• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Hubungan Altruisme dengan Dewasa Awal

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

C. Dinamika Hubungan Altruisme dengan Dewasa Awal

pun dan kapanpun. Perilaku menolong tersebut biasanya terjadi karena ada suatu situasi yang mensinyalkan untuk menghadirkan suatu bentuk pertolongan bagi pemberi pertolongan kepada orang yang membutuhkan pertolongan. Seseorang yang menolong dengan motivasi untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain tanpa memerhatikan diri sendiri disebut sebagai altruisme (Arifin, 2015; Batson, dalam Sarwono & Meinarno, 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku menolong altruis memiliki kesamaan dengan gotong royong, yaitu sebagai suatu ciri dari masyarakat Indonesia.

Individu yang altruistis akan peduli dan mau membantu meskipun tidak ada keuntungan yang ditawarkan atau tidak ada harapan akan mendapatkan imbalan (Myers, 2012). Menurut Wilson dan Petruska (dalam Dayaksini & Hudaniah, 2009) individu yang memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menolong biasanya

memiliki karakteristik kepribadian, yakni memiliki harga diri yang tinggi, rendahnya kebutuhan akan persetujuan orang lain, rendahnya menghindari tanggungjawab, dan lokus kendali yang internal.

Individu yang altruis dapat berempati, peka, berinisiatif, rela berkorban, dan memiliki rasa tanggungjawab sosial (Myers, 1994). Bierhoff (dalam Myers, 2012) menjelaskan bahwa tingkah laku altruis berdasar pada motivasi individu yang menolong dan motivasi yang dimiliki untuk bertingkah laku prososial karena adanya empati dan perspective taking. Hal tersebut diperkuat oleh Dayaksini dan Hudaniah (2009) yang menyatakan bahwa empati merupakan dasar dari lahirnya perilaku menolong.

Seseorang yang altruis memiliki motivasi altruistik, yaitu keinginan untuk selalu menolong. Alasan internal tersebut tidak akan memunculkan egoistic motivation (Arifin, 2015). Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku menolong yang altruis, yaitu suasana hati, meyakini keadilan dunia, sosiobiologis dan situasional (Wortman dkk, dalam Arifin 2015). Sarwono (2009) menambahkan bahwa jenis kelamin, kepribadian, tempat tinggal dan pola asuh mempengaruhi perilaku menolong seseorang. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Retnaningsih (2005) menemukan bahwa usia memengaruhi perilaku menolong seseorang. Menurutnya, perbedaan usia perkembangan akan menghasilkan sikap menolong yang berbeda.

Hal tersebut di perkuat oleh pernyataan Staub (dalam Dayaksini & Hudaniah, 2009) bahwa dengan bertambahnya usia, maka seseorang menjadi lebih

empati dan memahami makna dari suatu tindakan menolong. Soldz dan Vaillant (dalam Upton, 2012) individu dewasa dapat menyesuaikan diri dan merasa bertanggungjawab terhadap orang lain pada pekerjaan dan hal yang diberikan mereka merupakan suatu bentuk amal. Papalia, Olds, dan Feldman (2009) menyatakan bahwa bagi tahap dewasa, kecerdasan emosional mengacu pada kemampuan untuk mengenali dan menghadapi perasaan sendiri dan orang lain. Selain itu, Goleman (2007) kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain mencakup beberapa kualitas seperti optimism, kecermatan, motivasi, empati, dan kompetensi sosial.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara usia dengan perilaku menolong (Peterson, 1983, dalam Dayaksini & Hudaniah, 2009). Menurut William (dalam Dayaksini & Hudaniah, 2009), pengalaman berperan penting sebagai penentu pemberian pertolongan kepada orang lain dan perilaku menolong yang altruis dapat di tunjukkan oleh orang dewasa (Baron & Byrne, 2005). Menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2009), orang-orang dewasa memiliki kompetensi sosial yangmeliputi kesadaran sosial, yaitu empati, orientasi untuk melayani, kesadaran, dan organisasional. Selain itu, pengalaman dapat menuntun orang dewasa mengevaluasi ulang kriteria mereka tentang apa yang benar dan salah. Mereka lebih spontan menggunakan pengalaman pribadinya sebagai jawaban atas dilema sosialnya (Papalia, Olds, dan Feldman, 2009). Berdasarkan teori dan hasil penelitian sebelumnya, hubungan antara perilaku menolong dengan usia menjadi hal yang menarik untuk dipelajari lebih dalam. Usia

atau umur adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati (KBBI). Usia tersebut terhitung sejak seseorang lahir sampai meninggal. Usia seseorang biasanya berkisar antara 0 sampai 75 tahun atau lebih, dimana seseorang melewati masa hidup dengan berbagai perkembangan yang halus sepanjang rentang kehidupan atau serangkaian perubahan mendadak (Kail & Cavanugh, 2010). Selama masa kehidupan tersebut, seseorang akan terus berubah. Bagaimana seseorang bertindak, berperilaku dan mengembangkan apa yang mereka lakukan, dapat dijelaskan melalui perkembangan hidup seseorang. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Kail dan Cavanaugh (2010) bahwa seseorang yang berlaku baik secara biologis, psikologis dan sosikultural dipengaruhi oleh perkembangan hidupnya.

Seseorang akan melewati delapan tahapan kehidupan dan pada setiap tahapnya mempunyai keunikan tersendiri (Erikson, 1989). Pada masing-masing tahap, individu akan dihadapkan pada sebuah krisis yang merupakan suatu tugas perkembangan unik yang harus diselesaikan. Krisis bukanlah sebuah bencana tapi merupakan sebuah titik balik yang ditandai oleh meningkatnya kerentanan dan potensi seseorang (Erikson, 1989). Krisis identitas adalah krisis psiko dan sosial, yang berarti suatu perasaan subjektif dan juga suatu kualitas empiris yang dapat diselidiki.

Berdasarkan delapan tahapan perkembangan yang dicetuskan oleh Erikson, dewasa awal dan dewasa madya adalah dua tahapan perkembangan yang mulai memiliki keterbukaan untuk berelasi dengan orang lain dan menjadi berguna.

Individu dewasa berada pada kondisi psikologis dimana mereka merasa mampu mengambil tanggungjawab atas tindakan-tindakan dan mampu berinteraksi dengan orang lain (Sassler, Ciambrone, & Benway 2008 dalam Upton, 2012). Erikson dalam teori perkembangannya menunjukkan periode kritis dan konflik-konflik akan muncul pada dewasa awal seputar pencarian mereka akan identitasnya (Feist & Feist, 2008). Individu pada tahapan ini mulai selektif dalam membina hubungan yang intim, yaitu hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham dengannya (Sumanto, 2014).

Menurut Erikson (dalam Sumanto, 2014), bagi orang dewasa awal jenjang ini merupakan suatu tahapan individu yang ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari kesendirian. Pemahaman kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerjasama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga tumbuh sifat merasa terisolasi. Individu dewasa awal cenderung mempertahankan perasaan terisolasi karena tidak sanggup menerima tanggungjawab orang-orang dewasa untuk bekerja secara produktif, prokreativitas dan cinta yang matang (Feist & Feist, 2008). Putri (2012) menunjukkan dewasa awal sering mengalami stress, yaitu seputar pemilihan pekerjaan, mencapai stabilitas dalam pilihan dan penyesuaian diri terhadap situasi kerja. Selain pekerjaan, memutuskan untuk berkomitmen pada suatu hubungan merupakan sumber stres bagi kaum dewasa awal (Sari & Sunarti, 2013; Wibowo,

Yuliadi, & Karyanta, 2014). Hal tersebut disebut oleh Arnett (dalam Santrock, 2012) sebagai ketidakstabilan yang terjadi pada masa dewasa awal yaitu dalam hal relasi romantis, pekerjaan dan pendidikan.

Teori White (dalam Santrock, 2011) tentang kematangan hubungan mengatakan bahwa dewasa awal berada pada tahap berpusat pada diri sendiri (self-focused level) yaitu, tahap pertama dari kematangan hubungan (Paul & White, dalam Santrock, 2011) sehingga mereka cenderung sulit untuk berkomitmen karena mereka masih berpusat pada diri sendiri. Beberapa teori dan penelitian yang berbicara tentang dewasa awal menunjukkan bahwa pada masa tersebut individu akan mengalami banyak tantangan dalam kehidupannya. Mereka dihadapkan dengan berbagai tantangan dalam kehidupan, dituntut untuk dapat berkomitmen dan bertanggungjawab atas suatu hubungan yang di jalankan, serta memulai suatu kehidupan yang berbeda dengan masa remaja. Hal tersebut menunjukkan bahwa krisis pada masa dewasa awal membuatnya sulit untuk peduli kepada lingkungan serta orang-orang di sekelilingnya karena mereka memiliki masa peralihan yang cukup dramatis, yaitu peralihan dari masa remaja ke masa dewasa awal (Santrock, 2011). Krisis psikososial tidak hanya terjadi pada dewasa awal, tetapi juga pada masa dewasa madya. Generativitas vs stagnasi merupakan krisis psikososial yang terjadi pada tahap perkembangan dewasa madya (Erikson, dalam Feist & Feist, 2008). Generativitas adalah perluasan cinta pada masa depan yaitu sifat peduli terhadap generasi yang akan datang, sedangkan stagnasi berarti individu memuja

diri sendiri dan sifat yang muncul adalah ketidakpedulian terhadap siapa pun (Sumanto, 2014).

Apabila mereka berkembang secara normal, mereka akan memiliki kualitas generativitas. Mereka akan membimbing orang lain melalui aspek-aspek penting kehidupan seperti menjadi orangtua, mengajar, memimpin, dan melakukan sesuatu yang menguntungkan masyarakat (Santrock, 2011). Individu yang berada pada tahap dewasa madya yang aktif dalam kegiatan sosial memiliki kemampuan untuk mengelola diri dengan baik meskipun mereka mengalami penurunan fungsi fisik, perubahan emosi psikologis, kemunduran kognitif, dan konflik peran (Sartika, 2014). Hal tersebut dipertegas oleh Rahayuningsih (2014) bahwa individu dewasa madya mampu menghadapi kesulitan psikologis dan sosial karena pengalaman hidup yang telah dilewati. Menurutnya, mereka yang berada pada tahap dewasa madya memiliki kemauan tinggi untuk berbagi, mencarikan pekerjaan untuk orang-orang muda, mengajarkan makna kehidupan dan menolong orang-orang lain yang sedang kesusahan (Ellyazar, 2013; Rahayuningsih, 2014).

Berdasarkan penjabaran tersebut, terlihat bahwa individu dewasa madya memiliki krisis seputar hubungan kepeduliannya terhadap dunia di luar dirinya dan kecenderungan untuk berorientasi pada diri sendiri. Jika individu pada tahap dewasa madya tidak bisa berkembang dengan baik, maka mereka akan mengalami stagnasi yang ditandai dengan regresi dan sikap yang berorientasi pada diri sendiri (Erikson, 1989). Stagnasi yang dialami oleh individu adalah perasaan bahwa hidupnya telah berhenti dan membosankan, bahwa relasi dengan orang lain menjadi

tertekan, dan hatinya diliputi dengan rasa cemas sehingga yang dipikirkan hanyalah dirinya sendiri.

Selain itu, pada masa dewasa madya, individu akan mengalami penurunan kreativitas, penurunan kemampuan fisik, dan meluasnya tanggungjawab (Simonton, dalam Santrock, 2012). Baltes, Lindenberger, dan Staudinger (dalam Santrock, 2012) menyatakan, sekalipun individu dalam dewasa madya mengalami penurunan fungsi biologis, namun kehidupan sosial-kultural, karir, dan relasi akan tetap seimbang. Hal tersebut menunjukkan bahwa sekalipun masa dewasa madya mengalami berbagai masalah seperti penurunan fungsi fisik, psikologis dan masalah kehidupan, mereka cenderung stabil dalam membina hubungan dengan orang-orang di lingkungannya. Menurut Asih dan Pratiwi (2014) keterlibatan dewasa madya dalam kegiatan sosial meningkatkan penghargaan diri, kematangan emosi, penerimaan diri yang positif, dan memiliki konsep diri yang matang. Kematangan emosi dan empati memiliki hubungan yang signifikan terhadap perilaku prososial (Asih & Pratiwi, 2010).

Menurut Dayaksini dan Hudaniah (2009), individu yang memiliki empati akan lebih menunjukkan perilaku menolong. Penelitian yang dilakukan oleh Ellyazar (2013) menunjukkan bahwa dewasa madya lebih memiliki kemampuan untuk aktif dan berempati kepada orang lain dibandingkan dengan dewasa awal. Seorang dewasa madya yang aktif dalam berbagai kegiatan sosial memiliki orientasi yang positif secara rohani dan sosial (Limanto & Setiawan, 2007).

McAdams dan kawan-kawan (dalam Baron & Byrne, 2005), mendefinisikan generativitas atau dewasa madya sebagai ketertarikan dan komitmen orang dewasa pada kesejahteraan generasi berikutnya sehingga mereka cenderung lebih altruis dibandingkan dengan tahap perkembangan lainnya, sedangkan masa dewasa awal cenderung berfokus pada diri sendiri dan kurang terlibat aktif dalam kewajiban sosial, melakukan tugas dan berkomitmen dengan orang lain (Santrock, 2012).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara usia dengan perilaku menolong (Peterson, dalam Dayaksini & Hudaniah, 2009). Pada usia dewasa awal perilaku menolong menjadi terhambat karena penyesuaian diri terhadap jenjang kehidupan baru yang sangat berbeda dari sebelumnya, yaitu terlepas dari orangtua dan menjadi mandiri (Putri, 2012). Akan tetapi hal ini berbeda dengan dewasa madya, sekalipun individu pada masa dewasa madya memiliki banyak hambatan, mereka akan cenderung menunjukkan perilaku menolong karena mereka juga telah matang secara usia dan memiliki peran yang berbeda dengan dewasa awal. Staub (dalam Dayaksini & Hudaniah, 2009) menyebutkan bahwa dengan bertambahnya usia, individu akan semakin dapat memahami atau menerima norma-norma sosial, lebih empati dan lebih dapat memahami nilai ataupun makna dari tindakan menolong yang ditunjukkan. Dengan demikian, individu dewasa madya memiliki kecenderungan untuk berperilaku altruis lebih tinggi dibandingkan dengan individu dewasa awal.

Dokumen terkait