• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Tinjauan Pustaka

2. Penemuan Kebenaran Materiil

Hukum pidana materiil tidak dapat tegak tanpa dilengkapi ketentuan- ketentuan yang mengatur cara penyelesaian pelanggaran terhadap hukum materiil, hal inilah yang disebut dengan hukum acara pidana. Dengan kata lain hukum acara pidana berfungsi untuk menjalankan hukum pidana materiil. Norma-norma yang dimuat dalam hukum pidana formil pada dasarnya tidak mengatur tentang tingkah laku yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan, melainkan mengatur kekuasaan badan-badan peradilan dan tugasnya dalam penegakan hukum.

Pada dasarnya KUHAP tidak memberikan definisi hukum acara pidana melainkan hanya bagian-bagiannya saja seperti penyidikan, penyelidikan, penuntutan mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penahanan, dan lain-lain.

Menurut Van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh Amir Hamzah5

1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;

bahwa ilmu hukum acara pidana itu mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya terjadi pelanggaran Undang-Undang pidana, yaitu sebagai berikut :

2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;

3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan jika perlu menahannya;

4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan pada hakim dan membawa terdakwa kedepan hakim tersebut;

5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib;

6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;

7. Melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib.

Dalam pandangan Wirjono Prodjodikoro bahwa hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaiman badan- badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan

5

harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.6

a. Mencari dan menemukan kebenaran;

Dalam pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman menyebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana sebagai berikut yaitu mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu:

b. Pemberian keputusan oleh hakim; c. Pelaksanaan keputusan.

Dari ketiga fungsi itu yang paling penting adalah fungsi mencari kebenaran, setelah menemukan kebenaraan yang diperoleh dari bukti-bukti yang dipertunjukan, hakim akan sampai pada putusan, yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa.

Penemuan kebenaran materiil tidak terlepas dari upaya penemuan hukum yang berkembang di masyarakat yang dipengaruhi oleh berbagai

6

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1967, Hlm. 13.

aliran maupun metode penemuan hukum.Penemuan kebenaran materiil merupakan esensi dari kebebasan, yang diberikan kepada hakim sebagai langkah menerobos tercapainya tujuan hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch yakni tercapainya nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum secara serasi.

Dalam penemuan kebenaran materiil hakim harus bersifat aktif melalui sistem pembuktian yang dianut oleh hukum acara pidana Indonesia.Sistem pembuktian yang dimaksud adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk). Dalam Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar- benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Selanjutnya dalam pasal 15 ayat (2) KUHAP ditegaskan bahwa “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.

Rumusan KUHAP tersebut memuat ketentuan yang sama dengan Pasal 294 ayat (1) HIR yang berbunyi sebagai berikut “Tidak seorangpun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu.”

Sebelum pemberlakuan KUHAP, dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman pasal 6 berbunyi: “Tiada seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab telah bersalah atau perbuatan yang dituduhkan kepada dirinya”.

Dalam sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubble en

grondslag) yaitu pada peraturan perundang-undangan dan keyakinan hakim,

dimana dasar keyakinan hakim tersebut bersumber kepada undang-undang. Lebih lanjut Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan yaitu: Pertama, memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.Kedua, ada faedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.7

a. Keterangan saksi;

Dalam pembuktian tersebut hakim berpatokan kepada alat-alat bukti yang diatur pada pasal 184 KUHAP yaitu:

7

b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

Konsep penemuan kebenaran materiil pada dasarnya tidak terlepas dari sistem hukum yang dianut. Sistem hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan berkaitan secara erat.8

Prinsip utama yang terdapat dalam sistem hukum eropa kontinental ini yaitu hukum memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam

Dengan adanya sistem tersebut maka akan tercipta harmonisasi sehingga tidak terjadi lagi kontradiksi diantara bagian-bagian tersebut.

Penemuan hukum di Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum eropa kontinental yang dianut.sistem ini berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Yustianus. Kodifikasi ini merupakan kumpulan dari berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa Yustianus yang disebut dengan Corvus Juris Civilis.Corvus

Juris Civilis dijadikan sebagai dasar dalam perumusan dan kodifikasi

hukum di negara-negara eropa daratan seperti Jerman, Belanda, Prancis, Italia, Amerika Latin, Asia (termasuk Indonesia pada masa penjajahan Belanda).

8

J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, Hlm. 35.

kodifikasi.Kodifikasi lahir karena keberatan-keberatan yang disebabkan oleh ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum timbul karena keragu- raguan tentang apa sumber hukum, bagaimana sumber-sumber hukum itu berhubungan satu sama lain secara hierarki dan tentang isi setiap sumber hukum itu.

Sejak pemberlakuan Wet Algemene Bepalingan Nederland (Wet AB), undang-undang dipandang untuk menata hukum, tetapi undang-undnag tidak boleh menjadi tekanan, yang menghambat tumbuhnya kekuatan- kekuatan yang berguna bagi masyarakat.

Dalam mengadili setiap perkara hakim harus mengadili menurut undang-undang, hakim tidak boleh menyertakan pendapat pribadinya tentang kelayakan dan kebenaran undang-undang, dan apabila hakim berpendapat bahwa undnag-undnag bungkam tentang suatu persoalan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka itu tidak benar, sebab undang-undang itu jelas dan lengkap. Pada akhirnya hakim hanya boleh memutuskan peristiwa yang bersifat in konkrito.

Dalam sistem hukum ini dikenal sebuah adagium “tiada hukum selain undang-undang”, dengan kata lain bahwa hukum selalu diidentikkan dengan undang-undang. Hakim dalam sistem hukum ini tidak bebas dalam menciptakan hukum baru karena hakim hanya menerapkan dan menafsirkan peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya, putusan hakim tidak mengikat secara umum tapi hanya mengikat para pihak yang bersengketa.

Sistem hukum eropa kontinental ini memiliki perbedaan dengan sistem hukum Anglo Saxon atau yang lebih sering dikenal dengan common

law yang mula-mula berkembang di Inggris, Amerika Utara, kanada,

Amerika Serikat dan negara jajahannya. Perbedaan tersebut terletak pada sumber hukum yang diterapkan, bahwa dalam sistem hukum anglo saxon putusan-putusan hakim/yurisprudensi merupakan sumber hukum. Melalui putusan tersebut prinsip-prinsip hukum dan kaidah-kaidah hukum dibentuk dan mengikat umum.Undang-undang dan peraturan perundang-undang lainnya juga tetap diakui karena pada dasarnya terbentuknya kebiasaan dan peraturan tersebut bersumber dari putusan pengadilan.Peraturan dan segala putusan tersebut tidak tersusun secara sistematis dalam kodifikasi sebagaimana pada sistem hukum eropa kontinental.Oleh karena itu, hakim memiliki wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara sejenis.Hal inilah yang disebut dengan asas doctrin of presedent yaitu hakim terikat pada sistem hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis.9

Dalam perkembang peradaban manusia bahwa sistem hukum yang telah dianut tersebut tidak bersifat kaku, telah terjadi pembauran antarsistem

Namun apabila dalam yurisprudensi tidak ditemukan prinsip hukum yang dicari, hakim berdasarkan prinsip keadilan, kebenaran dan akal sehat dapat memutuskan perkara dengan menggunakan metode penafsiran hukum.

9

Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum¸ Cahaya Ilmu, Medan, 2006, hlm.184.

dengan menyerap kelebihan masing-masing sistem.Sistem hukum tersebutlah yang menjadi panduan dalam penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim.Seiring waktu, bahwa penundukan diri terhadap kekuasaan undang-undang mulai dilepaskan dan berupaya mencari sumber hukum lainnya yang dipandang lebih mendekati kepada nilai keadilan dengan menyerap kelebihan sistem nonkodifikasi.

Penemuan hukum lahir sebagai upaya untuk mengakomodir seluruh perkembangan dinamika sosial yang terjadi.Dinamika sosial tersebut bergerak sangat cepat seiring perkembangan peradaban manusia, dan peraturan perundang-undangan adakalanya tidak dapat mengakomodir seluruh dinamika sosial yang menghasilkan peristiwa hukum tersebut.Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum dalam rangka mengawal tegaknya cita hukum maka perlu dilakukan penemuan hukum, penemuan hukum yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi kepada penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim.

Di dalam perkembangannya kedua sistem penemuan hukum ini saling mempengaruhi, sehingga penemuan hukum tidak lagi murni otonom maupun murni heteronom.Bahkan cenderung bergeser kearah penemuan hukum yang otonom, hal ini disebabkan oleh pembentukan undang-undang yang bersifat umum bukan kasuistis. Hal ini berdampak terhadap pergeseran dari “hakim terikat” kearah “hakim bebas” dan pergeseran keadilan menurut undang-undang (normgerechtigkeit) kearah keadilan menurut hakim seperti yang tertuang dalam putusan (einzelfallgerechtigkeit), serta terjadi

pergeseran pola berpikir yang mengacu kepada sistem (systeemdenken) kearah berpikir mengacu kepada masalah (problem oriented).10

10

Ibid. Hlm. 210.

Dalam penemuan hukum yang dianut dalam hukum positif Indonesia terdapat beberapa sumber penemuan hukum, hal ini tidak terlepas dari pergeseran paradigma penemuan hukum yang telah dipengaruhi penemuan hukum otonom dan juga kelemahan dari peraturan perundang-undangan yang telah dijelaskan sebelumnya. Sumber penemuan hukum tersebut antara lain peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian nternasional, dan doktrin.

Dalam ajaran penemuan hukum bahwa sumber penemuan hukum memiliki hierarki yang harus diprioritaskan terlebih dahulu.Dalam ajaran tersebut memandang peraturan perundang-undangan merupakan sumber terpenting dan utama.Akan tetapi perlu diingat bahwa undang-undang dan hukum tidaklah identik.Pada dasarnya bukan hal yang mudah untuk memahami maksud dari undang-undang, karena memahami peraturan perundang undangan bukan sebatas membaca bunyi kata-katanya saja (naar

de letter van de wet), tetapi harus mencari makna atau tujuan perundang-

undangan. Jika dalam peraturan perundang-undangan tersebut tidak memuat ketentuan yang mengatur peristiwa hukum maka barulah mencari kepada sumber hukum lainnya.

Dalam penemuan hukum terdapat bebrapa aliran yang mempengaruhi hakim dalam menemukan kebenaran materiil yaitu aliran hukum Legisme, Mazhab Historis, aliranBegriffsjurisprudenz, aliranInteressenjurisprudenz.

Dalam penemuan hukum terdapat banyak metode yang digunakan antara lain metode interpretasi (penafsiran) dan juga metode konstruksi. Interpretasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang gambling mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang menuju pada pelaksanaan yang dapat diterima masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit.Metode interpretasi merupakan sarana untuk mengetahui makna undang-undang, untuk merealisasikan fungsinya agar hukum positif tersebut dapat diberlakukan.

Metode interpretasi ini merupakan alasan-alasan atau pertimbangan- pertimbangan yangs sering digunakan oleh hakim dalam memutus perkara yang selanjutnya dapat dibedakan atas metode interpretasi gramatikal, interpretasi teleologis atau sosiologis, interpretasi historis, interpretasi sistematis atau logis, interpretasi komparatif, interpretasi futuristik serta interpretasi restriktif dan eksensif.11