• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

C. Dinamika Hubungan antara Bullying di Tempat Kerja dan

dilakukan oleh anggota organisasi secara sistematis dan berulang untuk mewujudkan maksud sebenarnya dibalik perilaku tersebut (Randall, 1997). Di sisi lain, Chazan (1989) menjelaskan pelaku bullying tidak serta merta dan sembarang dalam memunculkan perilakunya, pelaku cenderung melakukan analisis sederhana sebelum menentukan korban dan apakah perilaku tersebut akan mampu berhasil. Manifestasi perilaku bullying sangat beragam, Hoel dan Cooper (2001) membagi manifestasi perilaku tersebut dua kelompok besar yaitu personal dan work-related. Keashly dan Jagatic (2003) memberikan gambaran yang berbeda tentang manifestasi perilaku bullying, dengan membagi dalam dua kelompok besar yaitu, physical dan verbal. Kidwell dan Martin (2005) mengutarakan dampak negatif dari perilaku bullying di tempat kerja yang sangat besar dan kuat baik bagi organisasi, anggota organisasi maupun keduanya.

Kidwel dan Martin (2005) menjelaskan dampak bullying secara langsung bagi anggota organisasi adalah menurunnya motivasi kerja yang berpengaruh terhadap berkurangnya tingkat produktivitas kerja karena hilangnya semangat kerja. Namun jika hal tersebut dibiarkan secara terus-menerus maka akan berdampak besar bagi organisasi yakni sikap hengkang pegawai berprestasi dari organisasi, sehingga secara keseluruhan kerugian yang diakibatkan dari perilaku bullying sangat besar. Pentingnya motivasi kerja sebagai sesuatu yang mendorong individu untuk melakukan serangkaian kegiatan dalam pencapaian tertentu (Munandar, 2001). Dubrin, Ireland, Williams (1996) melihat motivasi

kerja sebagai suatu proses terhadap perilaku yang diarahkan, didorong, dilakukan, secara terus-menerus dengan maksud untuk mencapai tujuan organisasi. Dipboye, Smith, dan Howel (1994) menjelaskan lebih lanjut bahwa motivasi kerja seseorang dipengaruhi oleh tiga perspektif karakteristik personal, lingkungan dan juga perpaduan antara keduanya (personal dan lingkungan). Ketiga perspektif tersebut memiliki peran tersendiri dan saling melengkapi satu dengan yang lain karena setiap teoritikal memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri.

Pada gambar 2.1 menjelaskan bagaimana motivasi kerja sales counter pada perusahaan dealer Honda. Tawaran pekerjaan dengan jumlah bonus yang besar setelah mencapai target penjualan menjadikan motivasi bagi individu untuk memilih bekerja sebagai sales counter. Namun, situasi di tempat kerja menunjukkan bahwa setelah berprofesi sebagai sales counter terjadi perubahan target penjualan. Menurut Hoel dan Cooper (2002), hal tersebut menunjukkan bahwa sales counter mengalami bullying di tempat kerja dan dikategorikan sebagai work-related bullying, yaitu merubah goal/target yang seharusnya sudah ditentukan. Menurut pengakuan beberapa sales counter, setelah beberapa bulan bekerja, mereka merasa kecewa, lelah dan jenuh dengan perubahan target dan tidak diberikannya bonus. Hal ini tentunya menyebabkan menurunnya motivasi kerja pada sales counter.

Variabel bullying di tempat kerja memiliki tiga aspek, yaitu personal-related, work-related dan sexual harassment. Sedangkan motivasi kerja memiliki lima aspek yaitu challenge, choice, rational, feedback dan work-support. Pada

saat manifestasi perilaku bullying di tempat kerja muncul dalam sebuah organisasi maka hal tersebut mampu mempengaruhi level motivasi kerja yang dirasakan oleh karyawan. Hubungan antara perilaku tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. Contoh kasus hubungan dua varibel adalah sebagai berikut, seorang sales counter untuk membeli rokok oleh atasannya, sebenarnya membeli rokok bukanlah pekerjaan yang harus dia lakukan, maka hal tersebut akan menurunkan motivasi kerjanya, hal ini berhubungan dengan aspek challenge. Dimana dalam pandangan self determination theory, seseorang akan termotivasi untuk melakukan sebuah pekerjaan apabila dia merasa bahwa pekerjaan yang diberikan padanya sesuai dengan kompetensi yang dia miliki, dan motivasi akan menurun apabila karyawan mendapatkan tugas di bawah kompetensi yang dimilikinya. Perilaku membelikan rokok merupakan salah satu bentuk perilaku bullying yang berakibat menurunkan motivasi kerja sementara pekerjaan seorang sales counter adalah melayani dan memberikan informasi kepada customer mengenai produk atau jasa penjualan.

Aspek choice dalam motivasi kerja juga dapat terpengaruh karena munculnya perilaku bullying di tempat kerja, semisal seseorang tidak mendapat kebebasan dalam menentukan penyelesaian tugas-tugas yang harus dia lakukan, atau semua cara penyelesaian tugas ditentukan oleh pimpinan, perilaku seperti ini bisa juga disebut sebagai bagian dari bullying. Dalam tataran self determination theory, hal ini akan menyerang aspek choice, sehingga memiliki kemungkinan menurunkan motivasi yang dialami oleh sales counter yang pada hakikatnya

membuat laporan dan proposal pekerjaannya sesuai dengan format dan SOP (Standard Operational Procedure) perusahaan.

Bullying juga memberikan dampak pada aspek rationale. Bagaimana hubungan antara aspek yang terkandung dalam perilaku bullying dapat mempengaruhi motivasi kerja juga dapat terlihat apabila seorang karyawan terpaksa bekerja di luar jobdesk akibat perintah dari atasan maka pekerjaan yang dilakukan akan tidak efektif, tidak kompeten dan hasilnya belum tentu maksimal. Contohnya seorang sales counter diminta oleh atasannya untuk menyapu ruangan dengan alasan demi kebersihan, tetapi secara rasional sales counter tersebut berpikir kenapa bukan menyuruh office boy saja untuk membersihkan karena itu memang jobdesk mereka.

Pengaruh bullying dalam motivasi kerja juga dapat dirasakan dalam aspek feedback. Salah satu bentuk manifestasi perilaku bullying adalah memberikan kritik yang pedas dan selalu mempersalahkan tanpa memberikan reward terhadap keberhasilan yang telah diberikan. Bentuk perilaku tersebut sangat mempengaruhi salah satu aspek dalam motivasi yaitu aspek feedback, karena menurut Gagne dan Deci (2005) motivasi seseorang akan meningkat pada saat dirinya mendapatkan penghargaan dan apresiasi baik dari lingkungan maupun atasan yang biasanya berbentuk feedback, dari pekerjaan yang telah dia capai.

Hubungan antara variabel bullying dan motivasi kerja juga terlihat pada aspek yang terlahir dari sudut pandang self determination theory, dimana lingkungan kerja sangat memiliki andil yang cukup besar terhadap tinggi rendahnya motivasi yang dialami oleh karyawan. Aspek work-support dalam

pandangan self determination theory digambarkan sebagai sebuah kesatuan lingkungan kerja yang memberikan dukungan terhadap pencapaian sebuah perilaku, dan ini bisa berupa dukungan terhadap tempat kerja maupun pola manajemen, sehingga pada saat sebuah perusahaan memiliki aturan etik yang mengatur dan membatasi perilaku bullying untuk tidak muncul, maka kemungkinan besar perilaku bullying dalam perusahaan tersebut sangat sukar untuk timbul apalagi berkembang. Dalam hal ini jabatan seseorang seperti sales counter yang berada pada level paling bawah dalam struktur perusahaan cenderung mengalami perlakuan yang tidak adil dari atasan dan rekan kerjanya memungkinkan terjadinya perilaku bullying di perusahaan.

Di sisi lain secara organisasional bentuk hubungan antara variabel bullying di tempat kerja dengan motivasi kerja dapat dijelaskan dalam pandangan kontrak psikologis. Kontrak psikologis menggambarkan keyakinan atau asumsi tentang kerja dan hidup, sebagai harapan yang tidak tertulis antara ‘sistem barter’ karyawan dengan perusahaan. Harapan nyata digambarkan sebagai beban kerja, martabat, kesempatan berkembang, rasa aman dan perasaan diperhatikan oleh perusahaan. Ketika kontrak psikologis dilanggar maka demotivasi, ketidakpuasan dan pemogokan kerja dimungkinkan terjadi (Elron, Noono, dan Guzzo, 1994). Menurut Schein (1990), kontrak psikologis menggambarkan harapan perusahaan terhadap karyawan; usaha karyawan untuk memenuhi keinginannya. Hubungan karyawan dan perusahaan, dengan kata lain bersifat interaktif, berkembang melalui pengaruh dan penawaran yang menguntungkan untuk membangun dan memelihara kontrak psikologis yang dapat dikerjakan.

Arnold, Cooper, Roberton (1998) mengemukakan perubahan iklim ekonomi dan kompetisi yang kuat, menyebabkan kemungkinan perilaku bullying muncul. Luzio-Locket (1995) mengungkapkan karakteristik lingkungan kerja yang lebih group oriented dengan berbagai macam opini yang bertentangan, kompetisi untuk mendapatkan kekuasaan dan wilayah, iri hati, cemburu, prasangka, dan permasalahan dinamika kelompok lainnya menyebabkan perilaku bullying muncul. Lebih lanjut perpaduan antara kepercayaan, nilai dan sikap dalam kelompok yang bekerja bersama, dengan konteks lingkungan dan tekanan yang hyper competitive, menyuguhkan iklim yang kondusif untuk memunculkan perilaku bullying (Heamus dan Harvey, 2006). Pada saat perilaku bullying terjadi terus-menerus mampu menyebabkan rusaknya kontak psikologis seseorang yang berakibat pada munculnya penurunan motivasi dan komitmen. Pada saat hal tersebut berjalan dalam waktu yang cukup lama, lebih lanjut dampak yang dirasakan adalah munculnya penyakit fisik dan tingkat stress yang tinggi serta gangguan mental (Beswick, Gore, dan Palferman, 2006).

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka penelitian, maka dapat dikemukakan hipotesis penelitian sebagai berikut:

Ada hubungan negatif antara bullying di tempat kerja dengan motivasi kerja. Artinya jika semakin tinggi tingkat bullying di tempat kerja yang terjadi, maka semakin rendah motivasi kerja yang dialami oleh sales counter kendaraan bermotor Honda di Yogyakarta.

Target Bonus

motivasi bekerja pemilihan karier sebagai sales counter Sales Counter BULLYING Person-related Work-related Sexual harassment Perubahan Target Gambar 2.1

Model Hubungan antara variabel Bullying di Tempat Kerja dengan variabel Motivasi Kerja pada Sales counter Kendaraan Bermotor Honda di Yogyakarta

kecewa, lelah, jenuh

Keterangan : : mempengaruhi : saling mempengaruhi Motivasi Menurun

49

Dokumen terkait