• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dissenting Opinion Sebagai Bentuk Kebebasan Hakim dalam Membuat Putusan Pengadilan guna Menemukan Kebenaran Materiil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dissenting Opinion Sebagai Bentuk Kebebasan Hakim dalam Membuat Putusan Pengadilan guna Menemukan Kebenaran Materiil"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)

Daftar Pustaka

A.Buku

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan

Sosiologis,Candra Pratama, Jakarta.

Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, 2012.

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Antonius Sudirman, Hati nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan

dari Persfektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim bismar Siregar, Citra Aditya Bakti, Bandung.

E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan

kesepuluh, PT. Ichtiar Baru, Jakarta, 1983.

______, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, NV. Penerbitan Dan balai Buku

Indonesia, Jakarta, 1953 .

Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum¸ Cahaya Ilmu, Medan,

2006.

Herman Bakir, Kastil Teori Hukum, PT. Indeks kelompok Gramedia, Jakarta,

2005.

J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, 1992.

(2)

M.Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, kasasi dan Peninjauan Kembali.Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.

Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim (code of conduct), Kode Etik

Hakim Dan Makalah Berkaitan, Pusdiklat MA RI, Jakarta, 2006.

Mulyana W. Kusuma, Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia, Suatu

Pemahaman Kritis, Alumni, bandung, 1981.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta,

2009.

Pontang Moerad B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan

Dalam Perkara Pidana, P.T. Alumni, Bandung, 2005.

M.Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum

Progresif, Kencana Prenada Media Group, 2012.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,

Edisi Keempat, 1993.

______, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001.

Valerine J.L.K, Metode Penelitian Hukum (Kumpulan Bahan Bacaan Untuk

Mata Kuliah Metode Penelitian Hukum), Pasca Sarjana Universitas

Indonesia, Jakarta,2009.

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Sumur Bandung,

Jakarta, 1967.

Wojowasito, S. dan WJS. Porwadarminta, Kamus Lengkap Inggris Indonesia,

(3)

B.Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang No 48 Tahun 2009, Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004,

Jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun

2004, Jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Wet Algemene Bepalingan (wAB).

Surat Edaran Mahkamah AgungNo. 5/1959 tanggal 20 April 1959.

Surat Edaran Mahkamah AgungNo.I/1962 tanggal 7 Maret 1962.

Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 15/KMA/SK/XIII/2007.

C.Artikel

Abdul Manan, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di

Peradilan Agama, Makalah disampaikan pada acara Rakemas

Mahkamah Agung RI tanggal 10 s/d 14 Oktober 2010, di Balikpapan,

Kalimantan Timur.

Abdul Rifai Siregar, Suatu Tinjaun Terhadap Penerapan Dissenting Opinion

Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan

Cut Asmaul Husna, Penemuan dan Pembentukan Hukum “The Living Law”

Melalui Putusan Hakim, Makalah, Fakultas Hukum Universitas

(4)

Dissenting opinions in the Supreme Courts of the Member States, Jurnal,

2014.

H.Insyafli, Ikhtisar Permusyawarah Majelis Haki

Kusnu Goesniadhie S, Prinsip Pengawasan Independensi Hakim, Jurnal

Hukum No. 3 VOL 14 Juli 2007.

Mohammad Fajrul Falaakh, Transparansi dan Akuntabilitas Yudikatif di

Indonesia, Materi Pelatihan HAM bagi Jejaring Komisi Yudisial

(Denpasar, 22 – 26 Juni 2010 dan Bandung, 29Juni -3 Juli 2010).

Diselenggarakan oleh PUSHAM UII bekerjasama dengan Komisi

Yudisial RI dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR).

Putra Akbar Saleh,Tinjauan Yuridi Terhadap Putusan Hakim Yang

Mengabaikan Bukti Keterangan Saksi Di Dalam Persidangan, Buletin Le

et Societatis, Vol.I/No.1/Jan-Mart/2013.

Sunarmi, Dissenting Opinion Sebagai Wujud Transparansi Dalam Putusan

Peradilan, Jurnal Equality, Vol 12 No.2 Agustus 2007.

Tata Wijaya dan Hery Firmansyah, Perbedaan Pendapat Dalam

(5)

BAB III

Konsepsi Kebebasan Hakim Dalam Membuat Putusan Pengadian Guna Menemukan Kebenaran Materiil

A.Konsepsi Kebebasan Hakim dalam Membuat Putusan Pengadilan 5. Hakikat kebebasan hakim

Bebas berarti lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, sehingga

dapat bergerak, berbicara, dan berbuat dengan leluasa). Membebaskan

bermakna melepaskan dari ikatan, tuntutan, tekanan, hukuman,

kekuasaan.Sedangkan kebebasan adalah kemerdekaan atau dalam keadaan

bebas.48

48

Ahmad Kamil, Op.cit.,hlm.19.

Istilah kebebasan sering kali disebut sebagai bentuk ekspresi manusia

yang menandakan mahluk merdeka.Ia melekat sekaligus berwujud dalam

segala tingkah laku manusia. Kebebasan adalah fitrah sekaligus kebutuhan

yang utuh yang mendasari perjalanan hidup, pengarahan diri.Dapat juga

diartikan sebagai kemampuan untuk memilih dan kesempatan untuk

memenuhi atau memperoleh pilihan itu.Dalam hidup setiap orang,

kebebasan merupakan unsur hakiki, semua orang mengalami kebebasan

karena hal tersebut melekat sebagai sifat manusia.Kesulitannya mulai

muncul ketika orang ingin mengungkapkan pengalaman itu pada taraf

(6)

Menurut Lorens Bagus, kebebasan dipahami sebagai keadaan tidak

dipaksa atau ditentukan oleh sesuatu dari luar, sejauh kebebasan disatukan

dengan kemampuan internal definitif dari penentu diri.49

Kess Bertens sebagaimana dikutip oleh Ahmad Kamil mengemukakan

ragam kebebasan kedalam beberapa kategori yaitu:

Bisa juga

didefinisikan sebagai kemampuan dari seorang pelaku untuk berbuat atau

tidak bebuat sesuai dengan kemampuan dan pilihannya. Mampu bertindak

sesuai dengan apa yang disukai atau menjadi penyebab dari

tindakan-tindakannnya.

50

Ketiga, kebebasan yuridis.Hal ini berkaitan erat dengan hukum dan

harus dijamin oleh hukum.Kebebasan yuridis merupakan sebuah aspek dari

Pertama, kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan.Terkadang

kebebasan dimengerti sebagai kesewenang-wenangan. Individu dikatakan

bebas bila ia berbuat dengan sesuka hati; terlepas dari ikatan dan kewajiban,

sehingga bertentangan dengan rambu-rambu kepentingan maupun hak orang

lain.

Kedua, kebebasan fisik.Disini bebeas berarti tidak ada paksaaan atau

rintangan dari luar. Orang menganggap dirinya bebas dalam arti ini, jika

bisa bergerak kemana saja ia mau tanpa hambatan apapun. Orang yang

diborgol atau dipasung tentu tidak akan bebas. Selama meringkuk dipenjara,

seorang narapidana tidak bebas, tetapi ketika masa tahanannya lewat ia

kembali menghirup udara kebebasan.

49

Ibid.

50

(7)

hak-hak manusia. Jika orang berbicara persoalan kebebasan dalam arti ini,

berarti ia berbicara tentang orang-orang yang dirampas haknya.

Keempat, kebebasan psikologis.Melalui kebebasan psikologis,

manusia mampu mengembangkan dan mengarahkan hidupnya

sendiri.Kemampuan ini menyangkut kehendak bahkan merupakan ciri

khasnya. Oleh karena itu, nama lain dari kebebasan psikologis adalah free

will. Kebebasan ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia adalah

mahluk berasio.Ia mampu berpikir sebelum bertindak. Orang yang bebas

adalah orang yang terlepas dari tekanan batin atau psikis.Orang yang

menderita kelainan jiwa seperti kleptomania jelas tidak bebas.Ia seperti

pencuri sungguhan, namun ia tidak bisa menentukan dirinya. Karena itu

perbuatannnya dianggap tidak bebas.

Kelima, kebebasan moral, yaitu kebebasan yang terlepas dari paksaan

moral. Bila seseorang ditodong dengan senjata tajama, ia tentu tidak

sepenuhnya bebas dalam menyerahkan harta bendanya. Ia memang

menentukan diri, menyerahkan kekayaannya merupakan keputusannnya,

tapi ia melakukannya dengan paksaan. Begitu perasaan moral itu hilang

dengan kedatangan teman yang melumpuhkan si penjahat, ia akan berbuat

lain.

Keenam, kebebasan eksistensi, kebebasan ini merupakan bentuk

kebebasan yang paling tinggi dan mencakup seluruh eksistensi dan pribadi

(8)

eksistensial seakan-akan memiliki dirinya sendiri.Ia mencapai taraf otonom,

kedewasaan dan kematangan rohani.

Orang yang bebas seutuhnya dapat mewujudkan eksistensinya secara

kreatif dengan merealisasikan hal-hal tersebut secara otonom. Hal ini

didorong oleh keinginan akan kemerdekaan, otonomi dan kedewasaan.

Kehendak untuk merdeka inilah yang disebut dengan kebebasan yang

luhur.Kebebasan inilah yang menuntun manusia untuk menentukan arah dan

tujuan hidupnya secara mandiri, berdikari dan kreatif tanpa adanya tekanan

yang menghambatnya dalam berkreasi.

Kebebasan menurut Paul Ricoeur menyajikan konsep kehendak dan

aktus-aktusnya, yang melukiskan struktur-struktur fundamental dari apa

yang dikehendaki manusia dan unsur-unsur dalam eksistensinya yang tidak

bergantung pada kehendaknya, sebab kehendak selalu beraksi dalam suatu

lingkungan yang tidak dikehendaki. Manusia selalu terbentur pada oposisi

antara kebebasan dan keniscayaan dan yang tidak dikehendaki secara timbal

balik antara yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki.Dan yang tidak

dikehendaki harus dimengerti dengan bertitik tolak dari subjek.Sebab unsur

yang pertama ialah bahwa saya mengerti diri saya sebagai “saya

berkehendak”.51

Dalam perwujudan konkrit kehendak sebagaimana yang diungkapan

Ricoueur, beliau membedakannya dalam tiga tahap; memutuskan (decider),

melakukan (agir), dan menyetujui (consentir).Memutuskan meliputi proyek

51

(9)

atau rancangan, pilihan dan motivasi. Tahap melakukan dalam bentuk yang

sangat formil dapat berarti saya menggerakkan tubuh saya, sebab melalui

tubuhnya subjek terlihat dalam dunia material. Dan yang terakhir

merupakan tahap menyetujui yang oleh beliau disebut sebagai “menerima”

membuat menjadi milik sendiri.Menyetujui itu menyangkut faktor yang

tidak dikehendaki yang dapat disebut sebagai keniscayaan.Bukan

keniscayaan yang terdapat dalam ilmu pengetahuan, melainkan keniscayaan

yang dihayati, artinya bukan keniscayaan yang melekat pada

subjektivitasnya.52

Selanjutnya Beliau mengatakan ada dua unsur yang harus dipegang

untuk menjawab apa itu kebebasan. Pertama, putusan akhir yang

praktis,merupakan putusan yang kita buat selalu sesuai dan harus sesuai

denngan putusan praktis yang terakhir. Setiap orang pada akhirnya

memutuskan setelah proses penyelidikan dan pertimbangan. Proses ini

berakhir maka putusan praktis terakhirlah yang diambil. Proses

pertimbangan itu sendiri dilakukan secara bebas dan otonom. Proses ini

tidak terjadi di dalam diri individu tanpa tergantung padanya. Oleh karena

itu, setiap individu mampu menghentikan proses tersebut pada saat tertentu.

Kedua, kebebasan dalam bentuk indiferensi dianggap sebagai derajat yang

paling rendah.Bentuk kebebasan ini merupakan sebuah kekurangan kalau

dibandingkan dengan sebuah keputusan yang telah disuluhi secara lebih

lengkap.Kebebasan menyertai pengertian dan pemahaman, bertumbuh dan

52

(10)

berkembang, bertambah besar apabila pemahaman berkembang dan

diperdalam. Makin besar dan makin mendalam pemahaman individu, maka

semakin bebaslah ia.53Oleh karena itu, kebebasan sejati merupakan

keputusan pribadi dan berdikari. Atau dengan kata lain, analisis kehidupan

berakhir dengan suatu evaluasi filosofis terhadap kebebasan. Ricoeur

menganggap kebebasan sebagai pencampuran antara ketergantungan dan

ketidaktergantungan dan sebagai perdamaian antara unsur-unsur yang tidak

dikehendaki dalam diri manusia. Tetapi kebebasan bukanlah penciptaan

absolut “suatu kebebasan yang bersifat manusiawi dan tidak ilahi”.54

6. Kebebasan Dalam Persfektif Pancasila

Pancasila merupkan kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dalam bang

Indonesia yang telah berakar dalam kepribadian bangsa, sehingga lebih

diterima sebagai dasar yang mengatur hidup ketatanegaraan. Di dalam

pancasila tertanam nilai-nilai keberpihakan kepada kepentingan nasional

dan kerakyatan, karena pancasila dapat mengikat secara utuh pandangan

hidup bangsa dalam menjalin persatuan dan kesatuan bangsa.

Pancasila merupakan asas kerohanian bangsa dan negara Indonesia

yang padahakikatnya merupakanasas kebersamaan, asas kekeluargaan serta

religiusitas.Dalam pemahaman inilah maka bangsa Indonesia membentuk

suatu kesatuan integral sebagai suatu bangsa yang merdeka.55

53

Ibid., hlm.43

54

Ibid.

55

(11)

Sebagai satu kesatuan yang integral, bangsa memiliki

tujuan-tujuan.Dalam mencapai tujuan tersebut dibutuhkan adanya semangat, yakni

semangat yang mampu menggerakkan seluruh elemen bangsa untuk bangkit

dalam mewujudkan cita-cita tersebut.Dalam menggerakkan seluruh elemen

bangsa dibutkan adanya kebebasan yang berorientasi kepada nilai-nilai

dasar kemanusiaan.Dengan kebebasan manusia Indonesia dapat

menyelamatkan diri dari segala bentuk tekanan, paksaan, otoriterisme,

kediktatoran, penjajahan, dan semacamnya.Dan menjadikan manusia

sebagai pemimpin atas kehidupan ini disamping sebagai makhluk Tuhan.

Makna kebebasan yang terkandung dalam pancasila dapat dilihat

dalam konsep demokrasi, demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi

pancasila, demokrasi yang diwarnai dan dijiwai oleh pancasila. Kebebasan

dalam demokrasi merupakan kebebasan yang disertai rasa kesadaran

dantanggung jawab sosial. Kebebasan tidak berdiri sendiri tetapi diakitkan

dengan etika, norma, hukum, dan kesadaran akan tanggung jawab kepada

Tuhan Yang Maha Esa, kepada sesama manusia, serta bangsa dan negara.

Sehingga meskipun bebas, tetapi tidak sampai melanggar norma-norma,

etika, hukum, dan juga hak dan tanggung jawab selaku warga negara.

Selain nilai-nilai yang telah dijabarkan diatas, nilai-nilai lain yang

menjadi ciri khas dari demokrasi pancasila adalah kekeluargaan dan

kegotongroyongan yang bernafaskan Ketuhanan Yang Maha

Esa.Kekeluargaan merupakan kesadaran budi pekerti dan hati nurani

(12)

mahluk individu maupun mahkluk sosial untuk saling tolong

menolong.Rasa kekeluargaan ini harus lebih perseorangan, lebih

mengutamakan kewajiban sosial daripada penuntutan hak pribadi, lebih

mengutamakan memadukan pendapat dengan jalan musyawarah daripada

menekankan pendapat sendiri terhadap pihak lain, dan mengutamakan

nilai-nilai ketuhanan.

Pancasila mengajarkan penghargaan dan penghormatan atas manusia

sebagai pribadi yang bersifat utuh dan lengkap dan juga kodratnya sebagai

mahkluk yang berbudaya.Oleh karena itu, perlu dijamin kebebasan individu

sebagai unsur fundamental.56

7. IndependensiKekuasaan Kehakiman

Jadi dengan demikian, kebebasan dalam persfektif pancasila

merupakan kebebasan yang terkandung dalam setiap butir-butir pancasila

yang mencerminkan penghormatan terhadak individu manusia itu sendiri.

Dalam penemuan kebenaran materiil, hakim harus bebas baik secara

personal maupun secara kelembagaan. Kebebasan inilah yang akan

menuntun hakim dalam membuat putusan yang mencerminkan cita hukum.

Independensi kehakiman merupakan gagasan yang bersifat kompleks,

yang dijadikan sebagai intrumen dalam menegakkan cita hukum. Dikatakan

bersifat kompleks karena pemikiran tentang independensi kekuasaan

kehakiman berkembang tidak dapat dilepas dari kondisi yang terjadi di

masyarakat yang saling berkaitan satu sama lain. Jika kita hendak

56

(13)

membatasi kekuasaan kehakiman maka kita dapat menggunakan berbagai

gagasan yang timbul dari masyarakat untuk membatasi kekuasaan tersebut,

demikian juga sebaliknya.

Menurut Susan S. Logan bahwa independensi kekuasaan kehakiman

terdiri atas dua komponen, yaitu independensi dalam memutus perkara dan

independensi struktural.57Sementara Ferejohn menyatakan bahwa

independensi kekuasaan kehakiman dapat bersifat internal atau normatif dan

ekternal atau aspek institusional.58

Ahli hukum Belanda, Franken menyatakan bahwa independensi

kekuasaan kehakiman dapat dibedakan dalam 4 (empat) bentuk59

1. Independensi konstitusional (constitutionele Onafhankelijkheid). yaitu:

2. Independensi fungsional (zakelijke of functionele onafhankelijkheid).

3. Independensi personal hakim (persoonlijke of rechtspositionale

onafgankelijkheid).

4. Independensi praktis yang nyata (practisce of feitelijke

onafhankelijkheid)

Menurut Oemar Seno Adji, independensi kekuasaan kehakiman dapat

dilihat dari dua sudut pandang yaitu, independensi fungsional atau zakelijk

dan independensi persoonlijk atau rechtpositionele.Independensi

konstitusional adalah independensi yang dihubungkan dengan doktrin trias

politika dengan sistem pembagian kekuasaan menurut Montesquieu, maka

57

Ibid., hlm.215

58

Ibid.

59

(14)

lembaga kekuasaan kehakiman harus independen dalam arti kedudukan

kelembagaan harus bebas dari pengaruh publik.60

Independensi personal hakim merupakan kebebasan hakim secara

individu ketika berhadapan dengan suatu sengketa.Brenninkmeijer

mengatakan “independensi fungsional harus dilihat sebagai hasil dari

inpendensi personal hakim”.

Independensi fungsional berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan

oleh hakim ketika menghadapi suatu perkara dan harus memberikan suatu

putusan.Independensi hakim dapat diartikan bahwa setiap hakim boleh

menjalankan kebebasannya untuk menafsirkan undang-undang apabila

undang-undang tidak memberikan pengertian yang jelas.Karena

bagaimanapun hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan isi

undang-undang pada perkara yang sedang diperiksanya.Independensi seubtansial

dapat juga dipandang sebagai pembatasan, dimana seorang hakim tidak

boleh memutuskan suatu perkara tanpa dasar hukum.Independensi

subtansial dapat juga diartikan bahwa dalam kondisi tertentu, hakim atau

lembaga kekuasaan kehakiman dapat mencabut suatu ketentuan peraturan

perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan nilai keadilan.

61

Independensi praktis adalah independensi hakim untuk tidak berpihak

(imparsial).Hakim itu harus mengikuti perkembangan dinamika sosial yang

terjadi di masyarakat sebagai dasar untuk mengetahui sejauhmana dapat

menerapkan norma-norma dalam kehidupan masyarakat.

60

Ibid.,hlm.216.

61

(15)

Kebebasan fungsional berarti bahwa kekuasaan pemerintah tidak

boleh melakukan intervensi yang bersifat atau patut diduga akan

mempengaruhi jalannya proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian

perkara yang dihadapi oleh hakim. Sedangkan kemerdekaan institusional

berhubungan dengan kemerdekaan kelembagaan pengadilan dari lembaga

pemerintah lainnya, khususnya legislatif.

Independensi kekuasaan kehakiman dapat juga diartikan sebagai

kekuasaan yang merupakan perimbangan antara kekuasan eksekutif dan

kekuasaan legislatif.Pengertian seperti ini menurut Kuijer disebut sebagai

pengertian yang sempit atau stict definition.62

62

Ibid.,hlm.219.

Pengertian ini telah mengalami

perluasan sehingga lebih mengarah kepada kemerdekaan hakim ketika

memutuskan perkara berdasarkan hati nuraninya tanpa pengaruh dari

kekuasaan apapun, termasuk pengaruh dari negara, para pihak dan tekanan

kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Independensi sejatinya adalah kebebasan dari pengaruh yang tidak

selayaknya. Pengaruh tersebut dapat bersumber dari luar kekuasaan

kehakiman, baik yang bersumber dari lembaga legislatif maupun eksekutif

atau dari kelompok yang kuat yang ada dalam masyarakat atau dari opini

publik yang mungkin disuarakan oleh media massa. Pada dasarnya

masyarakat membutuhkan suatu langka institusional dan hukum untuk

menjamin agar hakim secara individu dan kekuasaan kehakiman sebagai

(16)

Shetreet mengatakan bahwa konsepsi modern tentang kemerdekaan

kekuasaan kehakiman tidak dapat dibatasi pada kemerdekaan individu

hakim dan kepada kemerdekaan personal atau substantifnya.Sudah

seharusnya kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu juga termasuk

kemerdekaan kolektif dari kekuasaan kehakiman itu sendiri sebagai cabang

kekuasaan negara.Selain itu, kekuasaan kehakiman tidak seharusnya

diterjemahkan hanya kepada pengertian perlindungan hakim dari tekanan

eksekutif maupun legislatif.Sudah seharusnya termasuk juga kemerdekaan

internal, misalnya kemerdekaan hakim dalam struktur pengadilan.

Dari berbagai pendapat tersebut dapat dikemukan bahwa pengertian

independensi kekuasaan kehakiman setidak-tidaknya mempunyai dua aspek

yaitu dalam arti sempit, independensi kekuasaan kehakiman berarti

independensi institusional atau dalam istilah lain disebut sebagai

independensi struktural atau independensi ekternal atau independensi

kolektif. Dalam arti luas, kekuasaan kehakiman meliputi independensi

individu atau independensi internal, atau independensi fungsional atau

independensi normatif.

Independensi personal dapat dipandang dalam dua aspek yaitu

independensi seorang hakim terhadap pengaruh sesama hakim atau

koleganya, independensi substantif, yaitu independensi hakim terhadap

kekuasaan manapun baik ketika memutuskan perkara maupun ketika

(17)

Sedangkan independensi institusional memandang lembaga peradilan

sebagai suatu intitusi atau struktur kelembagaan. Sehingga pengertian

independensi adalah kebebasan intitusi peradilan dari pengaruh lembaga

lain. Sedangkan independensi individu meletakkan hakim sebagai titik

sentral dari seluruh pengertian independensiyaitu kebebasan dari segala

pengaruh dari dalam maupun dari luar dalam bentuk apapun.

Menurut Bagir Manan, majelis hakim dipandang menjadi tidak netral

atau berpihak karena beberapa hal, antara lain karena pengaruh kekuasaan

dimana majelis hakim tidak berdaya menghadapi kehendak pemegang

kekuasaan yang lebih tinggi, baikdari lingkungan kekuasaan kehakiman

sendiri maupun dari luar. Selanjutnya disebabkan oleh pengaruh publik,

tekanan publik yang berlebihan dapat menimbulkan rasa takut atau cemas

kepada majelis hakim yang bersangkutan sehingga memberikan keputusan

yang sesuai dengan paksaan publik yang bersangkutan.Pengaruh pihak

dapat bersumber dari hubungan primordial tertentu maupun karena

komentar terhadap perkara.63

8. Kebebasan Personal Hakim

Hakim sebagai penggerak lembaga kekuasaankehakiman harus

benar-benar bebas dari segala bentuk tekanan, pengekangan, ancaman, intimidasi,

dan lainsebagainya baik dari dalam lembaga struktur organisasi peradilan

maupun dari luar lembaga peradilan yang membuat jiwa dan perasaan

hakim merasa tidak nyaman, tidak bebas dalam menjalankan tugasnya.

63

(18)

Hakim bebas membuat putusan netral yang dilandasi oleh faktor-faktor

kejadian yag ditemukan dipersidangan dan norma hukum yang relevan

tanpa harus terpengaruh oleh kepentingan lain. Kebebasan personal hakim

dapat juga dipandangsebagai keadaan dimana hakim mampu membuat

putusan bebas di atas kebenaran tanpa takut dari segala bentuk pembalasan.

Ketua Mahkamah Agung Negara Bagian California Ronald M.

George menyatakan bahwa:64

64

Ibid.

“Discussions of judicial independence typically focus on the

importance of independent decicion making. The need for freedom from inappropriate influence whether political, personal, or fiscal informs analyses of the potentical pressures, and public expectation, on the decicion making process.”

“Pembahasan tentang independensi kekuasaan kehakiman umumnya berpokok pada pentingnya independensi pengambilan keputusan. Perlunya kebebasan dan penagruh yang tidak diinginkan apakah itu politik, personal, atau keuangan yang memberikan analisis dan pengaruh potensial atau pemilihan di peradilan dan berhubungan dengan penggalangan dana, tekanan publik, dan ekspektasi masyarakat atas proses pengambilan keputusan”

Inti persoalan dalam kajian independensi kekuasaan kehakiman

terletak pada kebebasan personal hakim dalam proses pengambilan

keputusan. Hakim sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum harus

benar-benar bebas dari segala bentuk tekanan, pengekangan, ancaman,

intimidasi dan lain sebagainya baik dari dalam lembaga struktur organisasi

peradilan, maupun berasal dari lembaga peradilan yang membuat jiwa dan

perasaan hakim merasa tidak nyaman, tidak bebas dalam melaksanakan

tugasnya serta mendapatkan jaminan atas kebebasan secara politik,

(19)

Kenneth C. Jenne mengemukakan bahwa kebebasan personal hakim

diterangkan sebagai berikut:65

B.Persfektif Kebebasan Hakim Dalam Penemuan Kebenaran Materiil

“...when it comes to independence i want to be sure that any litigant, any lawyer, or any constituent, wherever they appear, can be treatd as the lwa prescribes. As long as a judge has the ability to rule independently as the rule, the presedents, and the law prescribe that is what i describe as judicial independence.”

“...ketika tiba pada pengertian independensi, saya ingin yakin bahwa setiap pihak dalam perkara, setiap advokat, atau setiap pihak dimanapun mereka berada dapat diperlakukan sesuai dengan ketentuan hukum. Sepanjang hakim mempunyai kemampuan untuk menjalankan tugas secara independen sesuai dengan hukum, preseden, dan undang-undang maka itulah independensi kekuasaan kehakiman. ”

1. Hakikat Penemuan Hukum

Penemuan hukum merupakan sebagai proses pembentukan hukum

oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas

melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Secara

khusus penemuan hukum yang akan dikaji dalam penelitian ini merupakan

penemuan hukum yang dilakukanoleh hakim dalam memutus perkara yang

diajukan kepadanya.

Penemuan hukum merupakan bentuk ekspresi filsafat, keyakinan,

kepribadian, pandangan dan keilmuan seorang hakim dalam memutus

perkara yang diajukan kepadanya.Praktik penemuan hukum tidak terlepas

dari misi suci yang diemban oleh hakim dalam rangka “waarheidsvinding”

(penemuan kebenaran).Yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

penemuan kebenaran materiil dalam hukum acara pidana.

65

(20)

Konsep penemuan hukum pada dasarnya tidak terlepas dari sistem

hukum yang dianut. Sistem hukum adalah kesatuan utuh dari

tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu sama lain

saling berhubungan dan berkaitan secara erat.66

Dalam mengadili setiap perkara hakim harus mengadili menurut

undang-undang, hakim tidak boleh menyertakan pendapat pribadinya

tentang kelayakan dan kebenaran undang-undang, dan apabila hakim

berpendapat bahwa undang-undang bungkam tentang suatu persoalan, tidak Dengan adanya sistem

tersebut maka akan tercipta harmonisasi sehingga tidak terjadi lagi

kontradiksi diantara bagian-bagian tersebut.

Prinsip utama yang terdapat dalam sistem hukum eropa kontinental ini

yaitu hukum memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang

berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam

kodifikasi.Kodofikasi lahir karena keberatan-keberatan yang disebabkan

oleh ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum timbul karena

keragu-raguan tentang apa sumber hukum, bagaimana sumber-sumber hukum itu

berhubungan satu sama lain secara hierarki dan tentang isi setiap sumber

hukum itu.

Sejak pemberlakuan Wet Algemene Bepalingan Nederland (Wet AB),

undang-undang dipandang untuk menata hukum, tetapi undang-undnag

tidak boleh menjadi tekanan, yang menghambat tumbuhnya

kekuatan-kekuatan yang berguna bagi masyarakat.

66

(21)

jelas atau tidak lengkap, maka itu tidak benar, sebab undang-undang itu

jelas dan lengkap. Pada akhirnya hakim hanya boleh memutuskan peristiwa

yang bersifat in konkrito.

Dalam sistem hukum ini dikenal sebuah adagium “tiada hukum selain

undang-undang”, dengan kata lain bahwa hukum selalu diidentikkan dengan

undang-undang.

Hakim dalam sistem hukum ini tidak bebas dalam menciptakan

hukum baru karena hakim hanya menerapkan dan menafsirkan peraturan

yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya, putusan hakim tidak

mengikat secara umum tapi hanya mengikat para pihak yang bersengketa.

Sistem hukum eropa kontinental ini memiliki perbedaan dengan

sistem hukum Anglo Saxon atau yang lebih sering dikenal dengan common

law yang mula-mula berkembang di Inggris, Amerika Utara, kanada,

Amerika Serikat dan negara jajahannya. Perbedaan tersebut terletak pada

sumber hukum yang diterapkan, bahwa dalam sistem hukum anglo saxon

putusan-putusan hakim/yurisprudensi merupakan sumber hukum. Melalui

putusan tersebut prinsip-prinsip hukum dan kaidah-kaidah hukum dibentuk

dan mengikat umum.Undang-undang dan peraturan perundang-undang

lainnya juga tetap diakui karena pada dasarnya terbentuknya kebiasaan dan

peraturan tersebut bersumber dari putusan pengadilan.Peraturan dan segala

putusan tersebut tidak tersusun secara sistematis dalam kodifikasi

sebagaimana pada sistem hukum eropa kontinental.Oleh karena itu, hakim

(22)

menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai bahan

pertimbangan hakim dalam memutus perkara sejenis.Hal inilah yang disebut

dengan asas doctrin of presedent yaitu hakim terikat pada sistem hukum

dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara

sejenis.67

67

Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum¸ Cahaya Ilmu, Medan, 2006, hlm.184.

Namun apabila dalam yurisprudensi tidak ditemukan prinsip

hukum yang dicari, hakim berdasarkan prinsip keadilan, kebenaran dan akal

sehat dapat memutuskan perkara dengan menggunakan metode penafsiran

hukum.

Dalam perkembang peradaban manusia bahwa sistem hukum yang

telah dianut tersebut tidak bersifat kaku, telah terjadi pembauran antarsistem

dengan menyerap kelebihan masing-masing sistem.Sistem hukum

tersebutlah yang menjadi panduan dalam penemuan hukum yang dilakukan

oleh hakim.Seiring waktu, bahwa penundukan diri terhadap kekuasaan

undang-undang mulai dilepaskan dan berupaya mencari sumber hukum

lainnya yang dipandang lebih mendekati kepada nilai keadilan dengan

menyerap kelebihan sistem nonkodifikasi.

Istilah penemuan hukum yang penulis maksud dalam penelitian ini

pada dasarnya masih sering dipertentangkan oleh para ahli hukum, ada yang

berpendapat bahwa istilah tersebut lebih tepat dipakai dengan istilah

“pelaksanaan hukum”, “penerapan hukum”, “pembentukan hukum”, atau

(23)

Dari berbagai pendapat tersebut, penulis lebih mengarah kepada

pandangan Soedikno Mertokusumo68

68

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm. 36-37.

beliau memberikan batasan-batasan

terhadap pengertian tersebut, yakni: Penemuan hukum (rechtvinding)

diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau

petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tigas melaksanakan hukum terhadap

peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Penerapan hukum berarti

menerapkan hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya.Menerapkan

peraturan hukum pada peristiwa konkrit secara langsung tidak

mungkin.Peristiwa kongkrit itu harus dijadikan peristiwa hukum terlebih

dahulu agar peraturan hukumnya dapat diterapkan. Diwaktu yang lampau

dikatakan bahwa hakim adalah corong undnag-undang, karena

kewajibannya menerapkan undang-undang, ia adalah “subsumptie

automaat”. Sementara pembentukan hukum adalah merumuskan

peraturan-peraturan umum yang berlaku umum bagi setiap orang. Kalau lazimnya

pembentukan hukum dilakukan oleh pembentuk undang-undang, maka

hakim dimungkinkan pula membentuk hukum, kalau hasil penemuan

hukumnya itu kemudian merupakan yurisprudensi tetap yang diikuti oleh

para hakim dan merupakan pedoman bagi masyarakat, yaitu putusan yang

mengandung asas-asas hukum yang dirumuskan dalam peristiwa, tetapi

memperoleh kekuatan berlaku umum. Jadi satu putusan dapat mengandung

dua unsur, yaitu disatu pihak putusan merupakan penyelesaian atau

(24)

hukum dimasa depan. Sedangkan istilah penciptaan hukum dalam

pandangan Sudikno dipandang kurang tepat karena memberi kesan bahwa

hukum itu sama sekali tidak ada. Hukum bukanlah selalu kaidah tertulis

atau tidak, tetapi dapat juga perilaku atau peristiwa.Dan perilaku itulah

harus ditemukan atau digali kaidah atau hukumnya.Jadi, dapat disimpulkan

bahwa istilah penemuan hukumlah yang dipandang tepat.

Penemuan hukum lahir sebagai upaya untuk mengakomodir seluruh

perkembangan dinamika sosial yang terjadi.Dinamika sosial tersebut

bergerak sangat cepat seiring perkembangan peradaban manusia, dan

peraturan perundang-undangan adakalanya tidak dapat mengakomodir

seluruh dinamika sosial yang menghasilkan peristiwa hukum tersebut.Oleh

karena itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum dalam rangka

mengawal tegaknya cita hukum maka perlu dilakukan penemuan hukum,

penemuan hukum yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi kepada

penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim.

Penemuan hukum awalnya dipengaruhi pandangan klasik seperti yang

diungkapkan oleh Immanuel Kant dan Mostesquieu sebagaimana dikutip

oleh Sudikno Mertokusumu69

69

Ibid.,hlm. 39.

bahwa hakim dalam menerapkan

undang-undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak menjalankan

peranannya secara mandiri.Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong

undang-undang (bouche de la loi), sehingga tidak dapat mengubah kekuatan

(25)

menguranginya.Ini disebabkan karena menurut Montesquieu bahwa

undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum positif.Oleh karena itu, demi

kepastian hukum, kesatuan hukum serta kebebasan warga negara yang

terancam oleh kebebasan hakim yang ditakutkan bertindak

sewenang-wenang, maka hakim harus berada dibawah undang-undang.

Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 20 AB “hakim harus mengadili

menurut undang-undang”. Dalam perkembangannya klausul mengadili

menurut undang-undang mengalami perluasan makna dengan

dikeluarkannya Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970

pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “pengadilan mengadili menurut hukum

dengan tidak memebedakan orang”. Jika kita merujuk kepada asas Lex

Posterior Derogate Legi Priori, maka isi pasal 20 AB bertentangan dengan

pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun

1970.

Sementara dalam pasal 21 AB disebutkan bahwa “hakim dilarang

berdasarkan peraturan umum, penetapan atau peraturan memutus perkara

yang tergantung padanya”.Ini berarti bahwa hakim hanya boleh memeriksa

dan menagdili peristiwa konkrit dan tidak boleh menciptakan peraturan

umum dalam putusannya.

Menurut pandangan klasik ini dalam undang-undang sudah terdapat

hukum yang lengkap dan sistematis dan tugas hakim hanya mengadili sesuai

(26)

Penemuan hukum yang bertumpu kepada undang-undang ini lebih

dikenal dengan penemuan hukum heteronom. Dimana hakim tidak diberi

kesempatan untuk berkreasi, artinya hakim tidak boleh menempatkan

dirinya sebagai pembentuk undang-undang, ia hanya boleh memeriksa dan

memutus perkara konkrit dan tidak boleh membuat peraturan yang mengikat

umum.

Pandangan penemuan hukum yang bersifat heteronom ini pada

dasarnya mematikan potensi hakim untuk menemukan kebenaran materiil

dari peristiwa hukum yang diajukan kepadanya.Dalam perkembangannya

bahwa penemuan hukum yang bersifat legal positif tersebut mulai

ditinggalkan. Dan mulai mengalami pergeseran kedalam penemuan hukum

otonom, dalam penemuan hukum otonom sebagaimana yang dianut oleh

sistem hukum anglo saxon terdapat asas the binding force of presedent

ataustare decisi et quita non movere. Dalam sistem ini, hakim dalam

memutus perkara terikat kepada putusan hakim terdahulu mengenai perkara

sejenis dengan menggunakan alur berpikir induktif, yaitu berpikir dari

peristiwa hukum yang khusus (putusan hakim terdahulu) ke peristiwa

hukum yang lebih umum (peristiwa kongkrit yang sedang dihadapi). Hakim

melakukan penemuan hukum dengan memeriksa dan memutus perkara

menurut apresiasi pribadinya, ia dibimbing oleh pandangan-pandangan atau

pikirannya sendiri.70

70

(27)

Dalam penemuan hukum otonom, hakim diberikan kekuasaan

membentuk hukum ‘judge made law’, terdapat beberapa alasan kuat yang

mendukung pandangan tersebut antara lain bahwa Pertama, undang-undang

bersifat langsung konservatif. Dalam penerapannya di masyarakat

dihadapkan kepada kenyataan bahwa undang-undang yang dibuat dan

diundangkan langsung bersifat konserfatif, karena segera menjadi rumusan

huruf mati dan langsung menjadi statis ketika berhadapan dengan perubahan

sosial yang terus berjalan. Disisi lain dalam kehidupan sosial yang

mengalami perubahan, ekonomi, dan moral berpacu mengalami perubahan

persfektif (the social, economic, and moral almost change their persfektif).71

Untuk mengakomodir dinamika sosial tersebut, hakim berwenang

untuk mengaktualkan penerapan undang-undang yang dibuat oleh parlemen

dengan tujuan agar hukum atau undang-undang yang dibuat dapat mengikuti

perubahan dan perkembangan masyarakat dan mentransformasikan

nilai-nilai dan kebutuhan perkembangan sosial, ekonomi, budaya, dan moral yang

terjadi sehingga dapat berfungsi sebagai hukum yang hidup (living law).

Kedua, pada dasarnya tidak ada satupun undang-undang yang

sempurna.Pada saat undang-undang dibuat orang berpendapat bahwa

undang-undang tersebut baik dan sempurna. Akan tetapi ketika dinamika

sosial yang bersifat konkrit terjadi yang tidak terpikirkan pada saat

perumusan undang tersebut antara lain berupa: rumusan

undang-undang sering kali sulit dipahami (elusive term); tidak jelas artinya (unclear

71

(28)

term); kabur dan samar(vague outline); atau mengandung pengertian yang

ambiguitas (ambiquity) hal ini dapat menghambat penemuan kebenaran

materiil. Selain itu undang-undang mungkin bertentangan dengan konstitusi

(unconstitusional) atau bisa melanggar atau mengancam hak asasi manusia;

atau isinya bertentangan dengan akal sehat (contrary to common sense); dan

adakalanya pula ketentuan undang-undang menimbulkan akibat yang tidak

layak karena undang-undang tersebut terlampau formalistik, tidak sederhana

dan tidak mudah dipahami, sehingga tidak dapat memberi kepastian.

Di dalam perkembangannya kedua sistem penemuan hukum ini saling

mempengaruhi, sehingga penemuan hukum tidak lagi murni otonom

maupun murni heteronom.Bahkan cenderung bergeser kearah penemuan

hukum yang otonom, hal ini disebabkan oleh pembentukan undang-undang

yang bersifat umum bukan kasuistis. Hal ini berdampak terhadap pergeseran

dari “hakim terikat” kearah “hakim bebas” dan pergeseran keadilan menurut

undang-undang (normgerechtigkeit) kearah keadilan menurut hakim seperti

yang tertuang dalam putusan (einzelfallgerechtigkeit), serta terjadi

pergeseran pola berpikir yang mengacu kepada sistem (systeemdenken)

kearah berpikir mengacu kepada masalah (problem oriented).72

Dalam penemuan hukum yang dianut dalam hukum positif Indonesia

terdapat beberapa sumber penemuan hukum, hal ini tidak terlepas dari

pergeseran paradigma penemuan hukum yang telah dipengaruhi penemuan

hukum otonom dan juga kelemahan dari peraturan perundang-undangan

72

(29)

yang telah dijelaskan sebelumnya. Sumber penemuan hukum tersebut antara

lain peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi,

perjanjian nternasional, dan doktrin. Dalam ajaran penemuan hukum bahwa

sumber penemuan hukum memiliki hierarki yang harus diprioritaskan

terlebih dahulu.Dalam ajaran tersebut memandang peraturan

perundang-undangan merupakan sumber terpenting dan utama.Akan tetapi perlu diingat

bahwa undang-undang dan hukum tidaklah identik.Pada dasarnya bukan hal

yang mudah untuk memahami maksud dari undang-undang, karena

memahami peraturan perundang undangan bukan sebatas membaca bunyi

kata-katanya saja (naar de letter van de wet), tetapi harus mencari makna

atau tujuan perundang-undangan.Jika dalam peraturan perundang-undangan

tersebut tidak memuat ketentuan yang mengatur peristiwa hukum maka

barulah mencari kepada hukum kebiasaan.Hukum kebiasaan merupakan

hukum yang tidak tertulis, oleh karena itu untuk menemukannya harus

menggali kebiasaan yang telah hidup dimasyarakat.

Pada dasarnya tidak semua kebiasaan mempunyai kekuatan hukum

mengikat, kebiasaan baru dapat dikatakan sumber hukum apabila kebiasaan

tersebut telah diulang dalam jangka waktu yang lama, telah menimbulkan

keyakinan umum (opini necessitatis), perilaku tersebut dipandang patut

secara objektif dilakukan dan adanya keyakinan bahwa melakukan perilaku

tersebut berarti telah melakukan kewajiban hukum.

Berdasarkan pasal 15 AB, bahwa hukum kebiasaan pada umunya

(30)

mengesampingkannya.Adakalanya hukum kebiasaan mengalahkan

undang-undang yang bersifat sebagai pelengkap.Kalau dalam hukum kebiasaan

tidak ditemukan jawaban, maka daoat dicari didalam yurisprudensi.

Yurisprudensi dapat berarti setiap putusan hakim, selain itu

yurisprudensi juga dapat diartikan sebagai kumpulan putusan hakim yang

disusun secara sistematis dari tingkat peradilan pertama sampai tingkat

kasasi dan pada umumnya diberi annotatie oleh para pakar dibidang

peradilan.

Didalam putusan hakim tersebut terdiri dari kepala putusan yang

berbunyi “Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa”.Identitas

para pihak yang berperkara dan konsiderans tentang hukumnya dan pada

bagian akhir memuat dispositive. Melalui putusan tersebut maka dapat

dijadikan sebagai pedoman bagi hakim lain untuk memutus perkara serupa

dikemudian hari. Jika dalam yurisprudensi tidak ditemukan jawaban atas

suatu masalah maka akan menggunakan sumber hukum lainnya.

Konsep penemuan hukum oleh hakim tidak terlepas dari pandangan

Paul Scholten yang mengemukakan bahwa:73

a) Hukum bukan suatu sistem hukum tertulis yang tidak boleh diubah

sebelum badan pembuat undang mengubahnya. Artinya,

undang-undang dapat saja diubah maknanya, meskipun tidak diubah bunyi

kata-katanya untuk menyesuaikannya dengan fakta konkrit yang ada.

73

(31)

b) Keterbukaan sistem hukum berhubungan dengan persoalan kekosongan

dalam hukum, dimana ada dua macam kekosongan dalam hukum, yaitu:

1) Kekosongan hukum sendiri, yaitu jika hakim mengatakan bahwa ia

menemukan suatu kekosongan karena ia tidak mengetahui bagaimana

ia harus memberi putusannya.

2) Kekosongan dalam perundang-undangan, yaitu dengan konstruksi

hukum dan penalaran logispun, problemnya masih tetap tidak

terpecahkan, dalam hal itu harus mengisi kekosongan ini seperti ia

berada pada kedudukan sebagai pembuat undang-undang dan member

putusannya seperti halnya jika pembuat undang-undang itu akan

memberikan putusannya dalam menghadapi kasus seperti itu.

Soedikno Mertokosumo memperkenalkan ada tiga tahap tugas hakim

saat melakukan penemuan hukum,74

a) Tahap konstatir, yaitu dimana hakim mengkonstatir benar atau tidaknya

peristiwa yang diajukan. Dalam tahapan ini kemampuan hakim dalam

melakukan penguasaan hukum pembuktian sangat diperlukan. yaitu:

b) Tahap kualifikasi, yaitu tahap dimana hakim mengkualifikasikan

hubungan hukum apakah termasuk dalalm tindak pidana tertentu.

c) Tahap konstituir, yaitu hakim menetapkan hukum terhadap pihak yang

bersangkutan dengan menggunakan silogisme, yaitu menarik suatu

kesimpulan dari premis mayor berupa aturan hukum dan premis minor

berupa tindakan pelaku.

74

(32)

Penemuan hukum oleh hakim dimulai pada tahap kualifikasi dan

berakhir pada tahap konstituir.Hakim menemukan hukum melalui

sumber-sumber hukum yang tersedia. Dalam hal ini tidak dianut pandangan legisme

yang hanya menerima undang-undang saja sebagai satu-satunya hukum dan

sumber hukum. Sebaliknya hakim dapat melakukan penemuan hukum

melalui sumber hukum yang lain baik itu undang-undang, kebiasaan,

traktar, yurisprudensi, doktrin, hukum agama bahkan keyakinan hukum

yang dianut oleh masyarakat.

2. Aliran Penemuan Hukum a. Legisme

Aliran ini lahir sebagai reaksi atas ketidakseragaman hukum

kebiasaan pada abad 19 yang tidak memberikan kepastian hukum,

dengan melakukan kodifikasi norma hukum secara lengkap dan sistemats

dalam kitab undang-undang.Aliran ini menegaskan bahwa satu-satunya

sumber hukum adalah undang-undang, yang dipandang cukup jelas dan

lengkap yang berisi semua jawaban terhadap persoalan hukum sehingga

hakim hanyalah berkewajiban menerapkan peraturan hukum pada

peristiwa konkrit dengan bantuan penafsiran gramatikal.

Dalam pandangan aliran ini dibutuhkan beberapa syarat dalam

melaksanakan undang-undang, yaitu undang-undang harus bersifat

umum (berlaku bagi setiap orang, ketentuan-ketentuan yang ada di

dalamnya harus dirumuskan secara abstrak (sehingga berlaku umum),

(33)

kekosongan-kekosongan.Berdasarkan pendapat ini maka semua hukum terdapat di

dalam undang-undang, dan hanya undang-undanglah yang menjadi

sumber hukum.

Montesquieu pernahmengemukakan bahwa “hakim-hakim rakyat

tidak lain hanyalah corong yang mengucapkan teks undang-undang. Jika

teks itu tidak berjiwa dan tidak manusiawi, para hakim tidak beoleh

mengubahnya, baik tentang kekuatannya maupun tentang keketatannya”,

Justianus bahkan pernah mengancam dengan pidana pada siapa saja yang

memberanikan diri untuk melakukan penafsiran

undang-undang.Interpretasi hanya dimungkinkan atas dasar persetujuan kaisar”.75

Selanjutnya J.J. Rousseau dalam teori kedaulatan rakyat yang

dianutnya berpendapat bahwa yang merupakan kekuasaan tertinggi

dalam suatu negara adalah kehendak bersama rakyat, dan kehendak

bersama itu diwujudkan dalam undang.Oleh karena itu

undang-undanglah satu-satunya hukum dan sumber hukum, dan hakim tidak

boleh melakukan pekerjaan pembuat undang-undang.Bahkan Fennet juga

mengungkapkan bahwa interpretasi atau komentar sebagai cambuk

perusak undang-undang.76

Dalam perkembangannya pandangan legisme semakin lama

semakin ditinggalkan orang, semakin lama semakin disadari bahwa

undang-undang tidak pernah lengkap dan tidak selamanya jelas.Sifat

undang-undang yang abstrak dan umum itu menimbulkan kesulitan

75

Ahmad Ali, 1996, Op, cit., hlm. 144. 76

(34)

dalam penerapannya secara inkonkrito oleh para hakim di

pengadilan.Keadaan inilah yang melahirkan pandangan tentang

pandangan penemuan hukum oleh hakim.

b. Aliran Historis

Abad ke 20 disadari bahwa UU tidak lengkap, nilai-nilai yang

dituangkan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, kalau

kondisi ini dipertahankan maka akan terjadi kekosongan

hukum.Akhirnya Von Savigny mempelopori pandangan yang kemudian

dinamai Mazhab Historis, yang inti pandangannya adalah ”Hukum

tumbuh dari kesadaran hukum bangsa di suatu tempat dan pada waktu

tertentu”.

c. AliranBegriffsjurisprudenz

Ketidakmampuan legislator mengakomodir dinamika sosial yang

terjadi dengan membuat undnag-undang pada waktunya merupakan

alasan dasar untuk memberi peran yang lebih aktif kepada hakim untuk

menyesuaikan undang-undang pada keadaan yang baru.Dalam posisi

seperti ini jurisprudensi mulai memperoleh peranan sebagai sumber

hukum.Dalam abad 19 lahirlah aliran yang dipelopori oleh Rudolf von

Jhering yang menekankan pada sistematik hukum.

Inti ajaran ini menegaskan bahwa yang ideal adalah apabila sistem

yang ada berbentuk suatu piramida, yang mana dipuncak piramida

terletak asas utama, dan dari puncak piramida dibuatlah

(35)

dan pengertian-pengertian umum yg digunakan untuk mengkaji

undang-undang.Lebih memberikan kebebasan kepada hakim ketimbang aliran

legisme, hakim tidak perlu terikat pada bunyi undang-undang, dia dapat

mengambil argumentasinya dari peraturan-peraturan hukum yang tersirat

dalam undang-undang. Dengan demikian lebih bersandar kepada ilmu

hukum.

Hakim bebas dalam menerapkan undang-undang tetap bergerak

dalam sistem hukum yang tertutup.Menurut aliran ini pengertian hukum

tidaklah sebagai sarana tetapi sebagai tujuan, sehingga ajaran hukum

menjadi ajaran tentang pengertian (begriffsjurisprudenz), suatu

permintaan pengertian.Begriffsjurisprudenz ini mengkultuskan ratio dan

logika, pekerjaan hakim semata-mata bersifat logis ilmiah.Sebagai reaksi

terhadap aliran legisme pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20

dimana suatu ajaran baru, yaitu ajaran tentang kebebasan yang

berpendapat bahwa hukum lahir karena peradilan.

d. Interessenjurisprudenz

Aliran ini sebagai reaksi terhadap aliran Begriffjurisprudenz,

aliranini lebih menitik beratkan

kepada“kepentingan-kepentingan”(interessen) yang difiksikan, dan oleh karena itu pulalah

aliran inidinamai dengan “Interesenjurisprudez” yang mengalami masa

kejayaanpada awal abad 20 di Jerman.

Aliran ini berpandangan bahwa hukum tidak boleh dilihat oleh

(36)

tujuannya.Adapun yang menjadi tujuan menurut van Jhering adalah “ide

keadilan dan kesusilaan yang tak mengenal waktu”.

e. Freirechtbewegung

Reaksi yang tajam terhadap aliran Legisme baru muncul pada

sekitar tahun 1900 di Jerman, reaksi ini dimulai oleh Kantorowics dengan

nama samaran Gnaeus Flavius.Aliran ini menantang keras pendapat yang

menyatakan bahwa kodifikasi itu lengkap dan hakim dalam proses

penemuan hukum tidak memiliki sumbangan kreatif.

Menurut aliran ini, hakim memang harus menghormati

undang-undang, tetapi ia dapat tidak hanya sekedar tunduk dan mengikuti

undang-undang, melainkan menggunakan undang-undang sebagai sarana

untuk menemukan pemecahan peristiwa konkrit yang dapat

diterima.Dapat diterima karena pemecahan yang diketemukan dapat

menjadi pedoman bagi peristiwa konkrit serupa lainnya, di sini hakim

tidak berperan sebagai penafsir undang-undang, tetapi sebagai pencipta

hukum.

3. Metode Penemuan Hukum

Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa peraturan

perundang-undangan bersifat statis, tidak lengkap, dan tidak dapat

mengikuti perkembangan masyarakat, hal ini menimbulkan ruang kosong

dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hakim dalam

menerapkan hukum.Oleh karena itu, hakim harus menemukan hukum yang

(37)

peraturan perundang-undangan, sebab penemuan hukum yang dilakukan

oleh hakim bukan sekedar menyangkut penerapan peraturan

perundang-undangan terhadap peristiwa konkrit.

Peraturan perundang-undangan harus memuat penjelasan yang dimuat

dalam suatu perundang-undangan yang belum memiliki kejelasan yang

konkrit ketika dihadapkan kepada suatu peristiwa konkrit.Selain itu

ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tidak dapat diterapkan begitu

saja secara langsung pada peristiwanya.Untuk dapat menerapkan ketentuan

undang-undang maka harus ditafsirkan dan diarahkan sesuai dengan

peristiwa yang terjadi.

Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh E. Utrecht bahwa tugas

hakim ialah menyesuaikan undang-undang dengan kejadian-kejadian

konkrit dalam masyarakat. Apabila undang-undang tidak dapat ditetapkan

hakim secara tepat menurut kata-kata undang-undnag itu, maka harus ia

menafsirkan undang-undang itu. Apabila undang-undang tidak jelas, maka

wajiblah hakim menafsirkan sehingga dapat dibuat suatu keputusan hukum

yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yaitu

mencapai kepastian hukum.77

Dalam penemuan hukum terdapat beberapa metode yang digunakan

antara lain metode interpretasi (penafsiran) dan juga metode konstruksi.

Interpretasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang

memberikan penjelasan yang gambling mengenai teks undang-undang agar

77

(38)

ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa

tertentu.Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang menuju pada

pelaksanaan yang dapat diterima masyarakat mengenai peraturan hukum

terhadap peristiwa yang konkrit.Metode interpretasi merupakan sarana

untuk mengetahui makna undang-undang, untuk merealisasikan fungsinya

agar hukum positif tersebut dapat diberlakukan.

Metode interpretasi ini merupakan alasan-alasan atau

pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan oleh hakim dalam memutus perkara

yang selanjutnya dapat dibedakan atas metode interpretasi gramatikal,

interpretasi teleologis atau sosiologis, interpretasi historis, interpretasi

sistematis atau logis, interpretasi komparatif, interpretasi futuristik serta

interpretasi restriktif dan eksensif.78

Pertama, interpretasi gramatikal (penafsiran kebahasaan), penemuan

hukum dengan mencari maksud pembuat undang-undang dengan

memahami bahasa yang digunakan dalam perumusan undang-undang.Hal

ini dilakukan karena adakalanya bahasa yang digunakan dalam rumusan

perundang-undangan tidak jelas atau mengandung pengertian yang beraneka Interpretasi otentik pada dasarnya bukan

termasuk metode penafsiran karena interpretasi otentik merupakan

interpretasi yang diberikan undang dan terdapat dalam teks

undang-undang.Dalam hal bunyi undang-undang sudah cukup jelas maka tidak perlu

dilakukan penegasan dengan jalan menyimpang dari kata-kata itu dengan

jalan penafsiran.

78

(39)

ragam. Oleh karena itu hakim berkewajiban untuk menafsirkan rumusan

norma tersebut dengan mencari arti kata dengan menggunakan kamus

bahasa, meminta keterangan ahli bahasa, atau mempelajari sejarah

penggunaan kata tersebut sehingga maknanya menjadi jelas. Metode ini

dipandang sebagai metode yang paling sederhana dibandingkan metode

yang lain dan sering disebut juga sebagai metode objektif.

Kedua, interpretasi sistematis/logis (penafsiran dengan melihat

peraturan undangan yang lain). Suatu peraturan

perundang-undangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem

hukum hal ini tidak terlepas dari kesamaan antara satu peraturan dengan

peraturan lainnya yang adakalanya memiliki kedudukan, tujuan maupun

asas yang sama. Oleh karena itu, perlu dilakukan perbandingan antara

beberapa peraturan perundnag-undangan yang diduga memuat norma yang

sama.

Ketiga, interretasi historis yaitu penafsiran dengan melihat latar

belakang lahirnya peraturan perundang-undangan atau sejarah sehingga

hakim dapat mengetahui maksud pembuatnya.Menurut Soedikno

Metrokusumo interpretasi historis meliputi penafsiran menurut sejarah

hukum (rechtshstorische interpretatie) dan penafsiran menurut sejarah

terjadinya undang-undang.79

79

Ibid, hlm 60

Penafsiran menurut hukum merupakan kategori

penafsiran secara luas yaitu dengan menyelidiki asal usul pembuatan sampai

(40)

penafsiran menurut sejarah penetapan peraturan perundang-undangan

merupakan kategori penafsiran sempit, yaitu penafsiran yang hanya

menyelidiki maksud pembuat undang-undang menetapkan peraturan

perundang-undangan.Metode ini disebut juga penafsiran subjektif, karena

penafsirannya didasarkan kepada pandangan subjektif dari pembentuk

undang-undang.

Keempat, interpretasi teleologis atau sosiologis, yaitu penafsiran yang

dilakukan untuk mencari tujuan pembentukan peraturan

perundang-undangan yang ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatn. Dengan

interpretasi ini, undang-undang yang masih belaku tetapi sudah using atau

sudah tidak sesuai lagi dapat diterapkan terhadap peristiwa, hubunga,

kebutuhan dan epentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini pada waktu

diundangkan dikenal atau tidak. Dengan kata lain, ketentuan undang-undang

yang sudah tidak sesuai lagi dapat dijadikan sebagai alat untuk memecahkan

atau menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan bersama dimasa

sekarang. Dimana peraturan yang lama tersebut disesuaikan dengan keadaan

yang baru dengan membuatnya kembali aktual.Hal ini dilakukan agar

putusan hakim selalu dapat mengakomodir keadaan yang terjadi di

masyarakat.

Kelima, Interpretasi antisipatif atau futuristik, yaitu bentuk penemuan

hukum dengan melakukan pemecahan masalah melalui peraturan

perundang-undangan yang belum memiliki kekuatan berlaku, yaitu melalui

(41)

Keenam, interpretasi komparatif, yaitu metode penemuan hukum

dengan melakukan perbandingan dengan peraturan perundang-undangan

lainnya dalam rangka menyelesaikan perkara yang diajukan kepada hakim.

Ketujuh, interpretasi restriktif, yaitu metode penafsiran yang bersifat

mempersempit pengertian dari suatu istilah.

Kedelapan, interpretasi eksensif, yaitu metode penafsiran dengan

memperluas pengertian dari sebuah istilah dalam peraturan.

Dalam penemuan hukum, hakim diberikan kebebasan dalam

menentukan metode interpretasi yang digunakan berdasarkan

pertimbangannya yang dipandang lebih meyakinkan dan yang hasilnya

dipandang lebih mendekati kepada nilai-nilai tujuan hukum.Pemilihan

terhadap metode tersebut merupakan otonomi hakim.Adakalanya dalam

menggunakan metode interpretasi hakim menggunakan lebihdari satu

metode.

Selain penafsiran dikenal juga suatu metode argumentasi yaitu, suatu

cara yang dilakukan untuk menemukan hukum suatu peristiwa konkrit yang

terjadi yang tidak jelas diatur dalam undang-undang atau tidak ada peraturan

yang secara khusus mengaturnya. Disini hakim menghadapi kekosongan

atau ketidaklengkapan undang-undnag yang harus dilengkapi, sebab hakim

tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalil tidak

ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya.

Pertama, argumentum peanalogiam yaitu dalam hal peraturan

(42)

akanmemeprluasnya dengan metode berpikir analogi. Dengan analogi maka

peristiwa yang serupa atau yang mirip yang diatur dalam undang-undang

dapat diberlakukan. Penemuan hukum dengan cara ini mencari peraturan

umum dari peraturan khusunya dan akhirnya menggali asas yang terdapat

didalamnya. Dalam hukum pidana penggunaan analogi dilarang.

Kedua, penyempitan hukum, yaitu adakalanya peraturan

perundang-undangan itu ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu

dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap peristiwa tertentu, dengan

melakukan pembentukan pengecualian-pengecualian atau

penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang sifatnya umum

diterapkan dalam peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan

penjelasan atau konstruksi dnegan memberi ciri-ciri.

Ketiga, Argumentum a contrario, yaitu apabila peristiwa tidak secara

khusus diatur oleh undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut

diatur oleh undang-undang. Maka cara penemuan hukumnya dilakukan

dengan pertimbangan bahwa apabila undnag-undang menetapkan hal-hal

tertentu untuk peristiwa tertentu, maka peraturan itu terbatas pada peristiwa

tertentudan untuk peristiwa diluarnya berlaku kebalikannya. Atau

dengankata lain metode inimerupakan metode menjelaskan undang-undang

yang didasarkan kepada perlawanan pengertian anatar peristiwa konkrit

yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.

Selain metode diatas terdapat metode hermeneutika hukum yaitu

(43)

kontruksi hukum sebagaimana yang telah di uraikan di atas masih relevan

dipergunakan oleh hakim hingga saat ini, akan tetapi pada abad ke 19 dan

permulaan abad 20 sudah ditemukan metode penemuan hukum lain yang

dapat dipergunakan oleh hakim dalam memutus perkara yaitu metode

hermeneutika hukum.

Menurut Gadamer sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Rifai

menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hermeneutika hukum adalah:80

Hermeneutika hukum mempunyai relevansi dengan teori penemuan

hukum, yang ditampilkan dalam kerangka pemahaman proses timbal balik

antara kaedah-kaedah dan fakta-fakta. Dalil hermeneutika menjelaskan “Legal hermeneutics is then, in reality no special case but is, on the

contrary, fitted to restore the full scope of the hermeneutical problem and so to restrieve the former unity of hermeneutics, in which jurist and theologian meet the student of the humanities”.

Hermeneutika hukum dalam kenyataannya bukanlah merupakan suatu kasus yang khusus/baru, tetapi sebaliknya, ia hanya merekonstruksikan kembali dari seluruh problem hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, di mana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora.

Fungsi dan tujuan hermeneutika hukum adalah untuk memperjelas

sesuatu yang tidak jelas supaya lebih jelas (bringing the unclear in to

clarity), sedangkan tujuan yang lain dari hermeneutika hukum adalah untuk

menempatkan perdebatan kontemporer hukum dalam kerangka

hermeneutika pada umumnya. Upaya mengkontekstualisasi teori hukum

dengan cara ini serta mengasumsikan bahwa hermeneutika memiliki

korelasi pemikiran dengan ilmu hukum dan yurisprudensi.

80

(44)

bahwa orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya

kaedah-kaedah dan mengintepretasi kaedah-kaedah-kaedah-kaedah dalam fakta-fakta termasuk

paradigma dari teori penemuan hukum modern saat ini.Jadi, hermeneutika

hukum dapat dipahami sebagai metode interpretasi teks hukum atau metode

memahami terhaap suatu naskah normatif. Penggunaan dan penerapan

hermeneutika hukum sebagai teori dan metode penemuan hukum baru akan

sangat membantu para hakim dalam memeriksa serta memutus perkara yang

diadilinya. Kelebihan metode hermeneutika hukum terletak pada cara dan

lingkup interpretasinya yang tajam, mendalam dan holistik dalam bingkai

keastuan antara teks, kontek dan kontektualisasinya. Peristiwa hukum

maupun peraturan perundang-undangan tidak semata-mata dilihat atau

ditafsirkan dari aspek legal formal berdasarkan bunyi teksnya semata, tetapi

juga harus dilihat dari faktor-faktor yang melatar belakangi peristiwa atau

sengketa yang muncul, apa akar masalahnya adakah intervensi politik (atau

intervensi lainnya) yang melahirkan dikeluarkan suatu putusan, serta

tindakkan dampak dari putusan itu dipikirkan bagi proses penegakan hukum

dan keadilan di kemudian hari.81

81

Ibid.

Dalam praktek peradilan tampaknya

metode hermeneutika hukum ini tidak banyak atau jarang sekali di

pergunakan sebagai metode penemuan hukum.Hal ini disebabkan karena

dominannya metode interptestasi dan hantruksi hukum yang sudah sangat

mengakar dalam praktek di peradilan Indonesia, mungkin juga para hakim

(45)

menggunakannya dalam penemuan hukum. Padahal metode ini dianggap

paling baik sebab ia merupakan sutau metode menginterpretasikan teks

hukum yang tidak semata-mata melihat teksnya saja, tetapi juga

kontek-kontek hukum itu dilahirkan serta bagaimana kontek-kontektualisasi atau penerapan

hukumnya dimasa kini dan masa mendatang.

4. Faktor Yang Mempengaruhi Penemuan Kebenaran Materiil

Dalam pembuatan putusan terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi hakim. Faktor-faktor tersebut menurut Loebby Luqman

meliputi: a) raw in put, yakni faktor yang berhubungan dengan suku, agama,

pendidikan informal, dan sebagainya; b) Instrument input, yakni faktor yang

berhubungan dengan pekerjaan dan pendidikan formal: c) enviromental

input, yakni faktor lingkungan, sosial budaya yang berpengaruhi dalam

kehidupan seorang hakim, seperti lingkungan organisasi dan seterusnya.82

Selanjutnya Yahya Harahap sebagaimana dikutip oleh Moerad M.B.,

memerinci lebih lanjut terkait faktor tersebut menjadi faktor subjektif dan

faktor objektif. Faktor subjektif meliputi: a) Sikap perilaku yang apriori,

yakni adanya sikap hakim yang sejak semula telah menganggap bahwa

terdakwa bahwa yang diperiksa dan diadili adalah orang yang memang telah

bersalah sehingga harus dipidana. b) Sikap perilaku emosional, yakni bahwa

putusan pengadilan akan dipengaruhi oleh perangai hakim. Hakim yang

mempunyai perangai mudah tersinggung akan berbeda dengan perangai

hakim yang tidak mudah tersinggung. Demikian pula putusan hakim yang

82

(46)

mudah marah dan pendendam akan berbeda dengan putusan hakim yang

sabar. c) sikaparrogance power, yakni sikap lain yang mempengaruhi suatu

putusan adalah “kecongkakan kekuaasaan”, disini hakim merasa dirinya

berkuasa dan pintar, melebihi orang lain. d) Moral, yakni moral seorang

hakim karena bagaimanapun juga pribadi hakim diliputi tingkah laku yang

didasarkan kepada moral pribadi hakim tersebut terlebih dahulu dalam

memeriksa serta memutuskan suatu perkara.83

Faktor yang objektif meliputi: a) latar belakang budaya yakni

kebudayaan, agama, pendidikan seseorang tentu ikut mempengaruhi suatu

putusan hakim. Meskipun latar belakang hidup budaya tidak bersifat

determinis, tetapi faktor ini setidaknya ikut mempengaruhi hakim dalam

mengambil suatu putusan. b) Profesionalisme, yakni kecerdasan serta

profesionalisme seorang hakim ikut mempengaruhi putusannya. Perbedaan

suatu putusan pengadilan sering dipengaruhi oleh profesionalisme hakim

tersebut.84

Selanjutnya Antonius Sudirman mengatakan bahwa terdapat beberapa

faktor yang dapat mempengaruhi putusan seseorang yakni dinamika diri

individu, dinamika para kelompok orang dalam organisasi, dinamika dari

para lingkungan organisasi, adanya tekanan dari luar, adanya pengaruh

kebiasaan lama, adanya pengaruh sifat pribadi, adanya pengaruh dari

kelompok luar, dan adanya pengaruh keadaan masa lalu. Lebih lanjut

dikatakan bahwa keputusan seseorang dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai

83

Pontang Moerad, B.N., Op. Cit., hlm. 117-118. 84

(47)

yang hidup ditengah masyarakat yang ada dilingkungan sekitarnya.

Nilai-nilai tersebut seperti: a) Nilai-nilai politis, yakni Nilai-nilai dimana keputusan dibuat

atas dasar kepentingan politik dari partai politik atau kelompok kepentingan

tertentu; b) nilai organisasi, yaitu nilai dimana keputusan dibuat atas dasar

nilai-nilai yang dianut oleh organisasi, seperti balas jasa dan sanksi yang

dapat mempengaruhi anggota organisasi untuk menerima dan

melaksanakannya. c) nilai pribadi, yaitu nilai dimana keputusan dibuat atas

dasar nilai-nilai pribadi yang dianut oleh pribadi pembuat keputusan untuk

mempertahankan status quo, reputasi, kekayaan dan sebagainya. d) nilai

kebijaksanaan, yaitu nilai dimana keputusan dibuat atas dasar persepsi

pembuat kebijaksanaan terhadap pertimbangan public. e) nilai ideologi,

yaitu nilai-nilai seperti nasionalisme yang dapat menjadi landasan

pembuatan kebijaksanaan.85

C.Kendala Kebebasan Hakim dalam Penemuan Kebenaran Materiil

Kendala kebebasanhakim dalam penemuan kebenaran materiil tidak

terlepas dari faktor yang mempengaruhi hakim dalam membuat

putusan.Kendala tersebut meliputi:

a. Kendala Struktural

Kebebasan hakim akan mengalami hambatan jika struktur lembaga

tersebut bukan merupakan lembaga yang otonom dan merdeka, melainkan

sebagai struktur yang tergantung pada kekuasaan struktur lembaga lain.

85

Antonius Sudirman, Hati nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan dari

Persfektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim bismar Siregar, Citra

(48)

ketika struktur tersebut merupakan subordinasi struktur lain, maka struktur

akan tersubordinasi oleh lem

Referensi

Dokumen terkait

Ide dasar berupa bentuk figur tokoh-to- koh punakawan Semar, Gareng, Petruk dan Bagong diterapkan pada bentuk bilah tombak dapat dikreasikan menjadi karya seni yang menarik..

(misalnya dimulai dari 3 kolom pertama dan baris pertama) dengan menggunakan tabel random numbers, tentukan unit mana yang terpilih, sebesar sampel yang dibutuhkan, yaitu

Kegiatan magang ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kerja, baik secara teknis maupun manajerial, meningkatkan keterampilan dan memahami proses kegiatan kerja

Bumbung gelombang atau waveguide adalah saluran transmisi yang berupa pipa berongga yang terbuat dari konduktor yang baik.. Rongga diisi dengan bahan dielektrik tak merugi yang

Privatisasi diarahkan bukan semata-mata untuk pemenuhan APBN, tetapi lebih diutamakan untuk mendukung pengembang-an perusahaan dengan metode utama melalui penawaran umum di

For the example of monitoring grape canopy at the early stage of grape ripening (Figure 1), the data acquired with a lightweight and low-cost multi-echo line

[r]

Emas dan perak adalah logam yang dapat terlarut dengan merkuri, sehingga merkuri dipakai untuk mengikat emas dalam proses pengolahan bijih sulfida.. mengandung emas melalui