• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III:KonsepsiKebebasan Hakim Dalam Membuat Putusan Pengadila guna Menemukan Kebenaran Materiil

B. Persfektif Kebebasan Hakim Dalam Penemuan Kebenaran Materiil

3. Metode Penemuan Hukum

Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa peraturan perundang-undangan bersifat statis, tidak lengkap, dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat, hal ini menimbulkan ruang kosong dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hakim dalam menerapkan hukum.Oleh karena itu, hakim harus menemukan hukum yang dilakukan dengan cara menjelaskanm menafsirkan atau melengkapi

peraturan perundang-undangan, sebab penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim bukan sekedar menyangkut penerapan peraturan perundang- undangan terhadap peristiwa konkrit.

Peraturan perundang-undangan harus memuat penjelasan yang dimuat dalam suatu perundang-undangan yang belum memiliki kejelasan yang konkrit ketika dihadapkan kepada suatu peristiwa konkrit.Selain itu ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwanya.Untuk dapat menerapkan ketentuan undang-undang maka harus ditafsirkan dan diarahkan sesuai dengan peristiwa yang terjadi.

Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh E. Utrecht bahwa tugas hakim ialah menyesuaikan undang-undang dengan kejadian-kejadian konkrit dalam masyarakat. Apabila undang-undang tidak dapat ditetapkan hakim secara tepat menurut kata-kata undang-undnag itu, maka harus ia menafsirkan undang-undang itu. Apabila undang-undang tidak jelas, maka wajiblah hakim menafsirkan sehingga dapat dibuat suatu keputusan hukum yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yaitu mencapai kepastian hukum.77

Dalam penemuan hukum terdapat beberapa metode yang digunakan antara lain metode interpretasi (penafsiran) dan juga metode konstruksi. Interpretasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang gambling mengenai teks undang-undang agar

77

E. Uterecht/Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan kesepuluh, PT. Ichtiar Baru, Jakarta, 1983.

ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang menuju pada pelaksanaan yang dapat diterima masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit.Metode interpretasi merupakan sarana untuk mengetahui makna undang-undang, untuk merealisasikan fungsinya agar hukum positif tersebut dapat diberlakukan.

Metode interpretasi ini merupakan alasan-alasan atau pertimbangan- pertimbangan yang sering digunakan oleh hakim dalam memutus perkara yang selanjutnya dapat dibedakan atas metode interpretasi gramatikal, interpretasi teleologis atau sosiologis, interpretasi historis, interpretasi sistematis atau logis, interpretasi komparatif, interpretasi futuristik serta interpretasi restriktif dan eksensif.78

Pertama, interpretasi gramatikal (penafsiran kebahasaan), penemuan hukum dengan mencari maksud pembuat undang-undang dengan memahami bahasa yang digunakan dalam perumusan undang-undang.Hal ini dilakukan karena adakalanya bahasa yang digunakan dalam rumusan perundang-undangan tidak jelas atau mengandung pengertian yang beraneka

Interpretasi otentik pada dasarnya bukan termasuk metode penafsiran karena interpretasi otentik merupakan interpretasi yang diberikan undang-undang dan terdapat dalam teks undang- undang.Dalam hal bunyi undang-undang sudah cukup jelas maka tidak perlu dilakukan penegasan dengan jalan menyimpang dari kata-kata itu dengan jalan penafsiran.

78

ragam. Oleh karena itu hakim berkewajiban untuk menafsirkan rumusan norma tersebut dengan mencari arti kata dengan menggunakan kamus bahasa, meminta keterangan ahli bahasa, atau mempelajari sejarah penggunaan kata tersebut sehingga maknanya menjadi jelas. Metode ini dipandang sebagai metode yang paling sederhana dibandingkan metode yang lain dan sering disebut juga sebagai metode objektif.

Kedua, interpretasi sistematis/logis (penafsiran dengan melihat peraturan perundang-undangan yang lain). Suatu peraturan perundang- undangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem hukum hal ini tidak terlepas dari kesamaan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya yang adakalanya memiliki kedudukan, tujuan maupun asas yang sama. Oleh karena itu, perlu dilakukan perbandingan antara beberapa peraturan perundnag-undangan yang diduga memuat norma yang sama.

Ketiga, interretasi historis yaitu penafsiran dengan melihat latar belakang lahirnya peraturan perundang-undangan atau sejarah sehingga hakim dapat mengetahui maksud pembuatnya.Menurut Soedikno Metrokusumo interpretasi historis meliputi penafsiran menurut sejarah hukum (rechtshstorische interpretatie) dan penafsiran menurut sejarah terjadinya undang-undang.79

79

Ibid, hlm 60

Penafsiran menurut hukum merupakan kategori penafsiran secara luas yaitu dengan menyelidiki asal usul pembuatan sampai berlakunya peraturan perundang-undangan dalam masyarakat.Sedangkan

penafsiran menurut sejarah penetapan peraturan perundang-undangan merupakan kategori penafsiran sempit, yaitu penafsiran yang hanya menyelidiki maksud pembuat undang-undang menetapkan peraturan perundang-undangan.Metode ini disebut juga penafsiran subjektif, karena penafsirannya didasarkan kepada pandangan subjektif dari pembentuk undang-undang.

Keempat, interpretasi teleologis atau sosiologis, yaitu penafsiran yang dilakukan untuk mencari tujuan pembentukan peraturan perundang- undangan yang ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatn. Dengan interpretasi ini, undang-undang yang masih belaku tetapi sudah using atau sudah tidak sesuai lagi dapat diterapkan terhadap peristiwa, hubunga, kebutuhan dan epentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini pada waktu diundangkan dikenal atau tidak. Dengan kata lain, ketentuan undang-undang yang sudah tidak sesuai lagi dapat dijadikan sebagai alat untuk memecahkan atau menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan bersama dimasa sekarang. Dimana peraturan yang lama tersebut disesuaikan dengan keadaan yang baru dengan membuatnya kembali aktual.Hal ini dilakukan agar putusan hakim selalu dapat mengakomodir keadaan yang terjadi di masyarakat.

Kelima, Interpretasi antisipatif atau futuristik, yaitu bentuk penemuan hukum dengan melakukan pemecahan masalah melalui peraturan perundang-undangan yang belum memiliki kekuatan berlaku, yaitu melalui suatu aturan hukum yang bersifat rancangan.

Keenam, interpretasi komparatif, yaitu metode penemuan hukum dengan melakukan perbandingan dengan peraturan perundang-undangan lainnya dalam rangka menyelesaikan perkara yang diajukan kepada hakim.

Ketujuh, interpretasi restriktif, yaitu metode penafsiran yang bersifat mempersempit pengertian dari suatu istilah.

Kedelapan, interpretasi eksensif, yaitu metode penafsiran dengan memperluas pengertian dari sebuah istilah dalam peraturan.

Dalam penemuan hukum, hakim diberikan kebebasan dalam menentukan metode interpretasi yang digunakan berdasarkan pertimbangannya yang dipandang lebih meyakinkan dan yang hasilnya dipandang lebih mendekati kepada nilai-nilai tujuan hukum.Pemilihan terhadap metode tersebut merupakan otonomi hakim.Adakalanya dalam menggunakan metode interpretasi hakim menggunakan lebihdari satu metode.

Selain penafsiran dikenal juga suatu metode argumentasi yaitu, suatu cara yang dilakukan untuk menemukan hukum suatu peristiwa konkrit yang terjadi yang tidak jelas diatur dalam undang-undang atau tidak ada peraturan yang secara khusus mengaturnya. Disini hakim menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan undang-undnag yang harus dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalil tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya.

Pertama, argumentum peanalogiam yaitu dalam hal peraturan perundang-undangan terlalu sempit ruang lingkupnya maka hakim

akanmemeprluasnya dengan metode berpikir analogi. Dengan analogi maka peristiwa yang serupa atau yang mirip yang diatur dalam undang-undang dapat diberlakukan. Penemuan hukum dengan cara ini mencari peraturan umum dari peraturan khusunya dan akhirnya menggali asas yang terdapat didalamnya. Dalam hukum pidana penggunaan analogi dilarang.

Kedua, penyempitan hukum, yaitu adakalanya peraturan perundang- undangan itu ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap peristiwa tertentu, dengan melakukan pembentukan pengecualian-pengecualian atau penyimpangan- penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang sifatnya umum diterapkan dalam peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dnegan memberi ciri-ciri.

Ketiga, Argumentum a contrario, yaitu apabila peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh undang-undang. Maka cara penemuan hukumnya dilakukan dengan pertimbangan bahwa apabila undnag-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentudan untuk peristiwa diluarnya berlaku kebalikannya. Atau dengankata lain metode inimerupakan metode menjelaskan undang-undang yang didasarkan kepada perlawanan pengertian anatar peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.

Selain metode diatas terdapat metode hermeneutika hukum yaitu metode penemuan hukum oleh hakim berupa interpretasi hukum dan

kontruksi hukum sebagaimana yang telah di uraikan di atas masih relevan dipergunakan oleh hakim hingga saat ini, akan tetapi pada abad ke 19 dan permulaan abad 20 sudah ditemukan metode penemuan hukum lain yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam memutus perkara yaitu metode hermeneutika hukum.

Menurut Gadamer sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Rifai menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hermeneutika hukum adalah:80

Hermeneutika hukum mempunyai relevansi dengan teori penemuan hukum, yang ditampilkan dalam kerangka pemahaman proses timbal balik antara kaedah-kaedah dan fakta-fakta. Dalil hermeneutika menjelaskan

“Legal hermeneutics is then, in reality no special case but is, on the contrary, fitted to restore the full scope of the hermeneutical problem and so to restrieve the former unity of hermeneutics, in which jurist and theologian meet the student of the humanities”.

Hermeneutika hukum dalam kenyataannya bukanlah merupakan suatu kasus yang khusus/baru, tetapi sebaliknya, ia hanya merekonstruksikan kembali dari seluruh problem hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, di mana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora.

Fungsi dan tujuan hermeneutika hukum adalah untuk memperjelas sesuatu yang tidak jelas supaya lebih jelas (bringing the unclear in to clarity), sedangkan tujuan yang lain dari hermeneutika hukum adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer hukum dalam kerangka hermeneutika pada umumnya. Upaya mengkontekstualisasi teori hukum dengan cara ini serta mengasumsikan bahwa hermeneutika memiliki korelasi pemikiran dengan ilmu hukum dan yurisprudensi.

80

bahwa orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaedah- kaedah dan mengintepretasi kaedah-kaedah dalam fakta-fakta termasuk paradigma dari teori penemuan hukum modern saat ini.Jadi, hermeneutika hukum dapat dipahami sebagai metode interpretasi teks hukum atau metode memahami terhaap suatu naskah normatif. Penggunaan dan penerapan hermeneutika hukum sebagai teori dan metode penemuan hukum baru akan sangat membantu para hakim dalam memeriksa serta memutus perkara yang diadilinya. Kelebihan metode hermeneutika hukum terletak pada cara dan lingkup interpretasinya yang tajam, mendalam dan holistik dalam bingkai keastuan antara teks, kontek dan kontektualisasinya. Peristiwa hukum maupun peraturan perundang-undangan tidak semata-mata dilihat atau ditafsirkan dari aspek legal formal berdasarkan bunyi teksnya semata, tetapi juga harus dilihat dari faktor-faktor yang melatar belakangi peristiwa atau sengketa yang muncul, apa akar masalahnya adakah intervensi politik (atau intervensi lainnya) yang melahirkan dikeluarkan suatu putusan, serta tindakkan dampak dari putusan itu dipikirkan bagi proses penegakan hukum dan keadilan di kemudian hari.81

81

Ibid.

Dalam praktek peradilan tampaknya metode hermeneutika hukum ini tidak banyak atau jarang sekali di pergunakan sebagai metode penemuan hukum.Hal ini disebabkan karena dominannya metode interptestasi dan hantruksi hukum yang sudah sangat mengakar dalam praktek di peradilan Indonesia, mungkin juga para hakim belum begitu familiar dengan metode hermeneutika ini sehingga tidak

menggunakannya dalam penemuan hukum. Padahal metode ini dianggap paling baik sebab ia merupakan sutau metode menginterpretasikan teks hukum yang tidak semata-mata melihat teksnya saja, tetapi juga kontek- kontek hukum itu dilahirkan serta bagaimana kontektualisasi atau penerapan hukumnya dimasa kini dan masa mendatang.