• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III:KonsepsiKebebasan Hakim Dalam Membuat Putusan Pengadila guna Menemukan Kebenaran Materiil

B. Persfektif Kebebasan Hakim Dalam Penemuan Kebenaran Materiil

1. Hakikat Penemuan Hukum

Penemuan hukum merupakan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Secara khusus penemuan hukum yang akan dikaji dalam penelitian ini merupakan penemuan hukum yang dilakukanoleh hakim dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya.

Penemuan hukum merupakan bentuk ekspresi filsafat, keyakinan, kepribadian, pandangan dan keilmuan seorang hakim dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya.Praktik penemuan hukum tidak terlepas dari misi suci yang diemban oleh hakim dalam rangka “waarheidsvinding” (penemuan kebenaran).Yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penemuan kebenaran materiil dalam hukum acara pidana.

65

Konsep penemuan hukum pada dasarnya tidak terlepas dari sistem hukum yang dianut. Sistem hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan- tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan berkaitan secara erat.66

Dalam mengadili setiap perkara hakim harus mengadili menurut undang-undang, hakim tidak boleh menyertakan pendapat pribadinya tentang kelayakan dan kebenaran undang-undang, dan apabila hakim berpendapat bahwa undang-undang bungkam tentang suatu persoalan, tidak

Dengan adanya sistem tersebut maka akan tercipta harmonisasi sehingga tidak terjadi lagi kontradiksi diantara bagian-bagian tersebut.

Prinsip utama yang terdapat dalam sistem hukum eropa kontinental ini yaitu hukum memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi.Kodofikasi lahir karena keberatan-keberatan yang disebabkan oleh ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum timbul karena keragu- raguan tentang apa sumber hukum, bagaimana sumber-sumber hukum itu berhubungan satu sama lain secara hierarki dan tentang isi setiap sumber hukum itu.

Sejak pemberlakuan Wet Algemene Bepalingan Nederland (Wet AB), undang-undang dipandang untuk menata hukum, tetapi undang-undnag tidak boleh menjadi tekanan, yang menghambat tumbuhnya kekuatan- kekuatan yang berguna bagi masyarakat.

66

J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, Hlm. 35.

jelas atau tidak lengkap, maka itu tidak benar, sebab undang-undang itu jelas dan lengkap. Pada akhirnya hakim hanya boleh memutuskan peristiwa yang bersifat in konkrito.

Dalam sistem hukum ini dikenal sebuah adagium “tiada hukum selain undang-undang”, dengan kata lain bahwa hukum selalu diidentikkan dengan undang-undang.

Hakim dalam sistem hukum ini tidak bebas dalam menciptakan hukum baru karena hakim hanya menerapkan dan menafsirkan peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya, putusan hakim tidak mengikat secara umum tapi hanya mengikat para pihak yang bersengketa.

Sistem hukum eropa kontinental ini memiliki perbedaan dengan sistem hukum Anglo Saxon atau yang lebih sering dikenal dengan common law yang mula-mula berkembang di Inggris, Amerika Utara, kanada, Amerika Serikat dan negara jajahannya. Perbedaan tersebut terletak pada sumber hukum yang diterapkan, bahwa dalam sistem hukum anglo saxon putusan-putusan hakim/yurisprudensi merupakan sumber hukum. Melalui putusan tersebut prinsip-prinsip hukum dan kaidah-kaidah hukum dibentuk dan mengikat umum.Undang-undang dan peraturan perundang-undang lainnya juga tetap diakui karena pada dasarnya terbentuknya kebiasaan dan peraturan tersebut bersumber dari putusan pengadilan.Peraturan dan segala putusan tersebut tidak tersusun secara sistematis dalam kodifikasi sebagaimana pada sistem hukum eropa kontinental.Oleh karena itu, hakim memiliki wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan dan

menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara sejenis.Hal inilah yang disebut dengan asas doctrin of presedent yaitu hakim terikat pada sistem hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis.67

67

Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum¸ Cahaya Ilmu, Medan, 2006, hlm.184.

Namun apabila dalam yurisprudensi tidak ditemukan prinsip hukum yang dicari, hakim berdasarkan prinsip keadilan, kebenaran dan akal sehat dapat memutuskan perkara dengan menggunakan metode penafsiran hukum.

Dalam perkembang peradaban manusia bahwa sistem hukum yang telah dianut tersebut tidak bersifat kaku, telah terjadi pembauran antarsistem dengan menyerap kelebihan masing-masing sistem.Sistem hukum tersebutlah yang menjadi panduan dalam penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim.Seiring waktu, bahwa penundukan diri terhadap kekuasaan undang-undang mulai dilepaskan dan berupaya mencari sumber hukum lainnya yang dipandang lebih mendekati kepada nilai keadilan dengan menyerap kelebihan sistem nonkodifikasi.

Istilah penemuan hukum yang penulis maksud dalam penelitian ini pada dasarnya masih sering dipertentangkan oleh para ahli hukum, ada yang berpendapat bahwa istilah tersebut lebih tepat dipakai dengan istilah “pelaksanaan hukum”, “penerapan hukum”, “pembentukan hukum”, atau “penciptaan hukum”.

Dari berbagai pendapat tersebut, penulis lebih mengarah kepada pandangan Soedikno Mertokusumo68

68

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm. 36-37.

beliau memberikan batasan-batasan terhadap pengertian tersebut, yakni: Penemuan hukum (rechtvinding) diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas- petugas hukum lainnya yang diberi tigas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Penerapan hukum berarti menerapkan hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya.Menerapkan peraturan hukum pada peristiwa konkrit secara langsung tidak mungkin.Peristiwa kongkrit itu harus dijadikan peristiwa hukum terlebih dahulu agar peraturan hukumnya dapat diterapkan. Diwaktu yang lampau dikatakan bahwa hakim adalah corong undnag-undang, karena kewajibannya menerapkan undang-undang, ia adalah “subsumptie automaat”. Sementara pembentukan hukum adalah merumuskan peraturan- peraturan umum yang berlaku umum bagi setiap orang. Kalau lazimnya pembentukan hukum dilakukan oleh pembentuk undang-undang, maka hakim dimungkinkan pula membentuk hukum, kalau hasil penemuan hukumnya itu kemudian merupakan yurisprudensi tetap yang diikuti oleh para hakim dan merupakan pedoman bagi masyarakat, yaitu putusan yang mengandung asas-asas hukum yang dirumuskan dalam peristiwa, tetapi memperoleh kekuatan berlaku umum. Jadi satu putusan dapat mengandung dua unsur, yaitu disatu pihak putusan merupakan penyelesaian atau pemecahan suatu peristiwa kongkrit dan dipihak lain merupakan peraturan

hukum dimasa depan. Sedangkan istilah penciptaan hukum dalam pandangan Sudikno dipandang kurang tepat karena memberi kesan bahwa hukum itu sama sekali tidak ada. Hukum bukanlah selalu kaidah tertulis atau tidak, tetapi dapat juga perilaku atau peristiwa.Dan perilaku itulah harus ditemukan atau digali kaidah atau hukumnya.Jadi, dapat disimpulkan bahwa istilah penemuan hukumlah yang dipandang tepat.

Penemuan hukum lahir sebagai upaya untuk mengakomodir seluruh perkembangan dinamika sosial yang terjadi.Dinamika sosial tersebut bergerak sangat cepat seiring perkembangan peradaban manusia, dan peraturan perundang-undangan adakalanya tidak dapat mengakomodir seluruh dinamika sosial yang menghasilkan peristiwa hukum tersebut.Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum dalam rangka mengawal tegaknya cita hukum maka perlu dilakukan penemuan hukum, penemuan hukum yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi kepada penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim.

Penemuan hukum awalnya dipengaruhi pandangan klasik seperti yang diungkapkan oleh Immanuel Kant dan Mostesquieu sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumu69

69

Ibid.,hlm. 39.

bahwa hakim dalam menerapkan undang- undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak menjalankan peranannya secara mandiri.Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong undang-undang (bouche de la loi), sehingga tidak dapat mengubah kekuatan undang-undang, tidak dapat menambah dan tidak dapat juga

menguranginya.Ini disebabkan karena menurut Montesquieu bahwa undang- undang adalah satu-satunya sumber hukum positif.Oleh karena itu, demi kepastian hukum, kesatuan hukum serta kebebasan warga negara yang terancam oleh kebebasan hakim yang ditakutkan bertindak sewenang- wenang, maka hakim harus berada dibawah undang-undang.

Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 20 AB “hakim harus mengadili menurut undang-undang”. Dalam perkembangannya klausul mengadili menurut undang-undang mengalami perluasan makna dengan dikeluarkannya Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak memebedakan orang”. Jika kita merujuk kepada asas Lex Posterior Derogate Legi Priori, maka isi pasal 20 AB bertentangan dengan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970.

Sementara dalam pasal 21 AB disebutkan bahwa “hakim dilarang berdasarkan peraturan umum, penetapan atau peraturan memutus perkara yang tergantung padanya”.Ini berarti bahwa hakim hanya boleh memeriksa dan menagdili peristiwa konkrit dan tidak boleh menciptakan peraturan umum dalam putusannya.

Menurut pandangan klasik ini dalam undang-undang sudah terdapat hukum yang lengkap dan sistematis dan tugas hakim hanya mengadili sesuai bunyi undang-undang.

Penemuan hukum yang bertumpu kepada undang-undang ini lebih dikenal dengan penemuan hukum heteronom. Dimana hakim tidak diberi kesempatan untuk berkreasi, artinya hakim tidak boleh menempatkan dirinya sebagai pembentuk undang-undang, ia hanya boleh memeriksa dan memutus perkara konkrit dan tidak boleh membuat peraturan yang mengikat umum.

Pandangan penemuan hukum yang bersifat heteronom ini pada dasarnya mematikan potensi hakim untuk menemukan kebenaran materiil dari peristiwa hukum yang diajukan kepadanya.Dalam perkembangannya bahwa penemuan hukum yang bersifat legal positif tersebut mulai ditinggalkan. Dan mulai mengalami pergeseran kedalam penemuan hukum otonom, dalam penemuan hukum otonom sebagaimana yang dianut oleh sistem hukum anglo saxon terdapat asas the binding force of presedent ataustare decisi et quita non movere. Dalam sistem ini, hakim dalam memutus perkara terikat kepada putusan hakim terdahulu mengenai perkara sejenis dengan menggunakan alur berpikir induktif, yaitu berpikir dari peristiwa hukum yang khusus (putusan hakim terdahulu) ke peristiwa hukum yang lebih umum (peristiwa kongkrit yang sedang dihadapi). Hakim melakukan penemuan hukum dengan memeriksa dan memutus perkara menurut apresiasi pribadinya, ia dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri.70

70

Dalam penemuan hukum otonom, hakim diberikan kekuasaan membentuk hukum ‘judge made law’, terdapat beberapa alasan kuat yang mendukung pandangan tersebut antara lain bahwa Pertama, undang-undang bersifat langsung konservatif. Dalam penerapannya di masyarakat dihadapkan kepada kenyataan bahwa undang-undang yang dibuat dan diundangkan langsung bersifat konserfatif, karena segera menjadi rumusan huruf mati dan langsung menjadi statis ketika berhadapan dengan perubahan sosial yang terus berjalan. Disisi lain dalam kehidupan sosial yang mengalami perubahan, ekonomi, dan moral berpacu mengalami perubahan persfektif (the social, economic, and moral almost change their persfektif).71

Untuk mengakomodir dinamika sosial tersebut, hakim berwenang untuk mengaktualkan penerapan undang-undang yang dibuat oleh parlemen dengan tujuan agar hukum atau undang-undang yang dibuat dapat mengikuti perubahan dan perkembangan masyarakat dan mentransformasikan nilai- nilai dan kebutuhan perkembangan sosial, ekonomi, budaya, dan moral yang terjadi sehingga dapat berfungsi sebagai hukum yang hidup (living law). Kedua, pada dasarnya tidak ada satupun undang-undang yang sempurna.Pada saat undang-undang dibuat orang berpendapat bahwa undang-undang tersebut baik dan sempurna. Akan tetapi ketika dinamika sosial yang bersifat konkrit terjadi yang tidak terpikirkan pada saat perumusan undang-undang tersebut antara lain berupa: rumusan undang- undang sering kali sulit dipahami (elusive term); tidak jelas artinya (unclear

71

term); kabur dan samar(vague outline); atau mengandung pengertian yang ambiguitas (ambiquity) hal ini dapat menghambat penemuan kebenaran materiil. Selain itu undang-undang mungkin bertentangan dengan konstitusi (unconstitusional) atau bisa melanggar atau mengancam hak asasi manusia; atau isinya bertentangan dengan akal sehat (contrary to common sense); dan adakalanya pula ketentuan undang-undang menimbulkan akibat yang tidak layak karena undang-undang tersebut terlampau formalistik, tidak sederhana dan tidak mudah dipahami, sehingga tidak dapat memberi kepastian.

Di dalam perkembangannya kedua sistem penemuan hukum ini saling mempengaruhi, sehingga penemuan hukum tidak lagi murni otonom maupun murni heteronom.Bahkan cenderung bergeser kearah penemuan hukum yang otonom, hal ini disebabkan oleh pembentukan undang-undang yang bersifat umum bukan kasuistis. Hal ini berdampak terhadap pergeseran dari “hakim terikat” kearah “hakim bebas” dan pergeseran keadilan menurut undang-undang (normgerechtigkeit) kearah keadilan menurut hakim seperti yang tertuang dalam putusan (einzelfallgerechtigkeit), serta terjadi pergeseran pola berpikir yang mengacu kepada sistem (systeemdenken) kearah berpikir mengacu kepada masalah (problem oriented).72

Dalam penemuan hukum yang dianut dalam hukum positif Indonesia terdapat beberapa sumber penemuan hukum, hal ini tidak terlepas dari pergeseran paradigma penemuan hukum yang telah dipengaruhi penemuan hukum otonom dan juga kelemahan dari peraturan perundang-undangan

72

yang telah dijelaskan sebelumnya. Sumber penemuan hukum tersebut antara lain peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian nternasional, dan doktrin. Dalam ajaran penemuan hukum bahwa sumber penemuan hukum memiliki hierarki yang harus diprioritaskan terlebih dahulu.Dalam ajaran tersebut memandang peraturan perundang- undangan merupakan sumber terpenting dan utama.Akan tetapi perlu diingat bahwa undang-undang dan hukum tidaklah identik.Pada dasarnya bukan hal yang mudah untuk memahami maksud dari undang-undang, karena memahami peraturan perundang undangan bukan sebatas membaca bunyi kata-katanya saja (naar de letter van de wet), tetapi harus mencari makna atau tujuan perundang-undangan.Jika dalam peraturan perundang-undangan tersebut tidak memuat ketentuan yang mengatur peristiwa hukum maka barulah mencari kepada hukum kebiasaan.Hukum kebiasaan merupakan hukum yang tidak tertulis, oleh karena itu untuk menemukannya harus menggali kebiasaan yang telah hidup dimasyarakat.

Pada dasarnya tidak semua kebiasaan mempunyai kekuatan hukum mengikat, kebiasaan baru dapat dikatakan sumber hukum apabila kebiasaan tersebut telah diulang dalam jangka waktu yang lama, telah menimbulkan keyakinan umum (opini necessitatis), perilaku tersebut dipandang patut secara objektif dilakukan dan adanya keyakinan bahwa melakukan perilaku tersebut berarti telah melakukan kewajiban hukum.

Berdasarkan pasal 15 AB, bahwa hukum kebiasaan pada umunya melengkapi peraturan perundang-undangan dan tidak dapat

mengesampingkannya.Adakalanya hukum kebiasaan mengalahkan undang- undang yang bersifat sebagai pelengkap.Kalau dalam hukum kebiasaan tidak ditemukan jawaban, maka daoat dicari didalam yurisprudensi.

Yurisprudensi dapat berarti setiap putusan hakim, selain itu yurisprudensi juga dapat diartikan sebagai kumpulan putusan hakim yang disusun secara sistematis dari tingkat peradilan pertama sampai tingkat kasasi dan pada umumnya diberi annotatie oleh para pakar dibidang peradilan.

Didalam putusan hakim tersebut terdiri dari kepala putusan yang berbunyi “Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa”.Identitas para pihak yang berperkara dan konsiderans tentang hukumnya dan pada bagian akhir memuat dispositive. Melalui putusan tersebut maka dapat dijadikan sebagai pedoman bagi hakim lain untuk memutus perkara serupa dikemudian hari. Jika dalam yurisprudensi tidak ditemukan jawaban atas suatu masalah maka akan menggunakan sumber hukum lainnya.

Konsep penemuan hukum oleh hakim tidak terlepas dari pandangan Paul Scholten yang mengemukakan bahwa:73

a) Hukum bukan suatu sistem hukum tertulis yang tidak boleh diubah sebelum badan pembuat undang-undang mengubahnya. Artinya, undang- undang dapat saja diubah maknanya, meskipun tidak diubah bunyi kata- katanya untuk menyesuaikannya dengan fakta konkrit yang ada.

73

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Candra Pratama, Jakarta, Hlm. 164.

b) Keterbukaan sistem hukum berhubungan dengan persoalan kekosongan dalam hukum, dimana ada dua macam kekosongan dalam hukum, yaitu: 1) Kekosongan hukum sendiri, yaitu jika hakim mengatakan bahwa ia

menemukan suatu kekosongan karena ia tidak mengetahui bagaimana ia harus memberi putusannya.

2) Kekosongan dalam perundang-undangan, yaitu dengan konstruksi hukum dan penalaran logispun, problemnya masih tetap tidak terpecahkan, dalam hal itu harus mengisi kekosongan ini seperti ia berada pada kedudukan sebagai pembuat undang-undang dan member putusannya seperti halnya jika pembuat undang-undang itu akan memberikan putusannya dalam menghadapi kasus seperti itu.

Soedikno Mertokosumo memperkenalkan ada tiga tahap tugas hakim saat melakukan penemuan hukum,74

a) Tahap konstatir, yaitu dimana hakim mengkonstatir benar atau tidaknya peristiwa yang diajukan. Dalam tahapan ini kemampuan hakim dalam melakukan penguasaan hukum pembuktian sangat diperlukan.

yaitu:

b) Tahap kualifikasi, yaitu tahap dimana hakim mengkualifikasikan hubungan hukum apakah termasuk dalalm tindak pidana tertentu.

c) Tahap konstituir, yaitu hakim menetapkan hukum terhadap pihak yang bersangkutan dengan menggunakan silogisme, yaitu menarik suatu kesimpulan dari premis mayor berupa aturan hukum dan premis minor berupa tindakan pelaku.

74

Penemuan hukum oleh hakim dimulai pada tahap kualifikasi dan berakhir pada tahap konstituir.Hakim menemukan hukum melalui sumber- sumber hukum yang tersedia. Dalam hal ini tidak dianut pandangan legisme yang hanya menerima undang-undang saja sebagai satu-satunya hukum dan sumber hukum. Sebaliknya hakim dapat melakukan penemuan hukum melalui sumber hukum yang lain baik itu undang-undang, kebiasaan, traktar, yurisprudensi, doktrin, hukum agama bahkan keyakinan hukum yang dianut oleh masyarakat.

2. Aliran Penemuan Hukum