• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dissenting Opinion Sebagai Bentuk Kebebasan Hakim dalam Membuat Putusan Pengadilan guna Menemukan Kebenaran Materiil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dissenting Opinion Sebagai Bentuk Kebebasan Hakim dalam Membuat Putusan Pengadilan guna Menemukan Kebenaran Materiil"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

Konsepsi Dissenting opinion dalam Putusan Pengadilan

C.Tinjauan Tentang Putusan Pengadilan

5. Proses pembuatan putusan pengadilan

Pembuatan putusan oleh hakim dipengadilan merupakan proses yang

kompleks yang memerlukan pelatihan, pengalaman dan kebijaksanaan.

Dalam proses penjatuhan putusan tersebut hakim harus meyakini apakah

seseorang terdakwa telah melakukan tindak pidana atau tidak. Setelah

menerima dan memeriksa perkara, selanjutnya hakim akan menjatuhkan

keputusan yang disebut dengan putusan hakim, yang merupakan pernyataan

hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, yang

diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau

menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.17

Dalam perkara pidana, putusan hakim dapat berupa putusan

penjatuhan pidana, jika perbuatan pelaku tindak pidana terbukti secara sah

dan meyakinkan, putusan pembebasan dari tindak pidana (vrijspraak),

dalam hal menurut pemeriksaan persidangan perbuatan pelaku tindak pidana

tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atau berupa putusan lepas dari

segala tuntutan hukum (onslaag van alle rechtsverloging), dalam hal

17

(2)

perbuatan terdakwa sebagaimana yang didakwakan terbukti, akan tetapi

perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.18

Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim dalam memutus perkara harus

memiliki kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the power of solving

legal problems), yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu merumuskan masalah

hukum (legal problem identification), memecahkan masalah (legal

problems solving), dan mengambil putusan (decision making).19

Menurut Shidarta, terdapat enam langkah utama dalam proses

penalaran hukum dalam proses pembuatan putusan hakim, yaitu Pertama,

mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur kasus yang

sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi;

Kedua, menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber hukum yang

relevan sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan

yuridis; Ketiga, menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan

untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung didalam aturan

hukum itu (the policies underlying those rule), sehingga dihasilkan struktur Oleh karena

itu, dibutuhkan penalaran hukum dalam pembuatan putusan sehingga dapat

menyelesaikan masalah hukum tersebut.

18

Pasal 191 ayat (1) KUHAP “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.

Pasal 191 ayat (2) KUHAP “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka terdakwa diputusan lepas dari segala tuntutan hukum”.

Pasal 191 ayat (3) KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

19

(3)

aturan yang koheren. Keempat, menghubungan struktur aturan dengan

struktur kasus.Kelima, mencari alternatif penyelesaian yang

mungkin.Keenam, menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk

kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.20

Dalam pandangan Herman Bakir proses pembuatan putusan

merupakan prosedur yang sangat riil teoritikal dan ilmiah, sehingga kita

dapat melihat situasi kedekatam relasional antara subjek interpretator

(hakim), fakta dan kaidah hukum terjalin. Menurut pandangan beliau ada

beberapa fase dalam pembuatan putusan tersebut, antara lain:21

a) Fase perumusan masalah-masalah yuridik.

Pada fase ini perlu diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi

interpretator dalam hal ini berangakat dari asumsi bahwa,

sengketa-sengketa yuridik adalah masalah yang berderajat ‘amenable’ yaitu dapat

dipertanggungjawabkan atau dapat diterima untuk diterapkan

metode-metode interpretasi, bahwa masalah yuridik adalah masalah ‘resolvable’

yaitu dapat dipecahkan, dan yang terakhir bahwa hukum adalah sesuatu

yang majemuk (sehingga hakim bebas menetapkan metode mana yang

akan dipakai).

b) Fase penetapan faktor-faktor yang mendukung fase perumusan masalah

dengan jalan mengompilasikan fakta-fakta.

20

Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam konteks KeIndonesiaan, (dalam) M.Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm. 87.

21

(4)

Dalam tahap ini, hakim dituntut memperlakukan

fakta-fakta.Pentingnya fakta-fakta dalam hal interpretasi sering tidak

memperoleh tanggapan yang memadai dari banyak interpretator, padahal

fakta-fakta inilah yang pada gilirannya diasumsikan sebagai penyebab

dari terjadinya peristiwa yang menimbulkan problema hukum itu.

Dengan mendasarkan diri pada situasi problematik, si interpretator akan

melakukan pendekatan pada fakta, yang artinya ia akan mulai

menginventarisasi dan mengompilasi fakta-fakta dengan selengkap

mungkin. Setiap masalah selalu akan menampilkan dirinya dalam bentuk

fakta-fakta, fakta-fakta itu mesti dipaparkan secara skematis (sejelas

mungkin). Interpretasi aturan hukum itu pada dasarnya berkenaan dengan

penilaian atas kaidah-kaidah itu dapat diterapkan pada kejadian konkrit,

maka terlebih dahulu ditetapkan apa yang sesungguhnya harus

dirumuskan sebagai situasi faktual, apa yang dari situasi faktual itu dapat

dipandang relevan secara yuridik.

c) Fase klasifikasi atau identifikasi sumber hukum yang aplikabel

Sumber hukum akan diklasifikasi dan diidentifikasi yang dianggap

paling aplikabel diantara keseluruhannya. Sumber penemuan hukum

tersebut antara lain peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan,

yurisprudensi, perjanjian internasional, dan doktrin.

d) Fase analisis atas sumber-sumber hukum.

Analisis ini dilakukan untuk menetapkan aturan hukum mana yang

(5)

yang sebetulnya paling aplikabel (yang paling mungkin diterapkan).

Dalam fase ini si interpretator menemukan aspek kebijakan (policies)

yang melandasi aturan-aturan hukum tersebut, dan menemukan tujuan

kemasyarakatan dari aturan-aturan tersebut. Ketika muncul persoalan

dimana terdapat lebih dari satu aturan hukum maka si interpretator akan

mensintetisasi aturan-aturan hukum yang aplikabel kedalam

struktur-struktur yang koheren supaya jangan selalu bertentangan diantaranya.

Bahwa aturan yang spesifik ditempatkan dibawah aturan yang general,

supaya jelas yang mana termasuk kelompok kaidah yang lebih umum dan

yang mana kelompok kaidah yang lebih spesifik. Sehingga ketika terjadi

pertentangan maka akan lebih mudah untuk menetapkan mana yang bisa

dikesampingkan (diderogasi) dan mana yang akan dimajukan.

e) Fase analisis dan kualifikasi atas fakta-fakta yang diperoleh.

Pada fase ini fakta-fakta akan ditampilkan untuk diuraikan dan

distrukturkan atau dikonstruksi sehingga menjadi jelas format konspirasi

fakta-fakta yang membentuk peristiwa hukum. Dengan begitu aturan

hukumnya dapat disesuaikan dengan peristiwa hukumnya.

f) Fase mempersiapkan metode-metode interpretasi

Ketika interpretator telah menelusuri atau setidaknya pada

pendekatan terhadap masalah yang sedang dihadapi sudah menetapkan

kaidah-kaidah hukum mana saja yang akan diterapkan pada suatu

fakta-fakta. Pada tahap ini si interpretator dituntut untuk menggali dan

(6)

wilayah jangkauan, terapan dan kaidah-kaidah hukum yang

dikonfrontasinya. Selain itu interpretator bebas menetapkan pilihan

metode interpretasi apa yang akan dipakai, atau sama sekali ia hanya

bersandar pada penilaian kelayakan semata, yang merujuk pada ‘appeal

to emotion’ atau ‘apple to reason’, pada dasarnya hal tersebut

diperbolehkan. Dalam hal ini, hakim telah dilimpahkan otonomitas atau

kemerdekaan yang sedemikian luas,

g) Fase memformulasikan dalam bentuk klaim yuridik (statement, proposisi

kaidah).

Pada fase ini si interpretator berusaha menerapkan struktur

aturan-aturan tersebut yang telah disintetiskan pada fase ketiga dan keempat,

dan pada fakta-fakta relevan untuk menetapkan hak-hak dan kewajiban

dengan mengacu pada kebijakan yang melandasi aturan-aturan

tersebut.Kebijakan ini sangat penting dalam menginpretasikan terutama

pada waktu melaksanakan aturan itu kedalam situasi konkrit.

Hal ini dapat berupa requisitor (putusan hukum dari jaksa yang

belum mempunyai kekuatan mengikat) dalam perkara pidana, Pledoi

(pembelaan) dari para pihak dalam pidana, semua hal tersebut merupakan

putusan hukum dari para pihak yang tidak mempunyai kekuatan hukum

(7)

h) Motivering (pengajuan alasan atau pertimbangan)

Bagian ini merupakan posisi sentral dalam upaya

pertanggungjawaban dan presentasi putusan yang akan ditetapkan dari

seluruh fase yang digelar dalam interpretasi.

Menurut Moelyatno terdapat beberapa tahapan dalam penjatuhan

putusan, antara lain tahap menganalisis perbuatan pidana, tahap

menganalisis tanggungjawab pidana, dan tahap penentuan pemidanaan.22

a) Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana.

Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam

pidana barang siapa melanggar larangan tersebut dan perbuatan itu harus

pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak

boleh atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan

masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat tersebut. Maka

perbuatan pidana secara mutlak harus mengandung unsur formil dan

unsur materiil, yaitu sifat bertentangan dengan cita-cita mengenai

pergaulan masyarakat atau sifat melawan hukum (rechtwirdigkeit).

Dalam menganalisis suatu tindak pidana, hakim menganalisis unsur

tindak pidana, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif.Unsur subjektif

menyangkut orangnya, atau pelakunya yang dirumuskan dalam KUHP

dengan kata-kata barang siapa, sedangkan unsur objektifnya dirumuskan

dalam unsur batas pengertian suatu delik.

b) Tahap menganalisis tanggungjawab pidana.

22

Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (dalam) Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oelh

(8)

Unsur yang terdapat dalam tindak pidana tersebut selanjutnya

dianalisis hakim guna mengetahui apakah pelaku dapat dinyatakan

bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya.Dalam

analisis ini, dapat dipidannya seseorang harus memenuhi dua syarat yaitu

perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana

dan perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai

suatu kesalahan.

Menurut Moelyatno, unsur-unsur pertanggungjawaban pidana

untuk membuktikan adanya penggaran pidana yang dilakukan oleh

terdakwa harus dipenuhi hal-hal sebagai berikut:23

1) Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum).

2) Diatas umur tertentu dan mampu bertanggungjawab.

3) Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau

kealpaan.

4) Tidak ada alasan pemaaf.

c) Tahap Penentuan Pemidanaan.

Berangkat dari keyakinan hakim bahwa pelaku telah melakukan

perbuatan melawan hukum, sehingga dia dinyatakan bersalah atas

perbuatannya dengan meminta pertanggungjawaban si pelaku.

Selanjutnya hakim akan menjatuhkan pidana terhadap pelaku. Terkait

beban pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim telah diatur dalam

KUHP, dimana dalam KUHP telah mengatur pemidanaan maksimal yang

23

(9)

dapat dijatuhkan hakim dalam perbuatan pidana tertentu.Hal inilah

sebagai bentuk kebebasan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang

diajukan kepadanya.

Menurut H. Taufiq, Hakim dalam mengambil keputusan terhadap

perkara yang diperiksa dapat memilih 3 (tiga) tehnik pengambilan putusan

dan penerapan hukum yaitu:24

a) Tehnik Analitik.

Metode ini juga disebut dengan yuridis giometris. Kalau para

Hakim mempergunakan metode ini maka ia harus menguasai hukum

acara secara lengkap. Dalam pertimbangan hukum, hakim harus

menguasai pokok masalahnya terlebih dahulu secara real dan akurat, lalu

disusunlah pertanyaan sehubungan dengan pokok masalah tersebut.

b) Tehnik Equatable.

Tehnik ini harus dilihat dari segi kosmistis yang dikembangkan

dari prinsip keadilan.Isu pokok dulu yang harus dipertimbangkan, lalu

alat-alat bukti yang diajukan.Apabila alat-alat bukti itu telah diuji

kebenarannya maka hakim menetapkan alat-alat bukti itu dalam peristiwa

konkrit, yang kemudian di cari rule nya (hukumnya).

c) Tehnik Silogisme.

Tehnik ini paling banyak dipakai oleh Hakim karena ia sederhana

dan dapat diterapkan dalam peristiwa apa saja. Tehnik ini disebut juga

dengan metode penalaran induktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat ini

24

(10)

umum kepada hal-hal yang bersifat khusus.Penggunaan hukum logika

yang dinamakan dengan silogisme menjadi dasar utama aliran ini, dan

hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu

peraturan hukumnya, dan premis minor, yaitu peristiwanya.Sebagai

contoh, siapa mencuri dihukum. A terbukti mencuri, maka A harus

dihukum. Jadi rasio dan logika ditempatkan dalam ranah yang

istimewa.Kekurangan undang-undang dapat dilengkapi oleh hakim

dengan penggunaan hukum logika dan memperluas pengertian

undang-undang berdasarkan rasio.Kritik terhadap aliran ini, terutama berpendapat

bahwa hukum bukan sekedar persoalan logika dan rasio, tetapi juga

merupakan persoalan hati nurani maupun pertimbangan akal budi

manusia, yang kadang-kadang bersifat irrasional.Proses tahapan-tahapan

metodologi ini sebagai berikut:

1) Perumusan masalah atau pokok sengketa

Perumusan masalah dari suatu perkara dapat disimpulkan dari

informasi baik dari jaksa penuntut umum maupun dari penasehat

hukum. Dari persidangan tahap inilah hakim yang memeriksa perkara

tersebut memperoleh kepastian tentang peristiwa konkrit yang

diperkarakan oleh para pihak. Peristiwa inilah yang merupakan pokok

masalah dalam suatu perkara. Perumusan pokok masalah dalam proses

pengambilan keputusan oleh hakim merupakan kunci dari proses

tersebut. Kalau pokok masalah sudah salah rumusannya, maka proses

(11)

2) Pengumpulan data dalam proses pembuktian.

Setelah hakim merumuskan pokok masalahnya, kemudian

hakim menentukan siapa yang dibebani pembuktian untuk pertama

kali. Dari pembuktian inilah, hakim akan mendapatkan data untuk

diolah guna rnenemukan fakta yang dianggap benar atau fakta yang

dianggap salah (dikonstatir). Data berupa fakta yang dinyatakan oleh

alat-alat bukti dan sudah diuji kebenarannya.

3) Analisa data untuk menemukan fakta.

Data yang telah diolah akan melahirkan fakta yang akan

diproses lebih lanjut sehingga melahirkan suatu keputusan yang akurat

dan benar. Menurut Black's Law Dictionary sebagaimana yang ditulis

oleh H. Taufiq

“fakta adalah kegiatan yang dilaksanakan atau sesuatu yang dikerjakan, atau kejadian yang sedang berlangsung, atau kejadian yang benar-benar telah terwujud, atau kejadian yang telah terwujud dalam waktu, dan ruang atau peristiwa fisik atau mental yang telah menjelma dalam ruang”.

Jadi fakta itu dapat berupa keadaan suatu benda, gerakan,

kejadian, atau kualitas sesuatu yang benar-benar ada.Fakta bisa

berbentuk eksistensi suatu benda, atau kejadian yang benar-benar

wujud dalam kenyataan, ruang, dan waktu.Fakta berbeda dengan

angan-angan, fiksi dan pendapat seseorang.Fakta ditentukan

berdasarkan pembuktian.Fakta berbeda dengan hukum, hukum

merupakan asas sedangkan fakta merupakan kejadian.Fakta

(12)

keterangan para saksi dan para ahli.Fakta ada yang sederhana dan ada

pula yang kompleks, ada yang ditemukan dengan hanya dari

keterangan para saksi, tetapi ada juga yang harus ditemukan dengan

penalaran dari beberapa fakta

4) Penentuan hukum dan penerapannya.

Setelah fakta yang dianggap benar ditemukan, selanjutnya

hakim menemukan dan menerapkan hukumnya.Menemukan hukum

tidak hanya sekadar mencari undang-undangnya untuk dapat

diterapkan pada peristiwa yang konkrit, tetapi yang dicarikan

hukumnya untuk diterapkan pada suatu peristiwa yang

konkrit.Kegiatan ini tidaklah semudah yang dibayangkan.Untuk

menemukan hukumnya atau undang-undangnya untuk dapat

diterapkan pada peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus

diarahkan kepada undang-undangnya, sebaliknya undang-undang

harus disesuaikan dengan peristiwa yang konkrit.Jika peristiwa

konkrit itu telah ditemukan hukumnya maka langsung menerapkan

hukum tersebut, jika tidak ditemukan hukumnya maka hakim harus

mengadakan interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan

tersebut. Sekiranya interpretasi tidak dapat dilakukannya maka ia

harus mengadakan konstruksi hukum sebagaimana yang telah

(13)

5) Pengambilan keputusan.

Jika penemuan hukum dan penerapan hukum telah dilaksanakan

oleh hakim, maka ia harus menuangkannya dalam bentuk tertulis yang

disebut dengan putusan. Hasil proses sebagaimana yang telah

diuraikan di atas, para hakim yang menyidangkan suatu perkara

menuangkannya dalam bentuk tulisan yang disebut dengan putusan.

Putusan tersebut merupakan suatu penulisan argumentatif dengan

format yang telah ditentukan undang-undang.Dengan dibuat putusan

tersebut diharapkan dapat menimbulkan keyakinan atas kebenaran

peristiwa hukum dan penerapan peraturan perundang-undangan secara

tepat dalam perkara yang diadili tersebut.

6. Teori pembuatan putusan

Teori pembuatan putusan sangat relevan dengan tugas hakim dalam

membuat putusan di pengadilan.Putusan tersebut bertujuan untuk

menentukan bersalah tidaknya terdakwa yang diajukan ke muka

persidangan.Di samping itu juga untuk menentukan sanksi pidana yang

diterima oleh terdakwa jika sudah terbukti bersalah melakukan perbuatan

pidana.

Dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana maka

hakim dapat menggunakan beberapa teori pembuatan putusan pidana seperti

halnya teori keseimbangan, teori pendekatan seni dan institusi, teori

pendekatan keilmuan, teori pendekatan pengalaman, teori ratio decidensi,

(14)

Menurut pendapat Mackenzie sebagaimana diutip oleh Ahmad Rifai

dalam bukunya25

a. Teori Keseimbangan

, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat

dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan pembuatan putusan

dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keseimbangan antara

syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan

pihak-pihak yang bersangkutan atau yang berkaitan dengan perkara, yaitu

antara lain seperti keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan

masyarakat, kepentingan terdakwa, dan kepentingan korban.

Dalam praktik peradilan pidana keseimbangan antara kepentingan

masyarakat dan kepentingan terdakwa dirumuskan dalam pertimbangan

mengenai hal-hal yang memberatkan dan meringankan penjatuhan pidana

bagi terdakwa dimana kepentingan masyarakat dirumuskan dalam hal-hal

yang memberatkan dan kepentingan terdakwa dirumuskan pada hal-hal

yang meringankan.Pertimbangan terhadap hal-hal yang memberatkan dan

meringankan merupakan faktor yang menentukan berat ringannya pidana

yang dijatuhkan terhadap terdakwa.

b. Teori Pendekatan Seni Dan Intuisi.

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan bentuk diskresi hakim

dengan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi

setiap pelaku tindak pidana baik terdakwa maupun penuntut

25

(15)

umum.Pendekatan seni ini digunakan hakim dalam penjatuhan suatu

putusan, lebih ditentukan oleh instink atau instuisi dari pada pengetahuan

dari hakim.

Dalam praktik peradilan, teori ini digunakan hakim dalam

pertimbangan dalam menjatuhkan putusan dengan memperhatikan sistem

pembuktian yang dianut yaitu minimum dua alat bukti dan harus disertai

keyakinan hakim.Keyakinan hakim pada dasarnya bersifat subjektif yang

hanya didasarkan kepada naluri hakim saja. Disatu sisi kita menyadari

bahwa hakim merupakan manusia biasa seperti manusia pada umumnya

yang terdiri atas jasmani dan rohani yang adakalanya menempatkan

naluri pada posisi yang kurang benar, sehingga dikuatirkan akan terjadi

kekeliruan atau kesesatan dalam putusan yang dijatuhkan hakim,

sehingga akan menjadi putusan yang salah atau sesat yang dapat

menimbulkan polemik dalam masyarakat. Oleh karena itu, hakim harus

berhati-hati dalam menggunakan teori ini, yang hanya mengandalkan

pada seni dan instuisi semata dari hakim sendiri.

c. Teori Pendekatan Keilmuan.

Teori ini didasarkan kepada pemikiran bahwa proses penjatuhan

pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian,

khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam

rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan

ini merupakan sejenis peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara,

(16)

tetapi harus dilengkapi dnegan ilmu pengetahuan hukum dan juga

wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus

diputuskannya.Oleh karena itu, hakim harus dituntut untuk menguasai

berbagai ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan hukum maupun ilmu

pengetahuan non hukum lainnya, sehingga putusan yang dijatuhkan

tersebut dapat dipertanggungjawabkan dari segi teori-teori yang ada

dalam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa,

diadili dan diputuskan oleh hakim.

Dalam teori ini, kemandirian hakim dalam menguasai berbagai

teori dalam ilmu hukum maupun non hukum sangat diperlukan untuk

membuat putusan yang mencerminkan cita hukum itu sendiri. Dalam

persidangan, hakim sering meminta keterangan para ahli yang

berkompeten dibidangnya untuk menjelaskan esensi dari suatu perkara

yang diiajukan kepadanya untuk didengar keterangannya di depan

persidangan. Dari keterangan ahli tersebutlah, hakim dapat menambah

pemahaman terkait perkara yang sedang diperiksa untuk selanjutnya

hakim akan menjatuhkan putusan yang sesuai dengan rasa keadilan.

d. Teori Pendekatan Pengalaman.

Pengalaman seorang hakim merupakan hal yang sangat membantu

dalam menghadapi perkara yang dihadapi.Melalui pengalaman yang

dimilikinya, hakim dapat mengetahui dampak dari putusan yang

(17)

korban, maupun masyarakat secara umum sebagai akibat yang

ditimbulkan penjatuhan putusan tersebut.

Pengalaman hakim merupakan bekal yang bagi para hakim dalam

bersikap professional, arif, dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya

yang mendorong hakim untuk lebih berhati-hati dalam menjatuhkan

putusan.

e. Teori Ratio Decidendi.

Selain teori yang telah dikemukakan diatas, dikenal juga suatu teori

yang disebut sebagai teori ratio decidendi. Teori ini didasarkan pada

landasan filsafat yang mendasarkan dan mempertimbangkan segala aspek

yang berkaitan dengan pokok perkara, kemudian mencari peraturan

perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara sebagai dasar

hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus

didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan

memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

f. Teori Kebijaksanaan.

Teori kebijaksanaan diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, dimana

sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara

dipengadilan anak.Landasan dari teori ini menekankan rasa cinta

terhadap tanah air, nusa dan bangsa Indonesia serta nilai kekeluargaan

harus ditanam, dipupuk dan dibina.Selanjutnya aspek teori ini

menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut

(18)

agar kelak dapat menajdi manusia yang berguna bagi keluarga,

masyarakat dan bagi bangsanya.26

1) Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman sutau

kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya.

Teori kebijaksanaan mempunyai beberapa tujuan yang pertama,

sebagai upaya perlindungan terhadap masyarakat dari suatu kejahatan,

yang kedua sebagai upaya perlindungan terhadap anak yang telah

melakukan tindak pidana, yang ketiga untuk memupuk solidaritas antara

keluarga dnegan masyarakat dalam rangka membina dan memelihara dan

mendidik pelaku tindak pidana anak, dan keempat sebagai pencegahan

umum dan khusus.

Menurut Ahmad Rifai, penjatuhan pidana oleh hakim terhadap

tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek

tujuan, yatu sebagai berikut:

2) Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya

jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari.

3) Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak

pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya.

4) Memeprsiapkan mental amsyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan

dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku

tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.

26

(19)

Teori penjatuhan pidana sebagaimana dikemukan oleh Made

tersebut pada dasarnya lebih ditujukan pada penjatuhan putusan dalam

perkara anak akan tetapi makna kebijaksanaan dalam teori ini dapat juga

dipergunakan dalam penjatuhan putusan terhadap perkara pidana lainnya.

Melalui kebijaksanaan hakim dapat menemukan hukum yang berdimensi

substantif dengan mengelaborasinya dengan wawasan pengetahuan yang

luas, intuisi yang tajam dan peka, pengalaman yang luas serta etika dan

moralitas yang baik dan terjaga dari pengaruh buruk.

7. Aspek yang terkandung dalam putusan

Dalam pedoman perilaku (code of conduct) hakim yang dikeluarkan

Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman telah

menentukan bahwa putusan hakim harus mempertimbangkan segala aspek

yang bersifat yuridis, filosofis dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin

dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim

adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice),

keadilan moral (moral justice), dan keadilan masyarakat (social justice).27

Aspek yuridis merupakan aspek yang pertama dan utama dengan

berpatokan kepada undang-undang yang berlaku.Hakim sebagai aplikator

undang-undang harus memahami undang-undang yang berkaitan dengan

perkara yang sedang dihadapi.Hakim harus menilai apakah undang-undang

tersebut adil, bermanfaat, atau memberikan kepastian hukum jika

27

(20)

ditegakkan sebab salah satu tujuan hukum itu unsurnya adalah menciptakan

keadilan.

Aspek filosofis merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan

keadilan, sedangkan aspek sosiologis memuat pertimbangkan tata nilai

budaya yang hidup dimasyarakat.Penerapan aspek filosofis dan sosiologis

harus mampu mengikuti perkembangan nilai-nilai yang hidup

dimasyarakat.Pencantuman ketiga aspek tersebut sebagai upaya penegakan

nilai keadilan dan dapat diterima oleh masyarakat.

Dalam ketiga aspek tersebut harus terkandung tujuan dari hukum yang

dalam pandangan Achmad Ali dapat diklasifikasikan kedalam tiga tujuan

hukum, yaitu:

1) Aliran etis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu

semata-mata hanya untuk mencapai keadilan.

2) Aliran utilitis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum

itu hanyalah untuk menciptkan kemanfaatan atau kebahagiaan

masyarakat.

3) Aliran normatif yuridis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan

hukum itu adalah untuk menciptakan kepastian hukum.

Pandangan yang menggap bahwa tujuan hukum semata-mata hanyalah

keadilan belaka menuai pertentangan karena keadilan sebagai sesuatu yang

abstrak. Keadilan dapat berwujud kemauan yang sifatnya tetap dan terus

menerus untuk memberikan bagi setiap orang apa yang menjadi haknya, dan

(21)

hukum yang diperlawankan dengan kesewenang-wenangan. Aliran etis

dapat dianggap sebagai morai idea atau ajaran moral teoritis.Penganut aliran

ini ialah Aristoteles, Justianus, Eugen Erlich.28

Aliran utilitis memasukkan ajaran moral praktis yang menurut

penganutnya bertujuan untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan

yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin warga masyarakat

sebagaimana dikemukakan oleh para penganutnya, yaitu diantaranya Jeremy

Bentham, James Mill, Jhon Stuart Mill.Bahkan Bentham berpendapat bahwa

negara dan hukum semata-mata ada hanya untuk manfaat sejati, yaitu

kebahagiaan mayoritas rakyat.Kemudian menurut Jhon Rawls dengan

teorinya yang disebut teori Rawls atau Justice as Fairness (keadilan sebagai

kejujuran) menyatakan bahwa hukum itu haruslah menciptakan masyarakat

yang ideal, yaitu masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan

memperkecil ketidakbahagiaan (the greatest happiness of the greatest

number people).29

Aliran normatif yuridis dogmatis yang pemikirannya bersumber pada

positivistis yang beranggapan bahwa hukum sebagai sesuatu yang otonom

dan mandiri, tidak lain hanyalah kumpulan aturan yang terdapat dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan atau hukum yang tertulis saja, dan

tujuan pelaksanaan hukum dalam hal ini untuk sekedar menjamin

terwujudnya kepastian hukum. Menurut aliran ini selanjutnya, walaupun

aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan

28

Ibid.,hlm. 86.

29

(22)

manfaat yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal tersebut tidaklah

menjadi masalah, asalkan kepastian hukum dapat ditegakkan.30

Kepastian hukum menginginkan hukum harus dilaksanakan dan

ditegakkan secara tegas bagi setiap peristiwa konkrit dan tidak boleh ada

penyimpangan (fiat justitia et pereat mundus). Kepastian hukum

memberikan perlindungan kepada yustisiabel dari tindakaan

sewwenang-wenang pihak lain dan hal ini berkaitan dalam usaha ketertiban dalam

masyarakat.31

Hukum itu ada untuk manusia, sehingga masyarakat mengharapkan

kemanfaatan dari pelaksanaan atau penegakan hukum.Jangan sampai terjadi

dalam pelaksanaan dan penegakan hukum timbul keresahan dalam

masyarakat.32

Selain itu masyarakat juga berkepentingan agar dalam pelaksanaan

atau penegakan hukum itu, memperhatikan nilai-nilai keadilan.Akan tetapi,

harus diingat bahwa hukum itu tidak identik dengan keadilan, karena hukum

bersifat umum, mengikat setiap orang, dan bersifat menyamaratakan atau

tidak membeda-bedakan keadaan, status ataupun perbuatan yang dilakukan

oleh manusia. Bagi hukum, setiap kejahatan oleh pelaku tindak pidana atau

pelanggaran hukum oleh pihak yang berperkara, maka dijatuhkan pidana

yang sesuai dengan apa yang tertera dalam bunyi pasal dalam

30

Ibid., hlm. 94.

31

Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Op.cit.,hlm. 2. 32

(23)

undang, sehingga keadilan menurut hukum belum tentu sama dengan

keadian moral atau keadilan masyarakat.33

Tujuan hukum tersebut pada dasarnya sama dengan yang diungkapkan

oleh Gustav Radbruch sebagai tiga nilai dasar hukum, yaitu keadilan,

kemanfaatan dan kepastian hukum. Selanjutnya Radbruch mengajarkan

penggunaan asas prioritas dari ketiga asas tersebut, dimana prioritas pertama

selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan dan yang terakhir nilai

kepastian hukum.34

Hakim dalam memutus perkara secara kasuistis selalu dihadapkan

pada ketiga asas tersebut, yaitu asas kepastian hukum, asas keadilan, dan

asas kemanfaatan. Sebagaimana menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa

ketiga asas tersebut harus dilaksanakan secara kompromi yaitu dengan cara

menerapkannya secara seimbang atau proporsional.35

Dalam praktik peradilan, sangat sulit bagi seorang hakim untuk

mengakomodir keadaan ini, hakim harus memilih salah satu dari ketiga asas

tersebut untuk memutuskan suatu perkara dan tidak mungkin ketiga asas

tersebut dapat tercakup sekaligus dalam satu putusan.jika diibaratkan dalam

sebuah garis hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara berada

diantara dua titik pembatas dalam garis tersebut, yaitu berdiri pada titik Sehingga tidak perlu

mengikuti asas prioritas sebagaimana yang diungkapkan oleh Radbruch,

tetapi seharusnya mengikuti asas prioritas yang kasuistis atau sesuai dnegan

kasus yang dihadapi.

(24)

keadilan atau titik kepastian hukum, sedangkan titik kemanfaatan sendiri

berada diantara keduanya.36

Pada saat hakim menjatuhkan putusan yang lebih dekat mengarah

pada asas kepastian hukum, maka otomatis hakim akan menjauh dari titik

keadilan. Sebaliknya jika hakim menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah

pada keadilan, makas secara otomatis hakim akan menjauhi titik kepastian

hukum. Disinilah letak batas-batas kebebasan hakim, dimana hakim hanya

dapat bergerak diantara dua titik pembatas tersebut. Dengan suatu

pertimbangan yang bernalar, seorang hakim akan menentukan kapan dirinya

berada di dekat titik kepastian hukum, dan kapan harus berada di titik

keadilan. Jadi, tidaklah benar sepenuhnya bahwa hakim dalam memeriksa

dan menjatuhkan putusan suatu perkara bersifat bebas dan tanpa batas.37

Penekanan terhadap asas kepastian hukum lebih cenderung

mempertahankan norma-norma hukum tertulis, pola berpikir seperti ini akan

mengalami kendala pada saat ketentuan tertulis dapat menjawab persoalan

yang diajukan kepada hakim, sehingga dalam posisi seperti itu hakim harus

menemukan hukum untuk mengisi kekosongan hukum tersebut. Penekanan Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa seorang hakim dalam

memeriksa dan memutus perkara tidak selamanya terpaku pada suatu asas,

asas yang terkandung dalam putusan disesuaikan dengan kasus yang sedang

diperiksa.

36

Ahmad Rifai, Op.cit.,hlm. 132. 37

Lontung O. Siahaan, Peran Hakim Agung dalam Penemuan Hukum dan Penciptaan

Hukum pada Era Reformasi dan Transformasi, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun ke XXI

(25)

terhadap asas ini lebih bernuansa pada terciptanya keteraturan dan

ketertiban masyarakat.38

Selain keadilan hukum yang hendak diwujudkan dikenal juga keadilan

moral dan keadilan sosial yang harus diterapkan hakim.Dalam pelaksanaan Penekanan pada asas kemanfaatan lebih bernuansa

kepada pemenuhan tujuan hukum bagi masyarakat banyak.

Penekanan pada asas keadilan maka hakim harus mempertimbangkan

hukum yang hidup dimasyarakat.Putusan hakim harus mampu

mengakomodir rasa keadilan individu, kelompok, masyarakat yang belum

tentu sama dengan masyarakat lainnya.

Dalam aspek tersebut harus terkandung nilai keadilan hukum yaitu

keadilan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan.Dalam arti

hakim hanya memutuskan perkara hanya berdasarkan hukum positif yang

berlaku.Keadilan seperti ini disebut dengan keadilan berdasarkan aliran

legalistic positivism.Dalam menegakkan keadilan ini hakim atau pengadilan

hanya sebagai pelaksana undang-undang belaka, hakim tidak perlu mencari

sumber-sumber hukum diluar hukum tertulis dan hakim hanya dipandang

menerapkan undang-undang pada setiap perkara konkrit. Dengan kata lain

hakim merupkan corong undang-undang.

Keadilan hukum yang berdasarkan undang-undang pada dasarnya

berlaku pada kondisi tertentu, hal ini tidak berlaku ketika terjadi perubahan

nilai-nilai keadilan dalam masyarakat atau terjadi dinamika sosial yang

mengakibatkan pemahaman tentang keadilan mengalami pergeseran.

38

(26)

tugas dan wewenang seorang hakim dipandang perlu menegakkan nilai

kebenaran dan keadilan dengan berpegang kepada hukum undang-undang,

nilai-nilai keadilan dalam masyarakat.Dalam diri hakim diemban amanah

agar peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil dan

apabila penerapan peraturan perundang-undangan tersebut menimbulkan

ketidakadilan, maka hakim berkewajiban berpihak kepada keadilan moral

dan mengenyampingkan hukum dan peraturan perundang-undangan.Karena

hukum yang baik adalah hukum yang bersesuaian dengan hukum yang

hidup dalam masyarakat (the living law) yang merupakan cerminan

nilai-nilai yang berlaku didalam masyarakat.Keadilan yang dimaksud disini

bukan merupakan keadilan proseduril melainkan keadilan substantif.

Menurut Daniel S.Lev keadilan menggunakan istilah proseduril dan

substantif.Sedangkan Schuyt menggunakan istilah formil dan

materiil.Keadilan proseduril diartikan sebagai keadilan yang didapatkan dari

putusan-putusan lembaga resmi yang dibentuk menurut undang-undnag

negara termasuk putusan pengadilan.Sedangkan keadilan substantif

menyangkut hak-hak sosial serta menandai penataan politik, ekonomi dalam

masyarakat.39

Dalam penerapannya dimasyarakat, tuntutan masyarakat lebih

menekankan pada penegakan keadilan substantif dibandingkan keadilan

proseduril. Hal ini sejalan dengan pandangan para penganut hukum

moralitas yang mengkehendaki penegakan prinsip kebajikan dan moralitas.

39

Mulyana W. Kusuma, Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia, Suatu Pemahaman

(27)

Karena menurut pandangan ini, hukum yang meninggalkan prinsip-prinsip

moralitas bahkan bertentangan dengan nilai-nilai moralitas boleh atau bisa

tidak ditaati berdasarkan suatu hak moral (moral right).

Selain memperhatikan aspek substantif seperti aspek yuridis, filosofis

dan sosiologis, putusan hakim juga harus memperhatikan

ketentuan-ketentuan sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 197 ayat (1) KUHAP.

Apabila putusan tidak memuat pernyataan yang ditentukan dalam pasal 197

ayat (1) jo. Pasal 197 ayat (2), dapat mengakibatkan putasan batal demi

hukum.Suatu putusan yang batal demi hukum mengakibatkan

mengembalikan semua hal dan keadaan kepada keadaan semula seolah-olah

terdakwa tidak pernah diperiksa dan didakwa melakukan tindak pidana.

Kedudukan terdakwa pulih dalam keadaan semula sebelum ia diperiksa dan

didakwa. Demikian fatalnya akibat yang akan dialami oleh putusan yang

tidak mengindahkan ketentuan yang dimuat dalam pasal 197 ayat (1).

Putusan yang dijatuhkan, tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan

hukum, dan tidak mempunyai kekuatan daya eksekusi.Putusan yang batal

demi hukum tidak dapat dieksekusi oleh penuntut umum, karena putusan itu

sendiri tidak mempunyai akibat hukum.40

1) Putusan pemidanaan harus memuat semua ketentuan pasal 197 ayat (1)

KUHAP. Putusan pemidanaan akan terhindar dari ancaman batal demi

hukum sebagaimana yang diancam pasal 197 ayat (2), apabila putusan

memuat semua ketentuan pasal 197 ayat (1) KUHAP.

Hal tersebut dapat dilihat dalam:

40

M.Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, kasasi dan Peninjauan Kembali.Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012,

(28)

a) Berkepala: Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Demi

keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa berkaitan dengan

falsafah yang dianut penegakan hukum yang dicita-citakan bangsa

Indonesia keadilan berdasarkan ketuhanan,artinya hukuman atau

putusan yang dijatuhkan bukan berdasarkan kehendak hakim atau

undnag-undnag maupun penguasa, akan tetapi sekaligus dalam upaya

penegakan hukumitu tersirat kehendak Tuhan.

b) Identitas terdakwa, identitas meliputi nama lengkap, tempat lahir,

umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, tempat tinggal, agama dan

pekerjaan terdakwa. Huruf b menentukan agar dalam putusan jelas

dan terang diuraikan identitas terdakwa, guna menjamin kepastian

hukum bahwa orang yang dijatuhi pidana adalah terdakwa yangs

sedang diadili. Oleh karena itu, identitas yang tertera dalam putusan

harus sama dengan identitas yang tertera dalam berita acara

persidangan.

c) Dakwaan, dalam putusan memuat seluruh isi surat dakwaan yang

dibuat penuntut umum yang terdapat dalam surat dakwaan. Dakwaan

yang terdapat dalam surat dakwaan diambil alih secara keseluruhan

kedalam putusan secara keseluruhan sesuai yang diuraikan penuntut

umum. Hal ini sesuai dengan pasal 197 ayat (1) huruf c.

d) Pertimbangan yang lengkap, fakta dan keadaan harus diuraikan jelas

sesuai dengan apa yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang

(29)

ringannya hukuman pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa

tidak terlepas dari fakta dan keadaan yang memberatkan atau

meringankan si terdakwa.Pembuktian yang diperoleh dari

pemeriksaaan di sidang yang menjadi dasar penentuankesalahan

terdakwa juga harus dimuat secara lengkap. Pembuktian tersebut akan

dipertimbangankan secara argumentatif, sehingga jelas terbaca jalan

pikiran yang logis dan reasoning yang mendukung kesimpulan

pertimbangan hakim.

e) Tuntutan pidana penuntut umum. Setelah uraian dakwaan maka

dimuat ketentuan tuntutan pidana. Argumentasi fakta dan alat

pembuktian dikonfrontir oleh hakim dengan argumentasi tuntutan

pidana penuntut umum dan pembelaan terdakwa, konfrontasi semua

argumentasi ini yang harus jelas terbaca dalam putusan hukum.

f) Putusan undang-undang yang menjadi dasar pertimbangan. Menurut

ketentuan ini, putusan pemidanaan memuat pasal peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau pasal

peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum putusan,

disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.

g) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah hakim. Hal ini memuat

tanggal hari pemusyawaratan dan tanggal hari pengucapan

pengumuman putusan.

h) Pernyataan kesalahan terdakwa berupa penegasan telah terpenuhi

(30)

dengan kualifikasi dan pemidanaan atau hukuman yang dijatuhkan.

Biasanya pernyataan yang disebut pada huruf h ini dicantumkan

dalam amar putusan.

i) Pembebanan biaya perkara dan penentuan barang bukti. Ketentuan

yang dimuat dalam huruf i menyangkut dua ketentuan yang

berhubungan dengan pembebanan biaya perkara dan besarnya biaya

perkara dan mengenai alat bukti serta cara pengembalian barang bukti,

pemusnahan maupun perampasan barang bukti tersebut.

j) Penjelasan tentang surat palsu, jika dalam persidangan ditemukan

surat palsu maka akan dijelaskan dalam putusan.

k) Perintah penahanan, tetap dalam tahanan atau pembebasan. Hal ini

dimuat sebagai upaya mencegah terjadinya kelalaian hakim yang

berakibat putusan batal demi hukum.

l) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, hakim yang

menuntut dan panitera. Hal ini ditempatkan sesudah amar putusan.

8. Tehnik Pengambilan Putusan

Hakim dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang diperiksa

dapat memilih 3 (tiga) tehnik pengambilan putusan dan penerapan hukum

yaitu:

a. Tehnik Analitik.

Metode ini juga disebut dengan yuridis giometris. Kalau para

hakim mempergunakan metode ini maka ia harus menguasai hukum

(31)

khusus, lalu ditarik kesimpulan kepada hal-hal umum (kesimpulan

deduktif).Dalam pertimbangan hukum, hakim harus menguasai pokok

masalahnya terlebih dahulu secara real dan akurat, lalu disusunlah

pertanyaan sehubungan dengan pokok masalah tersebut.

b. Tehnik Equatable.

Tehnik ini harus dilihat dari segi kosmistis yang dikembanangkan

dari prinsip keadilan.Isu pokok dulu yang harus dipertimbangkan, lalu

alat-alat bukti yang diajukan penggugat dan tergugat.Apabila alat-alat

bukti itu telah diuji kebenarannya maka hakim menetapkan alat-alat bukti

itu dalam peristiwa konkrit, yang kemudian mencari hukumnya.

c. Tehnik Silogisme.

Tehnik ini paling banyak dipakai oleh hakim karena ia sederhana

dan dapat diterapkan dalam peristiwa apa saja. Tehnik ini disebut juga

dengan metode penalaran induktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat ini

umum kepada hal-hal yang bersifat khusus.Penggunaan hukum logika

yang dinamakan dengan silogisme menjadi dasar utama aliran ini, dan

hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu

peraturan hukumnya, dan primis minor, yaitu peristiwanya.Sebagai

contoh, siapa mencuri dihukum. A terbukti mencuri, maka A harus

dihukum. Jadi rasio dan logika ditempatkan dalam ranah yang

istimewa.Kekurangan undang-undang dapat dilengkapi oleh hakim

dengan penggunaan hukum logika dan memperluas pengertian

(32)

bahwa hukum bukan sekedar persoalan logika dan rasio, tetapi juga

merupakan persoalan hati nurani maupun pertimbangan akal budi

manusia, yang kadang-kadang bersifat irrasional.

D.Konsepsi Dissenting Opinion

4. Sejarah Penerapan Konsep Dissenting Opinion

Konsep dissenting opinion pada dasarnya terbentuk tidak terlepas dari

sistem hukum yang dianut oleh kekuasaan peradilan suatu negara. Konsep

ini lebih dahulu dikenal dalam tradisi hukum common law system yang

dianut oleh negara-negara anglo saxon. Dalam sistem common law

putusan-putusan hakim/yurisprudensi merupakan sumber hukum.Melalui putusan-putusan

tersebut prinsip-prinsip hukum dan kaidah-kaidah hukum dibentuk dan

mengikat umum.Undang-undang dan peraturan perundang-undang lainnya

juga tetap diakui karena pada dasarnya terbentuknya kebiasaan dan

peraturan tersebut bersumber dari putusan pengadilan.

Peraturan dan segala putusan tersebut tidak tersusun secara sistematis

dalam kodifikasi sebagaimana pada sistem hukum eropa kontinental.Oleh

karena itu, hakim memiliki wewenang yang luas untuk menafsirkan

peraturan-peraturan dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang

berguna sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara

sejenis.Hal inilah yang disebut dengan asas doctrin of presedent yaitu hakim

(33)

perkara-perkara sejenis.41

Konsep dissenting opinion yang dianut oleh negara Indonesia juga

tidak terlepas dari sistem hukum eropa kontinental, sistem ini berasal dari

kodifikasi hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa

pemerintahan Kaisar Yustianus.Kodifikasi ini merupakan kumpulan dari Namun apabila dalam yurisprudensi tidak

ditemukan prinsip hukum yang dicari, hakim berdasarkan prinsip keadilan,

kebenaran dan akal sehat dapat memutuskan perkara dengan menggunakan

metode penafsiran hukum.

Berangkat dari konsep hukum yang ditetapkan dalam sistem hukum

common law, maka setiap putusan hakim harus menjelaskan pertimbangan

dan argumentasi pengambilan keputusan, sehingga hakim-hakim yang akan

datang dapat memahami jalan berpikir dari hakim-hakim terdahulu yang

akan mengikat menjadi preseden. Dengan kata lain hakim harus

memberikan alasan atau pertimbangan mengapa satu keputusan dipilih

mengingat ada sejumlah alternatif lain yang tersedia, demikian pula bila ada

perbedaan pendapat, seorang hakim harus memberikan pertimbangan yang

melandasi ketidaksetujuannya dengan pandangan koleganya.

Dalam sistem ini, putusan hakim tidak dipresentasikan sebagai

pandangan atau opini bersama, olehnya tidak ada keharusan bagi hakim

untuk memaparkan argumentasi dari penalaran yang diambilnya, hanya

argumentasi yang terpenting saja yang dikemukakan yang disebut

‘apodictish’, sedangkan argumentasi dari suara minoritas tidak dimuat.

41

(34)

berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa Yustianus yang disebut

dengan Corvus Juris Civilis.Corvus Juris Civilis dijadikan sebagai dasar

dalam perumusan dan kodifikasi hukum.

Prinsip utama yang terdapat dalam sistem hukum eropa kontinental ini

yaitu hukum memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang

berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi.

Dalam sistem hukum ini dikenal sebuah adagium “tiada hukum selain

undang-undang”, dengan kata lain bahwa hukum selalu diidentikkan dengan

undang-undang. Hakim dalam sistem hukum ini tidak bebas dalam

menciptakan hukum baru karena hakim hanya menerapkan dan menafsirkan

peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya, putusan

hakim tidak mengikat secara umum tapi hanya mengikat para pihak yang

bersengketa.

Dalam perkembang peradaban manusia bahwa sistem hukum yang

telah dianut tersebut tidak bersifat kaku, telah terjadi pembauran antarsistem

dengan menyerap kelebihan masing-masing sistem.Sehingga penemuan

hukum tidak lagi murni otonom maupun murni heteronom. Hal ini

berdampak terhadap pergeseran dari “hakim terikat” kearah “hakim bebas”

dan pergeseran keadilan menurut undang-undang (normgerechtigkeit)

kearah keadilan menurut hakim seperti yang tertuang dalam putusan

(einzelfallgerechtigkeit), serta terjadi pergeseran pola berpikir yang

(35)

masalah (problem oriented).42

Pergeseran ini didasarkan kepada dinamika sosial yang terjadi, antara

lain:Pertama, undang-undang bersifat langsung konservatif. Dalam

penerapannya di masyarakat dihadapkan kepada kenyataan bahwa

undang-undang yang dibuat dan diundang-undangkan langsung bersifat konserfatif, karena

segera menjadi rumusan huruf mati dan langsung menjadi statis ketika

berhadapan dengan perubahan sosial yang terus berjalan. Disisi lain dalam

kehidupan sosial yang mengalami perubahan, ekonomi, dan moral berpacu

mengalami perubahan persfektif (the social, economic, and moral almost

change their persfektif).

membuka ruang kepada hakim untuk

membentuk hukum ‘judge made law’.

43

Kedua, pada dasarnya tidak ada satupun undang-undang yang

sempurna.Pada saat undang-undang dibuat orang berpendapat bahwa

undang-undang tersebut baik dan sempurna. Akan tetapi ketika dinamika

sosial yang bersifat konkrit terjadi yang tidak terpikirkan pada saat

perumusan undang tersebut antara lain berupa rumusan undang-Untuk mengakomodir dinamika sosial tersebut,

hakim berwenang untuk mengaktualkan penerapan undang-undang yang

dibuat oleh parlemen dengan tujuan agar hukum atau undang-undang yang

dibuat dapat mengikuti perubahan dan perkembangan masyarakat dan

mentransformasikan nilai-nilai dan kebutuhan perkembangan sosial,

ekonomi, budaya, dan moral yang terjadi sehingga dapat berfungsi sebagai

hukum yang hidup (living law).

42

Ibid. Hlm. 210.

43

(36)

undang sering kali sulit dipahami (elusive term); tidak jelas artinya (unclear

term); kabur dan samar (vague outline); atau mengandung pengertian yang

ambiguitas (ambiquity) hal ini dapat menghambat penemuan kebenaran

materiil. Selain itu undang-undang mungkin bertentangan dengan konstitusi

(unconstitusional) atau bisa melanggar atau mengancam hak asasi manusia;

atau isinya bertentangan dengan akal sehat (contrary to common sense); dan

adakalanya pula ketentuan undang-undang menimbulkan akibat yang tidak

layak karena undang-undang tersebut terlampau formalistik, tidak sederhana

dan tidak mudah dipahami, sehingga tidak dapat memberi kepastian.

Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Paul Scholten yang

mengemukakan bahwa:44

a) Hukum bukan suatu sistem hukum tertulis yang tidak boleh diubah

sebelum badan pembuat undnag-undang mengubahnya. Artinya,

undang-undang dapat saja diubah maknanya, meskipun tidak diubah bunyi

kata-katanya untuk menyesuaikannya dengan fakta konkrit yang ada.

b) Keterbukaan sistem hukum berhubungan dengan persoalan kekosongan

dalam hukum, dimana ada dua macam kekosongan dalam hukum, yaitu:

1) Kekosongan hukum sendiri, yaitu jika hakim mengatakan bahwa ia

menemukan suatu kekosongan karena ia tidak mengetahui bagaimana

ia harus memberi putusannya.

2) Kekosongan dalam perundang-undangan, yaitu dengan konstruksi

hukum dan penalaran logispun, problemnya masih tetap tidak

44

(37)

terpecahkan, dalam hal itu harus mengisi kekosongan ini seperti ia

berada pada kedudukan sebagai pembuat undang-undang dan

memberi putusannya seperti halnya jika pembuat undang-undang itu

akan memberikan putusannya dalam menghadapi kasus seperti itu.

Berangkat dari gagasan perlunya penerapan dissenting opinion dalam

putusan hakim maka pembahasan materi Rancangan Undang-undang

tentang Kekuasaan Kehakiman, yang kemudian menjadi Undang-undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang selanjutnya

mengalami perubahan menjadi Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009

memuat penambahan substansi baru mengenai “Pendapat hakim yang

berbeda” (dissenting opinion). Adapun pertimbangan dimasukkannya

substansi ini adalah “…Dalam rangka pengawasan intern di lingkungan

peradilan sebagai langkah mendapatkan hakim yang berkualitas, bermoral,

dan berdedikasi tinggi dalam melaksanakan tugasnya, dan dalam rangka

pengawasan ekstern yaitu agar masyarakat mengerti mengenai putusan

perkara yang diberikan kepadanya berdasarkan pertimbangan atau pendapat

tertulis yang diberikan oleh hakim yang memeriksa perkara dalam sidang

pengadilan”.

Rumusan ini merupakan terobosan baru untuk menguatkan konsep

dissenting opinion dalam sistem peradilan di Indonesia, mengingat tugas

hakim yang sangat kompleks dalam menemukan kebenaran materiil agar

dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat. Sebagaimana yang dimuat

(38)

Kekuasaan Kehakiman yang mengatur bahwa: “Hakim wajib menggali,

mengikuti, dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Dengan

demikian, terdapat kewajiban bagi para hakim untuk tidak menolak setiap

perkara yang diajukan ke pengadilan.

Sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman, dimana jika dalam sidang permusyawaratan majelis

hakim tidak tercapai mufakat, maka para anggota majelis hakim yang

berbeda pendapat dengan hasil rapat permusyarakatan hakim, wajib dimuat

dalam putusan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan

tersebut.

Penerapan konsep dissenting opinion dalam sistem hukum Indonesia

pada dasarnya bukanlah merupakan hal yang baru. Dalam Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)45

45

Pasal 182 ayat (5) KUHAP “Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan dan alasannya”.

Pasal 182 ayat (6) KUHAP “Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil pemufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat tercapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Putusan diambil dengan suara terbanyak; b. Jika ketentuan huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa”.

Pasal 182 ayat (7) KUHAP “pelaksanaan pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia”.

mengatur

bahwa suatu putusan pengadilan harus dilandasi suatu permufakatan bulat

para anggota majelis hakim apabila dengan sungguh-sungguh permufakatan

bulat tidak dapat dicapai maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak

(39)

terdakwa”. Penjelasan Pasal 182 ayat (6) KUHAP juga menegaskan bahwa

hal itu dicatat dalam berita acara sidang majelis yang bersifat rahasia.

Sifat kerahasiaan musyawarah hakim dalam pembuatan putusan pada

dasarnya menutup kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui

pendapat yang berkembang dalam musyawarah hakim, artinya

dimungkinkan pendapat-pendapat yang dipandang lebih mendekati pada

nilai kebenaran justru kalah dalam musyawarah tersebut. Mengenai hal ini,

Utrecht mengatakan bahwa ada 3 sebab maka seorang hakim menurut

keputusan seorang hakim lainnya atas dasar: Pertama, alasan psikologis;

Kedua, alasan praktis; Ketiga, alasan karena adanya kecocokan atau

kesesuaian dengan perkara yang ditangani dengan perkara sebelumnya dan

putusan telah diberikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang

dipandang dapat dipertanggungjawabkan.46

Disatu sisi kita meyakini bahwa pencantuman dissenting opinion pada

dasarnya tidak bertentangan dengan sifat independensi kekuasaan

kehakiman dan sifat kerahasiaan dari musyawarah hakim dalam memutus Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa pencantuman perbedaan

pendapat (dissenting opinion) yang terjadi dalam forum musyawarah hakim

dalam menentukan putusan justru jauh dari semangat independensi personal

hakim dalam memberikan pendapat dalam rangka penegakan supremasi

hukum di Indonesia khususnya dalam menciptakan peradilan yang terbuka

dan transparan.

46

(40)

perkara justru hal ini bersesuaian dengan semangat keterbukaan publik,

transparansi dan akuntabilitas dalam rangka mengawal tegaknya sistem

check and balance kekuasaan kehakiman.

Hal ini sesuai dengan konsep independensi yang diatur dalam

undang-undang 48 Tahun 2009 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah

kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi

terselenggaranya negara hukum republik Indonesia. Penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan

peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan peradilan milliter, lingkungan peradilan tata

usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Pasal 4 (3) undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman secara tegas merumuskan bahwa : segala campur tangan dalam

peradilan oleh pihak luar diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali

dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar Negara

Kesatuan RI Tahun 1945, disamping itu Hakim harus melaksanakan

disiplin tinggi dalam memutus perkara sebagaimana diatur dalam Surat

Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 215/KMA/SK/XIII/2007 Pasal 8

butir 2 yang berbunyi: “Hakim Berkewajiban mengetahui dan mendalami

serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan

(41)

hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari

keadilan”.

5. Dinamika Penerapan Dissenting Opinion di Indonesia

Pengaturan perbedaan pendapat sudah diterapkan pada Pengadilan

Niaga dan Mahkamah Konstitusi. Pada Pengadilan Niaga, model

pencantuman Dissenting opinion terpisah dari putusan. Pada Mahkamah

Konstitusi, Dissenting opinion merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari putusan. sehingga diperlukan penyeragaman model pencantuman

dissenting opinion dalam suatu peraturan yang khusus mengatur tentang

dissenting opinion tersebut.

6. Konsep Dissenting Opinion Di Berbagai Negara

Penerapan konsep dissenting opinion diberbagai negara pada dasarnya

memiliki perbedaaan sesuai dengan tradisi hukum setempat. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan institusi Europarl dalam jurnal penelitiannya

mengemukakan terdapat 27 negara eropa yang menganut konsep dissenting

opinion, sementara terdapat negara yang tidak menerapkan kosnep

tersebut.47

a. Belgia

Negara-negara tersebut antara lain:

Sistem peradilan Belgia terinspirasi oleh prinsip kerahasiaan

musyawarahyang melarang publikasi pendapat individu. Pengadilan

kasasi telah mengakui bahwa kerahasiaan musyawarah adalah prinsip

47

Dissenting opinions in the Supreme Courts of the Member States, Jurnal,

(42)

hukum Belgia danmenegaskan bahwa hakim wajib melestarikannya,

bahwa setiappelanggaran rahasia tersebut, termasuk dengan menerbitkan

pandanganindividu para hakim terkait putusan yang akan diambil dapat

dihukumpidana.

b. Perancis

Sistem peradilan Perancis menganut prinsip kerahasiaan

musyawarah yang secara eksplisit ditafsirkan dengan melarang publikasi

perbedaan pendapat. Pengadilan Prancis mengakui bahwa

prinsipkerahasiaan adalah prinsip umum hukum publikPrancis yang

melarang publikasi keputusan bulat, karena ini akanmengakibatkan

mengungkapkan suara individu masing-masinghakim dalam mengambil

bagian dalam pembuatan putusan.

Pada prinsipnya musyawarah hakim mengikat tidak hanya

padahakim biasa, tetapi juga pada hakim konstitusi yang bersumpah

untukmenjagakerahasiaan pertimbangan dan penilaian dan tidak

mempublikasikannya. Prinsip kerahasiaan musyawarah hakim konstitusi

terakhir ini mengalami perdebatan luas denganmempertimbangkan

perubahan konsep tersebut dalam praktek peradilan, sepanjang tidak

berpotensi membahayakan otoritas, kredibilitas dan kolegialitas hakim.

Dengan alasan perlu menjamin transparansi dan pertimbangan hukum

(43)

c. Italia

Italia mengikuti prinsip kerahasiaan pertimbangan dan pendapat

hakim baik dipengadilan biasa maupun pengadilan konstitusi. Prinsip

kerahasiaan secara tegasdiakui oleh hukum, baik di pengadilan perdata

danpengadilan pidana, sehingga pelanggaran terhadap prinsip tersebut

merupakan bagian dari kejahatan.Namun,sejak tahun 1988(ketika hukum

baru tentang tanggung jawab perdata hakim diundangkan), maka prinsip

itu mengalami pergeseran dimana pendapat yang berbeda dapat dicatat

atas permintaan ingkartetapidalam pendapat berbeda tersebut disimpan

dan disegel.

Prinsip yang sama berlaku padapengadilan kasasi dan Mahkamah

Konstitusi. Keputusan untukmemperthankan konsep “kebulatan suara

jelas” sudah dibahas berulang kali dalam bentuk draf RUU oleh parlemen

negara tersebut sejak tahun 1990. Kebanyakan sarjanatampaknya

mendukung pengenalan pendapat terpisah. Selain itu, beberapa

amandemenaturan prosedur pengadilan telah menyebabkan kemungkinan

secara tidaklangsung mengungkapkan pendapat berbeda dalam lingkup

internmeskipun tidak disertai alasan.

d. Luksemburg

Sampai tahun 1997, judicial review tidak dikenal di Luksemburg,

seperti pengadilan biasa telahmenolakgagasan bahwa mereka mungkin

akandiizinkan untuk meninjau kompatibilitas hukum terhadapKonstitusi.

(44)

praktek tradisional kerahasiaanpertimbangan dan penilaian .Pada tahun

1997 Undang-UndangtentangMahkamah Konstitusi, pembahasan yang

terakhir membahas tentangkerahasiaan musyawrah

(Pasal12).Prinsiprahasia musyawarah, ditafsirkan sebagai upaya

memperluas pendapat individu.prinsip ini berlaku diseluruh lingkup

peradilan di negara tersebut.

e. Malta

Semua pengadilan melindungi kerahasiaanpertimbangan dan

penilaian keputusan yang diambil olehmayoritas dan keputusan

mayoritas harus membentuk putusan yang akandisampaikansebagai

putuan akhir pengadilan .

f. Belanda

Pengadilan Belanda mengikuti prinsipkerahasiaan darimusyawarah,

yang juga didukung oleh undang-undang dan ditafsirkansebagaimelarang

publikasi opinion individu.

g. Austria

Austria ketat mematuhi kerahasiaan pertimbangan. Menurut

undang-undang tentang MahkamahKonstitusi, musyawarah danpenilaian

tidak terbuka untuk umum. Larangan serupa jugaberlaku pada

undang-undang tentangpengadilan administratif, danpengadilan lainnya dengan

mengikuti prinsip yangsama. Sementara dissentinghakim diperbolehkan

dalam internal pengadilan itu sendiri yang disimpan sebagai bentuk arsip

(45)

tidak pernah mengalami perubahan.Sejak tahun 1960an, para sarjanatelah

berulang kali menyuarakan untuk melakukan perubahan tetapi tetap tidak

diperbolehkan.

Selanjutnya terdapat beberapa praktek penerapan perbedaaan pendapat

di negara anggota Uni Eropa, di manaperbedaanpendapat diperbolehkan.

Hakimmemiliki hak untukmempublikasikan perbedaan pendapat dan pada

Subbab ini akanmenyajikan praktek 20 anggotanegara Uni

Eropayangmemperbolehkan pendapat individu dan menentukansejauh mana

ruang lingkup penerapan aturan pada pendapat terpisah.

a. Bulgaria

Konsep Dissenting opinion diBulgariasama seperti negara-negara

Eropa Tengah dan Timur yangtelah mengadopsi sistem judicial review

pada Mahkamah Konstitusi yang dibentuk pada tahun 1991. Dissenting

opinion dan concurring opinion secara tegas disebutkan dalam Peraturan

Organisasi Mahkamah Konstitusi. Menurut Pasal 32,pengadilan dalam

membuatkeputusan melalui pemungutan suara terbuka, hakim yang tidak

setuju dengan keputusan atau dengan resolusi yang ditolak tersebut dapat

melampirkandissenting opinion tertulis.Selain itu, hakim yang

berpendapat mayoritas juga dapat menerbitkanconcurring opinion.

Pendapat terpisah tidak dibolehkan jika keputusan yang akan

diambildalampemungutan suara berkaiatan dengan kekebalanhakim atau

mengenai impeachmentpresiden. Putusanmahkamah konstitusi yang

(46)

disertai dengan alasan setiapdissenting opinion dan concurring

opinion.Publikasi juga diperbolehkandalam pengadilan biasa, dimana

hakim minoritas harus menandatanganiputusan suara mayoritas dan

menandatangani pendapat yang berbeda yang dilampirkannya.

b. RepublikCeko

Republik Ceko mengadopsi undang-undang tentang Mahkamah

Konstitusitanggal 16 Juni 1993, tidak lamasetelah pembagian

Cekoslowakia. MenurutPasal 14 dan 22 seorang hakim yang tidak

setujudengan keputusan musyawarah memiliki hak untuk berbeda

pendapat, dissenting opinion tersebutdimuat dalam catatan diskusi dan

dicantumkan kedalam keputusan yang disebut sebagaipendapat terpisah,

selanjutnya yang diterbitkan dalam reporter pengadilan sendiri. Dibagian

bawah putusan dicantumkan catatan yang menyebutkanexistence.

c. Denmark

Mengenai dissentingopinion,sistem Denmark telah berkembang

perlahan-lahan.Secara tradisional,penilaian dan opini hakim bersifat

rahasia, tetapi pada tahun 1930 sistembaru diberlakukanyang

memungkinkan untuk menyertakanperbedaan pendapat dengan

menyebutkan pandanganyang berbedadalam musyawarah hakim secara

anonim. Selanjutnya konsep anonym tersebuttelah ditinggalkan sejak

tahun 1958 bahwa keputusan sepenuhnya bersifattransparan dan terbuka.

(47)

diterbitkan sebagai bagian dariputusan, denganmencantumkan nama

hakim yang mengeluarkan dissentingopinion.

d. Jerman

Jerman adalah salah satu contoh yang paling terkenal dari

negaramengikuti tradisi hukum sipiltetapi memperbolehkan hakim

konstitusi untuk mengeluarkan pendapat terpisah. Sementara hakim yang

duduk dipengadilan biasa terikat untuk menghormati kerahasiaan

pertimbangan danpenilaian hakim dalam musyawarah,

konstitusionalhakim merupakan pengecualian untuk aturan ini.

Dalam beberapa kasus Pengadilan membuat publikasi hasil

pemungutansuara, denganmelanggar konsep kebulatan suara dengan

tetap menjaga rahasiaidentitas hakim yang berbeda pendapat dan

alasanhakim minoritas. Pada tahun 1966, keputusan diambil dengan

suara 4-4 untuk pertama kalinya. Oleh karena itu pengadilanmemutuskan

untuk menggabungkan pandangan dari kedua kelompokhakim dalam

putusan.Hal yang sama terjadi lagi pada tahun 1969,akhirnya mengarah

ke perubahan hukum. Dalam teks saat ini,sebagaimana telah diubah pada

tahun 1970, undang-undang tentangMahkamah Konstitusi secara

eksplisitmemberikan hakim minoritas hakuntuk mempublikasikan

pendapat terpisah mereka (Sondervotum). Sementarahak ini awalnya

digunakan secara luas (pada tahun pertamasetelah amandem, 17

dissenting opinion dikeluarkan dari total 72 putusan, antusiasme untuk

Referensi

Dokumen terkait

Indeks resiko total yang merupakan nilai untuk menentukan apakah bendungan berfungsi dengan baik, diperoleh dari kombinasi nilai bobot kondisi lapangan (CF i ) dengan

32-35 Sedangkan lima orang lainnya yang mengalami kelainan gambaran EKG namun tidak disertai dengan penurunan kadar asetilkolinesterase mungkin disebabkan oleh faktor- faktor resiko

Roby Sambung (2011) Pengaruh Kepuasan Keja terhadap OCB-I dan OCB-O dengan Dukungan Organisasi sebagai Variabel Moderating (Studi pada Universitas Palangka Raya)

Bumbung gelombang atau waveguide adalah saluran transmisi yang berupa pipa berongga yang terbuat dari konduktor yang baik.. Rongga diisi dengan bahan dielektrik tak merugi yang

Privatisasi diarahkan bukan semata-mata untuk pemenuhan APBN, tetapi lebih diutamakan untuk mendukung pengembang-an perusahaan dengan metode utama melalui penawaran umum di

The image-processing module calculates the centres of all the four projected distal holes (upper and lower holes in each X-ray). This method requires two sets

[r]

[r]