• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan dimensi kepribadian Big Five dan visual Merchandising toko kosmetik The Body Shop dengan Impulsive Buying pada wanita bekerja.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan dimensi kepribadian Big Five dan visual Merchandising toko kosmetik The Body Shop dengan Impulsive Buying pada wanita bekerja."

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

Celly Brita Tri Handayani ABSTRAK

(2)

Celly Brita Tri Handayani

Abstract

This Research aimed to figure out the relationship between the personality dimension of big five and visual

merchandising of cosmetics store “The Body Shop” and the impulsive buying towards working woman. The subject

used in this research was working woman at the age 22-40 who purchased in the cosmetics store “The Body Shop”.

The data was taken by filling the scale of impulsive buying with reliability score (α) = 0.939, the scale of neuroticism personality dimension with reliability score (α) = 0.734, the scale of extraversion personality dimension

with reliability score (α) = 0.750, the scale of openness to experience personality dimension with reliability score (α) = 0.853 , the scale of agreeableness personality dimensions with reliability score (α) = 0.801 , the scale of

conscientiousness personality dimensions with reliability score (α) = 0.746, and the scale of visual merchandising with reliability score (α) = 0.897 . The data analysis technique applied in this research was Spearman’s Rho

throughout the program of SPSS for Windows version 16.0 because the data distribution of each variable was irregular. The result showed that there was only positive and significant relationship between neuroticism dimension and impulsive buying, as well as extraversion dimension and impulsive buying towards working women.

(3)

i

HUBUNGAN DIMENSI KEPRIBADIAN BIG FIVE DAN VISUAL

MERCHANDISING TOKO KOSMETIK THE BODY SHOP

DENGAN IMPULSIVE BUYING PADA WANITA BEKERJA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Celly Brita Tri Handayani

109114105

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)

ii

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

HUBUNGAN DIMENSI KEPRIBADIAN BIG FIVE DAN VISUAL

MERCHANDISING TOKO KOSMETIK THE BODY SHOP DENGAN IMPULSIVE BUYING PADA WANITA BEKERJA

Disusun oleh :

Celly Brita Tri Handayani

NIM : 109114105

Telah disetujui oleh :

Dosen Pembimbing Skripsi

(5)

iii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

HUBUNGAN DIMENSI KEPRIBADIAN BIG FIVE DAN VISUAL

MERCHANDISING TOKO KOSMETIK THE BODY SHOP DENGAN IMPULSIVE BUYING PADA WANITA BEKERJA

Disusun Oleh:

Celly Brita Tri Handayani

NIM : 109114105

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji

Pada tanggal 19 Januari 2016

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji:

Nama Lengkap Tanda Tangan

Penguji 1. P. Henrietta P. D. A. D. S, S. Psi, M. A. ………

Penguji 2. P. Eddy Suhartanto, M.Si.

..………

.

Penguji 3. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si ...

Yogyakarta, ………

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

Dekan,

(6)

iv

HALAMAN MOTTO

....karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. (Roma 5 : 3-4)

to get success, courage must be greater than the fear

There is no limit of struggling.”

(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada :

Tuhan Yesus Kristus yang telah memampukan saya menyelesaikan karya

ini, dengan segala proses yang banyak mengajarkan saya arti berusaha

Bapak, Ibu, Mbak dan Mas yang senantiasa mendoakan, mendukung, dan

menguatkan saya,

Dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing saya dengan penuh

kesabaran,

Kekasih yang selalu setia mendukung dan menguatkan

(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 23 Februari 2016

Penulis,

(9)

vii

HUBUNGAN DIMENSI KEPRIBADIAN BIG FIVE DAN VISUAL MERCHANDISING TOKO KOSMETIK THE BODY SHOP DENGAN IMPULSIVE BUYING PADA WANITA BEKERJA

Celly Brita Tri Handayani ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan traits kepribadian big five dan visual merchandising toko kosmetik the body shop dengan impulsive buying pada wanita bekerja. Subjek dalam penelitian ini adalah wanita bekerja yang melakukan pembelian di toko kosmetik the body shop dan berusia 22-40 tahun. Pengambilan data dilakukan dengan pengisian skala impulsive buying dengan

skor reliabilitas sebesar (α) = 0.939, skala dimensi trait kepribadian neuroticism dengan skor

reliabilitas sebesar (α) = 0.734, skala dimensi trait kepribadian extraversion dengan skor reliabilitas

sebesar (α) = 0.750, skala dimensi trait kepribadian openness to experience dengan skor reliabilitas

sebesar (α) = 0.853, skala dimensi trait kepribadian agreeableness dengan skor reliabilitas sebesar (α) = 0.801, skala dimensi trait kepribadian conscientiousness dengan skor reliabilitas sebesar (α) = 0.746 dan skala visual merchandising dengan skor reliabilitas sebesar (α) = 0.897. Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan pengujian Spearman’s Rho dalam program SPSS for windows versi 16.0 karena sebaran data dari masing-masing variabel tidak normal. Hasil menunjukkan bahwa hanya terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara dimensi traits neuroticism dengan impulsive buying dan dimensi trait extraversion dengan impulsive buying.

(10)

viii

THE RELATIONSHIP BETWEEN THE PERSONALITY DIMENTIONS OF BIG FIVE AND

VISUAL MERCHANDISING OF COSMETIC STORE “THE BODY SHOP” WITH IMPULSIVE BUYING TOWARDS WORKING WOMAN

Celly Brita Tri Handayani

Abstract

This Research aimed to figure out the relationship between the personality dimension of big five and visual merchandising of cosmetics store “The Body Shop” and the impulsive buying towards working woman. The subject used in this research was working woman at the age 22-40 who purchased in the cosmetics store “The Body Shop”. The data was taken by filling the scale of impulsive buying with reliability score (α) = 0.939, the scale of neuroticism personality dimension with reliability score (α) = 0.734, the scale of extraversion personality dimension with reliability score (α) = 0.750, the scale of openness to experience personality dimension with reliability score (α) = 0.853 , the scale of agreeableness personality dimensions with reliability score (α) = 0.801 , the scale of conscientiousness personality dimensions with reliability score (α) = 0.746, and the scale of visual merchandising with reliability score (α) = 0.897 . The data analysis technique applied in this research was Spearman’s Rho throughout the program of SPSS for Windows version 16.0 because the data distribution of each variable was irregular. The result showed that there was only positive and significant relationship between neuroticism dimension and impulsive buying, as well as extraversion dimension and impulsive buying towards working women.

(11)

ix

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Celly Brita Tri Handayani

Nomor Mahasiswa : 109114105

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

HUBUNGAN DIMENSI KEPRIBADIAN BIG FIVE DAN VISUAL

MERCHANDISING TOKO KOSMETIK THE BODY SHOP DENGAN IMPULSIVE BUYING PADA WANITA BEKERJA

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

kepada Perpusatakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,

mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain

untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan

royalti kepada saya selama saya tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada Tanggal, 23 Februari 2016

Yang menyatakan,

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas

segala berkat dan anugerah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Hubungan Dimensi

Kepribadian Big Five dan Visual Merchandising Toko Kosmetik The Body Shop

dengan Impulsive Buying Pada Wanita Bekerja.” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Pemilihan mengenai tema penelitian ini karena dewasa ini semakin marak perilaku

impulsive buying pada kalangan masyarakat. Penulis berharap skripsi ini dapat

memberi manfaat bagi orang banyak, terutama bagi wanita bekerja.

Penulisan skripsi ini tentunya dapat selesai berkat dukungan dan bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih

kepada :

1. Bpk. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma dan selaku dosen pembimbing akademik. Terima

kasih atas semangat yang senantiasa diberikan agar menyelesaikan studi

dengan tepat waktu.

2. Ibu Ratri Sunar Asusti, M.Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah mengizinkan saya untuk

(13)

xi

3. Mbak P. Henrietta P. D. A. D. S, S. Psi, M. A. selaku Dosen Pembimbing

Skripsi. Terima kasih atas kesabaran, arahan dan dukungan selama

membimbing saya menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si. selaku dosen penguji 2 dan

Bapak

T.M.

Raditya Hernawa, M.Psi. selaku dosen penguji 3, terimakasih atas segala

saran yang sangat membangun dan membantu memperbaiki skripsi saya

sehingga mengantarkan saya pada gerbang kelulusan.

5. Segenap Bapak / Ibu staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma. Terima kasih untuk ilmu yang telah diberikan dengan cara Bapak /

Ibu masing-masing. Semoga saya bisa membaktikan ilmu yang saya dapat

untuk kepentingan dan kebaikan sesama.

6. Bapak, Ibu, Mbak dan Mas tersayang. Terima kasih atas kasih sayang, doa,

dukungan, dan penguatan yang tak pernah berhenti diberikan selama ini.

7. Fransiskus Asisi Dian Kristianto, terimakasih atas segala doa dukungan dan

pengertian yang telah tercurahkan sampai detik ini.

8. Untuk Ibu Lastri, selaku Regional Operation Manager The Body Shop dan

segenap karyawan dan karyawati The Body Shop yang telah memberikan saya

kesempatan dan respon positif untuk melakukan penelitian pada konsumen

The Body Shop.

9. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi Sanata Dharma : Bu Nanik, Mas

(14)

xii

pelayanannya yang ramah. Karyawan perpustakaan Universitas Sanata

Dharma, terutama di Kampus 3 Paingan. Terima kasih sudah membuat

perpustakaan menjadi tempat yang sangat nyaman untuk belajar.

10.Untuk sahabat-sahabat tersayang, Marchel, Caecil, Yohana dan Cik Loren,

terimakasih atas persahabatan yang begitu berarti.

11.Teman-teman Griya Kanna yang sudah seperti keuarga bagiku, terimakasih

ataas segala dukungan dan perhatiannya, mengenal kalian adalah suatu

keberuntungan bagiku.

12.Untuk Teman-teman bimbingan yang selalu kompak dan senantiasa mau

berbagi ilmu demi kemajuan bersama, Terimakasih atas segala proses yang

telah kita lewati bersama.

13.Seluruh teman-teman angkatan 2010 Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma, terima kasih untuk kebersamaannya.

14.Seluruh subjek dalam penelitian ini, terima kasih banyak atas kesediaannya

untuk terlibat.

15.Seluruh pihak yang telah membantu selesainya skripsi ini, yang tidak bisa

disebutkan satu per satu. Terima kasih banyak! Saya mungkin tidak dapat

membalas kebaikan Anda sekalian tapi biarlah Tuhan saja yang membalasnya

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan.

(15)

xiii

ini menjadi lebih baik lagi. Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dalam

bidang konsumen dan kepribadian.

Yogyakarta, 23 Februari 2016

Penulis

(16)

xiv

DAFTAR ISI

SKRIPSI ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

HUBUNGAN DIMENSI KEPRIBADIAN BIG FIVE DAN VISUAL MERCHANDISING ... vii

THE RELATIONSHIP BETWEEN THE PERSONALITY DIMENTIONS OF BIG FIVE ... viii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

1. Manfaat Teoritis ... 10

2. Manfaat Praktis ... 10

BAB II ... 11

LANDASAN TEORI ... 11

A. Impulsive Buying ... 11

(17)

xv

2. Aspek-aspek impulsive buying ... 13

3. Faktor – Faktor yang mempengaruhi impulsive buying... 15

B. Kepribadian Big Five ... 19

1. Traits Kepribadian ... 19

2. Kepribadian Big Five ... 20

3. Dimensi dan Facet Kepribadian Big Five... 21

4. Pengaruh atau Dampak Kepribadian Big Five ... 25

C. Visual Merchandising ... 29

1. Definisi Visual Merchandising ... 29

2. Aspek - aspek Visual merchandising ... 31

3. Dampak Visual Merchandising ... 35

D. Wanita Bekerja ... 36

1. Definisi wanita bekerja ... 36

2. Karakteristik wanita bekerja ... 37

E. Dinamika Hubungan Dimensi Kepribadian Big Five dan Visual Merchandising dengan Impulsive Buying ... 39

F. Skema Hubungan Dimensi Kepribadian Big Five dengan Impulsive Buying43 G. Skema Hubungan Visual Merchandising dengan Impulsive Buying ... 46

H. Hipotesis Penelitian ... 47

BAB III ... 48

METODOLOGI PENELITIAN ... 48

A. Jenis Penelitian ... 48

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 48

C. Definisi Operasional ... 49

1. Impulsive Buying Pada Wanita Bekerja ... 49

2. Dimensi Kepribadian Big Five ... 49

3. Visual Merchandising toko kosmetik ... 50

D. Subjek Penelitian ... 51

(18)

xvi

F. Validitas & Reliabilitas Alat Ukur ... 56

G. Metode Analisis Data ... 61

1. Uji Asumsi ... 61

2. Uji Hipotesis ... 62

BAB IV ... 64

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 64

A. Pelaksanaan Penelitian... 64

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 66

C. Deskripsi Data Penelitian ... 66

D. Hasil Analisis Data ... 70

1. Uji Asumsi Penelitian ... 70

2. Uji Linearitas ... 76

3. Uji Hipotesis ... 80

E. Pembahasan ... 82

BAB V ... 87

KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

A. Kesimpulan ... 87

B. Saran ... 88

1. Bagi wanita bekerja ... 88

2. Bagi Outlet The Body Shop ... 88

3. Bagi Peneliti selanjutnya ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 90

(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skor Favorable Skala Impulsive Buying, Dimensi Kepribadian Big Five &

Visual Merchandising……….... 54

Tabel 2. Blue Print Skala Impulsive Buying………...55

Tabel 3. Blue Print Skala Dimensi Kepribadian Big Five………...56

Tabel 4. Blue Print Skala Visual Merchandising………...57

Tabel 5. Blue Print Skala Impulsive Buying Setelah Seleksi Aitem……….60

Tabel 6. Blue Print Skala Dimensi Kepribadian Big Five Setelah Seleksi Aitem 61 Tabel 7. Blue Print Visual Merhandising Setelah Seleksi Aitem………..61

Tabel 8. Deskripsi Subjek Penelitian……...………..67

Tabel 9. Data Teoritik dan Mean Empirik……….68

Tabel10. One Sample T-Test Mean Teoritik dan Mean Empirik Skala Dimensi Kepribadian Big Five………...68

Tabel 11. One Sample T-Test Mean Teoritik dan Mean Empirik Skala Impulsive Buying danVisual Merchandising……….69

Tabel 12. Uji Normalitas………...71

Tabel 13 Uji Normalitas Skala Impulsive Buying, Dimensi Kepribadian Big Five & Visual Merchandising……….72

Tabel 14. Uji Linearitas………...77

Tabel 15. Hasil Uji Hipotesis....………..81

(20)

xviii

DAFTAR SKEMA

Skema 1 Dinamika Hubungan Dimensi Kepribadian Big Five dengan Impulsive

Buying...43

Skema 2 Dinamika Hubungan Visual Merchandising dengan Impulsive

(21)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Uji Normalitas………..95

Lampiran Uji Empirik………...97

Lampiran Uji Linieritas………...101

Lampiran Uji Hipotesis………...137

Lampiran Reliabilitas………..140

Lampiran Skala Penelitian………...151

(22)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini terjadi pergeseran konsep kebutuhan primer manusia, dimana

kebutuhan sekunder seperti produk penunjang penampilan menjadi kebutuhan

primer manusia. Fenomena tersebut terjadi karena didorong oleh gaya hidup

konsumtif masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya hasil penelitian

bahwa 80% dari seluruh pembelian produk tertentu yang dilakukan oleh

konsumen di Amerika Serikat merupakan pembelian yang dilakukan tanpa adanya

perencanaan dan bersifat tidak rasional yang disebut sebagai impulsive buying,

sehingga impulsive buying merupakan fenomena yang diakui secara luas di

Amerika Serikat (Abrahams & Smith, dalam Kancen & Lee, 2002).

Di Indonesia perilaku konsumen yang melakukan impulsive buying di

kota-kota besar juga semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perilaku

konsumen yang melakukan keputusan membeli tanpa memiliki perencanaan naik

hampir dua kali lipat, dengan persentase pada tahun 2003 sebesar 13% dan pada

tahun 2011 naik menjadi 26% (Nielsen, dalam Industrial Post edisi 2, 2011).

Impulsive Buying adalah suatu fenomena ketika individu mengalami konflik

pikiran dan dorongan emosional yang tidak bisa dilawan untuk melakukan

(23)

(Verplanken & Herabadi, 2001). Dorongan emosional tersebut terkait dengan

adanya perasaan yang intense yang ditunjukkan dengan melakukan pembelian

karena adanya dorongan untuk membeli suatu produk dengan segera,

mengabaikan dampak negatif, merasakan kepuasan dan mengalami konflik di

dalam pemikiran (Rook dalam Verplanken, 2001).

Perilaku impulsive buying tersebut dapat memberikan dampak negatif bagi

pelakunya. Menurut Rook (1987), dampak negatif yang dapat dirasakan oleh

pembeli yang melakukan impulsive buying antara lain; dapat mengalami kesulitan

keuangan, kecewa pada produk yang sudah dibeli dan mendapatkan

ketidaksetujuan dari orang-orang di lingkungan sekitar atas produk yang dibeli.

Namun, selain adanya dampak negatif bagi pelaku impulsive buying, terdapat

dampak positif dari adanya fenomena impulsive buying tersebut untuk pelaku

industri. Adanya perilaku pembelian yang terjadi secara spontan, tanpa adanya

perencanaan yang matang serta tidak mempertimbangkan resiko pembelian

tersebut akan membawa keuntungan pada toko, hal tersebut dikarenakan perilaku

impulsive buying memberikan kontribusi pendapatan pada toko (Bong, 2011).

Secara umum impulsive buying dapat terjadi karena dipengaruhi oleh dua

faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari dalam individu

dan faktor eksternal berasal dari luar individu. Faktor internal yang utama

meliputi: Kepribadian (Lin & Chuang, 2005 & Verplanken & Herabadi, dalam

Herabadi, Verplanken & Knippenberg, 2009), Emotional Intelligence (Lin &

(24)

dalam Herabadi, Verplanken & Knippenberg, 2009) serta kontrol diri

(Baumeister, 2002).

Kepribadian merupakan salah satu faktor internal yang dapat menyebabkan

munculnya perilaku impulsive buying. Kepribadian dapat didefinisikan sebagai

total keseluruhan atas susunan perilaku individu yang terbentuk dari faktor

keturunan dan faktor lingkungan yang akan berkembang selama individu masih

dapat berinteraksi (Eysenck, dalam Suryabrata, 2006). Menurut Allport (dalam

Suryabrata, 2006), kepribadian adalah organisasi dalam diri individu yang

sifatnya selalu berkembang dan berubah sebagai sistem yang menentukan cara

khas individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Teori menurut

Allport tersebut memiliki penjelasan yang hampir sama bahwa kepribadian

individu akan berkembang karena adanya faktor internal dan eksternal yang

mempengaruhinya. Hal yang serupa juga dipaparkan oleh teori dari McAdams &

Pals (2006), bahwa kepribadian individu terbentuk dari adanya “perkembangan”

& faktor internal individu seperti sifat dasar manusia, kecenderungan traits,

karakteristik adaptasi, gambaran diri dan faktor eksternal individu seperti budaya

serta keadaan sosial.

Salah satu komponen pembentuk kepribadian individu adalah adanya traits.

Sifat-sifat yang dimiliki individu atau disebut dengan traits merupakan faktor

internal yang relatif menetap dalam diri individu (Mastuti, 2005) dan perilaku

individu yang muncul didorong oleh traits atau sifat-sifat tertentu yang dimiliki

(25)

yang membedakan satu individu dengan individu yang lainnya (Fieldman, dalam

Mastuti, 2005).

Menurut McAdams & Pals (2006), traits adalah seluruh gaya atau cara

penyesuaian dan keterikatan setiap individu pada dunia sosialnya yang terkait

dengan cara individu untuk menyelesaikan berbagai hal, karakteristik individu

dalam berpikir dan karakteristik individu dalam merasakan berbagai hal secara

kompleks (McAdams & Pals, 2006). Traits adalah dimensi kepribadian yang

merepresentasikan kecenderungan kognitif, emosional dan tingkah laku individu

yang bersifat menetap (Westen, dalam Seniati, 2006), sehingga traits kepribadian

dapat dipakai untuk menggambarkan perilaku manusia (McAdams & Pals, 2006).

Salah satu teori yang dapat mengungkap struktur traits adalah Big five,

kelima dimensi dasar dalam teori tersebut adalah Extraversion, Agreeableness,

Conscientiousness, Neuroticism dan Openness to Experience (Costa & McCrae,

1992). Salah satu fungsi dari alat ukur Big five tersebut dapat digunakan untuk

mengukur perilaku kosumen (Harahap, 2008). Selain itu, dalam dimensi

Neuroticism terdapat facet Impulsiveness yang mengindikasikan terdapat

hubungan antara dimensi Neuroticism dengan Impulsive Buying.

Selain adanya faktor internal dari dalam individu, terdapat faktor eksternal

dari luar individu yang juga dapat memicu munculnya perilaku impulsive buying.

Menurut Ying-Ping Liang (2012), konsumen impulsive buying melakukan

pembelian tanpa kesadaran dan diperkirakan bahwa sekitar dua per tiga dari

(26)

Advertising Institute di Amerika Serikat pada tahun 1995 melakukan survei yang

menunjukkan bahwa sebanyak 70% para pelanggan ritel melakukan keputusan

membeli produk di dalam toko dan 60% diantaranya melakukan impulsive buying

(Astuti & Fillipa, 2008). Sementara, penelitian selanjutnya yang dilakukan

kembali oleh institut yang sama menunjukkan hasil bahwa pada tahun 2002,

sebanyak 72% dari keputusan calon konsumen untuk membeli terjadi di dalam

toko dan sebagian besar diantaranya merupakan impulsive buying. Penelitian

survei serupa juga pernah dilakukan di Indonesia yang menyatakan bahwa 85%

pembeli ritel di Indonesia melakukan impulsive buying di dalam toko (Majalah

Marketing/05/V/2007, dalam Yistiani, 2012).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ying-Ping Liang (2008)

menyebutkan bahwa faktor ekternal yang mempengaruhi impulsive buying antara

lain stimulus pemasaran yang disajikan oleh perusahaan seperti periklanan atau

diskon (Piron, 1991) daya pikat istimewa dari sebuah produk (Shiv dan

Fedorikhin, 1999), dan display produk (Shiv dan Fedorikhin, 1999).

Salah satu faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku impulsive buying

di dalam toko adalah adanya display produk. Display produk termasuk dalam

elemen penting yang membentuk adanya visual merchandising pada toko.

Menurut North Central Region Center For Rural Development (1991), Visual

Merchandising adalah segala sesuatu yang dapat dilihat pembeli pada bagian

eksterior maupun dari interior dari sebuah toko. Dari hal tersebut diharapkan

(27)

ketertarikan dan hasrat untuk melakukan pembelian. Selain itu, menurut Mills

et.al. (1995 dalam Maymand & Ahmadinejad, 2011) visual merchandising adalah

suatu bentuk penyajian suatu toko dan produk kepada calon pembeli melalui

display, tim kerja dari toko, event tertentu dan merchandising departement untuk

menjual barang atau jasa yang ditawarkan oleh toko.

Visual Merchandising pada toko terdiri dari elemen eksterior dan elemen

interior. (North Central Region Center For Rural Development, 1991, hh. 3-36).

Kategori yang termasuk pada elemen eksterior pada toko adalah ; atap diatas

pintu masuk (marquees), spanduk (banners), akses pengunjung untuk berjalan

dan masuk ke toko (walks and entries), seni menghias taman (landscaping) dan

jendela pemajangan produk (window displays). Selain itu, terdapat kategori

interior yang meliputi; desain pemajangan produk (display design) dan pemilihan

warna dan pencahayaan dalam toko (colour & lighting).

Visual merchandising tidak hanya mengenai tata letak toko, gaya rak toko,

suasana toko dan merek yang ditawarkan ditoko tersebut. Namun, visual

merchandising juga meliputi identifikasi produk secara visual, konsep brand dan

sarana membangun komunikasi antara konsumen serta produk yang dijual untuk

menghasilkan penjualan. Strategi pemasaran melalui visual merchandising

merupakan salah satu upaya untuk membangun komunikasi dan interaksi

langsung dengan konsumen (Khurram L.Bhatti & Seemab Latif, 2013).

Saat ini banyak pelaku industri yang berlomba-lomba menarik perhatian

(28)

dipakai oleh para pelaku industri kosmetika yang tokonya sering dijumpai di

pusat perbelanjaan atau mall. Salah satu pelaku industri kosmetika di Indonesia

yang menerapkan strategi pemasaran melalui visual merchandising adalah The

Body Shop. Toko The Body Shop menggunakan inovasi-inovasi terbaru dalam

mengembangkan visual merchandising disetiap toko untuk menarik minat pasar.

Menurut penuturan dari Suzy Hutomo selaku CEO The Body Shop Indonesia,

bentuk inovasi konsep terbaru tersebut juga dipakai dalam pengembangan bentuk

desain toko baru yang dibuat berbeda. Desain toko terbaru tersebut bernama

Pulse”, desain ini bermaksud untuk mengaplikasikan konsep lebih ramah

lingkungan. Dekorasi dibuat dengan desain khusus untuk membantu konsumen

dan karyawan The Body Shop agar lebih mudah berinteraksi. Desain interior

ruangan toko dibuat menggunakan kayu yang bersertifikat, selain itu The Body

Shop mendesain pencahayaan toko menggunakan bola lampu LED, sehingga

lebih menghemat energi 25-35 % daya dari yang sebelumnya. Selain itu, coloring

pada toko dipilih cat berwarna putih dengan tujuan akan membantu mencerahkan

suasana dan mudah memantulkan cahaya

(http://www.beritasatu.com/fashion/55316-the-body-shop-kenalkan-semangat-kecantikan-baru.html). The Body Shop merupakan toko yang menjual produk

kosmetik perawatan tubuh dan kulit contohnya seperti produk perawatan kulit

tubuh, perawatan wajah, perlengkapan mandi hingga perawatan rambut yang

(29)

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.445/MenKes/1998 (dalam

E-Journal FK USU Vol 1 No 1,2013) Kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan

yang siap digunakan pada bagian luar badan, gigi, dan rongga mulut untuk

membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampilan, melindungi supaya

tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan

untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit.

Wanita adalah pengguna utama kosmetika (Solomon, 2002). Menurut

Anggoro (2011), pada umumnya wanita lebih suka berbelanja dari pada laki-laki.

Wanita cenderung mau menghabiskan waktunya untuk berkeliling pusat

perbelanjaan demi memenuhi keinginannya (Clendinning, 2001). Hal ini

dikarenakan wanita cenderung merasa bahwa berbelanja merupakan kegiatan

yang menyenangkan (Schiffman & Kanuk, 2000). Oleh sebab itu, wanita lebih

sering dijadikan target pemasaran dari pelaku industri kosmetika. Terlebih wanita

bekerja, mereka membutuhkan kosmetik sebagai salah satu produk penting yang

dapat menunjang penampilan mereka dalam bekerja.

Data statistik dari (BPS, 2007), menunjukkan bahwa pada bulan Februari

2006 – Februari 2007 terdapat kenaikan jumlah wanita yang bekerja sebanyak

2,12 juta orang, sedangkan kenaikan jumlah laki-laki yang bekerja lebih sedikit

yaitu 287 ribu orang. Fenomena ini menunjukkan bahwa wanita semakin

berusaha untuk berkembang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.

Adanya pendapatan dari hasil kerja pada wanita karir membuat adanya

(30)

Data dari The Institute of Science and Technology Journal’s (dalam Siregar,

2007) menunjukkan bahwa wanita di Indonesia rata-rata bekerja pada usia 22

tahun. Dimana usia tersebut masuk dalam kategori perkembangan dewasa awal

(Santrock, 2002). Menurut Papalia (2008), pada usia perkembangan dewasa awal,

secara kognitif individu sudah dapat berpikir secara matang dengan menggunakan

logika dan melibatkan intuisi serta emosi. Dari teori tersebut seharusnya individu

sudah dapat mengontrol diri, berpikir rasional dan reflektif dalam berbelanja,

sehingga cenderung tidak melakukan impulsive buying yang sifatnya tidak

rasional dan tanpa perencanaan.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bhatti & Latif (2013) terdapat

hasil bahwa visual merchandising berpengaruh untuk menimbulkan perilaku

impulsive buying. Tetapi belum ada penelitian yang difokuskan untuk melihat

korelasi antara dimensi kepribadian big five, visual merchandising pada toko

kosmetik The Body Shop dengan impulsive buying pada subjek wanita bekerja.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Apakah ada hubungan antara dimensi kepribadian big five dan visual

(31)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dimensi

kepribadian big five dan visual merchandising toko kosmetik The Body Shop

dengan impulsive buying pada wanita bekerja.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian ilmu

psikologi konsumen, khususnya tentang dimensi kepribadian big five, visual

merchandising toko kosmetik The Body Shop dan impulsive buying pada

wanita bekerja.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat diharapkan memiliki manfaat bagi :

a. Para wanita bekerja

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan refleksi bagi

wanita bekerja akan diri dan perilaku belanja mereka.

b. Bagi perusahaan

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai evaluasi

(32)

11

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Impulsive Buying

1. Definisi Impulsive Buying

Menurut Beatty & Ferrell (1998), impulse buying merupakan perilaku

pembelian yang terjadi secara spontan yang dilakukan pada saat itu juga, tanpa

memiliki perencaan sebelumnya untuk membeli produk pada kategori tertentu

atau hanya untuk memenuhi tuntutan belanja. Keputusan pembelian yang terjadi

secara spontan tersebut dapat terjadi karena adanya dorongan yang bersifat

memaksa, kuat, gigih untuk memiliki produk yang diinginkan dan disertai

dengan perasaan bahagia serta antusias (Rook, 1987).

Impulsive buying juga dapat dikatakan seperti buah pemikiran yang

tidak direfleksikan, perasaan yang sangat tertarik pada objek dan keinginan

serta kepuasaan sesaat (Hoch & Loewenstein, 1991; Thompson et al., 1990;

dalam Kacen & Lee, 2002). Pembeli impulsive buying biasanya cenderung

lebih subjektif dalam menyukai suatu barang (Rook & Gardner, 2003; Rook,

1987; Rook & Hoch,1985; dalam Kacen & Lee, 2002).

Karakteristik yang membedakan impulsive buying dengan variabel yang

hampir sama misalnya purchase behaviour atau time-pressured purchase

(33)

yang tidak rasional, dalam sebuah observasi konsumen yang impulsive dapat

menikmati tindakannya ketika melakukan pembelanjaan, walaupun

sebenarnya sadar bahwa tindakannya tidak tepat, setelah itu konsumen yang

impulsive dapat mengalami konsekuensi negatif setelah melakukan

pembelanjaan, karena sebelum melakukan tindakan belanja kurang

memperhatikan resiko kedepannya (Herabadi, Verplanken & Knippenberg,

2009).

Hal tersebut mencerminkan bahwa impulsive buying merupakan

kecenderungan pembelian yang tidak diharapkan, kurang berhati-hati dan

dorongan untuk melakukan pembeliannya sulit untuk ditahan (Kacen & Lee,

2002). Pembeli yang melakukan impulsive buying biasanya akan mengalami

konsekuensi negatif, misalnya merasa menyesal atau kecewa dengan produk

yang dibeli, merasa bersalah, mendapatkan kesulitan keuangan dan tidak

mendapatkan persetujuan atas produk yang dibeli oleh orang lain (Rook,

1987).

Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa impulsive

buying adalah perilaku seseorang untuk melakukan aktivitas pembelian yang

terjadi secara spontan, terdapat dorongan yang kuat serta gigih untuk memiliki

produk yang disukai yang terjadi ketika ada rangsangan dan ketertarikan

emosional (perasaan bahagia, antusias) yang sulit untuk dikontrol dan terjadi

(34)

yang melakukan impulsive buying tidak melakukan perencanaan pembelian

sebelumnya dan kurang mempertimbangkan resiko kedepan.

2. Aspek-aspek impulsive buying

Perilaku impulsive buying memiliki dua aspek, yaitu aspek kognitif dan

aspek afektif. Kedua aspek tersebut merupakan komponen yang terdapat

dalam diri pembeli sehingga dapat memproses munculnya perilaku impulsive

buying (Herabadi, Verplanken & Knippenberg, 2009).

a. Aspek Kognitif

Aspek kognitif yang dimaksud adalah ketika individu kurang

merencanakan dan mempertimbangkan secara mendalam tujuan maupun

resiko melakukan pembelian (Verplanken & Herabadi, 2001). Dalam

konteks pembelian produk, mempertimbangan harga dan keuntungan yang

didapatkan oleh pembeli merupakan proses kognitif (Verplanken,

Herabadi & Knippenberg, 2009). Contohnya ketika pembeli berjalan-jalan

di pusat perbelanjaan dan tiba-tiba melihat adanya potongan harga atau

discount yang tinggi pada produk yang ditawarkan suatu toko, maka

proses kognitif pembeli yang impulsive akan bekerja ketika melihat

produk dengan discount yang menarik tersebut dan secara tiba-tiba

muncul keinginan untuk memiliki dan membeli produk tersebut tanpa

perencanaan dan pertimbangan kebutuhan secara matang (Coley &

(35)

mudah terpengaruh oleh stimulus-stimulus seperti potongan harga atau

discount tersebut, karena pembeli merasa tidak merencanakan dan

memiliki kebutuhan untuk membelinya.

b. Aspek Afektif

Aspek afektif yang dimaksud adalah ketika individu merasa tertarik

pada suatu produk disertai dengan perasaan senang, gembira, adanya

dorongan atau keharusan yang muncul untuk memiliki sesuatu yang

disukai, kurangnya kontrol dan terjadi penyesalan setelah melakukan

pembelian (Verplanken & Herabadi, 2001). Dalam kasus impulsive

buying, konflik yang biasa terjadi cenderung diakibatkan oleh aspek

afektif. Pada aspek ini, pembeli akan melakukan pembelian ketika melihat

produk yang disukai, pembeli memiliki perasan senang, bersemangat

untuk memiliki poduk tersebut demi memuaskan dirinya (Coley &

Burgess, 2003), sehingga pembeli yang cenderung impulsive buying

memiliki hasrat untuk mengesampingkan manfaat dari sesuatu yang dibeli

(Hirschman & Holbrook, dalam Herabadi, Verplanken & Knippenberg,

2009).

Berdasarkan aspek-aspek yang telah disampaikan, dapat disimpulkan

bahwa aspek pada impulsive buying adalah aspek kognitif dan afektif.

Aspek kognitif pada impulsive buying adalah individu melakukan

(36)

pertimbangkan resiko pembelian, hanya menekankan harga dan

keuntungan yang diperoleh. Sedangkan aspek afektif pada impulsive

buying adalah individu melakukan impulsive buying berdasarkan emosi

sesaat seperti, tertarik pada barang disertai rasa senang, terdorong untuk

harus memiliki produk yang disukai, kurangnya kontrol diri dan adanya

resiko mengalami penyesalan setelah membeli.

3. Faktor – Faktor yang mempengaruhi impulsive buying

a. Faktor Internal

Kepribadian yang didefinisikan sebagai organisasi yang dinamis atau

selalu berkembang dalam diri individu sebagai sistem kerja tubuh dan jiwa

yang tidak terpisah untuk menentukan cara yang khas dalam

menyesuaikan diri dalam lingkungan (Allport, 1951 dalam Suryabrata,

2006), diduga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi individu untuk

melakukan impulsive buying (Rook & Fisher, dalam Karbasivar &

Yarahmadi, 2011). Sebagai contohnya, sebuah produk dapat memiliki

nilai dan arti lain dibandingkan fungsinya sendiri, misalnya untuk

memenuhi hasrat untuk menunjukkan kepribadian atau memperlihatkan

gaya hidupnya (Belk, 1988; Dittmar, 1992, 2005; Higgins, 2002 dalam

Herabadi, Verplanken & Knippenberg, 2009).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lin & Chuang (2005),

(37)

dan Impulsive buying tendency. Emotional Intelligence (EI) merupakan

suatu kemampuan untuk beradaptasi, memahami, mengatur dan

mempergunakan emosi didalam diri maupun dengan orang oranglain (e.g.,

Caruso, Mayer, & Salovey, 2002; Salovey & Mayer, 1990; Schutte,

Malouff, Hall, Haggerty, Cooper, Golden, & Dornheim, 1998 dalam Lin

& Chuang, 2005). Diduga bahwa individu yang memiliki EI tinggi akan

signifikan memiliki perilaku impulsive buying yang rendah, sementara

individu yang memiliki EI rendah akan signifikan memiliki perilaku

impulsive buying yang tinggi (Lin & Chuang, 2005).

Selain itu, terdapat variabel psikologi lain yang dapat mempengaruhi

individu untuk melakukan impulsive buying, contohnya seperti motives,

yang didefinisikan sebagai alasan, sebab atau penggerak untuk melakukan

impulsive buying (Rook, 1987; Rook & Gardner dalam Herabadi dkk,

2009). Berbagai motives yang kuat dapat mempengaruhi munculnya

impulsive buying, contohnya seperti kurangnya penghargaan atau hadiah

yang didapat, kurangnya dukungan atau adanya rasa kurang nyaman pada

diri sendiri (Verplanken & Herabadi, 2001).

Faktor internal lain yang dapat memicu munculnya impulsive buying

adalah mood, yang mana mood dapat diartikan sebagai suasana hati atau

keadaan emosional konsumen yang positif akan membuat konsumen

merasa tertarik, suka dan loyal terhadap produk (Rook, 1987; Rook &

(38)

positif (senang) akan lebih terdorong untuk melakukan impulsive buying

dari pada sedang mengalami mood negatif (sedih). Munculnya perilaku

impulsive buying juga dapat dipicu oleh kontrol diri. Pembeli yang

memiliki kontrol diri rendah cenderung kurang dapat menahan atau

menolak stimulus yang memicu munculnya perilaku impulsive buying,

namun pembeli yang memiliki kontrol diri yang tinggi akan cenderung

dapat menahan atau menolak stimulus yang memicu munculnya impulsive

buying, jadi pembeli yang memiliki kontrol diri yang tinggi akan

cenderung membeli produk berdasarkan kebutuhan jangka panjang

(Baumeister, 2002).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa faktor internal yang dapat

mempengaruhi munculnya impulsive buying adalah kepribadian,

Emotional Intelligence (EI), Motives, Mood dan Kontrol diri.

b. Faktor Eksternal

Faktor ekternal yang mendorong munculnya impulsive buying juga

disebut sebagai environmental factor. Menurut penelitian terdahulu,

keberadaan suatu stimulus marketing dalam lingkungan toko untuk

menjual suatu barang atau jasa turut berperan untuk mendorong perilaku

impulsive buying konsumen (Dawson & Kim, 2009 dalam Maymand &

Ahmadinejad, 2011). Hal tersebut dapat terjadi karena stimulus marketing

(39)

tertarik untuk melakukan pembelian (Youn & Faber, 2000; Dawson and

Kim, 2009 dalam Maymand & Ahmadinejad, 2011).

Serupa dengan hal itu, ketika konsumen tertuju pada stimulus

promosi tersebut, mereka akan memiliki motivasi yang tinggi untuk

melakukan impulsive buying (Dholakia, 2000 dalam Maymand dan

Ahmadinejad, 2011). Bahkan tidak hanya untuk membuat konsumen baru

membeli produk sesuai dengan kebutuhan mereka saja, namun dapat

membuat konsumen melakukan impulsive buying pada produk yang biasa

hingga produk unggulan yang ditawarkan (Dawson & Kim, 2009).

Stimulus marketing yang biasanya dijumpai pada lingkungan toko

diantaranya seperti display, kemasan, gambar, warna produk,

pemandangan, suara, dan aroma (Eroglu & Machleit serta Mitchell, dalam

Karbasivar & Yarahmadi, 2011)

Jadi, dapat disimpulkan bahwa faktor ekternal yang dapat

mempengaruhi munculnya impulsive buying adalah adanya visual

merchandising pada lingkungan toko seperti: display, kemasan, gambar,

(40)

B. Kepribadian Big Five

1. Traits Kepribadian

Allport (dalam Hall & Gardner, 1993), menyatakan bahwa kepribadian

merupakan organisasi dinamis dalam diri individu yang menentukan cara

adaptasi diri yang khas terhadap lingkungannya. Selain itu, Allport juga

menjelaskan kepribadian ke dalam beberapa bagian. Pertama, kepribadian

tidak hanya bagian yang terpisah-pisah, namun kepribadian merupakan

sebuah kesatuan atau organisasi. Kedua, kepribadian tidak pasif, namun aktif,

dapat berkembang dan merupakan sebuah proses. Ketiga, kepribadian

merupakan suatu konsep psikologis. Keempat, kepribadian merupakan dasar

terjadinya perilaku individu, sehingga kepribadian dapat membantu

menunjukkan bagaimana cara orang berinteraksi atau berhubungan dengan

lingkungan luar. Kelima, kepribadian merupakan kumpulan sifat pada diri

individu dan umumnya bersifat konsisten yang dapat terlihat melalui cara

individu dalam menganggapi stimulus. Keenam, kepribadian tidak hanya

dapat terlihat melalui satu cara, kepribadian dapat terlihat melalui pikiran,

perasaan dan perbuatan individu.

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami

kepribadian adalah dengan menggunakan teori traits, yang mana teori traits

tersebut merupakan sebuah model yang dapat mengidentifikasi traits atau

(41)

individu tersebut (Mastuti, 2005). Traits merupakan gaya dari setiap individu

untuk menyesuaikan diri dan mengikatkan diri pada dunia sosialnya, tentang

bagaimana gaya individu dalam memecahkan masalah atau mengerjakan

berbagai hal, bagaimana ciri khas individu dalam berpikir dan bagaimana

individu merasakan berbagai secara kompleks (McAdams & Pals, 2006).

Berdasarkan teori-teori tersebut dapat disimpulkan bahwa traits

merupakan dimensi yang menetap dari karakter kepribadian dan dapat

menggambarkan perilaku yang ditunjukkan oleh individu, oleh sebab itu traits

dapat dipakai untuk membedakan individu yang satu dengan yang lain.

2. Kepribadian Big Five

Salah satu pendekatan yang terkenal untuk mempelajari traits

kepribadian adalah dengan traits kepribadian big five. Menurut McCrae &

John (1991) big five didefinisikan sebagai hirarki atau susunan organisasi dari

traits kepribadian yang memiliki lima dasar dimensi yaitu: Neuroticism,

Ekstraversion, Openness to Experience, Agreeableness & Conscientiousness.

Berdasarkan review Susana (2014), sejarah munculnya big five tersebut

bermula dari adanya beberapa peneliti yang bekerja pada tim yang

berbeda-beda dan menghasilkan lima dimensi (traits) yaitu Tupes & Cristal, Goldberg,

Cattel serta Costa & McCrae. Dari penelitian tersebut mendapatkan hasil

bahwa semua studi saling memiliki korelasi yang sangat tinggi. Lima dimensi

(42)

(E), Openess to Experience (O). Agreeablesness (A) dan Conscientiousness

(C). Berdasarkan lima dimensi tersebut telah dikembangkan berbagai model

alat ukur kepribadian, salah satu contohnya adalah NEO-PI-R (Costa &

McCrae, 1992).

Berdasarkan teori –teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kepribadian

big five adalah suatu susunan organisasi pembentuk kepribadian yang

tersusun atas lima dimensi, yaitu: Neuroticism, Ekstraversion, Openness to

Experience, Agreeableness & Conscientiousness.

3. Dimensi dan Facet Kepribadian Big Five

Menurut Costa & McCrae (1992), traits kepribadian telah

dikelompokkan menjadi lima dimensi yang disebut dengan big five. Setiap

dimensi dari big five terdiri dari beberapa facet. Facet adalah trait yang lebih

spesifik, yang merupakan komponen-komponen dari kelima faktor tersebut.

Costa & McCrae (1992) menjelaskan bahwa setiap faktor dari big five

memiliki 6 facet. Dimensi- dimensi dan facet-facet dalam big five tersebut

adalah :

a) Neuroticism

Dimensi ini menilai kestabilan dan ketidakstabilan emosi. Sehingga

dapat mengidentifikasi tingkat kerentanan individu dalam mengalami

stress, memiliki ide-ide yang tidak realistis, memiliki coping response

(43)

2001). Individu yang memiliki kestabilan emosi yang positif cenderung

berciri tenang, semangat dan merasa dirinya aman. Sementara individu

yang memiliki kestabilan emosi yang negatif cenderung merasa gelisah,

tertekan dan merasa tidak dirinya tidak aman ( Robbins, 2001). Dimensi

Neuroticism terdiri dari 6 facet yang meliputi :

1.) Anxiety atau kecemasan

2.) Self-consciousness atau kesadaran diri

3.) Depression atau depresi

4.) Vulnerability atau rawan terluka (kerentanan hati)

5.) Impulsiveness atau impulsif (menuruti kata hati)

6.) Angry hostility atau amarah untuk bermusuhan

b) Extraversion

Dimensi ini menilai kuantitas dan intensitas interaksi sosial, level

aktivitas, kebutuhan akan dukungan orang lain dan kemampuan untuk

merasa bahagia (Costa & McCrae 1985; 1990 dalam Pervin & John,

2001). Sehingga dapat menunjukkan tingkat kesukaan individu akan

hubungan. Individu yang ekstraversinya tinggi cenderung ramah, terbuka

dan suka meluangkan waktu untuk menikmati & mempertahankan

hubungan dengan lingkungan sosialnya. Sementara, individu yang

ekstraversinya rendah atau disebut dengan introvert, cenderung kurang

(44)

hubungan yang sedikit dengan lingkungan sosialnya ( Robbins, 2001).

Dimensi extraversion terdiri dari 6 facet yang meliputi:

1.) Gregariousness atau suka berkumpul

2.) Activity level atau suka beraktivitas

3.) Assertiveness atau asertif

4.) Excitement seeking atau mencari kesenangan

5.) Positive emotions atau emosi positif

6.) Warmth atau kehangatan

c) Openness to Experience

Dimensi ini menilai pencarian proaktif dan tingkat penghargaan diri

terhadap usaha dan pengalaman yang dilakukan oleh individu. Sehingga

dapat menilai bagaimana individu dapat menggali sesuatu yang baru

(Costa & McCrae 1985; 1990 dalam Pervin & John, 2001). Dengan kata

lain, dimensi ini menilai minat individu, yang mana individu yang

memiliki suka akan hal baru dan inovasi, maka akan cenderung menjadi

imajinatif, sensitif dan intelek. Sementara individu yang berkebalikan

kategori keterbukaannya akan nampak lebih konvensional dan

menemukan kesenangan dalam keakraban hubungan (Robbins, 2001).

Dimensi Openness to Experience ini terdiri dari 6 facet yang meliputi :

1.) Fantasy atau khayalan

2.) Aesthetic atau keindahan

(45)

4.) Ideas atau ide

5.) Actions atau tindakan

6.) Values atau nilai-nilai

d) Agreeableness

Dimensi ini menilai kualitas orientasi individu dari mulai tingkat

lemah lembut sampai antagonis didalam berperasaan, berpikir dan

berperilaku (Costa & McCrae 1985; 1990 dalam Pervin & John, 2001).

Individu yang sangat mampu bersepakat akan lebih menghargai

kekompakan, mereka tergolong kooperatif dan percaya pada orang lain.

Sementara, individu yang nilai kemampuan untuk bersepakat rendah akan

lebih memusatkan perhatian pada pada kebutuhan mereka sendiri dari

pada kebutuhan orang lain (Robbins, 2001). Dimensi agreeableness ini

terdiri dari 6 facet yang terdiri dari:

1.) Straightforwardness atau berterus terang

2.) Trust atau percaya

3.) Altruism atau berperilaku menolong

4.) Modesty atau bersahaja

5.) Tendermindedness atau berhati lembut

6.) Compliance atau penurut

e. Conscientiousness

Dimensi ini menilai kemampuan individu dalam organisasi, motivasi

(46)

dalam Pervin & John, 2001). Dimensi ini merujuk pada jumlah tujuan

yang menjadi pusat perhatian individu. Jika individu memiliki skor yang

tinggi, maka akan cenderung mendengarkan kata hati, cenderung

bertanggung jawab, gigih, tergantung dan berorientasi pada prestasi.

Sementara, individu yang memiliki skor rendah akan cenderung lebih

kacau pikirannya, mengejar banyak tujuan dan lebih hedonis (Robbins,

2001). Dimensi conscientiousness ini memiliki 6 facet yang terdiri dari;

1. Self-dicipline atau disiplin diri

2. Dutifulness atau patuh

3. Competence atau kompetensi

4. Order atau keteraturan

5. Deliberation atau pertimbangan

6. Achievement striving atau pencapaian prestasi

4. Pengaruh atau Dampak Kepribadian Big Five

Saat ini perkembangan riset mengenai kepribadian big five sangat pesat,

hal tersebut dibuktikan dengan adanya berbagai penelitian yang menunjukkan

bahwa banyak variabel yang mampu di diukur dengan traits kepribadian big

five (Mastuti, 2005). Contoh variabel yang dapat diteliti dengan big five

adalah kreativitas. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Widhiastuti

(2014) menunjukkan bahwa dimensi extraversion, agreeableness dan

(47)

hasil penelitian yang menunjukkan pengaruh yang significant antara

masing-masing dimensi big five dengan engagement coping dan disengagement

coping (Siswanto, 2013).

Beberapa penelitian menunjukkan hasil bahwa dimensi kepribadian big

five berkorelasi dengan impulsive buying. Verplanken & Herabadi (2001),

menyatakan hasil penelitiannya yang menggunakan dimensi big five bahwa

individu yang impulsive buying cenderung memiliki tipe atau indikasi

extravers, low conscientiousness (pikiran kacau, mengejar banyak tujuan,

hedonis) dan lebih suka atau cenderung mengambil keputusan secara

individual tanpa ada pertimbangan dari oranglain.

Dimensi openness to experience mencakup perilaku ingin tahu dengan

pencarian proaktif, sehingga dapat menilai bagaimana individu dapat

menggali sesuatu yang baru (Costa & McCrae 1985; 1990 dalam Pervin &

John, 2001). Ketika individu memiliki perilaku rasa ingin tahu yang tinggi

disertai dengan pencarian proaktif, berarti individu memiliki kontrol kognitif

yang tinggi. Hal tersebut berhubungan negatif dengan perilaku impulsive

buying. Menurut Verplanken & Herabadi (2001), individu yang melakukan

impulsive buying lebih mengikuti dorongan emosionalnya dari pada

kognitifnya. Sehingga individu yang memiliki openness to experience yang

tinggi cenderung tidak melakukan impulsive buying.

Pada penelitian Iskandar & Zulkarnain (2013) juga mendapatkan hasil

(48)

kontrol diri terhadap lingkungannya. Rasa menyesal terhadap produk yang

akan dibeli merupakan dampak dari kontrol diri yang rendah terhadap suatu

pembelian. Individu dengan kontrol diri yang rendah kurang memperhatikan

cara-cara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi dan

kurang mampu mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan situasi sosial

(Zulkarnain, 2002). Kontrol diri yang rendah terhadap pembelian dapat

mengakibatkan dampak yang kurang baik. Tanpa kontrol diri yang tinggi,

besar kemungkinan terjadinya penyesalan (Melati & Widjaja, 2007). Rasa

menyesal terhadap produk yang dibeli merupakan dampak dari kontrol diri

yang rendah terhadap suatu pembelian.

Berdasarkan penelitian Iskandar & Zulkarnain (2013) tersebut,

didapatkan hasil bahwa dimensi extraversion merupakan individu yang lebih

banyak mencari informasi mengenai produk yang akan dibeli. Engel,

Blackwell, dan Miniard (1995) menyatakan bahwa pembelian yang dilakukan

oleh individu mungkin dipengaruhi oleh anggota keluarga lainnya dalam

keluarga. Engel et al. (1995) menyatakan tentang perilaku individu sebagai

konsumen yang sering dipengaruhi oleh orang lainnya seperti teman sebaya

dalam mempengaruhi pro-duk yang akan dipilihnya. Creyer dan Ross (1999)

menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi penyesalan adalah faktor

afektif atau keterlibatan individu dalam proses pembelian. Dari uraian

(49)

men-cari informasi tentang suatu produk se-hingga dapat meminimalisir

tingkat penyesalan dalam dirinya.

Selanjutnya pada penelitian Iskandar & Zulkarnain (2013) tersebut

mendapatkan hasil bahwa agreeableness memiliki adaptasi yang

mengindikasikan individu yang ramah cenderung memiliki kepribadian yang

selalu mengalah, menghindari konflik dan mengikuti orang lain atau

konformitas (McCrae & Costa, 1997; Pervin & John, 2005). Penyesalan pasca

pembelian dapat terjadi ketika individu tidak memikirkan atau tidak menaruh

perhatian yang cukup pada produk yang akan dibelinya. Dengan kata lain,

penyesalan pasca pembelian timbul sebagai akibat pertimbangan yang kurang

akan produk yang akan dibeli sehingga individu tersebut dapat terkena

konsekuensi negatif atau menyesal setelahnya (Zeelenberg & Pieters, 2007).

Kecenderungan untuk mengikuti orang lain atau konformitas pada saat

membeli produk bisa menyebabkan individu yang bersangkutan tidak

memperhatikan kebutuhannya akan produk tersebut, tidak memperhatian

kualitas, serta tidak men-cari tahu tentang produk yang akan dibeli sehingga

individu tersebut dapat menga-lami penyesalan setelah membeli. Individu

dengan dimensi agreeableness dapat mengalami penyesalan karena kurangnya

pertimbangan pada saat membeli suatu produk sebab adanya dorongan dari

orang yang akhirnya akan mempengaruhi peri-lakunya untuk beralih pada

(50)

Kemudian yang hasil yang terakhir pada penelitian Iskandar &

Zulkarnain tersebut adalah dimensi neuroticm, menurut Costa dan McCrae

(1997), kepribadian neuroticism yang dapat diklasifikasikan yakni memiliki

sifat mudah marah, harga diri rendah, kecemasan sosial, perasaan takut,

sangat mudah khawatir, cemas dan tidak konsisten (inconsistent). Zeelenberg

dan Pieters (2007) menyatakan bahwa penyesalan dapat terjadi karena adanya

pertimbangan yang kurang tentang suatu produk yang disebabkan oleh

perilaku tidak konsisten pada saat membeli produk. Perilaku yang tidak

konsisten merupakan sifat yang dimiliki individu dengan dimensi neuroticism.

C. Visual Merchandising

1. Definisi Visual Merchandising

Visual merchandising didefinisikan sebagai sebuah presentasi barang

dagangan dalam toko dengan memberikan koordinasi warna, aksesoris atau

hiasan dan sesuatu yang dapat menjelaskan keterangan mengenai produk

yang dijual dengan sebaik mungkin (Pegler, 2006 dalam Taksiran, 2012).

Selain itu, visual merchandising dideskripsikan sebagai segala sesuatu yang

dapat dilihat oleh konsumen pada bagian interior maupun eksterior yang

membuat citra bisnis menjadi positif dimata konsumen dan hasilnya

konsumen menjadi memperhatikan, tertarik, menginginkan dan diakhiri

dengan bertindak (Bastowshoop et al, 1991 dalam Bhatti & Latif, 2013).

(51)

For Rural Development (1991) Visual Merchandising adalah segala sesuatu

yang dapat dilihat pembeli pada bagian eksterior maupun dari interior dari

sebuah toko. Dari hal tersebut diharapkan dapat menciptakan suatu kesan

menarik, sehingga pelanggan memiliki perhatian, ketertarikan dan hasrat

untuk melakukan pembelian.

Pegler (2006 dalam Taksiran, 2012) memberikan pernyataan bahwa

visual merchandising memiliki peran yang sangat penting karena dapat

membantu memastikan ketertarikan konsumen sampai akhirnya dapat

menghubungkan konsumen secara personal dengan produk yang dijual. Hal

tersebut dikarenakan visual merchandising menggunakan komunikasi visual

dengan menggunakan tema atau karakter yang ingin dicitrakan pada produk

atau merek yang dijual (Taksiran, 2012). Visual merchandising pada

bagian-bagian tertentu misalnya seperti display, banners dll akan berubah sesuai

dengan musim, promosi spesial atau acara khusus tertentu yang sedang

menjadi tema pada toko tersebut. Adanya pengembangan lingkungan toko

yang pada khususnya adalah visual merchandising akan memberikan

pengaruh pada keputusan pembelian melalui emosi dan kognisi konsumen

(Taksiran, 2012).

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa visual merchandising

adalah sesuatu yang digunakan untuk menarik perhatian konsumen sehingga

(52)

2. Aspek - aspek Visual merchandising

Visual merchandising memiliki dua aspek, yaitu aspek eksterior dan

aspek interior. Koordinasi kedua aspek tersebut akan membentuk visual

merchandising pada toko.

a. Aspek ekterior visual merchandising

Menurut North Central Region Center For Rural Development

(1991), aspek eksterior visual merchandising adalah suatu keadaan luar

toko yang dirancang sedemikian rupa untuk dapat menarik perhatian,

membuat minat sehingga dapat mengundang konsumen untuk masuk ke

dalam toko. Secara umum, menurut Bhatti & Latif (2013); H&M Official

Website (2010 dalam Taksiran, 2012) komponen yang mengisi aspek

eksterior visual merchandising adalah :

1) Brand Shop : Nama atau merk sebuah toko merupakan simbol atau

tanda akan kualitas dari toko tersebut (as cited in Varela et.al, 2010).

Brand shop biasanya diletakkan di atas pintu toko, sehingga publik

bisa melihat brand shop sebagai sarana komunikasi toko terhadap

(53)

2) Windows Display : Jendela display merupakan bagian yang penting

untuk mempromosikan produk kepada konsumen, hal ini dikarenakan

windows display merupakan tempat atau bagian pertama yang akan

membuat kesan pada konsumen mengenai produk yang dilihat

sebelum memasuki area interior toko, berikut contoh gambarnya :

(54)

Menurut North Central Region Center For Rural Development

(1991); aspek interior visual merchandising adalah sebuah desain yang

dibuat sedemikian rupa di dalam toko untuk menaruh sesuatu yang

tersedia di dalam toko agar terlihat menarik. Secara umum menurut

Taksiran (2012) komponen yang mengisi aspek interior adalah :

1) Displays Design : displays design merupakan salah satu yang penting

diperhatikan dalam presentasi produk. Konsumen akan tertarik untuk

membeli produk jika desain atau model presentasi produk dapat

terlihat menarik, berikut contoh gambarnya:

2) Colour : warna merupakan motivasi terbesar konsumen untuk

berbelanja (Peger,2006) hal tersebut dikarenakan warna bisa

mengubah mood. Warna dapat mengubah kondisi perasaan seseorang

dan setiap warna memiliki keistimewaan tersendiri, berikut contoh

(55)

3) Lighting : Pencahayaan merupakan bagian yang harus diperhatikan,

agar produk yang dilihat oleh karena berkesan positif. Pencahayaan

yang kurang akan membuat konsumen mempertimbangkan keputusan

belanjanya, sedangkan pencahayaan yang terlalu berlebihan akan

membuat konsumen merasa tidak nyaman, berikut contoh gambarnya :

4) Signage : Merupakan sarana yang menginformasikan tentang produk

yang dijual, agar konsumen semakin merasa jelas mengenai informasi

(56)

3. Dampak Visual Merchandising

Pengembangan visual merchandising khususnya di lingkungan toko,

akan memberikan pengaruh pada keputusan pembeli melalui emosi dan

kognisi konsumen (Taksiran, 2012). Menurut Yolande & Michael (2013),

visual merchandising yang sukses akan berdampak pada emosi pelanggan,

terkadang secara tidak sadar pelanggan melakukan pembelian tergantung

pada pembawaan mood dari dirinya sendiri. Oleh sebab itu, terkadang

penggerak para pengunjung datang ke toko adalah untuk mengubah mood

menjadi lebih baik. Selain itu, dengan adanya pengembangan visual

merchandising akan membuat pengunjung tertarik dan termotivasi untuk

melakukan pembelian secara terencana ataupun impulsive buying (Yolande &

Michael, 2013). Pada penelitian tersebut pengunjung toko menyampaikan

bahwa mereka merasa ingin membeli, walaupun tidak memiliki kebutuhan

(57)

pengembangan visual merchandising karena dapat mengarahkan pengunjung

untuk membeli produk yang spesifik.

Penelitian Bhatti & Latif (2013) menunjukkan hasil bahwa adanya

window display akan mempengaruhi pelanggan untuk melakukan impulsive

buying. Hal ini dikarenakan ketika konsumen secara visual melihat display

maka akan menimbulkan dorongan pada konsumen untuk melakukan

impulsive buying. Selain itu, forum display juga dapat menimbulkan impulsive

buying, ketika pengunjung masuk ke dalam toko dan melihat berbagai variasi

produk maka akan menstimulasi pengunjung untuk melakukan pembelian

yang tidak terencana. Sementara, floor merchandising juga dapat memicu

pengunjung untuk melakukan impulsive buying. Selain itu, menurut penelitian

tersebut shop brand juga memiliki hubungan yang erat dengan impulsive

buying, hal ini dikarenakan ketika sebuah brand dari toko dapat sukses

mengembangkan loyalitas konsumen, maka setiap konsumen yang melihat

brand tersebut akan terstimulasi untuk melakukan pembelian yang tidak

terencana.

D. Wanita Bekerja

1. Definisi wanita bekerja

Menurut Van Vuuren (dalam Dwijanti, 1999) wanita bekerja adalah

Gambar

Tabel 1 Skor Favorable Skala Impulsive Buying, Dimensi Kepribadian Big Five & Visual
Tabel 2 Blue Print Skala Impulsive buying
Tabel 3 Blue Print Skala Dimensi Kepribadian Big five
Table 4 Blue Print Skala Visual Merchandising
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan Nasional dan mempertahankan swasembada pangan, Jawa Timur yang merupakan salah satu penyumbang stok pangan nasional telah ikut serta

kakekku yang selalu menyayangiku dan terus mendorongku untuk terus semangat berjuang dalam menuntut ilmu. Adikku Muhammad Bisrul Aziz Maulana dan semua saudara-sudaraku yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) kemampuan proses keilmuan melalui metode inkuiri; (2) perbedaan prestasi belajar antara kelas kontrol dengan

Dalam peneitian ini bertujuan ingin mengetahui proses peran komunikasi antarpribadi personal selling dalam memasarkan produk jasa layanan Internet & TV Cable

keputusan diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah yang hadir,

It allows forest management enterprises to provide evidence that the wood they supply has been controlled to avoid wood that is illegally harvested, harvested in

Melihat pentingnya penerapan teknologi anaerob digester pada pengolahan sampah pasar tradisional maka tulisan ini disajikan dengan tujuan untuk (i)

responden dalam penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar atas nama Bilwalidayni