BAB II
Konsepsi Dissenting opinion dalam Putusan Pengadilan
C.Tinjauan Tentang Putusan Pengadilan
5. Proses pembuatan putusan pengadilan
Pembuatan putusan oleh hakim dipengadilan merupakan proses yang
kompleks yang memerlukan pelatihan, pengalaman dan kebijaksanaan.
Dalam proses penjatuhan putusan tersebut hakim harus meyakini apakah
seseorang terdakwa telah melakukan tindak pidana atau tidak. Setelah
menerima dan memeriksa perkara, selanjutnya hakim akan menjatuhkan
keputusan yang disebut dengan putusan hakim, yang merupakan pernyataan
hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, yang
diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.17
Dalam perkara pidana, putusan hakim dapat berupa putusan
penjatuhan pidana, jika perbuatan pelaku tindak pidana terbukti secara sah
dan meyakinkan, putusan pembebasan dari tindak pidana (vrijspraak),
dalam hal menurut pemeriksaan persidangan perbuatan pelaku tindak pidana
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atau berupa putusan lepas dari
segala tuntutan hukum (onslaag van alle rechtsverloging), dalam hal
17
perbuatan terdakwa sebagaimana yang didakwakan terbukti, akan tetapi
perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.18
Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim dalam memutus perkara harus
memiliki kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the power of solving
legal problems), yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu merumuskan masalah
hukum (legal problem identification), memecahkan masalah (legal
problems solving), dan mengambil putusan (decision making).19
Menurut Shidarta, terdapat enam langkah utama dalam proses
penalaran hukum dalam proses pembuatan putusan hakim, yaitu Pertama,
mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur kasus yang
sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi;
Kedua, menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber hukum yang
relevan sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan
yuridis; Ketiga, menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan
untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung didalam aturan
hukum itu (the policies underlying those rule), sehingga dihasilkan struktur Oleh karena
itu, dibutuhkan penalaran hukum dalam pembuatan putusan sehingga dapat
menyelesaikan masalah hukum tersebut.
18
Pasal 191 ayat (1) KUHAP “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.
Pasal 191 ayat (2) KUHAP “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka terdakwa diputusan lepas dari segala tuntutan hukum”.
Pasal 191 ayat (3) KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana”.
19
aturan yang koheren. Keempat, menghubungan struktur aturan dengan
struktur kasus.Kelima, mencari alternatif penyelesaian yang
mungkin.Keenam, menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk
kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.20
Dalam pandangan Herman Bakir proses pembuatan putusan
merupakan prosedur yang sangat riil teoritikal dan ilmiah, sehingga kita
dapat melihat situasi kedekatam relasional antara subjek interpretator
(hakim), fakta dan kaidah hukum terjalin. Menurut pandangan beliau ada
beberapa fase dalam pembuatan putusan tersebut, antara lain:21
a) Fase perumusan masalah-masalah yuridik.
Pada fase ini perlu diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi
interpretator dalam hal ini berangakat dari asumsi bahwa,
sengketa-sengketa yuridik adalah masalah yang berderajat ‘amenable’ yaitu dapat
dipertanggungjawabkan atau dapat diterima untuk diterapkan
metode-metode interpretasi, bahwa masalah yuridik adalah masalah ‘resolvable’
yaitu dapat dipecahkan, dan yang terakhir bahwa hukum adalah sesuatu
yang majemuk (sehingga hakim bebas menetapkan metode mana yang
akan dipakai).
b) Fase penetapan faktor-faktor yang mendukung fase perumusan masalah
dengan jalan mengompilasikan fakta-fakta.
20
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam konteks KeIndonesiaan, (dalam) M.Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm. 87.
21
Dalam tahap ini, hakim dituntut memperlakukan
fakta-fakta.Pentingnya fakta-fakta dalam hal interpretasi sering tidak
memperoleh tanggapan yang memadai dari banyak interpretator, padahal
fakta-fakta inilah yang pada gilirannya diasumsikan sebagai penyebab
dari terjadinya peristiwa yang menimbulkan problema hukum itu.
Dengan mendasarkan diri pada situasi problematik, si interpretator akan
melakukan pendekatan pada fakta, yang artinya ia akan mulai
menginventarisasi dan mengompilasi fakta-fakta dengan selengkap
mungkin. Setiap masalah selalu akan menampilkan dirinya dalam bentuk
fakta-fakta, fakta-fakta itu mesti dipaparkan secara skematis (sejelas
mungkin). Interpretasi aturan hukum itu pada dasarnya berkenaan dengan
penilaian atas kaidah-kaidah itu dapat diterapkan pada kejadian konkrit,
maka terlebih dahulu ditetapkan apa yang sesungguhnya harus
dirumuskan sebagai situasi faktual, apa yang dari situasi faktual itu dapat
dipandang relevan secara yuridik.
c) Fase klasifikasi atau identifikasi sumber hukum yang aplikabel
Sumber hukum akan diklasifikasi dan diidentifikasi yang dianggap
paling aplikabel diantara keseluruhannya. Sumber penemuan hukum
tersebut antara lain peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan,
yurisprudensi, perjanjian internasional, dan doktrin.
d) Fase analisis atas sumber-sumber hukum.
Analisis ini dilakukan untuk menetapkan aturan hukum mana yang
yang sebetulnya paling aplikabel (yang paling mungkin diterapkan).
Dalam fase ini si interpretator menemukan aspek kebijakan (policies)
yang melandasi aturan-aturan hukum tersebut, dan menemukan tujuan
kemasyarakatan dari aturan-aturan tersebut. Ketika muncul persoalan
dimana terdapat lebih dari satu aturan hukum maka si interpretator akan
mensintetisasi aturan-aturan hukum yang aplikabel kedalam
struktur-struktur yang koheren supaya jangan selalu bertentangan diantaranya.
Bahwa aturan yang spesifik ditempatkan dibawah aturan yang general,
supaya jelas yang mana termasuk kelompok kaidah yang lebih umum dan
yang mana kelompok kaidah yang lebih spesifik. Sehingga ketika terjadi
pertentangan maka akan lebih mudah untuk menetapkan mana yang bisa
dikesampingkan (diderogasi) dan mana yang akan dimajukan.
e) Fase analisis dan kualifikasi atas fakta-fakta yang diperoleh.
Pada fase ini fakta-fakta akan ditampilkan untuk diuraikan dan
distrukturkan atau dikonstruksi sehingga menjadi jelas format konspirasi
fakta-fakta yang membentuk peristiwa hukum. Dengan begitu aturan
hukumnya dapat disesuaikan dengan peristiwa hukumnya.
f) Fase mempersiapkan metode-metode interpretasi
Ketika interpretator telah menelusuri atau setidaknya pada
pendekatan terhadap masalah yang sedang dihadapi sudah menetapkan
kaidah-kaidah hukum mana saja yang akan diterapkan pada suatu
fakta-fakta. Pada tahap ini si interpretator dituntut untuk menggali dan
wilayah jangkauan, terapan dan kaidah-kaidah hukum yang
dikonfrontasinya. Selain itu interpretator bebas menetapkan pilihan
metode interpretasi apa yang akan dipakai, atau sama sekali ia hanya
bersandar pada penilaian kelayakan semata, yang merujuk pada ‘appeal
to emotion’ atau ‘apple to reason’, pada dasarnya hal tersebut
diperbolehkan. Dalam hal ini, hakim telah dilimpahkan otonomitas atau
kemerdekaan yang sedemikian luas,
g) Fase memformulasikan dalam bentuk klaim yuridik (statement, proposisi
kaidah).
Pada fase ini si interpretator berusaha menerapkan struktur
aturan-aturan tersebut yang telah disintetiskan pada fase ketiga dan keempat,
dan pada fakta-fakta relevan untuk menetapkan hak-hak dan kewajiban
dengan mengacu pada kebijakan yang melandasi aturan-aturan
tersebut.Kebijakan ini sangat penting dalam menginpretasikan terutama
pada waktu melaksanakan aturan itu kedalam situasi konkrit.
Hal ini dapat berupa requisitor (putusan hukum dari jaksa yang
belum mempunyai kekuatan mengikat) dalam perkara pidana, Pledoi
(pembelaan) dari para pihak dalam pidana, semua hal tersebut merupakan
putusan hukum dari para pihak yang tidak mempunyai kekuatan hukum
h) Motivering (pengajuan alasan atau pertimbangan)
Bagian ini merupakan posisi sentral dalam upaya
pertanggungjawaban dan presentasi putusan yang akan ditetapkan dari
seluruh fase yang digelar dalam interpretasi.
Menurut Moelyatno terdapat beberapa tahapan dalam penjatuhan
putusan, antara lain tahap menganalisis perbuatan pidana, tahap
menganalisis tanggungjawab pidana, dan tahap penentuan pemidanaan.22
a) Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana.
Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam
pidana barang siapa melanggar larangan tersebut dan perbuatan itu harus
pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak
boleh atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan
masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat tersebut. Maka
perbuatan pidana secara mutlak harus mengandung unsur formil dan
unsur materiil, yaitu sifat bertentangan dengan cita-cita mengenai
pergaulan masyarakat atau sifat melawan hukum (rechtwirdigkeit).
Dalam menganalisis suatu tindak pidana, hakim menganalisis unsur
tindak pidana, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif.Unsur subjektif
menyangkut orangnya, atau pelakunya yang dirumuskan dalam KUHP
dengan kata-kata barang siapa, sedangkan unsur objektifnya dirumuskan
dalam unsur batas pengertian suatu delik.
b) Tahap menganalisis tanggungjawab pidana.
22
Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (dalam) Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oelh
Unsur yang terdapat dalam tindak pidana tersebut selanjutnya
dianalisis hakim guna mengetahui apakah pelaku dapat dinyatakan
bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya.Dalam
analisis ini, dapat dipidannya seseorang harus memenuhi dua syarat yaitu
perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana
dan perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai
suatu kesalahan.
Menurut Moelyatno, unsur-unsur pertanggungjawaban pidana
untuk membuktikan adanya penggaran pidana yang dilakukan oleh
terdakwa harus dipenuhi hal-hal sebagai berikut:23
1) Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum).
2) Diatas umur tertentu dan mampu bertanggungjawab.
3) Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau
kealpaan.
4) Tidak ada alasan pemaaf.
c) Tahap Penentuan Pemidanaan.
Berangkat dari keyakinan hakim bahwa pelaku telah melakukan
perbuatan melawan hukum, sehingga dia dinyatakan bersalah atas
perbuatannya dengan meminta pertanggungjawaban si pelaku.
Selanjutnya hakim akan menjatuhkan pidana terhadap pelaku. Terkait
beban pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim telah diatur dalam
KUHP, dimana dalam KUHP telah mengatur pemidanaan maksimal yang
23
dapat dijatuhkan hakim dalam perbuatan pidana tertentu.Hal inilah
sebagai bentuk kebebasan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang
diajukan kepadanya.
Menurut H. Taufiq, Hakim dalam mengambil keputusan terhadap
perkara yang diperiksa dapat memilih 3 (tiga) tehnik pengambilan putusan
dan penerapan hukum yaitu:24
a) Tehnik Analitik.
Metode ini juga disebut dengan yuridis giometris. Kalau para
Hakim mempergunakan metode ini maka ia harus menguasai hukum
acara secara lengkap. Dalam pertimbangan hukum, hakim harus
menguasai pokok masalahnya terlebih dahulu secara real dan akurat, lalu
disusunlah pertanyaan sehubungan dengan pokok masalah tersebut.
b) Tehnik Equatable.
Tehnik ini harus dilihat dari segi kosmistis yang dikembangkan
dari prinsip keadilan.Isu pokok dulu yang harus dipertimbangkan, lalu
alat-alat bukti yang diajukan.Apabila alat-alat bukti itu telah diuji
kebenarannya maka hakim menetapkan alat-alat bukti itu dalam peristiwa
konkrit, yang kemudian di cari rule nya (hukumnya).
c) Tehnik Silogisme.
Tehnik ini paling banyak dipakai oleh Hakim karena ia sederhana
dan dapat diterapkan dalam peristiwa apa saja. Tehnik ini disebut juga
dengan metode penalaran induktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat ini
24
umum kepada hal-hal yang bersifat khusus.Penggunaan hukum logika
yang dinamakan dengan silogisme menjadi dasar utama aliran ini, dan
hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu
peraturan hukumnya, dan premis minor, yaitu peristiwanya.Sebagai
contoh, siapa mencuri dihukum. A terbukti mencuri, maka A harus
dihukum. Jadi rasio dan logika ditempatkan dalam ranah yang
istimewa.Kekurangan undang-undang dapat dilengkapi oleh hakim
dengan penggunaan hukum logika dan memperluas pengertian
undang-undang berdasarkan rasio.Kritik terhadap aliran ini, terutama berpendapat
bahwa hukum bukan sekedar persoalan logika dan rasio, tetapi juga
merupakan persoalan hati nurani maupun pertimbangan akal budi
manusia, yang kadang-kadang bersifat irrasional.Proses tahapan-tahapan
metodologi ini sebagai berikut:
1) Perumusan masalah atau pokok sengketa
Perumusan masalah dari suatu perkara dapat disimpulkan dari
informasi baik dari jaksa penuntut umum maupun dari penasehat
hukum. Dari persidangan tahap inilah hakim yang memeriksa perkara
tersebut memperoleh kepastian tentang peristiwa konkrit yang
diperkarakan oleh para pihak. Peristiwa inilah yang merupakan pokok
masalah dalam suatu perkara. Perumusan pokok masalah dalam proses
pengambilan keputusan oleh hakim merupakan kunci dari proses
tersebut. Kalau pokok masalah sudah salah rumusannya, maka proses
2) Pengumpulan data dalam proses pembuktian.
Setelah hakim merumuskan pokok masalahnya, kemudian
hakim menentukan siapa yang dibebani pembuktian untuk pertama
kali. Dari pembuktian inilah, hakim akan mendapatkan data untuk
diolah guna rnenemukan fakta yang dianggap benar atau fakta yang
dianggap salah (dikonstatir). Data berupa fakta yang dinyatakan oleh
alat-alat bukti dan sudah diuji kebenarannya.
3) Analisa data untuk menemukan fakta.
Data yang telah diolah akan melahirkan fakta yang akan
diproses lebih lanjut sehingga melahirkan suatu keputusan yang akurat
dan benar. Menurut Black's Law Dictionary sebagaimana yang ditulis
oleh H. Taufiq
“fakta adalah kegiatan yang dilaksanakan atau sesuatu yang dikerjakan, atau kejadian yang sedang berlangsung, atau kejadian yang benar-benar telah terwujud, atau kejadian yang telah terwujud dalam waktu, dan ruang atau peristiwa fisik atau mental yang telah menjelma dalam ruang”.
Jadi fakta itu dapat berupa keadaan suatu benda, gerakan,
kejadian, atau kualitas sesuatu yang benar-benar ada.Fakta bisa
berbentuk eksistensi suatu benda, atau kejadian yang benar-benar
wujud dalam kenyataan, ruang, dan waktu.Fakta berbeda dengan
angan-angan, fiksi dan pendapat seseorang.Fakta ditentukan
berdasarkan pembuktian.Fakta berbeda dengan hukum, hukum
merupakan asas sedangkan fakta merupakan kejadian.Fakta
keterangan para saksi dan para ahli.Fakta ada yang sederhana dan ada
pula yang kompleks, ada yang ditemukan dengan hanya dari
keterangan para saksi, tetapi ada juga yang harus ditemukan dengan
penalaran dari beberapa fakta
4) Penentuan hukum dan penerapannya.
Setelah fakta yang dianggap benar ditemukan, selanjutnya
hakim menemukan dan menerapkan hukumnya.Menemukan hukum
tidak hanya sekadar mencari undang-undangnya untuk dapat
diterapkan pada peristiwa yang konkrit, tetapi yang dicarikan
hukumnya untuk diterapkan pada suatu peristiwa yang
konkrit.Kegiatan ini tidaklah semudah yang dibayangkan.Untuk
menemukan hukumnya atau undang-undangnya untuk dapat
diterapkan pada peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus
diarahkan kepada undang-undangnya, sebaliknya undang-undang
harus disesuaikan dengan peristiwa yang konkrit.Jika peristiwa
konkrit itu telah ditemukan hukumnya maka langsung menerapkan
hukum tersebut, jika tidak ditemukan hukumnya maka hakim harus
mengadakan interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan
tersebut. Sekiranya interpretasi tidak dapat dilakukannya maka ia
harus mengadakan konstruksi hukum sebagaimana yang telah
5) Pengambilan keputusan.
Jika penemuan hukum dan penerapan hukum telah dilaksanakan
oleh hakim, maka ia harus menuangkannya dalam bentuk tertulis yang
disebut dengan putusan. Hasil proses sebagaimana yang telah
diuraikan di atas, para hakim yang menyidangkan suatu perkara
menuangkannya dalam bentuk tulisan yang disebut dengan putusan.
Putusan tersebut merupakan suatu penulisan argumentatif dengan
format yang telah ditentukan undang-undang.Dengan dibuat putusan
tersebut diharapkan dapat menimbulkan keyakinan atas kebenaran
peristiwa hukum dan penerapan peraturan perundang-undangan secara
tepat dalam perkara yang diadili tersebut.
6. Teori pembuatan putusan
Teori pembuatan putusan sangat relevan dengan tugas hakim dalam
membuat putusan di pengadilan.Putusan tersebut bertujuan untuk
menentukan bersalah tidaknya terdakwa yang diajukan ke muka
persidangan.Di samping itu juga untuk menentukan sanksi pidana yang
diterima oleh terdakwa jika sudah terbukti bersalah melakukan perbuatan
pidana.
Dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana maka
hakim dapat menggunakan beberapa teori pembuatan putusan pidana seperti
halnya teori keseimbangan, teori pendekatan seni dan institusi, teori
pendekatan keilmuan, teori pendekatan pengalaman, teori ratio decidensi,
Menurut pendapat Mackenzie sebagaimana diutip oleh Ahmad Rifai
dalam bukunya25
a. Teori Keseimbangan
, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat
dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan pembuatan putusan
dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keseimbangan antara
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan
pihak-pihak yang bersangkutan atau yang berkaitan dengan perkara, yaitu
antara lain seperti keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan
masyarakat, kepentingan terdakwa, dan kepentingan korban.
Dalam praktik peradilan pidana keseimbangan antara kepentingan
masyarakat dan kepentingan terdakwa dirumuskan dalam pertimbangan
mengenai hal-hal yang memberatkan dan meringankan penjatuhan pidana
bagi terdakwa dimana kepentingan masyarakat dirumuskan dalam hal-hal
yang memberatkan dan kepentingan terdakwa dirumuskan pada hal-hal
yang meringankan.Pertimbangan terhadap hal-hal yang memberatkan dan
meringankan merupakan faktor yang menentukan berat ringannya pidana
yang dijatuhkan terhadap terdakwa.
b. Teori Pendekatan Seni Dan Intuisi.
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan bentuk diskresi hakim
dengan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi
setiap pelaku tindak pidana baik terdakwa maupun penuntut
25
umum.Pendekatan seni ini digunakan hakim dalam penjatuhan suatu
putusan, lebih ditentukan oleh instink atau instuisi dari pada pengetahuan
dari hakim.
Dalam praktik peradilan, teori ini digunakan hakim dalam
pertimbangan dalam menjatuhkan putusan dengan memperhatikan sistem
pembuktian yang dianut yaitu minimum dua alat bukti dan harus disertai
keyakinan hakim.Keyakinan hakim pada dasarnya bersifat subjektif yang
hanya didasarkan kepada naluri hakim saja. Disatu sisi kita menyadari
bahwa hakim merupakan manusia biasa seperti manusia pada umumnya
yang terdiri atas jasmani dan rohani yang adakalanya menempatkan
naluri pada posisi yang kurang benar, sehingga dikuatirkan akan terjadi
kekeliruan atau kesesatan dalam putusan yang dijatuhkan hakim,
sehingga akan menjadi putusan yang salah atau sesat yang dapat
menimbulkan polemik dalam masyarakat. Oleh karena itu, hakim harus
berhati-hati dalam menggunakan teori ini, yang hanya mengandalkan
pada seni dan instuisi semata dari hakim sendiri.
c. Teori Pendekatan Keilmuan.
Teori ini didasarkan kepada pemikiran bahwa proses penjatuhan
pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian,
khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam
rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan
ini merupakan sejenis peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara,
tetapi harus dilengkapi dnegan ilmu pengetahuan hukum dan juga
wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus
diputuskannya.Oleh karena itu, hakim harus dituntut untuk menguasai
berbagai ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan hukum maupun ilmu
pengetahuan non hukum lainnya, sehingga putusan yang dijatuhkan
tersebut dapat dipertanggungjawabkan dari segi teori-teori yang ada
dalam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa,
diadili dan diputuskan oleh hakim.
Dalam teori ini, kemandirian hakim dalam menguasai berbagai
teori dalam ilmu hukum maupun non hukum sangat diperlukan untuk
membuat putusan yang mencerminkan cita hukum itu sendiri. Dalam
persidangan, hakim sering meminta keterangan para ahli yang
berkompeten dibidangnya untuk menjelaskan esensi dari suatu perkara
yang diiajukan kepadanya untuk didengar keterangannya di depan
persidangan. Dari keterangan ahli tersebutlah, hakim dapat menambah
pemahaman terkait perkara yang sedang diperiksa untuk selanjutnya
hakim akan menjatuhkan putusan yang sesuai dengan rasa keadilan.
d. Teori Pendekatan Pengalaman.
Pengalaman seorang hakim merupakan hal yang sangat membantu
dalam menghadapi perkara yang dihadapi.Melalui pengalaman yang
dimilikinya, hakim dapat mengetahui dampak dari putusan yang
korban, maupun masyarakat secara umum sebagai akibat yang
ditimbulkan penjatuhan putusan tersebut.
Pengalaman hakim merupakan bekal yang bagi para hakim dalam
bersikap professional, arif, dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya
yang mendorong hakim untuk lebih berhati-hati dalam menjatuhkan
putusan.
e. Teori Ratio Decidendi.
Selain teori yang telah dikemukakan diatas, dikenal juga suatu teori
yang disebut sebagai teori ratio decidendi. Teori ini didasarkan pada
landasan filsafat yang mendasarkan dan mempertimbangkan segala aspek
yang berkaitan dengan pokok perkara, kemudian mencari peraturan
perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara sebagai dasar
hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus
didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan
memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
f. Teori Kebijaksanaan.
Teori kebijaksanaan diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, dimana
sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara
dipengadilan anak.Landasan dari teori ini menekankan rasa cinta
terhadap tanah air, nusa dan bangsa Indonesia serta nilai kekeluargaan
harus ditanam, dipupuk dan dibina.Selanjutnya aspek teori ini
menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut
agar kelak dapat menajdi manusia yang berguna bagi keluarga,
masyarakat dan bagi bangsanya.26
1) Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman sutau
kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya.
Teori kebijaksanaan mempunyai beberapa tujuan yang pertama,
sebagai upaya perlindungan terhadap masyarakat dari suatu kejahatan,
yang kedua sebagai upaya perlindungan terhadap anak yang telah
melakukan tindak pidana, yang ketiga untuk memupuk solidaritas antara
keluarga dnegan masyarakat dalam rangka membina dan memelihara dan
mendidik pelaku tindak pidana anak, dan keempat sebagai pencegahan
umum dan khusus.
Menurut Ahmad Rifai, penjatuhan pidana oleh hakim terhadap
tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek
tujuan, yatu sebagai berikut:
2) Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya
jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari.
3) Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak
pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya.
4) Memeprsiapkan mental amsyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan
dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku
tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.
26
Teori penjatuhan pidana sebagaimana dikemukan oleh Made
tersebut pada dasarnya lebih ditujukan pada penjatuhan putusan dalam
perkara anak akan tetapi makna kebijaksanaan dalam teori ini dapat juga
dipergunakan dalam penjatuhan putusan terhadap perkara pidana lainnya.
Melalui kebijaksanaan hakim dapat menemukan hukum yang berdimensi
substantif dengan mengelaborasinya dengan wawasan pengetahuan yang
luas, intuisi yang tajam dan peka, pengalaman yang luas serta etika dan
moralitas yang baik dan terjaga dari pengaruh buruk.
7. Aspek yang terkandung dalam putusan
Dalam pedoman perilaku (code of conduct) hakim yang dikeluarkan
Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman telah
menentukan bahwa putusan hakim harus mempertimbangkan segala aspek
yang bersifat yuridis, filosofis dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin
dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim
adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice),
keadilan moral (moral justice), dan keadilan masyarakat (social justice).27
Aspek yuridis merupakan aspek yang pertama dan utama dengan
berpatokan kepada undang-undang yang berlaku.Hakim sebagai aplikator
undang-undang harus memahami undang-undang yang berkaitan dengan
perkara yang sedang dihadapi.Hakim harus menilai apakah undang-undang
tersebut adil, bermanfaat, atau memberikan kepastian hukum jika
27
ditegakkan sebab salah satu tujuan hukum itu unsurnya adalah menciptakan
keadilan.
Aspek filosofis merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan
keadilan, sedangkan aspek sosiologis memuat pertimbangkan tata nilai
budaya yang hidup dimasyarakat.Penerapan aspek filosofis dan sosiologis
harus mampu mengikuti perkembangan nilai-nilai yang hidup
dimasyarakat.Pencantuman ketiga aspek tersebut sebagai upaya penegakan
nilai keadilan dan dapat diterima oleh masyarakat.
Dalam ketiga aspek tersebut harus terkandung tujuan dari hukum yang
dalam pandangan Achmad Ali dapat diklasifikasikan kedalam tiga tujuan
hukum, yaitu:
1) Aliran etis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu
semata-mata hanya untuk mencapai keadilan.
2) Aliran utilitis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum
itu hanyalah untuk menciptkan kemanfaatan atau kebahagiaan
masyarakat.
3) Aliran normatif yuridis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan
hukum itu adalah untuk menciptakan kepastian hukum.
Pandangan yang menggap bahwa tujuan hukum semata-mata hanyalah
keadilan belaka menuai pertentangan karena keadilan sebagai sesuatu yang
abstrak. Keadilan dapat berwujud kemauan yang sifatnya tetap dan terus
menerus untuk memberikan bagi setiap orang apa yang menjadi haknya, dan
hukum yang diperlawankan dengan kesewenang-wenangan. Aliran etis
dapat dianggap sebagai morai idea atau ajaran moral teoritis.Penganut aliran
ini ialah Aristoteles, Justianus, Eugen Erlich.28
Aliran utilitis memasukkan ajaran moral praktis yang menurut
penganutnya bertujuan untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan
yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin warga masyarakat
sebagaimana dikemukakan oleh para penganutnya, yaitu diantaranya Jeremy
Bentham, James Mill, Jhon Stuart Mill.Bahkan Bentham berpendapat bahwa
negara dan hukum semata-mata ada hanya untuk manfaat sejati, yaitu
kebahagiaan mayoritas rakyat.Kemudian menurut Jhon Rawls dengan
teorinya yang disebut teori Rawls atau Justice as Fairness (keadilan sebagai
kejujuran) menyatakan bahwa hukum itu haruslah menciptakan masyarakat
yang ideal, yaitu masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan
memperkecil ketidakbahagiaan (the greatest happiness of the greatest
number people).29
Aliran normatif yuridis dogmatis yang pemikirannya bersumber pada
positivistis yang beranggapan bahwa hukum sebagai sesuatu yang otonom
dan mandiri, tidak lain hanyalah kumpulan aturan yang terdapat dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan atau hukum yang tertulis saja, dan
tujuan pelaksanaan hukum dalam hal ini untuk sekedar menjamin
terwujudnya kepastian hukum. Menurut aliran ini selanjutnya, walaupun
aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan
28
Ibid.,hlm. 86.
29
manfaat yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal tersebut tidaklah
menjadi masalah, asalkan kepastian hukum dapat ditegakkan.30
Kepastian hukum menginginkan hukum harus dilaksanakan dan
ditegakkan secara tegas bagi setiap peristiwa konkrit dan tidak boleh ada
penyimpangan (fiat justitia et pereat mundus). Kepastian hukum
memberikan perlindungan kepada yustisiabel dari tindakaan
sewwenang-wenang pihak lain dan hal ini berkaitan dalam usaha ketertiban dalam
masyarakat.31
Hukum itu ada untuk manusia, sehingga masyarakat mengharapkan
kemanfaatan dari pelaksanaan atau penegakan hukum.Jangan sampai terjadi
dalam pelaksanaan dan penegakan hukum timbul keresahan dalam
masyarakat.32
Selain itu masyarakat juga berkepentingan agar dalam pelaksanaan
atau penegakan hukum itu, memperhatikan nilai-nilai keadilan.Akan tetapi,
harus diingat bahwa hukum itu tidak identik dengan keadilan, karena hukum
bersifat umum, mengikat setiap orang, dan bersifat menyamaratakan atau
tidak membeda-bedakan keadaan, status ataupun perbuatan yang dilakukan
oleh manusia. Bagi hukum, setiap kejahatan oleh pelaku tindak pidana atau
pelanggaran hukum oleh pihak yang berperkara, maka dijatuhkan pidana
yang sesuai dengan apa yang tertera dalam bunyi pasal dalam
30
Ibid., hlm. 94.
31
Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Op.cit.,hlm. 2. 32
undang, sehingga keadilan menurut hukum belum tentu sama dengan
keadian moral atau keadilan masyarakat.33
Tujuan hukum tersebut pada dasarnya sama dengan yang diungkapkan
oleh Gustav Radbruch sebagai tiga nilai dasar hukum, yaitu keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum. Selanjutnya Radbruch mengajarkan
penggunaan asas prioritas dari ketiga asas tersebut, dimana prioritas pertama
selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan dan yang terakhir nilai
kepastian hukum.34
Hakim dalam memutus perkara secara kasuistis selalu dihadapkan
pada ketiga asas tersebut, yaitu asas kepastian hukum, asas keadilan, dan
asas kemanfaatan. Sebagaimana menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa
ketiga asas tersebut harus dilaksanakan secara kompromi yaitu dengan cara
menerapkannya secara seimbang atau proporsional.35
Dalam praktik peradilan, sangat sulit bagi seorang hakim untuk
mengakomodir keadaan ini, hakim harus memilih salah satu dari ketiga asas
tersebut untuk memutuskan suatu perkara dan tidak mungkin ketiga asas
tersebut dapat tercakup sekaligus dalam satu putusan.jika diibaratkan dalam
sebuah garis hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara berada
diantara dua titik pembatas dalam garis tersebut, yaitu berdiri pada titik Sehingga tidak perlu
mengikuti asas prioritas sebagaimana yang diungkapkan oleh Radbruch,
tetapi seharusnya mengikuti asas prioritas yang kasuistis atau sesuai dnegan
kasus yang dihadapi.
keadilan atau titik kepastian hukum, sedangkan titik kemanfaatan sendiri
berada diantara keduanya.36
Pada saat hakim menjatuhkan putusan yang lebih dekat mengarah
pada asas kepastian hukum, maka otomatis hakim akan menjauh dari titik
keadilan. Sebaliknya jika hakim menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah
pada keadilan, makas secara otomatis hakim akan menjauhi titik kepastian
hukum. Disinilah letak batas-batas kebebasan hakim, dimana hakim hanya
dapat bergerak diantara dua titik pembatas tersebut. Dengan suatu
pertimbangan yang bernalar, seorang hakim akan menentukan kapan dirinya
berada di dekat titik kepastian hukum, dan kapan harus berada di titik
keadilan. Jadi, tidaklah benar sepenuhnya bahwa hakim dalam memeriksa
dan menjatuhkan putusan suatu perkara bersifat bebas dan tanpa batas.37
Penekanan terhadap asas kepastian hukum lebih cenderung
mempertahankan norma-norma hukum tertulis, pola berpikir seperti ini akan
mengalami kendala pada saat ketentuan tertulis dapat menjawab persoalan
yang diajukan kepada hakim, sehingga dalam posisi seperti itu hakim harus
menemukan hukum untuk mengisi kekosongan hukum tersebut. Penekanan Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa seorang hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara tidak selamanya terpaku pada suatu asas,
asas yang terkandung dalam putusan disesuaikan dengan kasus yang sedang
diperiksa.
36
Ahmad Rifai, Op.cit.,hlm. 132. 37
Lontung O. Siahaan, Peran Hakim Agung dalam Penemuan Hukum dan Penciptaan
Hukum pada Era Reformasi dan Transformasi, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun ke XXI
terhadap asas ini lebih bernuansa pada terciptanya keteraturan dan
ketertiban masyarakat.38
Selain keadilan hukum yang hendak diwujudkan dikenal juga keadilan
moral dan keadilan sosial yang harus diterapkan hakim.Dalam pelaksanaan Penekanan pada asas kemanfaatan lebih bernuansa
kepada pemenuhan tujuan hukum bagi masyarakat banyak.
Penekanan pada asas keadilan maka hakim harus mempertimbangkan
hukum yang hidup dimasyarakat.Putusan hakim harus mampu
mengakomodir rasa keadilan individu, kelompok, masyarakat yang belum
tentu sama dengan masyarakat lainnya.
Dalam aspek tersebut harus terkandung nilai keadilan hukum yaitu
keadilan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan.Dalam arti
hakim hanya memutuskan perkara hanya berdasarkan hukum positif yang
berlaku.Keadilan seperti ini disebut dengan keadilan berdasarkan aliran
legalistic positivism.Dalam menegakkan keadilan ini hakim atau pengadilan
hanya sebagai pelaksana undang-undang belaka, hakim tidak perlu mencari
sumber-sumber hukum diluar hukum tertulis dan hakim hanya dipandang
menerapkan undang-undang pada setiap perkara konkrit. Dengan kata lain
hakim merupkan corong undang-undang.
Keadilan hukum yang berdasarkan undang-undang pada dasarnya
berlaku pada kondisi tertentu, hal ini tidak berlaku ketika terjadi perubahan
nilai-nilai keadilan dalam masyarakat atau terjadi dinamika sosial yang
mengakibatkan pemahaman tentang keadilan mengalami pergeseran.
38
tugas dan wewenang seorang hakim dipandang perlu menegakkan nilai
kebenaran dan keadilan dengan berpegang kepada hukum undang-undang,
nilai-nilai keadilan dalam masyarakat.Dalam diri hakim diemban amanah
agar peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil dan
apabila penerapan peraturan perundang-undangan tersebut menimbulkan
ketidakadilan, maka hakim berkewajiban berpihak kepada keadilan moral
dan mengenyampingkan hukum dan peraturan perundang-undangan.Karena
hukum yang baik adalah hukum yang bersesuaian dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat (the living law) yang merupakan cerminan
nilai-nilai yang berlaku didalam masyarakat.Keadilan yang dimaksud disini
bukan merupakan keadilan proseduril melainkan keadilan substantif.
Menurut Daniel S.Lev keadilan menggunakan istilah proseduril dan
substantif.Sedangkan Schuyt menggunakan istilah formil dan
materiil.Keadilan proseduril diartikan sebagai keadilan yang didapatkan dari
putusan-putusan lembaga resmi yang dibentuk menurut undang-undnag
negara termasuk putusan pengadilan.Sedangkan keadilan substantif
menyangkut hak-hak sosial serta menandai penataan politik, ekonomi dalam
masyarakat.39
Dalam penerapannya dimasyarakat, tuntutan masyarakat lebih
menekankan pada penegakan keadilan substantif dibandingkan keadilan
proseduril. Hal ini sejalan dengan pandangan para penganut hukum
moralitas yang mengkehendaki penegakan prinsip kebajikan dan moralitas.
39
Mulyana W. Kusuma, Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia, Suatu Pemahaman
Karena menurut pandangan ini, hukum yang meninggalkan prinsip-prinsip
moralitas bahkan bertentangan dengan nilai-nilai moralitas boleh atau bisa
tidak ditaati berdasarkan suatu hak moral (moral right).
Selain memperhatikan aspek substantif seperti aspek yuridis, filosofis
dan sosiologis, putusan hakim juga harus memperhatikan
ketentuan-ketentuan sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 197 ayat (1) KUHAP.
Apabila putusan tidak memuat pernyataan yang ditentukan dalam pasal 197
ayat (1) jo. Pasal 197 ayat (2), dapat mengakibatkan putasan batal demi
hukum.Suatu putusan yang batal demi hukum mengakibatkan
mengembalikan semua hal dan keadaan kepada keadaan semula seolah-olah
terdakwa tidak pernah diperiksa dan didakwa melakukan tindak pidana.
Kedudukan terdakwa pulih dalam keadaan semula sebelum ia diperiksa dan
didakwa. Demikian fatalnya akibat yang akan dialami oleh putusan yang
tidak mengindahkan ketentuan yang dimuat dalam pasal 197 ayat (1).
Putusan yang dijatuhkan, tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan
hukum, dan tidak mempunyai kekuatan daya eksekusi.Putusan yang batal
demi hukum tidak dapat dieksekusi oleh penuntut umum, karena putusan itu
sendiri tidak mempunyai akibat hukum.40
1) Putusan pemidanaan harus memuat semua ketentuan pasal 197 ayat (1)
KUHAP. Putusan pemidanaan akan terhindar dari ancaman batal demi
hukum sebagaimana yang diancam pasal 197 ayat (2), apabila putusan
memuat semua ketentuan pasal 197 ayat (1) KUHAP.
Hal tersebut dapat dilihat dalam:
40
M.Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, kasasi dan Peninjauan Kembali.Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012,
a) Berkepala: Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Demi
keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa berkaitan dengan
falsafah yang dianut penegakan hukum yang dicita-citakan bangsa
Indonesia keadilan berdasarkan ketuhanan,artinya hukuman atau
putusan yang dijatuhkan bukan berdasarkan kehendak hakim atau
undnag-undnag maupun penguasa, akan tetapi sekaligus dalam upaya
penegakan hukumitu tersirat kehendak Tuhan.
b) Identitas terdakwa, identitas meliputi nama lengkap, tempat lahir,
umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan terdakwa. Huruf b menentukan agar dalam putusan jelas
dan terang diuraikan identitas terdakwa, guna menjamin kepastian
hukum bahwa orang yang dijatuhi pidana adalah terdakwa yangs
sedang diadili. Oleh karena itu, identitas yang tertera dalam putusan
harus sama dengan identitas yang tertera dalam berita acara
persidangan.
c) Dakwaan, dalam putusan memuat seluruh isi surat dakwaan yang
dibuat penuntut umum yang terdapat dalam surat dakwaan. Dakwaan
yang terdapat dalam surat dakwaan diambil alih secara keseluruhan
kedalam putusan secara keseluruhan sesuai yang diuraikan penuntut
umum. Hal ini sesuai dengan pasal 197 ayat (1) huruf c.
d) Pertimbangan yang lengkap, fakta dan keadaan harus diuraikan jelas
sesuai dengan apa yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang
ringannya hukuman pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa
tidak terlepas dari fakta dan keadaan yang memberatkan atau
meringankan si terdakwa.Pembuktian yang diperoleh dari
pemeriksaaan di sidang yang menjadi dasar penentuankesalahan
terdakwa juga harus dimuat secara lengkap. Pembuktian tersebut akan
dipertimbangankan secara argumentatif, sehingga jelas terbaca jalan
pikiran yang logis dan reasoning yang mendukung kesimpulan
pertimbangan hakim.
e) Tuntutan pidana penuntut umum. Setelah uraian dakwaan maka
dimuat ketentuan tuntutan pidana. Argumentasi fakta dan alat
pembuktian dikonfrontir oleh hakim dengan argumentasi tuntutan
pidana penuntut umum dan pembelaan terdakwa, konfrontasi semua
argumentasi ini yang harus jelas terbaca dalam putusan hukum.
f) Putusan undang-undang yang menjadi dasar pertimbangan. Menurut
ketentuan ini, putusan pemidanaan memuat pasal peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau pasal
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum putusan,
disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.
g) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah hakim. Hal ini memuat
tanggal hari pemusyawaratan dan tanggal hari pengucapan
pengumuman putusan.
h) Pernyataan kesalahan terdakwa berupa penegasan telah terpenuhi
dengan kualifikasi dan pemidanaan atau hukuman yang dijatuhkan.
Biasanya pernyataan yang disebut pada huruf h ini dicantumkan
dalam amar putusan.
i) Pembebanan biaya perkara dan penentuan barang bukti. Ketentuan
yang dimuat dalam huruf i menyangkut dua ketentuan yang
berhubungan dengan pembebanan biaya perkara dan besarnya biaya
perkara dan mengenai alat bukti serta cara pengembalian barang bukti,
pemusnahan maupun perampasan barang bukti tersebut.
j) Penjelasan tentang surat palsu, jika dalam persidangan ditemukan
surat palsu maka akan dijelaskan dalam putusan.
k) Perintah penahanan, tetap dalam tahanan atau pembebasan. Hal ini
dimuat sebagai upaya mencegah terjadinya kelalaian hakim yang
berakibat putusan batal demi hukum.
l) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, hakim yang
menuntut dan panitera. Hal ini ditempatkan sesudah amar putusan.
8. Tehnik Pengambilan Putusan
Hakim dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang diperiksa
dapat memilih 3 (tiga) tehnik pengambilan putusan dan penerapan hukum
yaitu:
a. Tehnik Analitik.
Metode ini juga disebut dengan yuridis giometris. Kalau para
hakim mempergunakan metode ini maka ia harus menguasai hukum
khusus, lalu ditarik kesimpulan kepada hal-hal umum (kesimpulan
deduktif).Dalam pertimbangan hukum, hakim harus menguasai pokok
masalahnya terlebih dahulu secara real dan akurat, lalu disusunlah
pertanyaan sehubungan dengan pokok masalah tersebut.
b. Tehnik Equatable.
Tehnik ini harus dilihat dari segi kosmistis yang dikembanangkan
dari prinsip keadilan.Isu pokok dulu yang harus dipertimbangkan, lalu
alat-alat bukti yang diajukan penggugat dan tergugat.Apabila alat-alat
bukti itu telah diuji kebenarannya maka hakim menetapkan alat-alat bukti
itu dalam peristiwa konkrit, yang kemudian mencari hukumnya.
c. Tehnik Silogisme.
Tehnik ini paling banyak dipakai oleh hakim karena ia sederhana
dan dapat diterapkan dalam peristiwa apa saja. Tehnik ini disebut juga
dengan metode penalaran induktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat ini
umum kepada hal-hal yang bersifat khusus.Penggunaan hukum logika
yang dinamakan dengan silogisme menjadi dasar utama aliran ini, dan
hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu
peraturan hukumnya, dan primis minor, yaitu peristiwanya.Sebagai
contoh, siapa mencuri dihukum. A terbukti mencuri, maka A harus
dihukum. Jadi rasio dan logika ditempatkan dalam ranah yang
istimewa.Kekurangan undang-undang dapat dilengkapi oleh hakim
dengan penggunaan hukum logika dan memperluas pengertian
bahwa hukum bukan sekedar persoalan logika dan rasio, tetapi juga
merupakan persoalan hati nurani maupun pertimbangan akal budi
manusia, yang kadang-kadang bersifat irrasional.
D.Konsepsi Dissenting Opinion
4. Sejarah Penerapan Konsep Dissenting Opinion
Konsep dissenting opinion pada dasarnya terbentuk tidak terlepas dari
sistem hukum yang dianut oleh kekuasaan peradilan suatu negara. Konsep
ini lebih dahulu dikenal dalam tradisi hukum common law system yang
dianut oleh negara-negara anglo saxon. Dalam sistem common law
putusan-putusan hakim/yurisprudensi merupakan sumber hukum.Melalui putusan-putusan
tersebut prinsip-prinsip hukum dan kaidah-kaidah hukum dibentuk dan
mengikat umum.Undang-undang dan peraturan perundang-undang lainnya
juga tetap diakui karena pada dasarnya terbentuknya kebiasaan dan
peraturan tersebut bersumber dari putusan pengadilan.
Peraturan dan segala putusan tersebut tidak tersusun secara sistematis
dalam kodifikasi sebagaimana pada sistem hukum eropa kontinental.Oleh
karena itu, hakim memiliki wewenang yang luas untuk menafsirkan
peraturan-peraturan dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang
berguna sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara
sejenis.Hal inilah yang disebut dengan asas doctrin of presedent yaitu hakim
perkara-perkara sejenis.41
Konsep dissenting opinion yang dianut oleh negara Indonesia juga
tidak terlepas dari sistem hukum eropa kontinental, sistem ini berasal dari
kodifikasi hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa
pemerintahan Kaisar Yustianus.Kodifikasi ini merupakan kumpulan dari Namun apabila dalam yurisprudensi tidak
ditemukan prinsip hukum yang dicari, hakim berdasarkan prinsip keadilan,
kebenaran dan akal sehat dapat memutuskan perkara dengan menggunakan
metode penafsiran hukum.
Berangkat dari konsep hukum yang ditetapkan dalam sistem hukum
common law, maka setiap putusan hakim harus menjelaskan pertimbangan
dan argumentasi pengambilan keputusan, sehingga hakim-hakim yang akan
datang dapat memahami jalan berpikir dari hakim-hakim terdahulu yang
akan mengikat menjadi preseden. Dengan kata lain hakim harus
memberikan alasan atau pertimbangan mengapa satu keputusan dipilih
mengingat ada sejumlah alternatif lain yang tersedia, demikian pula bila ada
perbedaan pendapat, seorang hakim harus memberikan pertimbangan yang
melandasi ketidaksetujuannya dengan pandangan koleganya.
Dalam sistem ini, putusan hakim tidak dipresentasikan sebagai
pandangan atau opini bersama, olehnya tidak ada keharusan bagi hakim
untuk memaparkan argumentasi dari penalaran yang diambilnya, hanya
argumentasi yang terpenting saja yang dikemukakan yang disebut
‘apodictish’, sedangkan argumentasi dari suara minoritas tidak dimuat.
41
berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa Yustianus yang disebut
dengan Corvus Juris Civilis.Corvus Juris Civilis dijadikan sebagai dasar
dalam perumusan dan kodifikasi hukum.
Prinsip utama yang terdapat dalam sistem hukum eropa kontinental ini
yaitu hukum memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang
berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi.
Dalam sistem hukum ini dikenal sebuah adagium “tiada hukum selain
undang-undang”, dengan kata lain bahwa hukum selalu diidentikkan dengan
undang-undang. Hakim dalam sistem hukum ini tidak bebas dalam
menciptakan hukum baru karena hakim hanya menerapkan dan menafsirkan
peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya, putusan
hakim tidak mengikat secara umum tapi hanya mengikat para pihak yang
bersengketa.
Dalam perkembang peradaban manusia bahwa sistem hukum yang
telah dianut tersebut tidak bersifat kaku, telah terjadi pembauran antarsistem
dengan menyerap kelebihan masing-masing sistem.Sehingga penemuan
hukum tidak lagi murni otonom maupun murni heteronom. Hal ini
berdampak terhadap pergeseran dari “hakim terikat” kearah “hakim bebas”
dan pergeseran keadilan menurut undang-undang (normgerechtigkeit)
kearah keadilan menurut hakim seperti yang tertuang dalam putusan
(einzelfallgerechtigkeit), serta terjadi pergeseran pola berpikir yang
masalah (problem oriented).42
Pergeseran ini didasarkan kepada dinamika sosial yang terjadi, antara
lain:Pertama, undang-undang bersifat langsung konservatif. Dalam
penerapannya di masyarakat dihadapkan kepada kenyataan bahwa
undang-undang yang dibuat dan diundang-undangkan langsung bersifat konserfatif, karena
segera menjadi rumusan huruf mati dan langsung menjadi statis ketika
berhadapan dengan perubahan sosial yang terus berjalan. Disisi lain dalam
kehidupan sosial yang mengalami perubahan, ekonomi, dan moral berpacu
mengalami perubahan persfektif (the social, economic, and moral almost
change their persfektif).
membuka ruang kepada hakim untuk
membentuk hukum ‘judge made law’.
43
Kedua, pada dasarnya tidak ada satupun undang-undang yang
sempurna.Pada saat undang-undang dibuat orang berpendapat bahwa
undang-undang tersebut baik dan sempurna. Akan tetapi ketika dinamika
sosial yang bersifat konkrit terjadi yang tidak terpikirkan pada saat
perumusan undang tersebut antara lain berupa rumusan undang-Untuk mengakomodir dinamika sosial tersebut,
hakim berwenang untuk mengaktualkan penerapan undang-undang yang
dibuat oleh parlemen dengan tujuan agar hukum atau undang-undang yang
dibuat dapat mengikuti perubahan dan perkembangan masyarakat dan
mentransformasikan nilai-nilai dan kebutuhan perkembangan sosial,
ekonomi, budaya, dan moral yang terjadi sehingga dapat berfungsi sebagai
hukum yang hidup (living law).
42
Ibid. Hlm. 210.
43
undang sering kali sulit dipahami (elusive term); tidak jelas artinya (unclear
term); kabur dan samar (vague outline); atau mengandung pengertian yang
ambiguitas (ambiquity) hal ini dapat menghambat penemuan kebenaran
materiil. Selain itu undang-undang mungkin bertentangan dengan konstitusi
(unconstitusional) atau bisa melanggar atau mengancam hak asasi manusia;
atau isinya bertentangan dengan akal sehat (contrary to common sense); dan
adakalanya pula ketentuan undang-undang menimbulkan akibat yang tidak
layak karena undang-undang tersebut terlampau formalistik, tidak sederhana
dan tidak mudah dipahami, sehingga tidak dapat memberi kepastian.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Paul Scholten yang
mengemukakan bahwa:44
a) Hukum bukan suatu sistem hukum tertulis yang tidak boleh diubah
sebelum badan pembuat undnag-undang mengubahnya. Artinya,
undang-undang dapat saja diubah maknanya, meskipun tidak diubah bunyi
kata-katanya untuk menyesuaikannya dengan fakta konkrit yang ada.
b) Keterbukaan sistem hukum berhubungan dengan persoalan kekosongan
dalam hukum, dimana ada dua macam kekosongan dalam hukum, yaitu:
1) Kekosongan hukum sendiri, yaitu jika hakim mengatakan bahwa ia
menemukan suatu kekosongan karena ia tidak mengetahui bagaimana
ia harus memberi putusannya.
2) Kekosongan dalam perundang-undangan, yaitu dengan konstruksi
hukum dan penalaran logispun, problemnya masih tetap tidak
44
terpecahkan, dalam hal itu harus mengisi kekosongan ini seperti ia
berada pada kedudukan sebagai pembuat undang-undang dan
memberi putusannya seperti halnya jika pembuat undang-undang itu
akan memberikan putusannya dalam menghadapi kasus seperti itu.
Berangkat dari gagasan perlunya penerapan dissenting opinion dalam
putusan hakim maka pembahasan materi Rancangan Undang-undang
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang kemudian menjadi Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang selanjutnya
mengalami perubahan menjadi Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
memuat penambahan substansi baru mengenai “Pendapat hakim yang
berbeda” (dissenting opinion). Adapun pertimbangan dimasukkannya
substansi ini adalah “…Dalam rangka pengawasan intern di lingkungan
peradilan sebagai langkah mendapatkan hakim yang berkualitas, bermoral,
dan berdedikasi tinggi dalam melaksanakan tugasnya, dan dalam rangka
pengawasan ekstern yaitu agar masyarakat mengerti mengenai putusan
perkara yang diberikan kepadanya berdasarkan pertimbangan atau pendapat
tertulis yang diberikan oleh hakim yang memeriksa perkara dalam sidang
pengadilan”.
Rumusan ini merupakan terobosan baru untuk menguatkan konsep
dissenting opinion dalam sistem peradilan di Indonesia, mengingat tugas
hakim yang sangat kompleks dalam menemukan kebenaran materiil agar
dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat. Sebagaimana yang dimuat
Kekuasaan Kehakiman yang mengatur bahwa: “Hakim wajib menggali,
mengikuti, dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Dengan
demikian, terdapat kewajiban bagi para hakim untuk tidak menolak setiap
perkara yang diajukan ke pengadilan.
Sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, dimana jika dalam sidang permusyawaratan majelis
hakim tidak tercapai mufakat, maka para anggota majelis hakim yang
berbeda pendapat dengan hasil rapat permusyarakatan hakim, wajib dimuat
dalam putusan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan
tersebut.
Penerapan konsep dissenting opinion dalam sistem hukum Indonesia
pada dasarnya bukanlah merupakan hal yang baru. Dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)45
45
Pasal 182 ayat (5) KUHAP “Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan dan alasannya”.
Pasal 182 ayat (6) KUHAP “Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil pemufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat tercapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Putusan diambil dengan suara terbanyak; b. Jika ketentuan huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa”.
Pasal 182 ayat (7) KUHAP “pelaksanaan pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia”.
mengatur
bahwa suatu putusan pengadilan harus dilandasi suatu permufakatan bulat
para anggota majelis hakim apabila dengan sungguh-sungguh permufakatan
bulat tidak dapat dicapai maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak
terdakwa”. Penjelasan Pasal 182 ayat (6) KUHAP juga menegaskan bahwa
hal itu dicatat dalam berita acara sidang majelis yang bersifat rahasia.
Sifat kerahasiaan musyawarah hakim dalam pembuatan putusan pada
dasarnya menutup kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui
pendapat yang berkembang dalam musyawarah hakim, artinya
dimungkinkan pendapat-pendapat yang dipandang lebih mendekati pada
nilai kebenaran justru kalah dalam musyawarah tersebut. Mengenai hal ini,
Utrecht mengatakan bahwa ada 3 sebab maka seorang hakim menurut
keputusan seorang hakim lainnya atas dasar: Pertama, alasan psikologis;
Kedua, alasan praktis; Ketiga, alasan karena adanya kecocokan atau
kesesuaian dengan perkara yang ditangani dengan perkara sebelumnya dan
putusan telah diberikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang
dipandang dapat dipertanggungjawabkan.46
Disatu sisi kita meyakini bahwa pencantuman dissenting opinion pada
dasarnya tidak bertentangan dengan sifat independensi kekuasaan
kehakiman dan sifat kerahasiaan dari musyawarah hakim dalam memutus Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa pencantuman perbedaan
pendapat (dissenting opinion) yang terjadi dalam forum musyawarah hakim
dalam menentukan putusan justru jauh dari semangat independensi personal
hakim dalam memberikan pendapat dalam rangka penegakan supremasi
hukum di Indonesia khususnya dalam menciptakan peradilan yang terbuka
dan transparan.
46
perkara justru hal ini bersesuaian dengan semangat keterbukaan publik,
transparansi dan akuntabilitas dalam rangka mengawal tegaknya sistem
check and balance kekuasaan kehakiman.
Hal ini sesuai dengan konsep independensi yang diatur dalam
undang-undang 48 Tahun 2009 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi
terselenggaranya negara hukum republik Indonesia. Penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan
peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan milliter, lingkungan peradilan tata
usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pasal 4 (3) undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman secara tegas merumuskan bahwa : segala campur tangan dalam
peradilan oleh pihak luar diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali
dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar Negara
Kesatuan RI Tahun 1945, disamping itu Hakim harus melaksanakan
disiplin tinggi dalam memutus perkara sebagaimana diatur dalam Surat
Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 215/KMA/SK/XIII/2007 Pasal 8
butir 2 yang berbunyi: “Hakim Berkewajiban mengetahui dan mendalami
serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan
hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari
keadilan”.
5. Dinamika Penerapan Dissenting Opinion di Indonesia
Pengaturan perbedaan pendapat sudah diterapkan pada Pengadilan
Niaga dan Mahkamah Konstitusi. Pada Pengadilan Niaga, model
pencantuman Dissenting opinion terpisah dari putusan. Pada Mahkamah
Konstitusi, Dissenting opinion merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari putusan. sehingga diperlukan penyeragaman model pencantuman
dissenting opinion dalam suatu peraturan yang khusus mengatur tentang
dissenting opinion tersebut.
6. Konsep Dissenting Opinion Di Berbagai Negara
Penerapan konsep dissenting opinion diberbagai negara pada dasarnya
memiliki perbedaaan sesuai dengan tradisi hukum setempat. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan institusi Europarl dalam jurnal penelitiannya
mengemukakan terdapat 27 negara eropa yang menganut konsep dissenting
opinion, sementara terdapat negara yang tidak menerapkan kosnep
tersebut.47
a. Belgia
Negara-negara tersebut antara lain:
Sistem peradilan Belgia terinspirasi oleh prinsip kerahasiaan
musyawarahyang melarang publikasi pendapat individu. Pengadilan
kasasi telah mengakui bahwa kerahasiaan musyawarah adalah prinsip
47
Dissenting opinions in the Supreme Courts of the Member States, Jurnal,
hukum Belgia danmenegaskan bahwa hakim wajib melestarikannya,
bahwa setiappelanggaran rahasia tersebut, termasuk dengan menerbitkan
pandanganindividu para hakim terkait putusan yang akan diambil dapat
dihukumpidana.
b. Perancis
Sistem peradilan Perancis menganut prinsip kerahasiaan
musyawarah yang secara eksplisit ditafsirkan dengan melarang publikasi
perbedaan pendapat. Pengadilan Prancis mengakui bahwa
prinsipkerahasiaan adalah prinsip umum hukum publikPrancis yang
melarang publikasi keputusan bulat, karena ini akanmengakibatkan
mengungkapkan suara individu masing-masinghakim dalam mengambil
bagian dalam pembuatan putusan.
Pada prinsipnya musyawarah hakim mengikat tidak hanya
padahakim biasa, tetapi juga pada hakim konstitusi yang bersumpah
untukmenjagakerahasiaan pertimbangan dan penilaian dan tidak
mempublikasikannya. Prinsip kerahasiaan musyawarah hakim konstitusi
terakhir ini mengalami perdebatan luas denganmempertimbangkan
perubahan konsep tersebut dalam praktek peradilan, sepanjang tidak
berpotensi membahayakan otoritas, kredibilitas dan kolegialitas hakim.
Dengan alasan perlu menjamin transparansi dan pertimbangan hukum
c. Italia
Italia mengikuti prinsip kerahasiaan pertimbangan dan pendapat
hakim baik dipengadilan biasa maupun pengadilan konstitusi. Prinsip
kerahasiaan secara tegasdiakui oleh hukum, baik di pengadilan perdata
danpengadilan pidana, sehingga pelanggaran terhadap prinsip tersebut
merupakan bagian dari kejahatan.Namun,sejak tahun 1988(ketika hukum
baru tentang tanggung jawab perdata hakim diundangkan), maka prinsip
itu mengalami pergeseran dimana pendapat yang berbeda dapat dicatat
atas permintaan ingkartetapidalam pendapat berbeda tersebut disimpan
dan disegel.
Prinsip yang sama berlaku padapengadilan kasasi dan Mahkamah
Konstitusi. Keputusan untukmemperthankan konsep “kebulatan suara
jelas” sudah dibahas berulang kali dalam bentuk draf RUU oleh parlemen
negara tersebut sejak tahun 1990. Kebanyakan sarjanatampaknya
mendukung pengenalan pendapat terpisah. Selain itu, beberapa
amandemenaturan prosedur pengadilan telah menyebabkan kemungkinan
secara tidaklangsung mengungkapkan pendapat berbeda dalam lingkup
internmeskipun tidak disertai alasan.
d. Luksemburg
Sampai tahun 1997, judicial review tidak dikenal di Luksemburg,
seperti pengadilan biasa telahmenolakgagasan bahwa mereka mungkin
akandiizinkan untuk meninjau kompatibilitas hukum terhadapKonstitusi.
praktek tradisional kerahasiaanpertimbangan dan penilaian .Pada tahun
1997 Undang-UndangtentangMahkamah Konstitusi, pembahasan yang
terakhir membahas tentangkerahasiaan musyawrah
(Pasal12).Prinsiprahasia musyawarah, ditafsirkan sebagai upaya
memperluas pendapat individu.prinsip ini berlaku diseluruh lingkup
peradilan di negara tersebut.
e. Malta
Semua pengadilan melindungi kerahasiaanpertimbangan dan
penilaian keputusan yang diambil olehmayoritas dan keputusan
mayoritas harus membentuk putusan yang akandisampaikansebagai
putuan akhir pengadilan .
f. Belanda
Pengadilan Belanda mengikuti prinsipkerahasiaan darimusyawarah,
yang juga didukung oleh undang-undang dan ditafsirkansebagaimelarang
publikasi opinion individu.
g. Austria
Austria ketat mematuhi kerahasiaan pertimbangan. Menurut
undang-undang tentang MahkamahKonstitusi, musyawarah danpenilaian
tidak terbuka untuk umum. Larangan serupa jugaberlaku pada
undang-undang tentangpengadilan administratif, danpengadilan lainnya dengan
mengikuti prinsip yangsama. Sementara dissentinghakim diperbolehkan
dalam internal pengadilan itu sendiri yang disimpan sebagai bentuk arsip
tidak pernah mengalami perubahan.Sejak tahun 1960an, para sarjanatelah
berulang kali menyuarakan untuk melakukan perubahan tetapi tetap tidak
diperbolehkan.
Selanjutnya terdapat beberapa praktek penerapan perbedaaan pendapat
di negara anggota Uni Eropa, di manaperbedaanpendapat diperbolehkan.
Hakimmemiliki hak untukmempublikasikan perbedaan pendapat dan pada
Subbab ini akanmenyajikan praktek 20 anggotanegara Uni
Eropayangmemperbolehkan pendapat individu dan menentukansejauh mana
ruang lingkup penerapan aturan pada pendapat terpisah.
a. Bulgaria
Konsep Dissenting opinion diBulgariasama seperti negara-negara
Eropa Tengah dan Timur yangtelah mengadopsi sistem judicial review
pada Mahkamah Konstitusi yang dibentuk pada tahun 1991. Dissenting
opinion dan concurring opinion secara tegas disebutkan dalam Peraturan
Organisasi Mahkamah Konstitusi. Menurut Pasal 32,pengadilan dalam
membuatkeputusan melalui pemungutan suara terbuka, hakim yang tidak
setuju dengan keputusan atau dengan resolusi yang ditolak tersebut dapat
melampirkandissenting opinion tertulis.Selain itu, hakim yang
berpendapat mayoritas juga dapat menerbitkanconcurring opinion.
Pendapat terpisah tidak dibolehkan jika keputusan yang akan
diambildalampemungutan suara berkaiatan dengan kekebalanhakim atau
mengenai impeachmentpresiden. Putusanmahkamah konstitusi yang
disertai dengan alasan setiapdissenting opinion dan concurring
opinion.Publikasi juga diperbolehkandalam pengadilan biasa, dimana
hakim minoritas harus menandatanganiputusan suara mayoritas dan
menandatangani pendapat yang berbeda yang dilampirkannya.
b. RepublikCeko
Republik Ceko mengadopsi undang-undang tentang Mahkamah
Konstitusitanggal 16 Juni 1993, tidak lamasetelah pembagian
Cekoslowakia. MenurutPasal 14 dan 22 seorang hakim yang tidak
setujudengan keputusan musyawarah memiliki hak untuk berbeda
pendapat, dissenting opinion tersebutdimuat dalam catatan diskusi dan
dicantumkan kedalam keputusan yang disebut sebagaipendapat terpisah,
selanjutnya yang diterbitkan dalam reporter pengadilan sendiri. Dibagian
bawah putusan dicantumkan catatan yang menyebutkanexistence.
c. Denmark
Mengenai dissentingopinion,sistem Denmark telah berkembang
perlahan-lahan.Secara tradisional,penilaian dan opini hakim bersifat
rahasia, tetapi pada tahun 1930 sistembaru diberlakukanyang
memungkinkan untuk menyertakanperbedaan pendapat dengan
menyebutkan pandanganyang berbedadalam musyawarah hakim secara
anonim. Selanjutnya konsep anonym tersebuttelah ditinggalkan sejak
tahun 1958 bahwa keputusan sepenuhnya bersifattransparan dan terbuka.
diterbitkan sebagai bagian dariputusan, denganmencantumkan nama
hakim yang mengeluarkan dissentingopinion.
d. Jerman
Jerman adalah salah satu contoh yang paling terkenal dari
negaramengikuti tradisi hukum sipiltetapi memperbolehkan hakim
konstitusi untuk mengeluarkan pendapat terpisah. Sementara hakim yang
duduk dipengadilan biasa terikat untuk menghormati kerahasiaan
pertimbangan danpenilaian hakim dalam musyawarah,
konstitusionalhakim merupakan pengecualian untuk aturan ini.
Dalam beberapa kasus Pengadilan membuat publikasi hasil
pemungutansuara, denganmelanggar konsep kebulatan suara dengan
tetap menjaga rahasiaidentitas hakim yang berbeda pendapat dan
alasanhakim minoritas. Pada tahun 1966, keputusan diambil dengan
suara 4-4 untuk pertama kalinya. Oleh karena itu pengadilanmemutuskan
untuk menggabungkan pandangan dari kedua kelompokhakim dalam
putusan.Hal yang sama terjadi lagi pada tahun 1969,akhirnya mengarah
ke perubahan hukum. Dalam teks saat ini,sebagaimana telah diubah pada
tahun 1970, undang-undang tentangMahkamah Konstitusi secara
eksplisitmemberikan hakim minoritas hakuntuk mempublikasikan
pendapat terpisah mereka (Sondervotum). Sementarahak ini awalnya
digunakan secara luas (pada tahun pertamasetelah amandem, 17
dissenting opinion dikeluarkan dari total 72 putusan, antusiasme untuk