• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dissenting Opinion Sebagai Bentuk Kebebasan Hakim dalam Membuat Putusan Pengadilan guna Menemukan Kebenaran Materiil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Dissenting Opinion Sebagai Bentuk Kebebasan Hakim dalam Membuat Putusan Pengadilan guna Menemukan Kebenaran Materiil"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)

Dissenting Opinion sebagai Bentuk Kebebasan Hakim dalam Membuat

Putusan Pengadilan guna Menemukan Kebenaran Materiil

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

HENNY HANDAYANI SIRAIT

NIM.100200174

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)
(3)

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

memberikan rahmat serta perlindungannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan karya tulis ini yang berjudul “Dissenting opinion sebagai Bentuk

Kebebasan Hakim dalam Membuat Putusan Pengadilan guna Menemukan

Kebenaran Materiil ”.

Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk untuk memenuhi salah satu syarat

guna memperoleh gelar sarjana hukum program studi ilmu hukum konsentrasi

hukum pidana.

Seperti kata pepatah bangsa Indonesia bahwa tidak ada gading yang tidak

retak, penulis juga menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, penulis

dengan segala kerendahan hati mengakui keterbatasan keilmuan, waktu, tenaga

serta literatur bacaan. Namun dengan ketekunan, tekad dan rasa ingin tahu

terhadap , akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini.

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung

sitepu S.H., M.Hum.

3. Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof.

Dr. Budiman Ginting S.H., M.H

4. Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak

(4)

5. Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr.

Oka Saidin S.H., M.Hum.

6. Ketua Departemen Hukum Pidana, Bapak Dr. Muhammad Hamdan S.H., M.H.

7. Dosen Pembimbing I, Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin S.H., M.H

8. Dosen Pembimbing II, Bapak Dr. Mahmud Mulyadi S.H., M.Hum.

Semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi

positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dibidang hukum pidana dan

menumbuhkan semangat dan kecintaan kepada bidang ilmu hukum pidana dimasa

depan.

Medan, 14 Juli 2014

(5)

Abstrak

Perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam putusan pengadilan merupakanbentuk ekspresi filsafat, keyakinan, kepribadian, pandangan dan keilmuan seorang hakim dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya.Dissenting opinionlahir dari praktik penemuan hukum yang pada dasarnya tidak terlepas dari misi suci yang diemban oleh hakim dalam rangka “waarheidsvinding” (penemuan kebenaran).

Dissenting opinionmerupakan bentuk kebebasan eksistensial hakim.Kebebasan eksistensial ini mendorong hakim untuk mewujudkan eksistensinya secara kreatif dengan merealisasikan pandangannya secara otonom, mandiri, berdikari dan tanpa adanya tekanan yang menghambatnya dalam menemukan kebenaran materiil. Kebebasan eksistensial hakim bukan merupakan kebebasan tanpa batas melainkan kebebasan yang disertai rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial sesuai dengan etika, norma, hukum, dan kesadaran akan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada sesama manusia, serta bangsa dan negara. Kebebasan ini merupakan kebebasan yang berdimensi pancasila.

(6)

Daftar Isi

HALAMAN JUDUL ……… i

HALAMAN PENGESAHAN ……….. ii

KATA PENGANTAR ………. iii

ABSTRAK ……… v

DAFTAR ISI ……… vi

BAB I: Pendahuluan A. LatarBelakangMasalah ………. 1

B. Perumusan Masalah……… 5

C. TujuanPenelitian ……… 6

D. ManfaatPenelitian ………. 6

E. Metodologi Penelitian ……… 7

F. Tinjauan Pustaka ……… 11

G. Sistematika Penulisan ……… 31

BAB II: Konsepsi Dissenting Opinion Dalam Peraturan Perundang-UndanganDalam Membuat Putusan Pengadilan A. TinjauanTentang PutusanPengadilan ……… 34

1. Proses Penjatuhan Putusan Pengadilan ……… 34

2. TeoriPembuatanPutusan ………. 46

3. Aspek Yang TerkandungDalamPutusan ………. 52

(7)

B. Konsepsi Dissenting Opinion………. 65

1. SejarahPenerapanKonsepDissenting Opinion ……….. 65

2. DinamikaPenerapan Dissenting Opinion Di Indonesia ….. 74

3. KonsepDissenting Opinion Di Berbagai Negara …………. 74

Bab III: Konsepsi Kebebasan Hakim Dalam Membuat Putusan Pengadian

Guna Menemukan Kebenaran Materiil

A. PersfektifKebebasan Hakim ……….. 91

1. Hakikat Kebebasan Hakim ……….. 91

2. KebebasanDalamPersfektifPancasila ……… 96

3. Independensi Dan ImparsialitasKekuasaanKehakiman …. 98

4. Kebebasan Personal Hakim……….. 103

B. Persfektif Kebebasan Hakim Dalam Penemuan Kebenaran Materiil

1. HakikatPenemuanHukum ... 114

2. AliranPenemuanHukum ... 118

3. MetodePenemuanHukum ... 122

4. Faktor Yang MempengaruhiPenemuanKebenaran Materiil131

C. Kendala Kebebasan Hakim dalam Penemuan Kebenaran

Materiil ... 134

BAB IV: Penerapan Konsepsi Dissenting Opinion dalam Berbagai Putusan

Pengadilan di Indonesia Sebagai Bentuk Kebebasan Eksistensial

Hakim

A. Penerapan Dissenting Opinion dalam Peraturan

(8)

B. Praktik Penerapan Dissenting Opinion dalam Berbagai Putusan

Pengadilan ... 147

C. Makna Penting DissentingOpinion Dalam Penemuan Kebenaran

Materiil……… 150

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 154

B. Saran... 155

(9)

Abstrak

Perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam putusan pengadilan merupakanbentuk ekspresi filsafat, keyakinan, kepribadian, pandangan dan keilmuan seorang hakim dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya.Dissenting opinionlahir dari praktik penemuan hukum yang pada dasarnya tidak terlepas dari misi suci yang diemban oleh hakim dalam rangka “waarheidsvinding” (penemuan kebenaran).

Dissenting opinionmerupakan bentuk kebebasan eksistensial hakim.Kebebasan eksistensial ini mendorong hakim untuk mewujudkan eksistensinya secara kreatif dengan merealisasikan pandangannya secara otonom, mandiri, berdikari dan tanpa adanya tekanan yang menghambatnya dalam menemukan kebenaran materiil. Kebebasan eksistensial hakim bukan merupakan kebebasan tanpa batas melainkan kebebasan yang disertai rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial sesuai dengan etika, norma, hukum, dan kesadaran akan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada sesama manusia, serta bangsa dan negara. Kebebasan ini merupakan kebebasan yang berdimensi pancasila.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam putusan pengadilan

merupakan esensi kebebasan personal hakim dalam menemuan kebenaran

materiil.Perbedaan pendapat merupakan cerminan independensi kekuasaan

kehakiman dalam melaksanakan fungsinya dan sebagai instrumen untuk

mengetahui apakah suatu tindak pidana benar-benar dinilai dan dievaluasi

dalam rangka menegakkan cita hukum (rechtsidee) yang bernuansa keadilan,

kepastian hukum dan kemanfaatan.

Dissenting opinion sebagai bentuk kebebasan eksistensial hakim yang

merupakan salah satu jenis kebebasan yang paling tinggi dan mencakup

seluruh eksistensi dan pribadi hakim yang tidak terbatas terhadap satu aspek

saja.Kebebasan eksistensial ini mendorong hakim untuk mewujudkan

eksistensinya secara kreatif dengan merealisasikan pandangannya secara

otonom, mandiri, berdikari dan tanpa adanya tekanan yang menghambatnya

berkreasi dalam menemukan kebenaran materiil.

Makna kebebasan eksistensial hakim bukan merupakan kebebasan tanpa

batas melainkan kebebasan yang disertai rasa kesadaran dan tanggung jawab

sosial sesuai dengan etika, norma, hukum, dan kesadaran akan tanggung jawab

(11)

negara. Sehingga meskipun bebas, tetapi tidak sampai melanggar

norma-norma, etika, hukum, serta hak dan tanggung jawab selaku warga negara.

Melalui kebebasan tersebut, hakim melakukan penemuan hukum yang

merupakan bentuk ekspresi filsafat, keyakinan, kepribadian, pandangan dan

keilmuan seorang hakim dalam memutus perkara yang diajukan

kepadanya.Praktik penemuan hukum tidak terlepas dari misi suci yang

diemban oleh hakim dalam rangka “waarheidsvinding” (penemuan kebenaran).

Dalam rangka mewujudkan waarheidsvinding, hakim tidak terlepas dari

sistem hukum eropa kontinental yang dianut oleh Indonesia.Prinsip utama yang

terdapat dalam sistem hukum eropa kontinental ini yaitu hukum memperoleh

kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang

yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi. Selain peraturan

perundang-undangan, terdapat juga beberapa sumber hukum lain yang dijadikan hakim

sebagai sumber penemuan hukum, antara lain hukum kebiasaan, yurisprudensi,

perjanjian internasional, dan doktrin.

Dalam menetapkan hukum terhadap pihak yang diajukan kepersidangan,

hakim melakukan penyesuaian norma-norma yang dimuat dalam

sumber-sumber hukum dengan kejadian konkrit.Dalam pelaksanaan hukum acara

pidana, adakalanya sumber hukum berupa undang-undang sering kali sulit

dipahami (elusive term); tidak jelas artinya (unclear term); kabur dan samar

(vague outline); atau mengandung pengertian yang ambiguitas (ambiquity), hal

ini dapat menghambat penemuan kebenaran materiil. Selain itu undang-undang

(12)

melanggar atau mengancam hak asasi manusia; atau isinya bertentangan

dengan akal sehat (contrary to common sense); dan adakalanya pula ketentuan

undang-undang tidak mengatur permasalahan yang terjadi dimasyarakat serta

menimbulkan akibat yang tidak layak karena undang-undang tersebut

terlampau formalistik, tidak sederhana dan tidak mudah dipahami, sehingga

tidak dapat memberi kepastian, begitu juga sumber hukum lainnya. Oleh

karena itu sangat dibutuhkan peranan hakim yang bersifat lebih aktif dalam

rangka menemukan kebenaran materiil.

Oleh karena itu apabila undang-undang tidak dapat diterapkan hakim

secara tepat menurut kata-kata undang-undang, maka hakim harus menafsirkan

undang-undang itu.Apabila undang-undang tidak jelas, maka hakim wajib

melakukan penemuan huku, sehingga dapat dibuat suatu keputusan hukum

yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yaitu mencapai

kepastian hukum.

Dalam menetapkan hukum, terdapat banyak metode yang digunakan oleh

hakim antara lain metode interpretasi dan juga metode konstruksi hukum. Pada

tahap inilah hakim dapat mengekspresikan filsafat keilmuannya, keyakinannya,

kepribadian, pengalaman dan pandangannya.Konsekuensi logis dari kebebasan

eksistensial hakim ini adalah terjadinya perbedaan pendapat dalam pembuatan

keputusan.

Perbedaan pendapat yang terjadi dalam musyawarah majelis hakim pada

dasarnya tidak bertentangan dengan hukum acara pidana, justru dalam KUHAP

(13)

hakim sebagai cerminan kebebasan hakim.Hal ini dapat kita lihat pada Pasal

182 ayat (5) “Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan

pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua,

sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua

majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan dan alasannya”.

Selanjutnya dalam pasal 182 ayat (6), “Pada asasnya putusan dalam

musyawarah majelis merupakan hasil pemufakatan bulat kecuali jika hal itu

setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat tercapai, maka

berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Putusan diambil dengan suara terbanyak;

b. Jika ketentuan huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih

adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa”. Pasal 182

ayat (7) KUHAP “Pelaksanaan pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (6) dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus

untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia”.

Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4) memberikan

kesempatan terjadinya perbedaan pendapat para hakim dalam memeriksa suatu

perkara, apabila terdapat perbedaan pendapat diantara hakim maka putusan

akan diambil dengan jalan voting atau kalau hal ini tidak memungkinkan,

pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa yang akan dipakai

dalam putusan. Sedangkan bagi hakim anggota yang kalah suara dalam

(14)

dapat menuliskan pendapatnya yang berbeda dengan putusan dalam buku

khusus yang dikelola oleh ketua pengadilan negeri dan bersifat rahasia.

Kebebasan hakim (independency of judiciary) dalam berpendapat terkait

perkara yang ditangani dan pencantuman perbedaan pendapat sebagaimana

diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48

Tahun 2009 sebagai payung hukum pranata dissenting opinion tersebut, pada

dasarnya merupakan hakikat kebebasan eksistensial hakim yang disertai rasa

kesadaran dan tanggung jawab sosial sesuai dengan etika, norma, hukum, dan

kesadaran akan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada sesama

manusia, serta bangsa dan negara.

Dalam penelitian ini penulis akan mengkaji bagaimana pengaturan

tentang konsepsi dissenting opinion dan penerapannyadalam peraturan

perundang-undangandalam membuat putusan pengadilan dan mengkaji

mengenai kebebasan hakim dalam membuat putusan pengadian guna

menemukan kebenaran materiil

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka penulis

tertarik untuk membahas permasalahan tersebut dalam bentuk skripsi dengan

judul: “Dissenting opinion sebagai Bentuk Kebebasan Hakim dalam

Membuat Putusan Pengadilan guna Menemukan Kebenaran Materiil ”.

B.Perumusan Masalah

Berangkat dari uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan

(15)

1. Bagaimanakah konsepsi dissenting opiniondalam peraturan

perundang-undangandalam membuat putusan pengadilan?

2. Bagaimanakah konsepsi kebebasan hakim dalam membuat putusan

pengadilan guna menemukan kebenaran materiil?

3. Bagaimanakah penerapan konsepsidissenting opinion dalam berbagai

putusan pengadilan di Indonesia sebagai bentukkebebasan eksistensial

hakim?

C.Tujuan Penelitian

Perumusan tujuan penulisan berkaitan erat dalam menjawab

permasalahan yang menjadi fokus penulisan. Adapun tujuan yang ingin dicapai

dari penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis konsepsi dissenting opiniondalam

peraturan perundang-undangandalam membuat putusan pengadilan.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis konsepsi kebebasan hakim dalam

membuat putusan pengadian guna menemukan kebenaran materiil.

3. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis penerapan

konsepsidissenting opinion dalam berbagai putusan pengadilan di Indonesia

sebagai bentukkebebasan eksistensial hakim.

D.Manfaat Penelitian

Penelitian ilmu hukum mempunyai dua aspek yaitu praktikal dan teoritis.

(16)

bahan-bahan hukum. Sedangkan fungsi teoritikal bertujuan menghasilkan doktrin yang memberikan preskripsi tentang bagaimana interpretasi seharusnya dilakukan terhadap suatu kaidah dalam sistem hukum yang penelitiannya akan lebih banyak mengacu kepada doktrin-doktrin hukum yang dikembangkan oleh yuris terkemuka dalam rangka menghasilkan konsep/teori baru atau mempertajam konsep/teori lama dengan mengacu kepada bahan-bahan hukum yang kebayakan berupa buku-buku hukum seperti treatise, rechtsboek bukan wetboek, tulisan pada jurnal hukum, hasil penelitian hukum dari para yuris.1

1. Menjawab rumusan masalah yang diajukan penulis terkait konsepsi

dissenting opinion dalam putusan pengadilan, persfektif kebebasan hakim

dalam penemuan kebenaran materiil dan konsepsidissenting opinion

sebagai bentukkebebasan eksistensial hakim.

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain:

2. Memberikan sumbangsih pemikiran akademis atau teoritis terhadap upaya

pengkajian, penelaan, pengembangan ilmu hukum yang berkaitan dengan

substansi penerapan konsep dissenting opinion, kebebasan hakim dalam

penemuan kebenaran materiil di Indonesia.

3. Menstimulus akademisi untuk lebih giat lagi dalam mengkaji dan menelaah

konsep dissenting opinion, kebebasan hakim dalam penemuan kebenaran

materiil dalam sistem hukum Indonesia.

E.Metodologi Penelitian

Metode merupakan unsur mutlak yang harus ada di dalam pelaksanaan

kegiatan penelitian agar dapat terarah dan tidak menyimpang sehingga dapat

diperoleh hasil yang baik serta dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan

1

(17)

pemilihan rumusan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini maka tipe

penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum/normatif (legal research).

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan perundang-undangan (statute approach).Melalui pendekatan ini

dilakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang

berhubungan dengan tema sentral penelitian. Selain itu digunakan

pendekatan lain yang diperlukan. Penggunaan beberapa pendekatan dalam

penelitian pada dasarnya untuk mempertajam analisis ilmiah dalam

penelitian ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Cambell dar Glasson

sebagaimana yang diktip oleh Valerine2

2. Spesifikasi Penelitian

“There is no single technique that is

magically ‘right’ for all problem. Beberapa pendekatan tersebut antara lain

pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical

approach), dan pendekatan perbandingan (historical approach).

Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat

deskriptif analitis, dimana analisis dilakukan secara kritis dengan

menggunakan berbagai teori dalam penyusunan konsep dissenting opinion,

konsep penemuan kebenaran materiil, konsep putusan hakim, serta

persfektif kebebasan hakim. Selanjutnya dari seluruh bahan yang telah

diperoleh tersebut dilakukan berbagi proses identifikasi dan klasifikasi

2

Valerine J.L.K, Metode Penelitian Hukum (Kumpulan Bahan Bacaan Untuk Mata Kuliah

(18)

secara sistematis, kemudian dilakukan analisis yang hasilnya akan disajikan

secara deskriptif.

3. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum dapat

dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder.3

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan peraturan perundang-undangan. Bahan Primer, yang terdiri

dari:

Selain bahan hukum, dalam penelitian

ini juga menggunakan bahan non hukum yang relevan untuk memperkaya

dan memperluas wawasan peneliti dalam mengkaji rumusan permasalahan

yang tidak bersifat dominan dibandingkan bahan hukum.

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) Undang-Undang No 48 Tahun 2009, Jo Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004, Jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang

Kekuasaan Kehakiman

3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Jo Undang-Undang Nomor

5 Tahun 2004, Jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung.

4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

3

(19)

5) Wet Algemene Bepalingan (wAB).

6) Surat Edaran Mahkamah AgungNo. 5/1959 tanggal 20 April 1959.

7) Surat Edaran Mahkamah AgungNo. I/1962 tanggal 7 Maret 1962.

8) Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 15/KMA/SK/XIII/2007.

b. Bahan Sekunder yang merupakan bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer yang bersumber dari media

cetak dan elektronik, yang meliputi buku ilmu hukum, jurnal hukum,

laporan hukum, hasil karya ilmiah para sarjana, yurisprudensi dan

hasil-hasil simposium yang berkaitan dengan topik penelitian.

c. Bahan Tersier, yaitu bahan hukum yang bersifat menunjang

bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder seperti rancangan

KUHAP, kamus hukum, kamus besar bahasa Indonesia, ensiklopedia,

dan lain-lain

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian tehnik pengumpulan bahan merupakan prosedur

yang dilakukan secara sistematis untuk dapat memecahkan permasalahan.

Adapun prosedur pengumpulan bahan penelitian dilakukan melalui studi

kepustakaan (library researce), dilakukan dengan cara mengumpulkan,

memahami, mengutip dan menganalisis bahan pustaka yang didapat dari

berbagai literatur atau buku-buku dan berbagai peraturan

(20)

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum dilakukan dengan cara analisis kualitatif

dengan menguraikan hasil penelitian tentang konsep, azas, doktrin secara

deskriptif sehingga diperoleh gambaran yang jelas atas permasalahan yang

diteliti dengan menggunakan penalaran deduktif.

6. Pengambilan Kesimpulan dan Perumusan Rekomendasi

Berpegang pada karakter ilmu hukum sebagai ilmu terapan dan

preskriptif, maka preskripsi yang diberikan dalam penelitian ini berupa

argumentasi baru terkait rumusan permasalahan serta merumuskan

rekomendasi yang relevan yang dapat diterapkan.

F. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

teori dasar, asas, konsep dan pendekatan baru yang berhubungan dengan

permasalahan yang dikaji.Oleh karena itu secara lebih rinci tinjauan pustaka ini

memuat unsur kebebasan hakim, penemuan hukum, penemuan kebenaran

materiil, dissenting opinion dan putusan pengadilan.

1. Kebebasan Hakim

Bebas berarti lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, sehingga

dapat bergerak, berbicara, dan berbuat dengan leluasa). Membebaskan

bermakna melepaskan dari ikatan, tuntutan, tekanan, hukuman,

kekuasaan.Sedangkan kebebasan adalah kemerdekaan atau dalam keadaan

(21)

Istilah kebebasan sering kali disebut sebagai bentuk ekspresi manusia

yang menandakan mahluk merdeka.Ia melekat sekaligus berwujud dalam

segala tingkah laku manusia. Kebebasan adalah fitrah sekaligus kebutuhan

yang utuh yang mendasari perjalanan hidup, pengarahan diri.Dapat juga

diartikan sebagai kemampuan untuk memilih dan kesempatan untuk

memenuhi atau memperoleh pilihan itu.Dalam hidup setiap orang,

kebebasan merupakan unsur hakiki, semua orang mengalami kebebasan

karena hal tersebut melekat sebagai sifat manusia.Kesulitannya mulai

muncul ketika orang ingin mengungkapkan pengalaman itu pada taraf

refleksi.

Kess Bertens sebagaimana dikutip oleh Ahmad Kamil mengemukakan

ragam kebebasan kedalam beberapa kategori yaitu:4

Kedua, kebebasan fisik.Disini bebas berarti tidak ada paksaaan atau

rintangan dari luar. Orang menganggap dirinya bebas dalam arti ini, jika

bisa bergerak kemana saja ia mau tanpa hambatan apapun. Orang yang

diborgol atau dipasung tentu tidak akan bebas. Selama meringkuk dipenjara,

seorang narapidana tidak bebas, tetapi ketika masa tahanannya lewat ia

kembali menghirup udara kebebasan.

Pertama, kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan.Terkadang

kebebasan dimengerti sebagai kesewenang-wenangan. Individu dikatakan

bebas bila ia berbuat dengan sesuka hati; terlepas dari ikatan dan kewajiban,

sehingga menabrakkan rambu-rambu kepentingan maupun hak orang lain.

4

Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, hlm 23-25.

4

(22)

Ketiga, kebebasan yuridis.Hal ini berkaitan erat dengan hukum dan

harus dijamin oleh hukum.Kebebasan yuridis merupakan sebuah aspek dari

hak-hak manusia. Jika orang berbicara persoalan kebebasan dalam arti ini,

berarti ia berbicara tentang orang-orang yang dirampas haknya.

Keempat, kebebasan psikologis.Melalui kebebasan psikologis,

manusia mampu mengembangkan dan mengarahkan hidupnya

sendiri.Kemampuan ini menyangkut kehendak bahkan merupakan ciri

khasnya. Oleh karena itu, nama lain dari kebebasan psikologis adalah free

will. Kebebasan ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia adalah

makhluk berasio.Ia mampu berpikir sebelum bertindak. Orang yang bebas

adalah orang yang terlepas dari tekanan batin atau psikis.Orang yang

menderita kelainan jiwa seperti kleptomania jelas tidak bebas.Ia seperti

pencuri sungguhan, namun ia tidak bisa menentukan dirinya. Karena itu

perbuatannnya dianggap tidak bebas.

Kelima, kebebasan moral, yaitu kebebasan yang terlepas dari paksaan

moral. Bila seseorang ditodong dengan senjata tajam, ia tentu tidak

sepenuhnya bebas dalam menyerahkan harta bendanya. Ia memang

menentukan diri, menyerahkan kekayaannya merupakan keputusannnya,

tapi ia melakukannya dengan paksaan. Begitu perasaan moral itu hilang

dengan kedatangan teman yang melumpuhkan si penjahat, ia akan berbuat

lain.

Keenam, kebebasan eksistensi, kebebasan ini merupakan bentuk

(23)

manusia, tidak terbatas pada salah satu aspek saja.Orang yang bebas secara

eksistensial seakan-akan memiliki dirinya sendiri.Ia mencapai taraf otonom,

kedewasaan dan kematangan rohani.

Orang yang bebas seutuhnya dapat mewujudkan eksistensinya secara

kreatif dengan merealisasikan hal-hal tersebut secara otonom. Hal ini

didorong oleh keinginan akan kemerdekaan, otonomi dan kedewasaan.

Kehendak untuk merdeka inilah yang disebut dengan kebebasan yang

luhur.Kebebasan inilah yang menuntun manusia untuk menentukan arah dan

tujuan hidupnya secara mandiri, berdikari dan kreatif tanpa adanya tekanan

yang menghambatnya dalam berkreasi.

2. Penemuan Kebenaran Materiil

Hukum pidana materiil tidak dapat tegak tanpa dilengkapi

ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penyelesaian pelanggaran terhadap hukum

materiil, hal inilah yang disebut dengan hukum acara pidana. Dengan kata

lain hukum acara pidana berfungsi untuk menjalankan hukum pidana

materiil. Norma-norma yang dimuat dalam hukum pidana formil pada

dasarnya tidak mengatur tentang tingkah laku yang diperbolehkan atau tidak

diperbolehkan, melainkan mengatur kekuasaan badan-badan peradilan dan

tugasnya dalam penegakan hukum.

Pada dasarnya KUHAP tidak memberikan definisi hukum acara

pidana melainkan hanya bagian-bagiannya saja seperti penyidikan,

penyelidikan, penuntutan mengadili, praperadilan, putusan pengadilan,

(24)

Menurut Van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh Amir Hamzah5

1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;

bahwa ilmu hukum acara pidana itu mempelajari peraturan-peraturan yang

diciptakan oleh negara, karena adanya terjadi pelanggaran Undang-Undang

pidana, yaitu sebagai berikut :

2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;

3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat

dan jika perlu menahannya;

4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah

diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan pada hakim

dan membawa terdakwa kedepan hakim tersebut;

5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang

dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau

tindakan tata tertib;

6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;

7. Melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib.

Dalam pandangan Wirjono Prodjodikoro bahwa hukum acara pidana

berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan

suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaiman

badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan

5

(25)

harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum

pidana.6

a. Mencari dan menemukan kebenaran;

Dalam pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri

Kehakiman menyebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana sebagai berikut

yaitu mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran

materiil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara

pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan

tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan

melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan

dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu

tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat

dipersalahkan.

Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu:

b. Pemberian keputusan oleh hakim;

c. Pelaksanaan keputusan.

Dari ketiga fungsi itu yang paling penting adalah fungsi mencari

kebenaran, setelah menemukan kebenaraan yang diperoleh dari bukti-bukti

yang dipertunjukan, hakim akan sampai pada putusan, yang kemudian

dilaksanakan oleh jaksa.

Penemuan kebenaran materiil tidak terlepas dari upaya penemuan

hukum yang berkembang di masyarakat yang dipengaruhi oleh berbagai

6

(26)

aliran maupun metode penemuan hukum.Penemuan kebenaran materiil

merupakan esensi dari kebebasan, yang diberikan kepada hakim sebagai

langkah menerobos tercapainya tujuan hukum sebagaimana yang

dikemukakan oleh Gustav Radbruch yakni tercapainya nilai keadilan,

kemanfaatan dan kepastian hukum secara serasi.

Dalam penemuan kebenaran materiil hakim harus bersifat aktif

melalui sistem pembuktian yang dianut oleh hukum acara pidana

Indonesia.Sistem pembuktian yang dimaksud adalah sistem pembuktian

berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk). Dalam Pasal

183 KUHAP disebutkan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana

kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana

benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Selanjutnya dalam pasal 15 ayat (2) KUHAP ditegaskan bahwa

“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa

terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.

Rumusan KUHAP tersebut memuat ketentuan yang sama dengan

Pasal 294 ayat (1) HIR yang berbunyi sebagai berikut “Tidak seorangpun

boleh dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat

bukti yang sah bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan

bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan

(27)

Sebelum pemberlakuan KUHAP, dalam Undang-Undang Kekuasaan

Kehakiman pasal 6 berbunyi: “Tiada seorangpun dapat dijatuhi pidana,

kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut

undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat

bertanggungjawab telah bersalah atau perbuatan yang dituduhkan kepada

dirinya”.

Dalam sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif

ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubble en

grondslag) yaitu pada peraturan perundang-undangan dan keyakinan hakim,

dimana dasar keyakinan hakim tersebut bersumber kepada undang-undang.

Lebih lanjut Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa sistem pembuktian

berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan

berdasarkan dua alasan yaitu: Pertama, memang sudah selayaknya harus

ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan

suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang

sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.Kedua, ada faedah

jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar

ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam

melakukan peradilan.7

a. Keterangan saksi;

Dalam pembuktian tersebut hakim berpatokan kepada alat-alat bukti

yang diatur pada pasal 184 KUHAP yaitu:

7

(28)

b. Keterangan ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

Konsep penemuan kebenaran materiil pada dasarnya tidak terlepas

dari sistem hukum yang dianut. Sistem hukum adalah kesatuan utuh dari

tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu

sama lain saling berhubungan dan berkaitan secara erat.8

Prinsip utama yang terdapat dalam sistem hukum eropa kontinental ini

yaitu hukum memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang

berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam Dengan adanya

sistem tersebut maka akan tercipta harmonisasi sehingga tidak terjadi lagi

kontradiksi diantara bagian-bagian tersebut.

Penemuan hukum di Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum eropa

kontinental yang dianut.sistem ini berasal dari kodifikasi hukum yang

berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Yustianus.

Kodifikasi ini merupakan kumpulan dari berbagai kaidah hukum yang ada

sebelum masa Yustianus yang disebut dengan Corvus Juris Civilis.Corvus

Juris Civilis dijadikan sebagai dasar dalam perumusan dan kodifikasi

hukum di negara-negara eropa daratan seperti Jerman, Belanda, Prancis,

Italia, Amerika Latin, Asia (termasuk Indonesia pada masa penjajahan

Belanda).

8

(29)

kodifikasi.Kodifikasi lahir karena keberatan-keberatan yang disebabkan

oleh ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum timbul karena

keragu-raguan tentang apa sumber hukum, bagaimana sumber-sumber hukum itu

berhubungan satu sama lain secara hierarki dan tentang isi setiap sumber

hukum itu.

Sejak pemberlakuan Wet Algemene Bepalingan Nederland (Wet AB),

undang-undang dipandang untuk menata hukum, tetapi undang-undnag

tidak boleh menjadi tekanan, yang menghambat tumbuhnya

kekuatan-kekuatan yang berguna bagi masyarakat.

Dalam mengadili setiap perkara hakim harus mengadili menurut

undang-undang, hakim tidak boleh menyertakan pendapat pribadinya

tentang kelayakan dan kebenaran undang-undang, dan apabila hakim

berpendapat bahwa undnag-undnag bungkam tentang suatu persoalan, tidak

jelas atau tidak lengkap, maka itu tidak benar, sebab undang-undang itu

jelas dan lengkap. Pada akhirnya hakim hanya boleh memutuskan peristiwa

yang bersifat in konkrito.

Dalam sistem hukum ini dikenal sebuah adagium “tiada hukum selain

undang-undang”, dengan kata lain bahwa hukum selalu diidentikkan dengan

undang-undang. Hakim dalam sistem hukum ini tidak bebas dalam

menciptakan hukum baru karena hakim hanya menerapkan dan menafsirkan

peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya, putusan

hakim tidak mengikat secara umum tapi hanya mengikat para pihak yang

(30)

Sistem hukum eropa kontinental ini memiliki perbedaan dengan

sistem hukum Anglo Saxon atau yang lebih sering dikenal dengan common

law yang mula-mula berkembang di Inggris, Amerika Utara, kanada,

Amerika Serikat dan negara jajahannya. Perbedaan tersebut terletak pada

sumber hukum yang diterapkan, bahwa dalam sistem hukum anglo saxon

putusan-putusan hakim/yurisprudensi merupakan sumber hukum. Melalui

putusan tersebut prinsip-prinsip hukum dan kaidah-kaidah hukum dibentuk

dan mengikat umum.Undang-undang dan peraturan perundang-undang

lainnya juga tetap diakui karena pada dasarnya terbentuknya kebiasaan dan

peraturan tersebut bersumber dari putusan pengadilan.Peraturan dan segala

putusan tersebut tidak tersusun secara sistematis dalam kodifikasi

sebagaimana pada sistem hukum eropa kontinental.Oleh karena itu, hakim

memiliki wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan dan

menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai bahan

pertimbangan hakim dalam memutus perkara sejenis.Hal inilah yang disebut

dengan asas doctrin of presedent yaitu hakim terikat pada sistem hukum

dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara

sejenis.9

Dalam perkembang peradaban manusia bahwa sistem hukum yang

telah dianut tersebut tidak bersifat kaku, telah terjadi pembauran antarsistem Namun apabila dalam yurisprudensi tidak ditemukan prinsip hukum

yang dicari, hakim berdasarkan prinsip keadilan, kebenaran dan akal sehat

dapat memutuskan perkara dengan menggunakan metode penafsiran hukum.

9

(31)

dengan menyerap kelebihan masing-masing sistem.Sistem hukum

tersebutlah yang menjadi panduan dalam penemuan hukum yang dilakukan

oleh hakim.Seiring waktu, bahwa penundukan diri terhadap kekuasaan

undang-undang mulai dilepaskan dan berupaya mencari sumber hukum

lainnya yang dipandang lebih mendekati kepada nilai keadilan dengan

menyerap kelebihan sistem nonkodifikasi.

Penemuan hukum lahir sebagai upaya untuk mengakomodir seluruh

perkembangan dinamika sosial yang terjadi.Dinamika sosial tersebut

bergerak sangat cepat seiring perkembangan peradaban manusia, dan

peraturan perundang-undangan adakalanya tidak dapat mengakomodir

seluruh dinamika sosial yang menghasilkan peristiwa hukum tersebut.Oleh

karena itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum dalam rangka

mengawal tegaknya cita hukum maka perlu dilakukan penemuan hukum,

penemuan hukum yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi kepada

penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim.

Di dalam perkembangannya kedua sistem penemuan hukum ini saling

mempengaruhi, sehingga penemuan hukum tidak lagi murni otonom

maupun murni heteronom.Bahkan cenderung bergeser kearah penemuan

hukum yang otonom, hal ini disebabkan oleh pembentukan undang-undang

yang bersifat umum bukan kasuistis. Hal ini berdampak terhadap pergeseran

dari “hakim terikat” kearah “hakim bebas” dan pergeseran keadilan menurut

undang-undang (normgerechtigkeit) kearah keadilan menurut hakim seperti

(32)

pergeseran pola berpikir yang mengacu kepada sistem (systeemdenken)

kearah berpikir mengacu kepada masalah (problem oriented).10

10

Ibid. Hlm. 210.

Dalam penemuan hukum yang dianut dalam hukum positif Indonesia

terdapat beberapa sumber penemuan hukum, hal ini tidak terlepas dari

pergeseran paradigma penemuan hukum yang telah dipengaruhi penemuan

hukum otonom dan juga kelemahan dari peraturan perundang-undangan

yang telah dijelaskan sebelumnya. Sumber penemuan hukum tersebut antara

lain peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi,

perjanjian nternasional, dan doktrin.

Dalam ajaran penemuan hukum bahwa sumber penemuan hukum

memiliki hierarki yang harus diprioritaskan terlebih dahulu.Dalam ajaran

tersebut memandang peraturan perundang-undangan merupakan sumber

terpenting dan utama.Akan tetapi perlu diingat bahwa undang-undang dan

hukum tidaklah identik.Pada dasarnya bukan hal yang mudah untuk

memahami maksud dari undang-undang, karena memahami peraturan

perundang undangan bukan sebatas membaca bunyi kata-katanya saja (naar

de letter van de wet), tetapi harus mencari makna atau tujuan

perundang-undangan. Jika dalam peraturan perundang-undangan tersebut tidak memuat

ketentuan yang mengatur peristiwa hukum maka barulah mencari kepada

(33)

Dalam penemuan hukum terdapat bebrapa aliran yang mempengaruhi

hakim dalam menemukan kebenaran materiil yaitu aliran hukum Legisme,

Mazhab Historis, aliranBegriffsjurisprudenz, aliranInteressenjurisprudenz.

Dalam penemuan hukum terdapat banyak metode yang digunakan

antara lain metode interpretasi (penafsiran) dan juga metode konstruksi.

Interpretasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang

memberikan penjelasan yang gambling mengenai teks undang-undang agar

ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa

tertentu.Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang menuju pada

pelaksanaan yang dapat diterima masyarakat mengenai peraturan hukum

terhadap peristiwa yang konkrit.Metode interpretasi merupakan sarana

untuk mengetahui makna undang-undang, untuk merealisasikan fungsinya

agar hukum positif tersebut dapat diberlakukan.

Metode interpretasi ini merupakan alasan-alasan atau

pertimbangan-pertimbangan yangs sering digunakan oleh hakim dalam memutus perkara

yang selanjutnya dapat dibedakan atas metode interpretasi gramatikal,

interpretasi teleologis atau sosiologis, interpretasi historis, interpretasi

sistematis atau logis, interpretasi komparatif, interpretasi futuristik serta

interpretasi restriktif dan eksensif.11

3. Putusan Pengadilan

Putusan hakim merupakan suatu pernyataan hakim sebagai pejabat

negara yang diberi wewenang untuk itu, yang diucapkan di persidangan dan

11

(34)

bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa

antara para pihak.12

Didalam literatur Belanda dikenal istilah “vonis” dan “gewijsde”.Yang

dimaksud dengan vonis ialah putusan yang belum mempunyai kekuatan

hukum yang pasti, sehingga masih tersedia upaya hukum biasa, sedangkan

gewijsde ialah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti,

sehingga hanya tersedia upaya hukum khusus.

Putusan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap

sebelum diucapkan oleh hakim dipersidangan.Putusan yang diucapkan

dipersidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda dengan yang tertulis

(vonis).Dalam Surat Edaran Mahkamah AgungNo. 5/1959 tanggal 20 April

1959 dan No. I/1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstruksikan antara lain

agar pada waktu putusan diucapkan konsep putusan harus sudah selesai,

maksud surat edaran ini ialah untuk mencegah hambatan dalam

penyelesaian perkara dan mencegah perbedaan isi putusan yang diucapkan

dengan yang tertulis.

13

Sesudah pemeriksaan dinyatakan ditutup, hakim mengadakan

musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan.Dalam pasal 182 ayat (5)

KUHAP disebutkan bahwa “Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua

majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai

hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya

adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan

dan alasannya”.

12

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, Edisi Keempat, 1993, hlm. 174.

13

(35)

Selanjutnya dalam pasal 182 ayat (6), “Pada asasnya putusan dalam

musyawarah majelis merupakan hasil pemufakatan bulat kecuali jika hal itu

setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat tercapai, maka

berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Putusan diambil dengan suara

terbanyak; b. Jika ketentuan huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan

yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi

terdakwa”.

Pelaksanaan pengambilan keputusan dicatat dalam sebuah buku

sebagaimana yang dimuat dalam pasal 182 ayat (7) “pelaksanaan

pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat dalam

buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi

buku tersebut sifatnya rahasia”.

Bahwa pengambilan keputusan didasarkan kepada surat dakwaan dan

segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pengadilan dan putusan itu sah

secara hukum apabila diucapkan disidang terbuka untuk umum.

Setelah putusan pemidanaan diucapkan, hakim ketua sidang wajib

memberitahu kepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya, yaitu:14

a. Hak segera menerima atau segera menolak putusan;

b. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak

putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan yaitu tujuh hari sesudah

putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa

yang tidak hadir (Pasal 196 ayat (3) jo Pasal 233 ayat (2) KUHAP);

14

(36)

c. Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu

yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi,

dalam hal ia menerima putusan (Pasal 169 ayat (3) KUHAP jo

Undang-Undang Grasi);

d. Hak minta banding dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan

dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang

tidak hadir sebagaimana maksud dalam pasal 196 ayat (2) KUHAP,

pasal 196 ayat (3) jo pasal 233 ayat (2) KUHAP;

e. Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam butir a

dalam wkatu seperti yang ditentukan dalam pasal 235 ayat (1) KUHAP

yang menyatakan bahwa selama perkara banding belum diputus oelh

pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan

dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak

boleh diajukan lagi (pasal 196 ayat (3) KUHAP).

4. Dissenting opinion

Kata dissenting berasal dari kata bahasa Latin, dissentiente,

dissentaneus, dissentio, kesemuanya bermakna tidak setuju, tidak

sependapat atau berbeda dalam pendapat.

Secara harafiah “dissenting opinion” dalam kamus bahasa Inggris

merupakan kata kerja yang berasal dari kata “dissent” yang berarti

berselisih paham dan kata “opinion”yang berarti sebagai pendapat, pikiran,

perasaan. Jadi dissenting opinion dapat disimpulkan sebagai pendapat dari

(37)

ketidaksetujuan terhadap putusan dari mayoritas hakim dalam majelis hakim

yang membuat keputusan dala musyawarah hakim.15

Menurut Pontang Moerad dissenting opinion merupakan

pendapat/putusan yang ditulis oleh seorang hakim atau lebih yang tidak

setuju dengan pendapat mayoritas majelis hakim, yang tidak setuju

(disagree) dengan putusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis

hakim.16

Selain itu, dissenting opinion lahir dari upaya penemuan kebenaran

materiil dalam hukum acara pidana yang tertuang dalam putusan pengadilan

dalam rangka memenuhi tuntutan akuntabilitas bagi pencari keadilan Lahirnya konsep dissenting opinion tidak terlepas dari adanya

kebebasan hakim dalam memutuskan perkara berdasarkan sumber hukum

yang dianut oleh Indonesia. Perbedaan pendapat dalam musyawarah hakim

merupakan konsekuensi logis dari penerapan konsep kebebasan dalam

penemuan hukum, kebebasan yang dimaksud bukan kebebasan yang

sebebas-bebasnya melainkan kebebasan yang terbatas, artinya kebebasan

tersebut dibatasi oleh aturan hukum yang berlaku berdasarkan nilai-nilai

pancasila dan pandangan hidup masyarakat dalam rangka memenuhi

tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,

keamanan, ketertiban umum untuk menjamin tegaknya cita hukum

(rechtsidee).

15

Wojowasito, S. dan WJS. Porwadarminta, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, dan

Indonesia Inggris. Penerbit Hasta. Bandung, 2001.

16

Pontang Moerad B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam

(38)

(justiabele) serta sebagai bentuk pertanggungjawaban hakim secara pribadi

terhadap perkara pidana yang diajukan kepadanya. Melalui dissenting

opinion para pencari keadilan dapat mengetahui latar belakang putusan, hal

ini sangat penting untuk membantu masyarakat untuk mengetahui dasar

pertimbangan hakim dalam menangani perkara. Dengan mengetahui dasar

pertimbangan hakim, maka hal ini akan mempermudah bagi para pihak yang

berperkara untuk selanjutnya mengajukan upaya hukum ketingkatan yang

lebih tinggi, selain itu hal ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian bagi

akademisi untuk mengetahui apakah putusan tersebut mencerminkan cita

hukum atau tidak. Adakalanya dissenting opinion benar dan memenuhi rasa

keadilan masyarakat, tetapi adakalanya tidak tepat atau tidak memenuhi cita

hukum dan justru pendapat mayoritaslah yang memenuhi cita hukum

tersebut.

Didalam undang-undang 48 Tahun 2009 disebutkan bahwa kekuasaan

kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik

Indonesia. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan Badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan

milliter, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah

(39)

Pasal 4 (3) undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman secara tegas merumuskan bahwa : segala campur tangan dalam

peradilan oleh pihak luar diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali

dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar Negara

Kesatuan RI Tahun 1945, disamping itu Hakim harus melaksanakan

disiplin tinggi dalam memutus perkara sebagaimana diatur dalam Surat

Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 215/KMA/SK/XIII/2007 Pasal 8

butir 2 yang berbunyi: “Hakim Berkewajiban mengetahui dan mendalami

serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan

Perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan

hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari

keadilan”.

Dalam Pasal 19 Undang-UndangNo.4 Tahun 2004 ayat 3 mengatakan

bahwa rapat musyawarah hakim adalah bersifat rahasia, yang berarti bahwa

tidak boleh diketahui oleh umum atau diluar yang ikut musyawarah, sedang

ayat 5 mengatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan tidak dapat

dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam

putusan (Dissenting opinion).

Keharusan majelis hakim untuk memuat pendapat hakim yang

berbeda dalam dalam putusan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yaitu pada Pasal 30 ayat (2) yang

menetapkan bahwa dalam musyawarah pengambilan putusan setiap Hakim

(40)

perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan

dari putusan. Kemudian pada ayat (3) ditambahkan bahwa, dalam hal

musyawarah tidak dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim Agung yang

berbeda wajib dimuat dalam putusan.Namun, terjadi perbedaan dalam

penerapan dissenting opinion pada lembaga yudikatif di negara kita

khususnya dalam hal model pencantuman dissenting opinion itu sendiri.

Pengaturan perbedaan pendapat sudah diterapkan pada Pengadilan

Niaga dan Mahkamah Konstitusi. Pada Pengadilan Niaga, model

pencantuman Dissenting opinion terpisah dari putusan. Pada Mahkamah

Konstitusi, Dissenting opinion merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari putusan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri atas 5 (lima) bab, dimana antara

bab yang satu saling berhubungan dengan bab yang lainnya.

BAB I: Pendahuluan

Dalam hal ini akan diuraikan beberapa hal mengenai latar

belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika

penulisan.

BAB II: Konsepsi Dissenting Opinion Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan dalam Membuat Putusan Pengadilan

Dalam Bab II ini akan dibahas tentang tinjauan tentang Putusan

(41)

pengadilan, teori pembuatan putusan, aspek yang terkandung dalam

putusan, faktor yang mempengaruhi pembuatan putusan konsepsi.

Selanjutnya dalam sub bab berikutnya membuat konsepsi

dissenting opinion yang terdiri dari sejarah penerapan konsep

dissenting opinion, dinamika penerapan dissenting opinion di

Indonesia, konsep dissenting opinion di berbagai negara, makna

penting penerapan konsepsi dissenting opinion

BAB III:KonsepsiKebebasan Hakim Dalam Membuat Putusan

Pengadila guna Menemukan Kebenaran Materiil

Dalam Bab III akan mengkaji konsepsi kebebasan hakim yang

memuat, tinjauan tentang kebebasan, kebebasan dalam persfektif

pancasila, sejarah kebebasan hakim di Indonesia, kebebasan

personal hakim, independensi kekuasaan kehakiman.

Dalam sub bab berikutnya membahas persfektif hakim dalam

penemuan kebenaran materiil, yang memuat hakikat penemuan

hukum, aliran penemuan hukum, metode penemuan hukum, teori

pengambilan keputusan

BAB IV: Penerapan Dissenting Opinion dalam Putusan Pengadilan di

Indonesia sebagai Bentuk Kebebasan Eksistensial Hakim

Dalam Bab IV ini memaparkan penerapan dissenting opinion

dalam berbagai putusan pengadilan. Selanjutnya dalam sub bab

berikutnya memuat makna penting penerapan dissenting opinion

(42)

BAB V: Penutup

Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan

saran kesimpulan diperoleh dari hasil penelitian dan pembahasan

mengenai masalah yang dikemukakan, selanjutnya memberi saran

yang mungkin dapat berguna oleh pihak-pihak yang

(43)

BAB II

Konsepsi Dissenting opinion dalam Putusan Pengadilan

C.Tinjauan Tentang Putusan Pengadilan

5. Proses pembuatan putusan pengadilan

Pembuatan putusan oleh hakim dipengadilan merupakan proses yang

kompleks yang memerlukan pelatihan, pengalaman dan kebijaksanaan.

Dalam proses penjatuhan putusan tersebut hakim harus meyakini apakah

seseorang terdakwa telah melakukan tindak pidana atau tidak. Setelah

menerima dan memeriksa perkara, selanjutnya hakim akan menjatuhkan

keputusan yang disebut dengan putusan hakim, yang merupakan pernyataan

hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, yang

diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau

menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.17

Dalam perkara pidana, putusan hakim dapat berupa putusan

penjatuhan pidana, jika perbuatan pelaku tindak pidana terbukti secara sah

dan meyakinkan, putusan pembebasan dari tindak pidana (vrijspraak),

dalam hal menurut pemeriksaan persidangan perbuatan pelaku tindak pidana

tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atau berupa putusan lepas dari

segala tuntutan hukum (onslaag van alle rechtsverloging), dalam hal

17

(44)

perbuatan terdakwa sebagaimana yang didakwakan terbukti, akan tetapi

perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.18

Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim dalam memutus perkara harus

memiliki kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the power of solving

legal problems), yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu merumuskan masalah

hukum (legal problem identification), memecahkan masalah (legal

problems solving), dan mengambil putusan (decision making).19

Menurut Shidarta, terdapat enam langkah utama dalam proses

penalaran hukum dalam proses pembuatan putusan hakim, yaitu Pertama,

mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur kasus yang

sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi;

Kedua, menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber hukum yang

relevan sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan

yuridis; Ketiga, menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan

untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung didalam aturan

hukum itu (the policies underlying those rule), sehingga dihasilkan struktur Oleh karena

itu, dibutuhkan penalaran hukum dalam pembuatan putusan sehingga dapat

menyelesaikan masalah hukum tersebut.

18

Pasal 191 ayat (1) KUHAP “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.

Pasal 191 ayat (2) KUHAP “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka terdakwa diputusan lepas dari segala tuntutan hukum”.

Pasal 191 ayat (3) KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

19

(45)

aturan yang koheren. Keempat, menghubungan struktur aturan dengan

struktur kasus.Kelima, mencari alternatif penyelesaian yang

mungkin.Keenam, menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk

kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.20

Dalam pandangan Herman Bakir proses pembuatan putusan

merupakan prosedur yang sangat riil teoritikal dan ilmiah, sehingga kita

dapat melihat situasi kedekatam relasional antara subjek interpretator

(hakim), fakta dan kaidah hukum terjalin. Menurut pandangan beliau ada

beberapa fase dalam pembuatan putusan tersebut, antara lain:21

a) Fase perumusan masalah-masalah yuridik.

Pada fase ini perlu diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi

interpretator dalam hal ini berangakat dari asumsi bahwa,

sengketa-sengketa yuridik adalah masalah yang berderajat ‘amenable’ yaitu dapat

dipertanggungjawabkan atau dapat diterima untuk diterapkan

metode-metode interpretasi, bahwa masalah yuridik adalah masalah ‘resolvable’

yaitu dapat dipecahkan, dan yang terakhir bahwa hukum adalah sesuatu

yang majemuk (sehingga hakim bebas menetapkan metode mana yang

akan dipakai).

b) Fase penetapan faktor-faktor yang mendukung fase perumusan masalah

dengan jalan mengompilasikan fakta-fakta.

20

Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam konteks KeIndonesiaan, (dalam) M.Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm. 87.

21

(46)

Dalam tahap ini, hakim dituntut memperlakukan

fakta-fakta.Pentingnya fakta-fakta dalam hal interpretasi sering tidak

memperoleh tanggapan yang memadai dari banyak interpretator, padahal

fakta-fakta inilah yang pada gilirannya diasumsikan sebagai penyebab

dari terjadinya peristiwa yang menimbulkan problema hukum itu.

Dengan mendasarkan diri pada situasi problematik, si interpretator akan

melakukan pendekatan pada fakta, yang artinya ia akan mulai

menginventarisasi dan mengompilasi fakta-fakta dengan selengkap

mungkin. Setiap masalah selalu akan menampilkan dirinya dalam bentuk

fakta-fakta, fakta-fakta itu mesti dipaparkan secara skematis (sejelas

mungkin). Interpretasi aturan hukum itu pada dasarnya berkenaan dengan

penilaian atas kaidah-kaidah itu dapat diterapkan pada kejadian konkrit,

maka terlebih dahulu ditetapkan apa yang sesungguhnya harus

dirumuskan sebagai situasi faktual, apa yang dari situasi faktual itu dapat

dipandang relevan secara yuridik.

c) Fase klasifikasi atau identifikasi sumber hukum yang aplikabel

Sumber hukum akan diklasifikasi dan diidentifikasi yang dianggap

paling aplikabel diantara keseluruhannya. Sumber penemuan hukum

tersebut antara lain peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan,

yurisprudensi, perjanjian internasional, dan doktrin.

d) Fase analisis atas sumber-sumber hukum.

Analisis ini dilakukan untuk menetapkan aturan hukum mana yang

(47)

yang sebetulnya paling aplikabel (yang paling mungkin diterapkan).

Dalam fase ini si interpretator menemukan aspek kebijakan (policies)

yang melandasi aturan-aturan hukum tersebut, dan menemukan tujuan

kemasyarakatan dari aturan-aturan tersebut. Ketika muncul persoalan

dimana terdapat lebih dari satu aturan hukum maka si interpretator akan

mensintetisasi aturan-aturan hukum yang aplikabel kedalam

struktur-struktur yang koheren supaya jangan selalu bertentangan diantaranya.

Bahwa aturan yang spesifik ditempatkan dibawah aturan yang general,

supaya jelas yang mana termasuk kelompok kaidah yang lebih umum dan

yang mana kelompok kaidah yang lebih spesifik. Sehingga ketika terjadi

pertentangan maka akan lebih mudah untuk menetapkan mana yang bisa

dikesampingkan (diderogasi) dan mana yang akan dimajukan.

e) Fase analisis dan kualifikasi atas fakta-fakta yang diperoleh.

Pada fase ini fakta-fakta akan ditampilkan untuk diuraikan dan

distrukturkan atau dikonstruksi sehingga menjadi jelas format konspirasi

fakta-fakta yang membentuk peristiwa hukum. Dengan begitu aturan

hukumnya dapat disesuaikan dengan peristiwa hukumnya.

f) Fase mempersiapkan metode-metode interpretasi

Ketika interpretator telah menelusuri atau setidaknya pada

pendekatan terhadap masalah yang sedang dihadapi sudah menetapkan

kaidah-kaidah hukum mana saja yang akan diterapkan pada suatu

fakta-fakta. Pada tahap ini si interpretator dituntut untuk menggali dan

(48)

wilayah jangkauan, terapan dan kaidah-kaidah hukum yang

dikonfrontasinya. Selain itu interpretator bebas menetapkan pilihan

metode interpretasi apa yang akan dipakai, atau sama sekali ia hanya

bersandar pada penilaian kelayakan semata, yang merujuk pada ‘appeal

to emotion’ atau ‘apple to reason’, pada dasarnya hal tersebut

diperbolehkan. Dalam hal ini, hakim telah dilimpahkan otonomitas atau

kemerdekaan yang sedemikian luas,

g) Fase memformulasikan dalam bentuk klaim yuridik (statement, proposisi

kaidah).

Pada fase ini si interpretator berusaha menerapkan struktur

aturan-aturan tersebut yang telah disintetiskan pada fase ketiga dan keempat,

dan pada fakta-fakta relevan untuk menetapkan hak-hak dan kewajiban

dengan mengacu pada kebijakan yang melandasi aturan-aturan

tersebut.Kebijakan ini sangat penting dalam menginpretasikan terutama

pada waktu melaksanakan aturan itu kedalam situasi konkrit.

Hal ini dapat berupa requisitor (putusan hukum dari jaksa yang

belum mempunyai kekuatan mengikat) dalam perkara pidana, Pledoi

(pembelaan) dari para pihak dalam pidana, semua hal tersebut merupakan

putusan hukum dari para pihak yang tidak mempunyai kekuatan hukum

(49)

h) Motivering (pengajuan alasan atau pertimbangan)

Bagian ini merupakan posisi sentral dalam upaya

pertanggungjawaban dan presentasi putusan yang akan ditetapkan dari

seluruh fase yang digelar dalam interpretasi.

Menurut Moelyatno terdapat beberapa tahapan dalam penjatuhan

putusan, antara lain tahap menganalisis perbuatan pidana, tahap

menganalisis tanggungjawab pidana, dan tahap penentuan pemidanaan.22

a) Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana.

Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam

pidana barang siapa melanggar larangan tersebut dan perbuatan itu harus

pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak

boleh atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan

masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat tersebut. Maka

perbuatan pidana secara mutlak harus mengandung unsur formil dan

unsur materiil, yaitu sifat bertentangan dengan cita-cita mengenai

pergaulan masyarakat atau sifat melawan hukum (rechtwirdigkeit).

Dalam menganalisis suatu tindak pidana, hakim menganalisis unsur

tindak pidana, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif.Unsur subjektif

menyangkut orangnya, atau pelakunya yang dirumuskan dalam KUHP

dengan kata-kata barang siapa, sedangkan unsur objektifnya dirumuskan

dalam unsur batas pengertian suatu delik.

b) Tahap menganalisis tanggungjawab pidana.

22

Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (dalam) Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oelh

(50)

Unsur yang terdapat dalam tindak pidana tersebut selanjutnya

dianalisis hakim guna mengetahui apakah pelaku dapat dinyatakan

bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya.Dalam

analisis ini, dapat dipidannya seseorang harus memenuhi dua syarat yaitu

perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana

dan perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai

suatu kesalahan.

Menurut Moelyatno, unsur-unsur pertanggungjawaban pidana

untuk membuktikan adanya penggaran pidana yang dilakukan oleh

terdakwa harus dipenuhi hal-hal sebagai berikut:23

1) Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum).

2) Diatas umur tertentu dan mampu bertanggungjawab.

3) Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau

kealpaan.

4) Tidak ada alasan pemaaf.

c) Tahap Penentuan Pemidanaan.

Berangkat dari keyakinan hakim bahwa pelaku telah melakukan

perbuatan melawan hukum, sehingga dia dinyatakan bersalah atas

perbuatannya dengan meminta pertanggungjawaban si pelaku.

Selanjutnya hakim akan menjatuhkan pidana terhadap pelaku. Terkait

beban pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim telah diatur dalam

KUHP, dimana dalam KUHP telah mengatur pemidanaan maksimal yang

23

(51)

dapat dijatuhkan hakim dalam perbuatan pidana tertentu.Hal inilah

sebagai bentuk kebebasan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang

diajukan kepadanya.

Menurut H. Taufiq, Hakim dalam mengambil keputusan terhadap

perkara yang diperiksa dapat memilih 3 (tiga) tehnik pengambilan putusan

dan penerapan hukum yaitu:24

a) Tehnik Analitik.

Metode ini juga disebut dengan yuridis giometris. Kalau para

Hakim mempergunakan metode ini maka ia harus menguasai hukum

acara secara lengkap. Dalam pertimbangan hukum, hakim harus

menguasai pokok masalahnya terlebih dahulu secara real dan akurat, lalu

disusunlah pertanyaan sehubungan dengan pokok masalah tersebut.

b) Tehnik Equatable.

Tehnik ini harus dilihat dari segi kosmistis yang dikembangkan

dari prinsip keadilan.Isu pokok dulu yang harus dipertimbangkan, lalu

alat-alat bukti yang diajukan.Apabila alat-alat bukti itu telah diuji

kebenarannya maka hakim menetapkan alat-alat bukti itu dalam peristiwa

konkrit, yang kemudian di cari rule nya (hukumnya).

c) Tehnik Silogisme.

Tehnik ini paling banyak dipakai oleh Hakim karena ia sederhana

dan dapat diterapkan dalam peristiwa apa saja. Tehnik ini disebut juga

dengan metode penalaran induktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat ini

24

(52)

umum kepada hal-hal yang bersifat khusus.Penggunaan hukum logika

yang dinamakan dengan silogisme menjadi dasar utama aliran ini, dan

hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu

peraturan hukumnya, dan premis minor, yaitu peristiwanya.Sebagai

contoh, siapa mencuri dihukum. A terbukti mencuri, maka A harus

dihukum. Jadi rasio dan logika ditempatkan dalam ranah yang

istimewa.Kekurangan undang-undang dapat dilengkapi oleh hakim

dengan penggunaan hukum logika dan memperluas pengertian

undang-undang berdasarkan rasio.Kritik terhadap aliran ini, terutama berpendapat

bahwa hukum bukan sekedar persoalan logika dan rasio, tetapi juga

merupakan persoalan hati nurani maupun pertimbangan akal budi

manusia, yang kadang-kadang bersifat irrasional.Proses tahapan-tahapan

metodologi ini sebagai berikut:

1) Perumusan masalah atau pokok sengketa

Perumusan masalah dari suatu perkara dapat disimpulkan dari

informasi baik dari jaksa penuntut umum maupun dari penasehat

hukum. Dari persidangan tahap inilah hakim yang memeriksa perkara

tersebut memperoleh kepastian tentang peristiwa konkrit yang

diperkarakan oleh para pihak. Peristiwa inilah yang merupakan pokok

masalah dalam suatu perkara. Perumusan pokok masalah dalam proses

pengambilan keputusan oleh hakim merupakan kunci dari proses

tersebut. Kalau pokok masalah sudah salah rumusannya, maka proses

(53)

2) Pengumpulan data dalam proses pembuktian.

Setelah hakim merumuskan pokok masalahnya, kemudian

hakim menentukan siapa yang dibebani pembuktian untuk pertama

kali. Dari pembuktian inilah, hakim akan mendapatkan data untuk

diolah guna rnenemukan fakta yang dianggap benar atau fakta yang

dianggap salah (dikonstatir). Data berupa fakta yang dinyatakan oleh

alat-alat bukti dan sudah diuji kebenarannya.

3) Analisa data untuk menemukan fakta.

Data yang telah diolah akan melahirkan fakta yang akan

diproses lebih lanjut sehingga melahirkan suatu keputusan yang akurat

dan benar. Menurut Black's Law Dictionary sebagaimana yang ditulis

oleh H. Taufiq

“fakta ad

Referensi

Dokumen terkait

Pada masa sebelum dimuatnya ketentuan dissenting opinion dalam perkara kepailitan, maka hakim yang mempunyai pendapat yang berbeda dengan majelis hakim tidak dapat

Dengan adanya pengaturan mengenai dissenting opinion dalam peraturan perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman pada satu sisi memungkinkan adanya

Merujuk pada hasil penelitian pada diskripsi kasus I, II dan III di atas, maka dengan demikian model yang paling ideal untuk dissenting opinion pada perkara

Pada masa sebelum dimuatnya ketentuan dissenting opinion dalam perkara kepailitan, maka hakim yang mempunyai pendapat yang berbeda dengan majelis hakim tidak dapat

Pertimbangan Hakim memutus perkara berdasar dissenting opinion dalam perkara korupsi pada Putusan Nomor 2107 K/Pid.Sus/2017 telah sesuai dengan Pasal 182 jo Pasal 256

Sebagai efek jera, hakim dalam memutus perkara tidak terlalu jauh dengan aturan hukum yaitu sesuai dengan Undang-Undang, meskipun hakim mempunyai keyakinan hukum akan putusan yang

Ruang lingkup penelitian Dalam penulisan Skripsi “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN HUKUM DISSENTING OPINION SEBAGAI BENTUK KEBEBASAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN” ini

Hasil penelitian berdasarkan analisis penulis terhadap 7 putusan tentang pembatalan perjanjian (2010-2014) di atas dapat disimpulkan bahwa hakim dalam memutus