• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setiap individu memiliki perilaku yang berbeda-beda. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya pengaruh dari kondisi internal dan eksternal masing-masing individu. Salah satu kondisi internal tersebut adalah traits kepribadian yang berbeda-beda. Menurut Costa & McCrae (1992) traits kepribadian didefinisikan sebagai dimensi yang dapat menampilkan pola atau gaya pikiran, perasaan ataupun tindakan yang konsisten, sehingga dapat memperlihatkan perbedaan individu.

Menurut Costa & McCrae (1992), dimensi kepribadian telah dikelompokkan menjadi lima dimensi yang disebut dengan big five. Menurut McCrae & John (1991) big five didefinisikan sebagai hirarki atau susunan organisasi dari traits kepribadian yang memiliki lima dasar dimensi yaitu: Neuroticism, Ekstraversion, Openness to Experience, Agreeableness & Conscientiousness.

Dimensi pertama yaitu neuroticm, dimensi ini mengukur kestabilan dan ketidakstabilan emosi, individu yang memiliki neuroticism tinggi, cenderung memiliki emosi yang tidak stabil, sehingga hal tersebut membuat dorongan emosionalnya sulit untuk dilawan. Selain itu, individu yang memiliki tingkat neuroticism yang tinggi memiliki ide-ide yang tidak rasional, sehingga hal tersebut dapat membuat individu rentan untuk melakukan pembelian yang sifatnya tidak rasional karena cenderung mengabaikan dampak negatif (Rook dalam Verplanken, 2001). Adanya karakteristik tersebut mengindikasikan bahwa

individu yang memiliki tingkat neuroticism yang tinggi rentan melakukan impulsive buying yang definisikan sebagai aktivitas pembelian yang terjadi secara spontan karena adanya dorongan yang kuat dan gigih untuk memiliki produk yang disukai, terjadi ketika ada rangsangan dan ketertarikan emosional (bahagia, antusias) yang sulit untuk dikontrol dan terjadi penyesalan setelahnya (Beatty & Farrel, 1998; Rook, 1987; Verplanken & Knippenberg, 2009; Kacen & Lee, 2002). Hal tersebut juga didukung dengan adanya faset dari neuroticism yang menjelaskan bahwa individu yang memiliki neuroticism tinggi cenderung impulsiveness (McCrae & John, 1991; Costa & McCrae, 1992)

Dimensi kedua dari big five adalah extraversion. Dimensi ini mengukur kuantitas dan intensitas interaksi sosial, sehingga dapat menunjukkan tingkat kesukaan individu akan hubungan (Costa & McCrae 1985; 1990 dalam Pervin & John, 2001). Individu yang ekstraversinya tinggi cenderung ramah, memiliki antusisme yang tinggi, tertarik dengan banyak hal, ambisius, terbuka dan suka meluangkan waktu untuk menikmati & mempertahankan hubungan dengan lingkungan sosialnya (McCrae & Costa, 1997). Adanya karakteristik antusiasme yang tinggi, tertarik dengan banyak hal dan ambisius akan rentan membuat individu melakukan impulsive buying karena individu yang memiliki karakteristik ekstarversi yang tinggi memiliki dorongan emosional atau keinginan dalam diri yang sulit untuk dilawan ketika melihat produk yang disukai. Selain itu hasil penelitian dari Verplanken & Herabadi (2001) menguatkan bahwa impulsive

buying dapat terjadi karena individu memiliki dasar traits kepribadian extraversion.

Dimensi selanjutnya adalah Openness to Experience, pada dimensi ini menilai tentang minat individu. Individu yang suka akan inovasi atau menyukai hal baru (Openness to Experience tinggi) akan proaktif, cenderung imajinatif, sensitif, memiliki kapasitas tinggi untuk menyerap informasi, akan tetapi mampu untuk waspada pada berbagai perasaan dan pikirannya (McCrae & Costa 1997; Pervin & John, 2005). Adanya karakteristik pada Openness to Experience yang tinggi tersebut akan membuat individu tidak mudah melakukan impulsive buying, hal tersebut dikarenakan individu yang memiliki Openness to Experience yang tinggi lebih dapat selektif dalam mengolah informasi, lebih reflektif akan tindakannya dan lebih berhati-hati dalam bertindak.

Pada dimensi Agreeableness individu yang memiliki agreeableness tinggi dicirikan dengan karakteristik yang ramah mampu beradaptasi sosial dengan baik di lingkungannya, penurut (mengikuti orang lain) dan menghindari konflik (McCrae & Costa, 1997). Selain itu, individu yang memiliki agreeableness tinggi akan mampu bersepakat untuk menghargai kekompakan dengan lingkungannya dan mudah percaya pada orang lain ( McCrae & Costa 1985;1990 dalam Pervin & John, 2001). Adanya karakteristik tersebut, mengindikasikan bahwa individu yang exstaversinya tinggi cenderung penurut dan mudah percaya pada orang lain agar sama atau kompak dengan lingkungan sosialnya, sehingga individu tersebut dapat diterima pada lingkungan sosialnya atau dapat disebut sebagai konformitas

(Hafiyah, 2009). Lin & Chen (2012), menyatakan bahwa orang cenderung melakukan konformitas rentan untuk melakukan impulsive buying.

Dimensi terakhir adalah conscientiousness, individu yang memiliki conscientiousness tinggi memiliki kontrol diri, mau menerima masukan atau saran dari orang lain (McCrae & Costa, 1997). Sebaliknya, jika individu memiliki karakteristik yang berkebalikan (conscientiousness rendah) akan memiliki kontrol diri yang rendah untuk dapat menahan dorongan yang muncul dari dalam atau luar dari diri individu dan tidak mau menerima masukan atau saran dari orang lain, sehingga tindakann yang dilakukan dapat terjadi tanpa pertimbangan yang matang dan dapat mengakibatkan penyesalan. kedua karakteristik tersebut mengindikasikan bahwa individu yang memiliki McCrae & Costa, 1997akan lebih rawan melakukan impulsive buying karena kurangnya kontrol diri dan tidak mau menerima pendapat dari orang lain. Hal tersebut juga didukung dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Verplanken & Herabadi (2001), bahwa individu yang impulsive buying memiliki conscientiousness yang rendah.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ying-Ping Liang (2008), Impulsive buying tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal, namun faktor eksternal seperti stimulus pemasaran yang disajikan oleh perusahaan juga dapat mempengaruhi munculnya perilaku impulsive buying. Salah satu contoh faktor eksternal yang sering dijumpai calon konsumen yang ada di toko adalah display produk (Shiv &Fedorikhin, 1999). Menurut North Central Region Center For Rural Development (1991), display termasuk dalam elemen penting yang

membentuk adanya visual merchandising pada toko. Menurut sumber tersebut visual merchandising merupakan segala elemen interior dan elemen eksterior toko yang dapat dilihat oleh calon konsumen.

Adanya stimulus lingkungan toko seperti visual merchandising juga dapat menjadi salah satu penyebab munculnya impulsive buying pada konsumen (Bhatti & Latif, 2013). Adanya pengembangan visual merchandising di lingkungan toko akan memberikan pengaruh pada keputusan pembelian melalui emosi (mood) dan kognisi (keputusan pembelian) calon konsumen (Taksiran, 2012), sehingga adanya pengembangan visual merchandising yang sukses akan dapat membuat calon konsumen tertarik dan termotivasi untuk melakukan pembelian secara spontan tanpa ada perencanaan dan pertimbangan yang matang.

Dokumen terkait