity
Quotient, dengan demikian sebaran data adalah normal.
Data variabel Stres Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,901
dengan signifikansi 0,391. Nilai signifikansi tersebut lebih dari 5 % pada variabel stres, dengan demikian sebaran data adalah normal.
2. Uji Linearitas
Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah data antara kedua variabel berupa garis lurus atau tidak. Uji linearitas tersebut
dilakukan dengan menggunakan SPSS for Windows versi 17.0. Dari
hasil pengolahan data, menunjukan bahwa nilai signifikan sebesar
0,006. Nilai ini menunjukkan bahwa data antara variabel Adversity
Quotient dan stres adalah linear karena nilai signifikan lebih kecil dari 0,05 (0,006 < 0,05).
D. Hasil Penelitian
1. Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik
Uji Hipotesis dilakukan dengan menggunakan SPSS for Windows
versi 17.0. Uji hipotesis satu ekor (one tailed) dilakukan pada penelitian ini karena hipotesis dalam penelitian ini sudah mengarah, yaitu berarah negatif.
Dari hasil analisi data diketahui bahwa koefisien korelasi antara
variabel Adversity Qoutient dan Stres sebesar -0,329 dengan
signifikansi sebesar 0,003. Hal ini berarti terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara variabel Adversity Qoutient dan Stres.
Jadi, semakin tinggi Adversity Quotient seseorang maka semakin
rendah stres yang di rasakan oleh orang tersebut. Begitu juga
sebaliknya semakin rendah Adversity Quotient seseorang, maka
sekin tinggi stres yang di rasakan oleh orang tersebut.
Dari penelitian ini, diktahui bahwa r = -0, 329 dan koefisien determinan (r2) sebesar 10,8%. Hal ini berarti Adversity Quotient
memiliki sumbangan efektif sebesar 10,8 % terhadap stres pada mahasiswa yang bekerja, sedangkan 89,2% lainya dipengaruhi oleh variab