Celly Brita Tri Handayani ABSTRAK
Celly Brita Tri Handayani
Abstract
This Research aimed to figure out the relationship between the personality dimension of big five and visual
merchandising of cosmetics store “The Body Shop” and the impulsive buying towards working woman. The subject
used in this research was working woman at the age 22-40 who purchased in the cosmetics store “The Body Shop”.
The data was taken by filling the scale of impulsive buying with reliability score (α) = 0.939, the scale of neuroticism personality dimension with reliability score (α) = 0.734, the scale of extraversion personality dimension
with reliability score (α) = 0.750, the scale of openness to experience personality dimension with reliability score (α) = 0.853 , the scale of agreeableness personality dimensions with reliability score (α) = 0.801 , the scale of
conscientiousness personality dimensions with reliability score (α) = 0.746, and the scale of visual merchandising with reliability score (α) = 0.897 . The data analysis technique applied in this research was Spearman’s Rho
throughout the program of SPSS for Windows version 16.0 because the data distribution of each variable was irregular. The result showed that there was only positive and significant relationship between neuroticism dimension and impulsive buying, as well as extraversion dimension and impulsive buying towards working women.
i
HUBUNGAN DIMENSI KEPRIBADIAN BIG FIVE DAN VISUAL
MERCHANDISING TOKO KOSMETIK THE BODY SHOP
DENGAN IMPULSIVE BUYING PADA WANITA BEKERJA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Celly Brita Tri Handayani
109114105
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
ii
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
HUBUNGAN DIMENSI KEPRIBADIAN BIG FIVE DAN VISUAL
MERCHANDISING TOKO KOSMETIK THE BODY SHOP DENGAN IMPULSIVE BUYING PADA WANITA BEKERJA
Disusun oleh :
Celly Brita Tri Handayani
NIM : 109114105
Telah disetujui oleh :
Dosen Pembimbing Skripsi
iii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI
HUBUNGAN DIMENSI KEPRIBADIAN BIG FIVE DAN VISUAL
MERCHANDISING TOKO KOSMETIK THE BODY SHOP DENGAN IMPULSIVE BUYING PADA WANITA BEKERJA
Disusun Oleh:
Celly Brita Tri Handayani
NIM : 109114105
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
Pada tanggal 19 Januari 2016
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji:
Nama Lengkap Tanda Tangan
Penguji 1. P. Henrietta P. D. A. D. S, S. Psi, M. A. ………
Penguji 2. P. Eddy Suhartanto, M.Si.
..………
.Penguji 3. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si ...
Yogyakarta, ………
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
Dekan,
iv
HALAMAN MOTTO
....karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. (Roma 5 : 3-4)
to get success, courage must be greater than the fear
There is no limit of struggling.”
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan kepada :
Tuhan Yesus Kristus yang telah memampukan saya menyelesaikan karya
ini, dengan segala proses yang banyak mengajarkan saya arti berusaha
Bapak, Ibu, Mbak dan Mas yang senantiasa mendoakan, mendukung, dan
menguatkan saya,
Dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing saya dengan penuh
kesabaran,
Kekasih yang selalu setia mendukung dan menguatkan
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 23 Februari 2016
Penulis,
vii
HUBUNGAN DIMENSI KEPRIBADIAN BIG FIVE DAN VISUAL MERCHANDISING TOKO KOSMETIK THE BODY SHOP DENGAN IMPULSIVE BUYING PADA WANITA BEKERJA
Celly Brita Tri Handayani ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan traits kepribadian big five dan visual merchandising toko kosmetik the body shop dengan impulsive buying pada wanita bekerja. Subjek dalam penelitian ini adalah wanita bekerja yang melakukan pembelian di toko kosmetik the body shop dan berusia 22-40 tahun. Pengambilan data dilakukan dengan pengisian skala impulsive buying dengan
skor reliabilitas sebesar (α) = 0.939, skala dimensi trait kepribadian neuroticism dengan skor
reliabilitas sebesar (α) = 0.734, skala dimensi trait kepribadian extraversion dengan skor reliabilitas
sebesar (α) = 0.750, skala dimensi trait kepribadian openness to experience dengan skor reliabilitas
sebesar (α) = 0.853, skala dimensi trait kepribadian agreeableness dengan skor reliabilitas sebesar (α) = 0.801, skala dimensi trait kepribadian conscientiousness dengan skor reliabilitas sebesar (α) = 0.746 dan skala visual merchandising dengan skor reliabilitas sebesar (α) = 0.897. Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan pengujian Spearman’s Rho dalam program SPSS for windows versi 16.0 karena sebaran data dari masing-masing variabel tidak normal. Hasil menunjukkan bahwa hanya terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara dimensi traits neuroticism dengan impulsive buying dan dimensi trait extraversion dengan impulsive buying.
viii
THE RELATIONSHIP BETWEEN THE PERSONALITY DIMENTIONS OF BIG FIVE AND
VISUAL MERCHANDISING OF COSMETIC STORE “THE BODY SHOP” WITH IMPULSIVE BUYING TOWARDS WORKING WOMAN
Celly Brita Tri Handayani
Abstract
This Research aimed to figure out the relationship between the personality dimension of big five and visual merchandising of cosmetics store “The Body Shop” and the impulsive buying towards working woman. The subject used in this research was working woman at the age 22-40 who purchased in the cosmetics store “The Body Shop”. The data was taken by filling the scale of impulsive buying with reliability score (α) = 0.939, the scale of neuroticism personality dimension with reliability score (α) = 0.734, the scale of extraversion personality dimension with reliability score (α) = 0.750, the scale of openness to experience personality dimension with reliability score (α) = 0.853 , the scale of agreeableness personality dimensions with reliability score (α) = 0.801 , the scale of conscientiousness personality dimensions with reliability score (α) = 0.746, and the scale of visual merchandising with reliability score (α) = 0.897 . The data analysis technique applied in this research was Spearman’s Rho throughout the program of SPSS for Windows version 16.0 because the data distribution of each variable was irregular. The result showed that there was only positive and significant relationship between neuroticism dimension and impulsive buying, as well as extraversion dimension and impulsive buying towards working women.
ix
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Celly Brita Tri Handayani
Nomor Mahasiswa : 109114105
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
HUBUNGAN DIMENSI KEPRIBADIAN BIG FIVE DAN VISUAL
MERCHANDISING TOKO KOSMETIK THE BODY SHOP DENGAN IMPULSIVE BUYING PADA WANITA BEKERJA
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpusatakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain
untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan
royalti kepada saya selama saya tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada Tanggal, 23 Februari 2016
Yang menyatakan,
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas
segala berkat dan anugerah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Hubungan Dimensi
Kepribadian Big Five dan Visual Merchandising Toko Kosmetik The Body Shop
dengan Impulsive Buying Pada Wanita Bekerja.” ini dapat diselesaikan dengan baik.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Pemilihan mengenai tema penelitian ini karena dewasa ini semakin marak perilaku
impulsive buying pada kalangan masyarakat. Penulis berharap skripsi ini dapat
memberi manfaat bagi orang banyak, terutama bagi wanita bekerja.
Penulisan skripsi ini tentunya dapat selesai berkat dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih
kepada :
1. Bpk. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma dan selaku dosen pembimbing akademik. Terima
kasih atas semangat yang senantiasa diberikan agar menyelesaikan studi
dengan tepat waktu.
2. Ibu Ratri Sunar Asusti, M.Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah mengizinkan saya untuk
xi
3. Mbak P. Henrietta P. D. A. D. S, S. Psi, M. A. selaku Dosen Pembimbing
Skripsi. Terima kasih atas kesabaran, arahan dan dukungan selama
membimbing saya menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si. selaku dosen penguji 2 dan
Bapak
T.M.Raditya Hernawa, M.Psi. selaku dosen penguji 3, terimakasih atas segala
saran yang sangat membangun dan membantu memperbaiki skripsi saya
sehingga mengantarkan saya pada gerbang kelulusan.
5. Segenap Bapak / Ibu staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma. Terima kasih untuk ilmu yang telah diberikan dengan cara Bapak /
Ibu masing-masing. Semoga saya bisa membaktikan ilmu yang saya dapat
untuk kepentingan dan kebaikan sesama.
6. Bapak, Ibu, Mbak dan Mas tersayang. Terima kasih atas kasih sayang, doa,
dukungan, dan penguatan yang tak pernah berhenti diberikan selama ini.
7. Fransiskus Asisi Dian Kristianto, terimakasih atas segala doa dukungan dan
pengertian yang telah tercurahkan sampai detik ini.
8. Untuk Ibu Lastri, selaku Regional Operation Manager The Body Shop dan
segenap karyawan dan karyawati The Body Shop yang telah memberikan saya
kesempatan dan respon positif untuk melakukan penelitian pada konsumen
The Body Shop.
9. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi Sanata Dharma : Bu Nanik, Mas
xii
pelayanannya yang ramah. Karyawan perpustakaan Universitas Sanata
Dharma, terutama di Kampus 3 Paingan. Terima kasih sudah membuat
perpustakaan menjadi tempat yang sangat nyaman untuk belajar.
10.Untuk sahabat-sahabat tersayang, Marchel, Caecil, Yohana dan Cik Loren,
terimakasih atas persahabatan yang begitu berarti.
11.Teman-teman Griya Kanna yang sudah seperti keuarga bagiku, terimakasih
ataas segala dukungan dan perhatiannya, mengenal kalian adalah suatu
keberuntungan bagiku.
12.Untuk Teman-teman bimbingan yang selalu kompak dan senantiasa mau
berbagi ilmu demi kemajuan bersama, Terimakasih atas segala proses yang
telah kita lewati bersama.
13.Seluruh teman-teman angkatan 2010 Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma, terima kasih untuk kebersamaannya.
14.Seluruh subjek dalam penelitian ini, terima kasih banyak atas kesediaannya
untuk terlibat.
15.Seluruh pihak yang telah membantu selesainya skripsi ini, yang tidak bisa
disebutkan satu per satu. Terima kasih banyak! Saya mungkin tidak dapat
membalas kebaikan Anda sekalian tapi biarlah Tuhan saja yang membalasnya
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan.
xiii
ini menjadi lebih baik lagi. Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dalam
bidang konsumen dan kepribadian.
Yogyakarta, 23 Februari 2016
Penulis
xiv
DAFTAR ISI
SKRIPSI ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
HUBUNGAN DIMENSI KEPRIBADIAN BIG FIVE DAN VISUAL MERCHANDISING ... vii
THE RELATIONSHIP BETWEEN THE PERSONALITY DIMENTIONS OF BIG FIVE ... viii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
1. Manfaat Teoritis ... 10
2. Manfaat Praktis ... 10
BAB II ... 11
LANDASAN TEORI ... 11
A. Impulsive Buying ... 11
xv
2. Aspek-aspek impulsive buying ... 13
3. Faktor – Faktor yang mempengaruhi impulsive buying... 15
B. Kepribadian Big Five ... 19
1. Traits Kepribadian ... 19
2. Kepribadian Big Five ... 20
3. Dimensi dan Facet Kepribadian Big Five... 21
4. Pengaruh atau Dampak Kepribadian Big Five ... 25
C. Visual Merchandising ... 29
1. Definisi Visual Merchandising ... 29
2. Aspek - aspek Visual merchandising ... 31
3. Dampak Visual Merchandising ... 35
D. Wanita Bekerja ... 36
1. Definisi wanita bekerja ... 36
2. Karakteristik wanita bekerja ... 37
E. Dinamika Hubungan Dimensi Kepribadian Big Five dan Visual Merchandising dengan Impulsive Buying ... 39
F. Skema Hubungan Dimensi Kepribadian Big Five dengan Impulsive Buying43 G. Skema Hubungan Visual Merchandising dengan Impulsive Buying ... 46
H. Hipotesis Penelitian ... 47
BAB III ... 48
METODOLOGI PENELITIAN ... 48
A. Jenis Penelitian ... 48
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 48
C. Definisi Operasional ... 49
1. Impulsive Buying Pada Wanita Bekerja ... 49
2. Dimensi Kepribadian Big Five ... 49
3. Visual Merchandising toko kosmetik ... 50
D. Subjek Penelitian ... 51
xvi
F. Validitas & Reliabilitas Alat Ukur ... 56
G. Metode Analisis Data ... 61
1. Uji Asumsi ... 61
2. Uji Hipotesis ... 62
BAB IV ... 64
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 64
A. Pelaksanaan Penelitian... 64
B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 66
C. Deskripsi Data Penelitian ... 66
D. Hasil Analisis Data ... 70
1. Uji Asumsi Penelitian ... 70
2. Uji Linearitas ... 76
3. Uji Hipotesis ... 80
E. Pembahasan ... 82
BAB V ... 87
KESIMPULAN DAN SARAN ... 87
A. Kesimpulan ... 87
B. Saran ... 88
1. Bagi wanita bekerja ... 88
2. Bagi Outlet The Body Shop ... 88
3. Bagi Peneliti selanjutnya ... 88
DAFTAR PUSTAKA ... 90
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Skor Favorable Skala Impulsive Buying, Dimensi Kepribadian Big Five &
Visual Merchandising……….... 54
Tabel 2. Blue Print Skala Impulsive Buying………...55
Tabel 3. Blue Print Skala Dimensi Kepribadian Big Five………...56
Tabel 4. Blue Print Skala Visual Merchandising………...57
Tabel 5. Blue Print Skala Impulsive Buying Setelah Seleksi Aitem……….60
Tabel 6. Blue Print Skala Dimensi Kepribadian Big Five Setelah Seleksi Aitem 61 Tabel 7. Blue Print Visual Merhandising Setelah Seleksi Aitem………..61
Tabel 8. Deskripsi Subjek Penelitian……...………..67
Tabel 9. Data Teoritik dan Mean Empirik……….68
Tabel10. One Sample T-Test Mean Teoritik dan Mean Empirik Skala Dimensi Kepribadian Big Five………...68
Tabel 11. One Sample T-Test Mean Teoritik dan Mean Empirik Skala Impulsive Buying danVisual Merchandising……….69
Tabel 12. Uji Normalitas………...71
Tabel 13 Uji Normalitas Skala Impulsive Buying, Dimensi Kepribadian Big Five & Visual Merchandising……….72
Tabel 14. Uji Linearitas………...77
Tabel 15. Hasil Uji Hipotesis....………..81
xviii
DAFTAR SKEMA
Skema 1 Dinamika Hubungan Dimensi Kepribadian Big Five dengan Impulsive
Buying...43
Skema 2 Dinamika Hubungan Visual Merchandising dengan Impulsive
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Uji Normalitas………..95
Lampiran Uji Empirik………...97
Lampiran Uji Linieritas………...101
Lampiran Uji Hipotesis………...137
Lampiran Reliabilitas………..140
Lampiran Skala Penelitian………...151
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini terjadi pergeseran konsep kebutuhan primer manusia, dimana
kebutuhan sekunder seperti produk penunjang penampilan menjadi kebutuhan
primer manusia. Fenomena tersebut terjadi karena didorong oleh gaya hidup
konsumtif masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya hasil penelitian
bahwa 80% dari seluruh pembelian produk tertentu yang dilakukan oleh
konsumen di Amerika Serikat merupakan pembelian yang dilakukan tanpa adanya
perencanaan dan bersifat tidak rasional yang disebut sebagai impulsive buying,
sehingga impulsive buying merupakan fenomena yang diakui secara luas di
Amerika Serikat (Abrahams & Smith, dalam Kancen & Lee, 2002).
Di Indonesia perilaku konsumen yang melakukan impulsive buying di
kota-kota besar juga semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perilaku
konsumen yang melakukan keputusan membeli tanpa memiliki perencanaan naik
hampir dua kali lipat, dengan persentase pada tahun 2003 sebesar 13% dan pada
tahun 2011 naik menjadi 26% (Nielsen, dalam Industrial Post edisi 2, 2011).
Impulsive Buying adalah suatu fenomena ketika individu mengalami konflik
pikiran dan dorongan emosional yang tidak bisa dilawan untuk melakukan
(Verplanken & Herabadi, 2001). Dorongan emosional tersebut terkait dengan
adanya perasaan yang intense yang ditunjukkan dengan melakukan pembelian
karena adanya dorongan untuk membeli suatu produk dengan segera,
mengabaikan dampak negatif, merasakan kepuasan dan mengalami konflik di
dalam pemikiran (Rook dalam Verplanken, 2001).
Perilaku impulsive buying tersebut dapat memberikan dampak negatif bagi
pelakunya. Menurut Rook (1987), dampak negatif yang dapat dirasakan oleh
pembeli yang melakukan impulsive buying antara lain; dapat mengalami kesulitan
keuangan, kecewa pada produk yang sudah dibeli dan mendapatkan
ketidaksetujuan dari orang-orang di lingkungan sekitar atas produk yang dibeli.
Namun, selain adanya dampak negatif bagi pelaku impulsive buying, terdapat
dampak positif dari adanya fenomena impulsive buying tersebut untuk pelaku
industri. Adanya perilaku pembelian yang terjadi secara spontan, tanpa adanya
perencanaan yang matang serta tidak mempertimbangkan resiko pembelian
tersebut akan membawa keuntungan pada toko, hal tersebut dikarenakan perilaku
impulsive buying memberikan kontribusi pendapatan pada toko (Bong, 2011).
Secara umum impulsive buying dapat terjadi karena dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari dalam individu
dan faktor eksternal berasal dari luar individu. Faktor internal yang utama
meliputi: Kepribadian (Lin & Chuang, 2005 & Verplanken & Herabadi, dalam
Herabadi, Verplanken & Knippenberg, 2009), Emotional Intelligence (Lin &
dalam Herabadi, Verplanken & Knippenberg, 2009) serta kontrol diri
(Baumeister, 2002).
Kepribadian merupakan salah satu faktor internal yang dapat menyebabkan
munculnya perilaku impulsive buying. Kepribadian dapat didefinisikan sebagai
total keseluruhan atas susunan perilaku individu yang terbentuk dari faktor
keturunan dan faktor lingkungan yang akan berkembang selama individu masih
dapat berinteraksi (Eysenck, dalam Suryabrata, 2006). Menurut Allport (dalam
Suryabrata, 2006), kepribadian adalah organisasi dalam diri individu yang
sifatnya selalu berkembang dan berubah sebagai sistem yang menentukan cara
khas individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Teori menurut
Allport tersebut memiliki penjelasan yang hampir sama bahwa kepribadian
individu akan berkembang karena adanya faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhinya. Hal yang serupa juga dipaparkan oleh teori dari McAdams &
Pals (2006), bahwa kepribadian individu terbentuk dari adanya “perkembangan”
& faktor internal individu seperti sifat dasar manusia, kecenderungan traits,
karakteristik adaptasi, gambaran diri dan faktor eksternal individu seperti budaya
serta keadaan sosial.
Salah satu komponen pembentuk kepribadian individu adalah adanya traits.
Sifat-sifat yang dimiliki individu atau disebut dengan traits merupakan faktor
internal yang relatif menetap dalam diri individu (Mastuti, 2005) dan perilaku
individu yang muncul didorong oleh traits atau sifat-sifat tertentu yang dimiliki
yang membedakan satu individu dengan individu yang lainnya (Fieldman, dalam
Mastuti, 2005).
Menurut McAdams & Pals (2006), traits adalah seluruh gaya atau cara
penyesuaian dan keterikatan setiap individu pada dunia sosialnya yang terkait
dengan cara individu untuk menyelesaikan berbagai hal, karakteristik individu
dalam berpikir dan karakteristik individu dalam merasakan berbagai hal secara
kompleks (McAdams & Pals, 2006). Traits adalah dimensi kepribadian yang
merepresentasikan kecenderungan kognitif, emosional dan tingkah laku individu
yang bersifat menetap (Westen, dalam Seniati, 2006), sehingga traits kepribadian
dapat dipakai untuk menggambarkan perilaku manusia (McAdams & Pals, 2006).
Salah satu teori yang dapat mengungkap struktur traits adalah Big five,
kelima dimensi dasar dalam teori tersebut adalah Extraversion, Agreeableness,
Conscientiousness, Neuroticism dan Openness to Experience (Costa & McCrae,
1992). Salah satu fungsi dari alat ukur Big five tersebut dapat digunakan untuk
mengukur perilaku kosumen (Harahap, 2008). Selain itu, dalam dimensi
Neuroticism terdapat facet Impulsiveness yang mengindikasikan terdapat
hubungan antara dimensi Neuroticism dengan Impulsive Buying.
Selain adanya faktor internal dari dalam individu, terdapat faktor eksternal
dari luar individu yang juga dapat memicu munculnya perilaku impulsive buying.
Menurut Ying-Ping Liang (2012), konsumen impulsive buying melakukan
pembelian tanpa kesadaran dan diperkirakan bahwa sekitar dua per tiga dari
Advertising Institute di Amerika Serikat pada tahun 1995 melakukan survei yang
menunjukkan bahwa sebanyak 70% para pelanggan ritel melakukan keputusan
membeli produk di dalam toko dan 60% diantaranya melakukan impulsive buying
(Astuti & Fillipa, 2008). Sementara, penelitian selanjutnya yang dilakukan
kembali oleh institut yang sama menunjukkan hasil bahwa pada tahun 2002,
sebanyak 72% dari keputusan calon konsumen untuk membeli terjadi di dalam
toko dan sebagian besar diantaranya merupakan impulsive buying. Penelitian
survei serupa juga pernah dilakukan di Indonesia yang menyatakan bahwa 85%
pembeli ritel di Indonesia melakukan impulsive buying di dalam toko (Majalah
Marketing/05/V/2007, dalam Yistiani, 2012).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ying-Ping Liang (2008)
menyebutkan bahwa faktor ekternal yang mempengaruhi impulsive buying antara
lain stimulus pemasaran yang disajikan oleh perusahaan seperti periklanan atau
diskon (Piron, 1991) daya pikat istimewa dari sebuah produk (Shiv dan
Fedorikhin, 1999), dan display produk (Shiv dan Fedorikhin, 1999).
Salah satu faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku impulsive buying
di dalam toko adalah adanya display produk. Display produk termasuk dalam
elemen penting yang membentuk adanya visual merchandising pada toko.
Menurut North Central Region Center For Rural Development (1991), Visual
Merchandising adalah segala sesuatu yang dapat dilihat pembeli pada bagian
eksterior maupun dari interior dari sebuah toko. Dari hal tersebut diharapkan
ketertarikan dan hasrat untuk melakukan pembelian. Selain itu, menurut Mills
et.al. (1995 dalam Maymand & Ahmadinejad, 2011) visual merchandising adalah
suatu bentuk penyajian suatu toko dan produk kepada calon pembeli melalui
display, tim kerja dari toko, event tertentu dan merchandising departement untuk
menjual barang atau jasa yang ditawarkan oleh toko.
Visual Merchandising pada toko terdiri dari elemen eksterior dan elemen
interior. (North Central Region Center For Rural Development, 1991, hh. 3-36).
Kategori yang termasuk pada elemen eksterior pada toko adalah ; atap diatas
pintu masuk (marquees), spanduk (banners), akses pengunjung untuk berjalan
dan masuk ke toko (walks and entries), seni menghias taman (landscaping) dan
jendela pemajangan produk (window displays). Selain itu, terdapat kategori
interior yang meliputi; desain pemajangan produk (display design) dan pemilihan
warna dan pencahayaan dalam toko (colour & lighting).
Visual merchandising tidak hanya mengenai tata letak toko, gaya rak toko,
suasana toko dan merek yang ditawarkan ditoko tersebut. Namun, visual
merchandising juga meliputi identifikasi produk secara visual, konsep brand dan
sarana membangun komunikasi antara konsumen serta produk yang dijual untuk
menghasilkan penjualan. Strategi pemasaran melalui visual merchandising
merupakan salah satu upaya untuk membangun komunikasi dan interaksi
langsung dengan konsumen (Khurram L.Bhatti & Seemab Latif, 2013).
Saat ini banyak pelaku industri yang berlomba-lomba menarik perhatian
dipakai oleh para pelaku industri kosmetika yang tokonya sering dijumpai di
pusat perbelanjaan atau mall. Salah satu pelaku industri kosmetika di Indonesia
yang menerapkan strategi pemasaran melalui visual merchandising adalah The
Body Shop. Toko The Body Shop menggunakan inovasi-inovasi terbaru dalam
mengembangkan visual merchandising disetiap toko untuk menarik minat pasar.
Menurut penuturan dari Suzy Hutomo selaku CEO The Body Shop Indonesia,
bentuk inovasi konsep terbaru tersebut juga dipakai dalam pengembangan bentuk
desain toko baru yang dibuat berbeda. Desain toko terbaru tersebut bernama
“Pulse”, desain ini bermaksud untuk mengaplikasikan konsep lebih ramah
lingkungan. Dekorasi dibuat dengan desain khusus untuk membantu konsumen
dan karyawan The Body Shop agar lebih mudah berinteraksi. Desain interior
ruangan toko dibuat menggunakan kayu yang bersertifikat, selain itu The Body
Shop mendesain pencahayaan toko menggunakan bola lampu LED, sehingga
lebih menghemat energi 25-35 % daya dari yang sebelumnya. Selain itu, coloring
pada toko dipilih cat berwarna putih dengan tujuan akan membantu mencerahkan
suasana dan mudah memantulkan cahaya
(http://www.beritasatu.com/fashion/55316-the-body-shop-kenalkan-semangat-kecantikan-baru.html). The Body Shop merupakan toko yang menjual produk
kosmetik perawatan tubuh dan kulit contohnya seperti produk perawatan kulit
tubuh, perawatan wajah, perlengkapan mandi hingga perawatan rambut yang
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.445/MenKes/1998 (dalam
E-Journal FK USU Vol 1 No 1,2013) Kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan
yang siap digunakan pada bagian luar badan, gigi, dan rongga mulut untuk
membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampilan, melindungi supaya
tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan
untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit.
Wanita adalah pengguna utama kosmetika (Solomon, 2002). Menurut
Anggoro (2011), pada umumnya wanita lebih suka berbelanja dari pada laki-laki.
Wanita cenderung mau menghabiskan waktunya untuk berkeliling pusat
perbelanjaan demi memenuhi keinginannya (Clendinning, 2001). Hal ini
dikarenakan wanita cenderung merasa bahwa berbelanja merupakan kegiatan
yang menyenangkan (Schiffman & Kanuk, 2000). Oleh sebab itu, wanita lebih
sering dijadikan target pemasaran dari pelaku industri kosmetika. Terlebih wanita
bekerja, mereka membutuhkan kosmetik sebagai salah satu produk penting yang
dapat menunjang penampilan mereka dalam bekerja.
Data statistik dari (BPS, 2007), menunjukkan bahwa pada bulan Februari
2006 – Februari 2007 terdapat kenaikan jumlah wanita yang bekerja sebanyak
2,12 juta orang, sedangkan kenaikan jumlah laki-laki yang bekerja lebih sedikit
yaitu 287 ribu orang. Fenomena ini menunjukkan bahwa wanita semakin
berusaha untuk berkembang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Adanya pendapatan dari hasil kerja pada wanita karir membuat adanya
Data dari The Institute of Science and Technology Journal’s (dalam Siregar,
2007) menunjukkan bahwa wanita di Indonesia rata-rata bekerja pada usia 22
tahun. Dimana usia tersebut masuk dalam kategori perkembangan dewasa awal
(Santrock, 2002). Menurut Papalia (2008), pada usia perkembangan dewasa awal,
secara kognitif individu sudah dapat berpikir secara matang dengan menggunakan
logika dan melibatkan intuisi serta emosi. Dari teori tersebut seharusnya individu
sudah dapat mengontrol diri, berpikir rasional dan reflektif dalam berbelanja,
sehingga cenderung tidak melakukan impulsive buying yang sifatnya tidak
rasional dan tanpa perencanaan.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bhatti & Latif (2013) terdapat
hasil bahwa visual merchandising berpengaruh untuk menimbulkan perilaku
impulsive buying. Tetapi belum ada penelitian yang difokuskan untuk melihat
korelasi antara dimensi kepribadian big five, visual merchandising pada toko
kosmetik The Body Shop dengan impulsive buying pada subjek wanita bekerja.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Apakah ada hubungan antara dimensi kepribadian big five dan visual
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dimensi
kepribadian big five dan visual merchandising toko kosmetik The Body Shop
dengan impulsive buying pada wanita bekerja.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian ilmu
psikologi konsumen, khususnya tentang dimensi kepribadian big five, visual
merchandising toko kosmetik The Body Shop dan impulsive buying pada
wanita bekerja.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat diharapkan memiliki manfaat bagi :
a. Para wanita bekerja
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan refleksi bagi
wanita bekerja akan diri dan perilaku belanja mereka.
b. Bagi perusahaan
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai evaluasi
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Impulsive Buying
1. Definisi Impulsive Buying
Menurut Beatty & Ferrell (1998), impulse buying merupakan perilaku
pembelian yang terjadi secara spontan yang dilakukan pada saat itu juga, tanpa
memiliki perencaan sebelumnya untuk membeli produk pada kategori tertentu
atau hanya untuk memenuhi tuntutan belanja. Keputusan pembelian yang terjadi
secara spontan tersebut dapat terjadi karena adanya dorongan yang bersifat
memaksa, kuat, gigih untuk memiliki produk yang diinginkan dan disertai
dengan perasaan bahagia serta antusias (Rook, 1987).
Impulsive buying juga dapat dikatakan seperti buah pemikiran yang
tidak direfleksikan, perasaan yang sangat tertarik pada objek dan keinginan
serta kepuasaan sesaat (Hoch & Loewenstein, 1991; Thompson et al., 1990;
dalam Kacen & Lee, 2002). Pembeli impulsive buying biasanya cenderung
lebih subjektif dalam menyukai suatu barang (Rook & Gardner, 2003; Rook,
1987; Rook & Hoch,1985; dalam Kacen & Lee, 2002).
Karakteristik yang membedakan impulsive buying dengan variabel yang
hampir sama misalnya purchase behaviour atau time-pressured purchase
yang tidak rasional, dalam sebuah observasi konsumen yang impulsive dapat
menikmati tindakannya ketika melakukan pembelanjaan, walaupun
sebenarnya sadar bahwa tindakannya tidak tepat, setelah itu konsumen yang
impulsive dapat mengalami konsekuensi negatif setelah melakukan
pembelanjaan, karena sebelum melakukan tindakan belanja kurang
memperhatikan resiko kedepannya (Herabadi, Verplanken & Knippenberg,
2009).
Hal tersebut mencerminkan bahwa impulsive buying merupakan
kecenderungan pembelian yang tidak diharapkan, kurang berhati-hati dan
dorongan untuk melakukan pembeliannya sulit untuk ditahan (Kacen & Lee,
2002). Pembeli yang melakukan impulsive buying biasanya akan mengalami
konsekuensi negatif, misalnya merasa menyesal atau kecewa dengan produk
yang dibeli, merasa bersalah, mendapatkan kesulitan keuangan dan tidak
mendapatkan persetujuan atas produk yang dibeli oleh orang lain (Rook,
1987).
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa impulsive
buying adalah perilaku seseorang untuk melakukan aktivitas pembelian yang
terjadi secara spontan, terdapat dorongan yang kuat serta gigih untuk memiliki
produk yang disukai yang terjadi ketika ada rangsangan dan ketertarikan
emosional (perasaan bahagia, antusias) yang sulit untuk dikontrol dan terjadi
yang melakukan impulsive buying tidak melakukan perencanaan pembelian
sebelumnya dan kurang mempertimbangkan resiko kedepan.
2. Aspek-aspek impulsive buying
Perilaku impulsive buying memiliki dua aspek, yaitu aspek kognitif dan
aspek afektif. Kedua aspek tersebut merupakan komponen yang terdapat
dalam diri pembeli sehingga dapat memproses munculnya perilaku impulsive
buying (Herabadi, Verplanken & Knippenberg, 2009).
a. Aspek Kognitif
Aspek kognitif yang dimaksud adalah ketika individu kurang
merencanakan dan mempertimbangkan secara mendalam tujuan maupun
resiko melakukan pembelian (Verplanken & Herabadi, 2001). Dalam
konteks pembelian produk, mempertimbangan harga dan keuntungan yang
didapatkan oleh pembeli merupakan proses kognitif (Verplanken,
Herabadi & Knippenberg, 2009). Contohnya ketika pembeli berjalan-jalan
di pusat perbelanjaan dan tiba-tiba melihat adanya potongan harga atau
discount yang tinggi pada produk yang ditawarkan suatu toko, maka
proses kognitif pembeli yang impulsive akan bekerja ketika melihat
produk dengan discount yang menarik tersebut dan secara tiba-tiba
muncul keinginan untuk memiliki dan membeli produk tersebut tanpa
perencanaan dan pertimbangan kebutuhan secara matang (Coley &
mudah terpengaruh oleh stimulus-stimulus seperti potongan harga atau
discount tersebut, karena pembeli merasa tidak merencanakan dan
memiliki kebutuhan untuk membelinya.
b. Aspek Afektif
Aspek afektif yang dimaksud adalah ketika individu merasa tertarik
pada suatu produk disertai dengan perasaan senang, gembira, adanya
dorongan atau keharusan yang muncul untuk memiliki sesuatu yang
disukai, kurangnya kontrol dan terjadi penyesalan setelah melakukan
pembelian (Verplanken & Herabadi, 2001). Dalam kasus impulsive
buying, konflik yang biasa terjadi cenderung diakibatkan oleh aspek
afektif. Pada aspek ini, pembeli akan melakukan pembelian ketika melihat
produk yang disukai, pembeli memiliki perasan senang, bersemangat
untuk memiliki poduk tersebut demi memuaskan dirinya (Coley &
Burgess, 2003), sehingga pembeli yang cenderung impulsive buying
memiliki hasrat untuk mengesampingkan manfaat dari sesuatu yang dibeli
(Hirschman & Holbrook, dalam Herabadi, Verplanken & Knippenberg,
2009).
Berdasarkan aspek-aspek yang telah disampaikan, dapat disimpulkan
bahwa aspek pada impulsive buying adalah aspek kognitif dan afektif.
Aspek kognitif pada impulsive buying adalah individu melakukan
pertimbangkan resiko pembelian, hanya menekankan harga dan
keuntungan yang diperoleh. Sedangkan aspek afektif pada impulsive
buying adalah individu melakukan impulsive buying berdasarkan emosi
sesaat seperti, tertarik pada barang disertai rasa senang, terdorong untuk
harus memiliki produk yang disukai, kurangnya kontrol diri dan adanya
resiko mengalami penyesalan setelah membeli.
3. Faktor – Faktor yang mempengaruhi impulsive buying
a. Faktor Internal
Kepribadian yang didefinisikan sebagai organisasi yang dinamis atau
selalu berkembang dalam diri individu sebagai sistem kerja tubuh dan jiwa
yang tidak terpisah untuk menentukan cara yang khas dalam
menyesuaikan diri dalam lingkungan (Allport, 1951 dalam Suryabrata,
2006), diduga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi individu untuk
melakukan impulsive buying (Rook & Fisher, dalam Karbasivar &
Yarahmadi, 2011). Sebagai contohnya, sebuah produk dapat memiliki
nilai dan arti lain dibandingkan fungsinya sendiri, misalnya untuk
memenuhi hasrat untuk menunjukkan kepribadian atau memperlihatkan
gaya hidupnya (Belk, 1988; Dittmar, 1992, 2005; Higgins, 2002 dalam
Herabadi, Verplanken & Knippenberg, 2009).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lin & Chuang (2005),
dan Impulsive buying tendency. Emotional Intelligence (EI) merupakan
suatu kemampuan untuk beradaptasi, memahami, mengatur dan
mempergunakan emosi didalam diri maupun dengan orang oranglain (e.g.,
Caruso, Mayer, & Salovey, 2002; Salovey & Mayer, 1990; Schutte,
Malouff, Hall, Haggerty, Cooper, Golden, & Dornheim, 1998 dalam Lin
& Chuang, 2005). Diduga bahwa individu yang memiliki EI tinggi akan
signifikan memiliki perilaku impulsive buying yang rendah, sementara
individu yang memiliki EI rendah akan signifikan memiliki perilaku
impulsive buying yang tinggi (Lin & Chuang, 2005).
Selain itu, terdapat variabel psikologi lain yang dapat mempengaruhi
individu untuk melakukan impulsive buying, contohnya seperti motives,
yang didefinisikan sebagai alasan, sebab atau penggerak untuk melakukan
impulsive buying (Rook, 1987; Rook & Gardner dalam Herabadi dkk,
2009). Berbagai motives yang kuat dapat mempengaruhi munculnya
impulsive buying, contohnya seperti kurangnya penghargaan atau hadiah
yang didapat, kurangnya dukungan atau adanya rasa kurang nyaman pada
diri sendiri (Verplanken & Herabadi, 2001).
Faktor internal lain yang dapat memicu munculnya impulsive buying
adalah mood, yang mana mood dapat diartikan sebagai suasana hati atau
keadaan emosional konsumen yang positif akan membuat konsumen
merasa tertarik, suka dan loyal terhadap produk (Rook, 1987; Rook &
positif (senang) akan lebih terdorong untuk melakukan impulsive buying
dari pada sedang mengalami mood negatif (sedih). Munculnya perilaku
impulsive buying juga dapat dipicu oleh kontrol diri. Pembeli yang
memiliki kontrol diri rendah cenderung kurang dapat menahan atau
menolak stimulus yang memicu munculnya perilaku impulsive buying,
namun pembeli yang memiliki kontrol diri yang tinggi akan cenderung
dapat menahan atau menolak stimulus yang memicu munculnya impulsive
buying, jadi pembeli yang memiliki kontrol diri yang tinggi akan
cenderung membeli produk berdasarkan kebutuhan jangka panjang
(Baumeister, 2002).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa faktor internal yang dapat
mempengaruhi munculnya impulsive buying adalah kepribadian,
Emotional Intelligence (EI), Motives, Mood dan Kontrol diri.
b. Faktor Eksternal
Faktor ekternal yang mendorong munculnya impulsive buying juga
disebut sebagai environmental factor. Menurut penelitian terdahulu,
keberadaan suatu stimulus marketing dalam lingkungan toko untuk
menjual suatu barang atau jasa turut berperan untuk mendorong perilaku
impulsive buying konsumen (Dawson & Kim, 2009 dalam Maymand &
Ahmadinejad, 2011). Hal tersebut dapat terjadi karena stimulus marketing
tertarik untuk melakukan pembelian (Youn & Faber, 2000; Dawson and
Kim, 2009 dalam Maymand & Ahmadinejad, 2011).
Serupa dengan hal itu, ketika konsumen tertuju pada stimulus
promosi tersebut, mereka akan memiliki motivasi yang tinggi untuk
melakukan impulsive buying (Dholakia, 2000 dalam Maymand dan
Ahmadinejad, 2011). Bahkan tidak hanya untuk membuat konsumen baru
membeli produk sesuai dengan kebutuhan mereka saja, namun dapat
membuat konsumen melakukan impulsive buying pada produk yang biasa
hingga produk unggulan yang ditawarkan (Dawson & Kim, 2009).
Stimulus marketing yang biasanya dijumpai pada lingkungan toko
diantaranya seperti display, kemasan, gambar, warna produk,
pemandangan, suara, dan aroma (Eroglu & Machleit serta Mitchell, dalam
Karbasivar & Yarahmadi, 2011)
Jadi, dapat disimpulkan bahwa faktor ekternal yang dapat
mempengaruhi munculnya impulsive buying adalah adanya visual
merchandising pada lingkungan toko seperti: display, kemasan, gambar,
B. Kepribadian Big Five
1. Traits Kepribadian
Allport (dalam Hall & Gardner, 1993), menyatakan bahwa kepribadian
merupakan organisasi dinamis dalam diri individu yang menentukan cara
adaptasi diri yang khas terhadap lingkungannya. Selain itu, Allport juga
menjelaskan kepribadian ke dalam beberapa bagian. Pertama, kepribadian
tidak hanya bagian yang terpisah-pisah, namun kepribadian merupakan
sebuah kesatuan atau organisasi. Kedua, kepribadian tidak pasif, namun aktif,
dapat berkembang dan merupakan sebuah proses. Ketiga, kepribadian
merupakan suatu konsep psikologis. Keempat, kepribadian merupakan dasar
terjadinya perilaku individu, sehingga kepribadian dapat membantu
menunjukkan bagaimana cara orang berinteraksi atau berhubungan dengan
lingkungan luar. Kelima, kepribadian merupakan kumpulan sifat pada diri
individu dan umumnya bersifat konsisten yang dapat terlihat melalui cara
individu dalam menganggapi stimulus. Keenam, kepribadian tidak hanya
dapat terlihat melalui satu cara, kepribadian dapat terlihat melalui pikiran,
perasaan dan perbuatan individu.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami
kepribadian adalah dengan menggunakan teori traits, yang mana teori traits
tersebut merupakan sebuah model yang dapat mengidentifikasi traits atau
individu tersebut (Mastuti, 2005). Traits merupakan gaya dari setiap individu
untuk menyesuaikan diri dan mengikatkan diri pada dunia sosialnya, tentang
bagaimana gaya individu dalam memecahkan masalah atau mengerjakan
berbagai hal, bagaimana ciri khas individu dalam berpikir dan bagaimana
individu merasakan berbagai secara kompleks (McAdams & Pals, 2006).
Berdasarkan teori-teori tersebut dapat disimpulkan bahwa traits
merupakan dimensi yang menetap dari karakter kepribadian dan dapat
menggambarkan perilaku yang ditunjukkan oleh individu, oleh sebab itu traits
dapat dipakai untuk membedakan individu yang satu dengan yang lain.
2. Kepribadian Big Five
Salah satu pendekatan yang terkenal untuk mempelajari traits
kepribadian adalah dengan traits kepribadian big five. Menurut McCrae &
John (1991) big five didefinisikan sebagai hirarki atau susunan organisasi dari
traits kepribadian yang memiliki lima dasar dimensi yaitu: Neuroticism,
Ekstraversion, Openness to Experience, Agreeableness & Conscientiousness.
Berdasarkan review Susana (2014), sejarah munculnya big five tersebut
bermula dari adanya beberapa peneliti yang bekerja pada tim yang
berbeda-beda dan menghasilkan lima dimensi (traits) yaitu Tupes & Cristal, Goldberg,
Cattel serta Costa & McCrae. Dari penelitian tersebut mendapatkan hasil
bahwa semua studi saling memiliki korelasi yang sangat tinggi. Lima dimensi
(E), Openess to Experience (O). Agreeablesness (A) dan Conscientiousness
(C). Berdasarkan lima dimensi tersebut telah dikembangkan berbagai model
alat ukur kepribadian, salah satu contohnya adalah NEO-PI-R (Costa &
McCrae, 1992).
Berdasarkan teori –teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kepribadian
big five adalah suatu susunan organisasi pembentuk kepribadian yang
tersusun atas lima dimensi, yaitu: Neuroticism, Ekstraversion, Openness to
Experience, Agreeableness & Conscientiousness.
3. Dimensi dan Facet Kepribadian Big Five
Menurut Costa & McCrae (1992), traits kepribadian telah
dikelompokkan menjadi lima dimensi yang disebut dengan big five. Setiap
dimensi dari big five terdiri dari beberapa facet. Facet adalah trait yang lebih
spesifik, yang merupakan komponen-komponen dari kelima faktor tersebut.
Costa & McCrae (1992) menjelaskan bahwa setiap faktor dari big five
memiliki 6 facet. Dimensi- dimensi dan facet-facet dalam big five tersebut
adalah :
a) Neuroticism
Dimensi ini menilai kestabilan dan ketidakstabilan emosi. Sehingga
dapat mengidentifikasi tingkat kerentanan individu dalam mengalami
stress, memiliki ide-ide yang tidak realistis, memiliki coping response
2001). Individu yang memiliki kestabilan emosi yang positif cenderung
berciri tenang, semangat dan merasa dirinya aman. Sementara individu
yang memiliki kestabilan emosi yang negatif cenderung merasa gelisah,
tertekan dan merasa tidak dirinya tidak aman ( Robbins, 2001). Dimensi
Neuroticism terdiri dari 6 facet yang meliputi :
1.) Anxiety atau kecemasan
2.) Self-consciousness atau kesadaran diri
3.) Depression atau depresi
4.) Vulnerability atau rawan terluka (kerentanan hati)
5.) Impulsiveness atau impulsif (menuruti kata hati)
6.) Angry hostility atau amarah untuk bermusuhan
b) Extraversion
Dimensi ini menilai kuantitas dan intensitas interaksi sosial, level
aktivitas, kebutuhan akan dukungan orang lain dan kemampuan untuk
merasa bahagia (Costa & McCrae 1985; 1990 dalam Pervin & John,
2001). Sehingga dapat menunjukkan tingkat kesukaan individu akan
hubungan. Individu yang ekstraversinya tinggi cenderung ramah, terbuka
dan suka meluangkan waktu untuk menikmati & mempertahankan
hubungan dengan lingkungan sosialnya. Sementara, individu yang
ekstraversinya rendah atau disebut dengan introvert, cenderung kurang
hubungan yang sedikit dengan lingkungan sosialnya ( Robbins, 2001).
Dimensi extraversion terdiri dari 6 facet yang meliputi:
1.) Gregariousness atau suka berkumpul
2.) Activity level atau suka beraktivitas
3.) Assertiveness atau asertif
4.) Excitement seeking atau mencari kesenangan
5.) Positive emotions atau emosi positif
6.) Warmth atau kehangatan
c) Openness to Experience
Dimensi ini menilai pencarian proaktif dan tingkat penghargaan diri
terhadap usaha dan pengalaman yang dilakukan oleh individu. Sehingga
dapat menilai bagaimana individu dapat menggali sesuatu yang baru
(Costa & McCrae 1985; 1990 dalam Pervin & John, 2001). Dengan kata
lain, dimensi ini menilai minat individu, yang mana individu yang
memiliki suka akan hal baru dan inovasi, maka akan cenderung menjadi
imajinatif, sensitif dan intelek. Sementara individu yang berkebalikan
kategori keterbukaannya akan nampak lebih konvensional dan
menemukan kesenangan dalam keakraban hubungan (Robbins, 2001).
Dimensi Openness to Experience ini terdiri dari 6 facet yang meliputi :
1.) Fantasy atau khayalan
2.) Aesthetic atau keindahan
4.) Ideas atau ide
5.) Actions atau tindakan
6.) Values atau nilai-nilai
d) Agreeableness
Dimensi ini menilai kualitas orientasi individu dari mulai tingkat
lemah lembut sampai antagonis didalam berperasaan, berpikir dan
berperilaku (Costa & McCrae 1985; 1990 dalam Pervin & John, 2001).
Individu yang sangat mampu bersepakat akan lebih menghargai
kekompakan, mereka tergolong kooperatif dan percaya pada orang lain.
Sementara, individu yang nilai kemampuan untuk bersepakat rendah akan
lebih memusatkan perhatian pada pada kebutuhan mereka sendiri dari
pada kebutuhan orang lain (Robbins, 2001). Dimensi agreeableness ini
terdiri dari 6 facet yang terdiri dari:
1.) Straightforwardness atau berterus terang
2.) Trust atau percaya
3.) Altruism atau berperilaku menolong
4.) Modesty atau bersahaja
5.) Tendermindedness atau berhati lembut
6.) Compliance atau penurut
e. Conscientiousness
Dimensi ini menilai kemampuan individu dalam organisasi, motivasi
dalam Pervin & John, 2001). Dimensi ini merujuk pada jumlah tujuan
yang menjadi pusat perhatian individu. Jika individu memiliki skor yang
tinggi, maka akan cenderung mendengarkan kata hati, cenderung
bertanggung jawab, gigih, tergantung dan berorientasi pada prestasi.
Sementara, individu yang memiliki skor rendah akan cenderung lebih
kacau pikirannya, mengejar banyak tujuan dan lebih hedonis (Robbins,
2001). Dimensi conscientiousness ini memiliki 6 facet yang terdiri dari;
1. Self-dicipline atau disiplin diri
2. Dutifulness atau patuh
3. Competence atau kompetensi
4. Order atau keteraturan
5. Deliberation atau pertimbangan
6. Achievement striving atau pencapaian prestasi
4. Pengaruh atau Dampak Kepribadian Big Five
Saat ini perkembangan riset mengenai kepribadian big five sangat pesat,
hal tersebut dibuktikan dengan adanya berbagai penelitian yang menunjukkan
bahwa banyak variabel yang mampu di diukur dengan traits kepribadian big
five (Mastuti, 2005). Contoh variabel yang dapat diteliti dengan big five
adalah kreativitas. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Widhiastuti
(2014) menunjukkan bahwa dimensi extraversion, agreeableness dan
hasil penelitian yang menunjukkan pengaruh yang significant antara
masing-masing dimensi big five dengan engagement coping dan disengagement
coping (Siswanto, 2013).
Beberapa penelitian menunjukkan hasil bahwa dimensi kepribadian big
five berkorelasi dengan impulsive buying. Verplanken & Herabadi (2001),
menyatakan hasil penelitiannya yang menggunakan dimensi big five bahwa
individu yang impulsive buying cenderung memiliki tipe atau indikasi
extravers, low conscientiousness (pikiran kacau, mengejar banyak tujuan,
hedonis) dan lebih suka atau cenderung mengambil keputusan secara
individual tanpa ada pertimbangan dari oranglain.
Dimensi openness to experience mencakup perilaku ingin tahu dengan
pencarian proaktif, sehingga dapat menilai bagaimana individu dapat
menggali sesuatu yang baru (Costa & McCrae 1985; 1990 dalam Pervin &
John, 2001). Ketika individu memiliki perilaku rasa ingin tahu yang tinggi
disertai dengan pencarian proaktif, berarti individu memiliki kontrol kognitif
yang tinggi. Hal tersebut berhubungan negatif dengan perilaku impulsive
buying. Menurut Verplanken & Herabadi (2001), individu yang melakukan
impulsive buying lebih mengikuti dorongan emosionalnya dari pada
kognitifnya. Sehingga individu yang memiliki openness to experience yang
tinggi cenderung tidak melakukan impulsive buying.
Pada penelitian Iskandar & Zulkarnain (2013) juga mendapatkan hasil
kontrol diri terhadap lingkungannya. Rasa menyesal terhadap produk yang
akan dibeli merupakan dampak dari kontrol diri yang rendah terhadap suatu
pembelian. Individu dengan kontrol diri yang rendah kurang memperhatikan
cara-cara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi dan
kurang mampu mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan situasi sosial
(Zulkarnain, 2002). Kontrol diri yang rendah terhadap pembelian dapat
mengakibatkan dampak yang kurang baik. Tanpa kontrol diri yang tinggi,
besar kemungkinan terjadinya penyesalan (Melati & Widjaja, 2007). Rasa
menyesal terhadap produk yang dibeli merupakan dampak dari kontrol diri
yang rendah terhadap suatu pembelian.
Berdasarkan penelitian Iskandar & Zulkarnain (2013) tersebut,
didapatkan hasil bahwa dimensi extraversion merupakan individu yang lebih
banyak mencari informasi mengenai produk yang akan dibeli. Engel,
Blackwell, dan Miniard (1995) menyatakan bahwa pembelian yang dilakukan
oleh individu mungkin dipengaruhi oleh anggota keluarga lainnya dalam
keluarga. Engel et al. (1995) menyatakan tentang perilaku individu sebagai
konsumen yang sering dipengaruhi oleh orang lainnya seperti teman sebaya
dalam mempengaruhi pro-duk yang akan dipilihnya. Creyer dan Ross (1999)
menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi penyesalan adalah faktor
afektif atau keterlibatan individu dalam proses pembelian. Dari uraian
men-cari informasi tentang suatu produk se-hingga dapat meminimalisir
tingkat penyesalan dalam dirinya.
Selanjutnya pada penelitian Iskandar & Zulkarnain (2013) tersebut
mendapatkan hasil bahwa agreeableness memiliki adaptasi yang
mengindikasikan individu yang ramah cenderung memiliki kepribadian yang
selalu mengalah, menghindari konflik dan mengikuti orang lain atau
konformitas (McCrae & Costa, 1997; Pervin & John, 2005). Penyesalan pasca
pembelian dapat terjadi ketika individu tidak memikirkan atau tidak menaruh
perhatian yang cukup pada produk yang akan dibelinya. Dengan kata lain,
penyesalan pasca pembelian timbul sebagai akibat pertimbangan yang kurang
akan produk yang akan dibeli sehingga individu tersebut dapat terkena
konsekuensi negatif atau menyesal setelahnya (Zeelenberg & Pieters, 2007).
Kecenderungan untuk mengikuti orang lain atau konformitas pada saat
membeli produk bisa menyebabkan individu yang bersangkutan tidak
memperhatikan kebutuhannya akan produk tersebut, tidak memperhatian
kualitas, serta tidak men-cari tahu tentang produk yang akan dibeli sehingga
individu tersebut dapat menga-lami penyesalan setelah membeli. Individu
dengan dimensi agreeableness dapat mengalami penyesalan karena kurangnya
pertimbangan pada saat membeli suatu produk sebab adanya dorongan dari
orang yang akhirnya akan mempengaruhi peri-lakunya untuk beralih pada
Kemudian yang hasil yang terakhir pada penelitian Iskandar &
Zulkarnain tersebut adalah dimensi neuroticm, menurut Costa dan McCrae
(1997), kepribadian neuroticism yang dapat diklasifikasikan yakni memiliki
sifat mudah marah, harga diri rendah, kecemasan sosial, perasaan takut,
sangat mudah khawatir, cemas dan tidak konsisten (inconsistent). Zeelenberg
dan Pieters (2007) menyatakan bahwa penyesalan dapat terjadi karena adanya
pertimbangan yang kurang tentang suatu produk yang disebabkan oleh
perilaku tidak konsisten pada saat membeli produk. Perilaku yang tidak
konsisten merupakan sifat yang dimiliki individu dengan dimensi neuroticism.
C. Visual Merchandising
1. Definisi Visual Merchandising
Visual merchandising didefinisikan sebagai sebuah presentasi barang
dagangan dalam toko dengan memberikan koordinasi warna, aksesoris atau
hiasan dan sesuatu yang dapat menjelaskan keterangan mengenai produk
yang dijual dengan sebaik mungkin (Pegler, 2006 dalam Taksiran, 2012).
Selain itu, visual merchandising dideskripsikan sebagai segala sesuatu yang
dapat dilihat oleh konsumen pada bagian interior maupun eksterior yang
membuat citra bisnis menjadi positif dimata konsumen dan hasilnya
konsumen menjadi memperhatikan, tertarik, menginginkan dan diakhiri
dengan bertindak (Bastowshoop et al, 1991 dalam Bhatti & Latif, 2013).
For Rural Development (1991) Visual Merchandising adalah segala sesuatu
yang dapat dilihat pembeli pada bagian eksterior maupun dari interior dari
sebuah toko. Dari hal tersebut diharapkan dapat menciptakan suatu kesan
menarik, sehingga pelanggan memiliki perhatian, ketertarikan dan hasrat
untuk melakukan pembelian.
Pegler (2006 dalam Taksiran, 2012) memberikan pernyataan bahwa
visual merchandising memiliki peran yang sangat penting karena dapat
membantu memastikan ketertarikan konsumen sampai akhirnya dapat
menghubungkan konsumen secara personal dengan produk yang dijual. Hal
tersebut dikarenakan visual merchandising menggunakan komunikasi visual
dengan menggunakan tema atau karakter yang ingin dicitrakan pada produk
atau merek yang dijual (Taksiran, 2012). Visual merchandising pada
bagian-bagian tertentu misalnya seperti display, banners dll akan berubah sesuai
dengan musim, promosi spesial atau acara khusus tertentu yang sedang
menjadi tema pada toko tersebut. Adanya pengembangan lingkungan toko
yang pada khususnya adalah visual merchandising akan memberikan
pengaruh pada keputusan pembelian melalui emosi dan kognisi konsumen
(Taksiran, 2012).
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa visual merchandising
adalah sesuatu yang digunakan untuk menarik perhatian konsumen sehingga
2. Aspek - aspek Visual merchandising
Visual merchandising memiliki dua aspek, yaitu aspek eksterior dan
aspek interior. Koordinasi kedua aspek tersebut akan membentuk visual
merchandising pada toko.
a. Aspek ekterior visual merchandising
Menurut North Central Region Center For Rural Development
(1991), aspek eksterior visual merchandising adalah suatu keadaan luar
toko yang dirancang sedemikian rupa untuk dapat menarik perhatian,
membuat minat sehingga dapat mengundang konsumen untuk masuk ke
dalam toko. Secara umum, menurut Bhatti & Latif (2013); H&M Official
Website (2010 dalam Taksiran, 2012) komponen yang mengisi aspek
eksterior visual merchandising adalah :
1) Brand Shop : Nama atau merk sebuah toko merupakan simbol atau
tanda akan kualitas dari toko tersebut (as cited in Varela et.al, 2010).
Brand shop biasanya diletakkan di atas pintu toko, sehingga publik
bisa melihat brand shop sebagai sarana komunikasi toko terhadap
2) Windows Display : Jendela display merupakan bagian yang penting
untuk mempromosikan produk kepada konsumen, hal ini dikarenakan
windows display merupakan tempat atau bagian pertama yang akan
membuat kesan pada konsumen mengenai produk yang dilihat
sebelum memasuki area interior toko, berikut contoh gambarnya :
Menurut North Central Region Center For Rural Development
(1991); aspek interior visual merchandising adalah sebuah desain yang
dibuat sedemikian rupa di dalam toko untuk menaruh sesuatu yang
tersedia di dalam toko agar terlihat menarik. Secara umum menurut
Taksiran (2012) komponen yang mengisi aspek interior adalah :
1) Displays Design : displays design merupakan salah satu yang penting
diperhatikan dalam presentasi produk. Konsumen akan tertarik untuk
membeli produk jika desain atau model presentasi produk dapat
terlihat menarik, berikut contoh gambarnya:
2) Colour : warna merupakan motivasi terbesar konsumen untuk
berbelanja (Peger,2006) hal tersebut dikarenakan warna bisa
mengubah mood. Warna dapat mengubah kondisi perasaan seseorang
dan setiap warna memiliki keistimewaan tersendiri, berikut contoh
3) Lighting : Pencahayaan merupakan bagian yang harus diperhatikan,
agar produk yang dilihat oleh karena berkesan positif. Pencahayaan
yang kurang akan membuat konsumen mempertimbangkan keputusan
belanjanya, sedangkan pencahayaan yang terlalu berlebihan akan
membuat konsumen merasa tidak nyaman, berikut contoh gambarnya :
4) Signage : Merupakan sarana yang menginformasikan tentang produk
yang dijual, agar konsumen semakin merasa jelas mengenai informasi
3. Dampak Visual Merchandising
Pengembangan visual merchandising khususnya di lingkungan toko,
akan memberikan pengaruh pada keputusan pembeli melalui emosi dan
kognisi konsumen (Taksiran, 2012). Menurut Yolande & Michael (2013),
visual merchandising yang sukses akan berdampak pada emosi pelanggan,
terkadang secara tidak sadar pelanggan melakukan pembelian tergantung
pada pembawaan mood dari dirinya sendiri. Oleh sebab itu, terkadang
penggerak para pengunjung datang ke toko adalah untuk mengubah mood
menjadi lebih baik. Selain itu, dengan adanya pengembangan visual
merchandising akan membuat pengunjung tertarik dan termotivasi untuk
melakukan pembelian secara terencana ataupun impulsive buying (Yolande &
Michael, 2013). Pada penelitian tersebut pengunjung toko menyampaikan
bahwa mereka merasa ingin membeli, walaupun tidak memiliki kebutuhan
pengembangan visual merchandising karena dapat mengarahkan pengunjung
untuk membeli produk yang spesifik.
Penelitian Bhatti & Latif (2013) menunjukkan hasil bahwa adanya
window display akan mempengaruhi pelanggan untuk melakukan impulsive
buying. Hal ini dikarenakan ketika konsumen secara visual melihat display
maka akan menimbulkan dorongan pada konsumen untuk melakukan
impulsive buying. Selain itu, forum display juga dapat menimbulkan impulsive
buying, ketika pengunjung masuk ke dalam toko dan melihat berbagai variasi
produk maka akan menstimulasi pengunjung untuk melakukan pembelian
yang tidak terencana. Sementara, floor merchandising juga dapat memicu
pengunjung untuk melakukan impulsive buying. Selain itu, menurut penelitian
tersebut shop brand juga memiliki hubungan yang erat dengan impulsive
buying, hal ini dikarenakan ketika sebuah brand dari toko dapat sukses
mengembangkan loyalitas konsumen, maka setiap konsumen yang melihat
brand tersebut akan terstimulasi untuk melakukan pembelian yang tidak
terencana.
D. Wanita Bekerja
1. Definisi wanita bekerja
Menurut Van Vuuren (dalam Dwijanti, 1999) wanita bekerja adalah