• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kelembagaan Dalam Pengelolaan Keramba Jaring Apung (Kja) Waduk Cirata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kelembagaan Dalam Pengelolaan Keramba Jaring Apung (Kja) Waduk Cirata"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN

KERAMBA JARING APUNG (KJA) WADUK CIRATA

NABILA WIHDATUL UMMAH

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kelembagaan dalam Pengelolaan Keramba Jaring Apung (KJA) Waduk Cirata adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

NABILA WIHDATUL UMMAH. Analisis Kelembagaan dalam Pengelolaan Keramba Jaring Apung (KJA) Waduk Cirata. Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT.

Waduk Cirata yang merupakan Pembangkit Listrik terbesar di ASEAN digunakan juga sebagai lokasi budidaya ikan dengan sistem KJA. Lokasi Waduk yang mencakup tiga wilayah administrasi membuat pengelolaannya cenderung sulit dilakukan. Jumlah KJA meningkat setiap tahunnya dan telah melebihi kapasitas daya dukung waduk. Hal tersebut menyebabkan penurunan kualitas air dan tingginya tingkat sedimentasi. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengelolaan KJA yang tepat dengan membuat sistem kelembagaan yang kuat. Tujuan penelitian ini adalah 1) Mengidentifikasi stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan KJA Waduk Cirata., 2) Menganalisis keterkaitan diantara stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan KJA Waduk Cirata, 3) Menganalisis persepsi stakeholders terhadap KJA Waduk Cirata, 4) Mengidentifikasi aturan yang terkait dalam pengelolaan KJA Waduk Cirata, 5) Menganalisis model kelembagaan dalam pengelolaan KJA Waduk Cirata. Penelitian ini dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif mencakup Analisis Stakeholder, Analisis Persepsi, dan Analisis Peraturan. Hasil penelitian menunjukan : 1) Stakeholders yang berkaitan dengan pengelolaan KJA di Waduk Cirata terdiri dari a) Subject yaitu pedagang ikan, kelompok pengolah hasil perikanan dan POKMASWAS, b) players yaitu Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat, Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cianjur, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung Barat, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta, BPWC, kelompok pembudidaya ikan, ASPINDAC, kelompok penjual pakan, dan kelompok nelayan, c) Bystanders yaitu aparat desa, BPPT dan lembaga peneliti, 2) Keterkaitan stakeholder yang terdapat dalam pengelolaan KJA di Waduk Cirata yaitu antara beberapa pihak yang memiliki kepentingan berbeda dalam suatu lingkup wilayah yang sama dan saling berkoordinasi dalam pengelolaan Waduk Cirata dengan menggunakan tipe pengelolaan instruktif dan konsultatif, 3) Terdapat persamaan persepsi antar stakeholder mengenai kondisi lingkungan Waduk Cirata dan mengenai keberadaan KJA. Namun, untuk persepsi terhadap pengelolaan Waduk Cirata terdapat perbedaan pandangan diantara petani ikan mengenai kejelasan aturan main. Hal ini mengindikasikan adanya ketidakmerataan dalam sosialisasi peraturan pengelolaan waduk, 4) Aturan-aturan formal yang berlaku telah mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan (KJA) yang mencakup tujuan ekonomi dan konservasi (perlindungan terhadap sumberdaya waduk). Namun implementasi dari aturan tersebut belum berjalan. Saksi bagi pelanggar juga belum ditegakkan. Aturan-aturan informal secara tidak langsung memiliki tujuan sosial, ekonomi, dan konservasi yang mendukung pengelolaan perikanan (KJA) di Waduk Cirata, 5) Desain kelembagaan yang sesuai bagi pengelolaan KJA Waduk Cirata yaitu kelembagaan yang mampu menjembatani kepentingan beberapa pihak yang memanfaatkan Waduk Cirata. Hal tersebut dapat dicapai dengan peningkatan koordinasi diantara stakeholder yang terlibat.

(6)

ABSTRACT

NABILAWIHDATUL UMMAH. Institutional Analysis of Management of Keramba Jaring Apung (KJA) in Cirata Reservoir. Supervised by ACENG HIDAYAT.

Cirata which is the largest power plant in the ASEAN used as well as the location of fish farming with KJA system. Location of reservoir which includes three administrative regions tend to make management being difficult. KJA number is increasing every year and has exceeded the carrying capacity of the reservoir capacities. This causes a decrease in water quality and the high level of sedimentation. Therefore, it is necessary proper management system of KJA to create a strong institutional system. The purpose of this research was 1) Identify the stakeholder who involved in management of KJA in Cirata reservoir, 2) Analyze the relationship between the stakeholders who involved in the management of KJA in Cirata reservoir, 3) Analyze the perceptions of stakeholder on the management of KJA in Cirata reservoir, 4) identify the relevant rules in the management of KJA in Cirata reservoir, 5) Analyze the institutional model in the management of KJA in Cirata reservoir. This research was analyze in qualitatively and quantitatively embrace Stakeholder Analysis, Perception Analysis, and Regulatory Analysis. The results showed : 1) Stakeholder who relating to the management of KJA in Cirata consists of a) Subject that is dealer fish, group processing of fishery product, and POKMASWAS, b) Player that is the Fisheries Departemen of West Java Province, Departemen of Animal Husbandry Fisheries and Marine Cianjur, Departemen of Animal Husbandry and Fisheries West Bandung, Departemen of Animal Husbandry and Fisheries Purwakarta, BPWC, groups of fish cultivators, ASPINDAC, feed sales group, and a group of fisherman, c) Bystanders that is village officials, BPPT, and research institutions, 2) Relationship of stakeholder which found in the management of KJA in Cirata that is between parties who have different interests within the scope of the same area and coordinate with each other in the management of Cirata, 3) There is a common perception among stakeholder on Cirata environmental conditions and on the existence of KJA. However, for the perception of the management Cirata there are differing views among fish farmers on the clarity rules. This indicate the existence of inequality in reservoir management laws and regulations, 4) The formal rules applicable has set the management of fishery resources (KJA) which includes economics and conservation purpose (protection of the resources reservoir). However, implementation of these rules is not running. Lack of socialization rules again society imposes a lesser violation of these rules. Sanctions for offenders also have not been established. Informal rules indirectly have social, economic, and conservation that supports fisheries management (KJA) in Cirata, 5) The appropriate institutional design for management of KJA in Cirata Reservoir is institutional that able to bridge the interest of some parties who utilize Cirata. This can be achieved by increasing coordination among stakeholder involved.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN

KERAMBA JARING APUNG (KJA) WADUK CIRATA

NABILA WIHDATUL UMMAH

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah kelembagaan, dengan judul Analisis Kelembagaan Pengelolaan Keramba Jaring Apung (KJA) Waduk Cirata.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dalam menyusun skripsi ini. Terima kasih kepada Bapak Ir. Ujang Sehabudin, M.Si selaku Dosen Penguji Utama dan Ibu Dessy Rachmawatie, SPt, M.Si selaku Dosen Penguji Wakil Departemen atas segala saran dan masukan yang diberikan. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Zaenal selaku Kepala Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC), Bapak Tuasto dan Mas Dimas selaku staf BPWC, Bapak Ade Durahman Selaku Kepala Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Perairan Umum Cirata (BPBPPUC) beserta staf, Ibu Erna selaku staf bagian budidaya di Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cianjur, Bapak Chandra selaku kepala bagian produksi perikakan di Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung Barat, Bapak Oban selaku penyuluh perikanan di Kabupaten Purwakarta, Bapak Faisal selaku Kepala bagian produksi perikanan di Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta, Ibu Dede dan Bapak Dede selaku staf kelembagaan di bagian budidaya perikanan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat yang telah memberikan informasi dan membantu dalam pengumpulan data terkait dengan penyusunan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah dan ibu, serta seluruh keluarga dan teman-teman, atas segala semangat dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Waduk ... 10

2.1.1 Fungsi Waduk Sebagai PLTA ... 10

2.1.2 Fungsi Waduk sebagai Sarana Budidaya Ikan dengan Sistem KJA ... 12

2.2 Pencemaran Waduk ... 13

2.3 Sistem Pengelolaan Waduk ... 17

2.4 Teori Kelembagaan ... 19

2.5 Kinerja Kelembagaan ... 20

2.6 Penelitian Terdahulu ... 21

BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN... 24

BAB IV. METODE PENELITIAN ... 27

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 27

4.3 Metode Penentuan Sampel ... 27

4.4 Metode dan Prosedur Analisis Data ... 28

4.4.1 Analisis Karakteristik Stakeholder Waduk Cirata ... 31

4.4.2 Analisis Keterkaitan antar Stakeholder Waduk Cirata ... 31

4.4.3 Analisis Persepsi Stakeholder terhadap Pengelolaan Waduk ... 37

4.4.4 Analisis Peraturan ... 38

(14)

BAB V. GAMBARAN UMUM ... 41

5.1 Kabupaten Bandung Barat ... 41

5.2 Kabupaten Purwakarta ... 42

5.3 Kabupaten Cianjur ... 44

5.4 Sumberdaya Waduk Cirata ... 45

BAB VI. ANALISIS KEPENTINGAN DAN PENGARUH STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN KJA WADUK CIRATA ... 49

6.1 Karakteristik Stakeholder Pengguna Sumberdaya Waduk Cirata ... 49

6.1.1 Badan Pengelola Waduk Cirata ... 50

6.1.2 Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat ... 54

6.1.3 Dinas Perikanan Kabupaten Cianjur, Bandung Barat, Purwakarta ... 56

6.1.4 Petani Ikan ... 57

6.1.5 Kelompok Masyarakat ... 66

6.1.5.1 Kelompok Pembudidaya Ikan ... 66

6.1.5.2 Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) ... 66

6.1.5.3 Asosiasi Petani Pembudidaya Ikan Waduk Cirata (ASPINDAC) ... 67

6.1.5.4 Kelompok Penjual Pakan... 68

6.2 Keterkaitan antar Stakeholder yang Terlibat dalam Pengelolaan KJA Waduk Cirata ... 69

6.2.1 Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam Pengelolaan KJA Waduk Cirata ... 69

6.2.1.1 Subject ... 70

6.2.1.2 Players ... 72

6.2.1.3 Bystanders ... 77

6.2.2 Hubungan antar Stakeholder ... 78

BAB VII. PERSEPSI STAKEHOLDER TERHADAP PENGELOLAAN KJA WADUK CIRATA ... 84

7.1 Persepsi terhadap Kondisi Lingkungan Waduk Cirata ... 84

7.2 Persepsi terhadap Keberadaan KJA ... 87

7.3 Persepsi terhadap Pengelolaan KJA di Waduk Cirata ... 89

(15)

8.1 Kelembagaan Sebagai Aturan Main dalam Pengelolaan KJA Waduk

Cirata ... 91

8.1.1 Kelembagaan Formal ... 91

8.1.2 Kelembagaan Informal ... 104

8.2 Redesain Kelembagaan Pengelolaan Waduk Cirata ... 106

BAB IX. SIMPULAN DAN SARAN ... 110

9.1 Simpulan ... 110

9.2 Saran ... 112

DAFTAR PUSTAKA ... 114

LAMPIRAN ... 118

RIWAYAT HIDUP ... 142

DAFTAR TABEL

1. Matriks metode analisis data ... 29

2. Karakteristik stakeholder Waduk Cirata ... 31

3. Penilaian tingkat kepentingan ... 33

4. Penilaian tingkat pengaruh ... 34

5. Ukuran kuantitatif terhadap identifikasi dan pemetaan stakeholder ... 34

6. Matriks analisis keterkaitan antar stakeholder ... 36

7. Persepsi stakeholder terhadap pengelolaan KJA Waduk Cirata ... 38

8. Parameter dalam analisis konten peraturan ... 39

9. Indikator model kelembagaan ... 40

10.Data produksi ikan di KJA Cirata dan Saguling tahun 2009 - 2013 ... 42

11.Produksi perikanan budidaya berdasarkan tempat usaha dirinci menurut Kecamatan di Kabupaten Purwakarta pada tahun 2013 ... 43

12.Perkembangan produksi perikanan budidaya jaring apung di Kecamatan Maniis Kabupaten Purwakarta pada tahun 2009 - 2013 ... 44

13.Perkembangan produksi perikanan budidaya Cirata per jenis ikan wilayah Cianjur tahun 2001 - 2013... 45

14.Pembagian zona dan jumlah RTP tahun 2011 ... 60

(16)

16.Jumlah kepemilikan KJA petani ikan ... 65

17.Matriks hasil penilaian kepentingan dan pengaruh stakeholder ... 69

18.Sebaran persepsi petani ikan terhadap kondisi lingkungan Waduk Cirata ... 85

19.Sebaran persepsi pemerintah dan private (BPWC) terhadap kondisi lingkungan Waduk Cirata ... 86

20.Persepsi petani ikan terhadap keberadaan KJA ... 87

21.Persepsi pemerintah dan private (BPWC) terhadap keberadaan KJA ... 88

22.Persepsi petani ikan terhadap pengelolaan KJA di Waduk Cirata ... 89

23.Persepsi pemerintah dan private (BPWC) terhadap pengelolaan KJA di Waduk Cirata ... 90

24.Rincian tarif jasa pengelolaan dan pemeliharaan Waduk Cirata untuk budidaya perikanan dalam KJA ... 99

25.Dispensasi tarif untuk konsumen KJA ... 100

26.Aturan-aturan informal dalam pengelolaan KJA di Waduk Cirata ... 105

DAFTAR GAMBAR

1. Grafik KJA Cirata tahun 1988 - 2011 ... 3

2. Perkembangan sedimentasi Waduk Cirata tahun 1989 - 2007 ... 5

3. Kerangka pemikiran operasional penelitian ... 26

4. Tingkat Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam pengelolaan KJA Waduk Cirata ... 35

5. Waduk Cirata, Saguling dan Jatiluhur ... 46

6. Daerah genangan PLTA Cirata dan Subdas di sekitarnya ... 48

7. Alur faktor-faktor pendorong penurunan fungsi Waduk Cirata ... 51

8. Tingkat usia petani ikan ... 58

9. Tingkat pendidikan petani ikan ... 59

10.Grafik produksi ikan menurut persepsi petani ikan ... 59

11.Grafik kepemilikan KJA tahun 2011 ... 62

12.Grafik bahan konstruksi KJA ... 64

13.Grafik kepemilikan jumlah petak KJA ... 65

(17)

15.Grafik keterkaitan antar stakeholder ... 80

16.Mekanisme pengurusan SPL dan IUP KJA di Waduk Cirata ... 81

17.Draft struktur MPC ... 108

18.Draft struktur kelompok dalam MPC ... 109

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peraturan dalam pengelolaan Waduk Cirata terkait keberadaan KJA ... 119

2. Kuesioner penelitian stakeholder ... 123

3. Kuesioner penelitian petani ikan ... 135

(18)
(19)

1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Waduk Cirata merupakan satu dari tiga waduk besar di Provinsi Jawa Barat yang dialiri air dari sungai Citarum selain Waduk Saguling dan Waduk Jatiluhur. Waduk Cirata menggenangi 32 desa dan 7 Kecamatan di 3 wilayah Kabupaten, yaitu Kabupaten Cianjur, Bandung, dan Purwakarta. Perencanaan pembuatan waduk ini dimulai sejak tahun 1982 hingga tahun 1984. Pembangunan fisiknya dibagi menjadi dua yaitu proyek PLTA Cirata 1 pada tahun 1984 hingga tahun 1988 dan proyek PLTA Cirata 2 pada tahun 1994 hingga tahun 1997. Fungsi utama dari waduk tersebut sebagai pembangkit listrik tenaga air. Sebagai pembangkit listrik tenaga air, Waduk Cirata menghasilkan energi sebesar 1426 GWH/tahun dengan kapasitas 1008 MW yang memenuhi kebutuhan energi listrik di Jawa dan Bali. Energi tersebut dihasilkan dari 8 turbin yang bergerak oleh tekanan air yang mengalir dari waduk dengan tinggi jatuh 112,5 m3/detik dengan debit air maksimum yang tercatat yaitu 1.080 m3/detik (BPWC, 2011).

Selain itu, Waduk Cirata yang dimulai penggenanganya sejak 1 September 1997 ini juga berfungsi sebagai lokasi budidaya ikan jaring terapung, lalu lintas air, reservoir atau penyediaan air dan pengembangan pariwisata. Beragamnya pemanfaatan di Waduk Cirata menunjukkan terdapat berbagai kepentingan di lingkungan perairan waduk tersebut. Pemanfaatan waduk sebagai lokasi pembudidayaan ikan jelas dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar dengan terbukanya lapangan kerja baru, baik lapangan kerja langsung dalam kegiatan budidaya ikan maupun lapangan kerja yang mendukung berlangsungnya kegiatan budidaya seperti menjual pakan atau peralatan budidaya. Masyarakat memanfaatkan sumberdaya ikan di Waduk Cirata dengan membuat Keramba Jaring Apung (KJA).

(20)

2

memiliki batas daya dukung lingkungannya. Jumlah KJA yang melebihi kapasitas akan berdampak pada kualitas air waduk karena menyebabkan pencemaran dan sedimentasi.

Waduk Cirata mengandung banyak senyawa yang merupakan limbah dari sungai Citarum maupun anak sungainya dan yang berasal dari kegiatan di dalam waduk sendiri misalnya dari kegiatan pembudidayaan ikan melalui KJA yang dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Limbah yang berasal dari luar waduk yaitu limbah kegiatan pemenuhan hidup sehari-hari di pemukiman (domestik), limbah industri, limbah pertanian dan dampak pembukaan lahan (sedimentasi) di hulu sungai (Garno, 2000). Manurut Garno (2000) limbah yang berasal dari luar badan air, karena proses bio-kimia yang dialami selama di perjalanan, maka sesampainya di badan air (sungai/waduk) jumlahnya diperkirakan banyak berkurang, sedangkan limbah KJA tidak berkurang, karena limbah KJA langsung berada dalam badan air itu sendiri.

(21)

3

1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 2000 2001 2003 2007 2011 Jumlah yang dianjurkan [petak] 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 Jumlah existing [petak] 74 351 899 1.613 2.056 3.820 6.473 7.690 15.289 25.558 17.477 28.736 30.429 39.690 51.418 53.031 Jumlah pemilik [RTP] 25 80 210 358 469 936 1.498 1.716 2.472 2.472 1.602 1.635 1.672 3.899 2.838 2.511

10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000

Pet

ak

K

e

ram

b

a

Sumber : BPWC, 2012

Gambar 1. Grafik KJA Cirata tahun 1988 – 2011

Selain berdampak pada penurunan produktivitas ikan, pencemaran dan sedimentasi di Waduk Cirata juga berdampak pada kegiatan pembangkit listrik. Sedimentasi pada dasar waduk dapat menyebabkan berkurangnya umur bendungan dari yang telah diperkirakan. Kandungan air yang tercemar meyebabkan korosi pada berbagai peralatan dan turbin, hal ini akan meningkatkan biaya operasional pembangkit listrik yang dapat merugikan pihak pengelola. Oleh karena itu dalam pengelolaan sumberdaya yang bersifat seperti ini diperlukan aturan untuk mengalokasikan dan menjamin keberlangsungan sumberdaya tersebut. Aturan tersebut diperoleh dari sistem kelembagaan yang dibuat oleh berbagai pihak yang memiliki berbagai kepentingan. Sistem kelembagaan yang baik dapat dicapai ketika para stakeholder di dalamnya memahami dan melaksakan tugasnya dengan baik yaitu kerjasama yang berkesinambungan antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengawasan sumberdaya yang terdapat di dalam waduk tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

(22)

4

dengan terbukanya lapangan kerja baru baik secara langsung maupun tidak langsung. Banyaknya keuntungan yang diperoleh dari kegiatan pembudidayaan ikan dengan KJA membuat semakin banyak masyarakat yang tertarik untuk ikut membudidayakan ikan. Namun penambahan jumlah rumah tangga petani (RTP) yang otomatis meningkatkan jumlah KJA menimbulkan tragedy of the common yaitu keadaan ketika suatu sumberdaya yang bersifat open access dimanfaatkan secara berlebihan oleh sejumlah orang dan hasil dari sumberdaya yang dapat diperoleh menjadi semakin rendah (Fauzi, 2004).

(23)

5 diperkirakan sebelumnya. Umur bendungan biasanya banyak ditentukan oleh jumlah endapan lumpur (slit) yang dibawa oleh sungai yang bersangkutan (Asiyanto, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widiastuti (2013), diperkirakan umur Waduk Cirata telah berkurang sebanyak 8 tahun. Bahkan berdasarkan kajian yang dilakukan oleh BPWC, usia layan Waduk telah hilang 20 tahun yang seharusnya 80 tahun lagi pada tahun 2007 menjadi tinggal 60 tahun lagi. Grafik perkembangan sedimentasi di Waduk Cirata dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber : BPWC, 2007

(24)

6

konsentrasinya lebih besar dari 0.50 mg/L. Konsentrasi lebih besar dari 0.50 mg/L menunjukkan kondisi lingkungan termasuk kedalam kategori eutrof. Dengan demikian, dari hasil pengukuran klorofil-α, total P dan total N, perairan Waduk Cirata termasuk kedalam kategori eutrof. Kondisi demikian tidak menguntungkan bagi kelangsungan kehidupan perairan, terutama untuk organisme budidaya yang dipelihara dalam KJA. Berdasarkan laporan kualitas air Waduk Cirata tahun 2011, mutu air Cirata bagi peruntukan air baku air minum (golongan B) dan kegiatan perikanan dan peternakan (golongan C), tergolong buruk. Parameter kualitas air yang tidak memenuhi baku mutu golongan B yaitu H2S, DO, COD, BOD, Cd, E. coli. dan Coliform dan baku mutu golongan C yaitu H2S, NO2-N, Cl2, DO, Cu, Zn, dan Cd. Namun status mutu air bagi peruntukan pertanian dan PLTA (golongan D), masih tergolong baik.

Waduk Cirata juga mengalami ancaman dari pencemaran logam berat. Berdasarkan laporan logam berat Cirata tahun 2009, ikan yang hidup di Waduk Cirata, baik ikan yang dibudidayakan dalam KJA maupun yang hidup liar mengandung logam berat, kecuali Pb, namun kadarnya masih aman untuk dikonsumsi berdasarkan BPOM, SNI, FAO dan WHO. Kadar logam berat pada ikan berturut-turut mulai dari yang terbesar sampai terkecil yaitu Zn>Mn>Cu>Cr>Cd>Hg>As>Ni. Kandungan logam berat juga ditemukan pada pakan dan sedimen Waduk Cirata. Namun kadar logam berat pada sedimen di Waduk Cirata masih digolongkan tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan. Meskipun kadar logam berat yang ada di Waduk Cirata masih tergolong aman dan tidak berbahaya bagi lingkungan, namun perlu diperhatikan karena apabila tidak ditanggulangi dapat mengancam ekosistem yang ada di Waduk Cirata.

(25)

7 oleh SK Gubernur Jawa Barat no 41 tahun 2002 tentang Pengembangan dan Pemanfaatan Lahan Pertanian dan Kawasan Waduk Cirata. PT PJB BPWC memiliki tugas pokok untuk melaksanakan pengelolaan secara profesional (mengelola, memelihara dan mengembangkan potensi ekonomi) aset berupa waduk dan lahan-lahan disekitarnya yang terletak di Waduk Cirata tanpa mengabaikan kepentingan Unit Pembangkitan dan masyarakat yang mempergunakan sungai dan waduk tersebut. Pada kenyataanya aturan tersebut belum berjalan dan fungsi BPWC dalam mengelola Waduk Cirata juga belum optimal dengan indikasi jumlah KJA semakin bertambah setiap tahunnya dan menyebabkan pencemaran yang berdampak pada budidaya ikan itu sendiri dan unit pembangkit listrik di Waduk Cirata.

Selain itu, pihak yang terkait dengan pengelolaan Waduk Cirata yaitu Kelompok Pengawas Masyarakat (POKMASWAS), Asosiasi Petani Pembudidayaan Ikan Waduk Cirata (ASPINDAC), kelompok penjual pakan (Agen, Sub Agen dan Bandar Ikan), Dinas Perikanan Kabupaten Bandung Barat, Cianjur dan Purwakarta, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat. Kondisi di Waduk Cirata memperlihatkan kurang efektifnya kelembagaan dalam pengelolaan KJA. Hal tersebut dapat terjadi kerena banyaknya aktor yang terlibat dalam pengelolaan waduk yang memiliki kepentingan dan persepsi yang berbeda mengeai pengelolaan waduk serta kurangnya komunikasi diantara aktor tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat sejumlah permasalahan yang menarik untuk diteliti, yaitu:

1. Siapa saja stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan KJA Waduk Cirata? 2. Bagaimana keterkaitan diantara stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan

KJA Waduk Cirata?

(26)

8

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan KJA Waduk Cirata.

2. Menganalisis keterkaitan diantara stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan KJA Waduk Cirata.

3. Menganalisis persepsi stakeholders terhadap pengelolaan KJA Waduk Cirata. 4. Mengidentifikasi aturan yang terkait dalam pengelolaan KJA Waduk Cirata. 5. Menganalisis model kelembagaan dalam pengelolaan KJA Waduk Cirata.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna dan bermanfaat.

1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan menjadi penelitian pelengkap tentang keilmuan ekonomi sumberdaya dan lingkungan.

2. Bagi pengambil keputusan, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan bagi pihak-pihak yang terkait dalam mengelola sumberdaya perikanan di Waduk Cirata.

3. Bagi masyarakat, untuk menambah pengetahuan bagi masyarakat sehingga dapat meningkatkan partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. 4. Bagi penulis, sebagai persyaratan menyelesaikan studi program sarjana untuk

memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

(27)
(28)

10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Waduk

Danau buatan (waduk) adalah danau yang sengaja dibuat oleh manusia untuk keperluan dan tujuan-tujuan tertentu. Pembuatan waduk sudah direncanakan dan disesuaikan dengan penggunaannya. Pembuatan waduk biasanya berkaitan dengan kepentingan pengadaan listrik, tenaga air, perikanan, pertanian dan rekreasi (Samadi, 2007). Bendungan atau waduk mempunyai dua dasar fungsi, yaitu merupakan sebuah kolom penampung air yang mempunyai kesanggupan untuk menyediakan air dan menaikan ketinggian tekanan air yang merupakan potensi dari aliran sungai (Dandekar, 1991).

Waduk berfungsi untuk menyediakan kelebihan air pada masa-masa aliran air tinggi untuk digunakan selama masa-masa kekeringan. Suatu proyek penyediaan air irigasi, atau pembangkit listrik tenaga air yang secara langsung menyadap air dari suatu sungai mungkin tidak mampu memenuhi tuntutan kebutuhan para konsumennya pada masa-masa air rendah. Sungai yang mungkin hanya sedikit atau sama sekali tidak mengalirkan air pada jangka-jangka waktu tertentu dalam suatu tahun, seringkali menjadi aliran deras yang hebat setelah hujan lebat dan menjadi bahaya bagi semua kegiatan di sepanjang tebingnya. Di samping untuk pemanfaatan di kemudian hari, waduk juga dapat dimanfaatkan untuk memperkecil kerusakan banjir di hilir waduk. Pada daerah-daerah pertanian atau peternakan, tangki tandon atau kolam lapangan dapat menampung aliran yang terputus-putus dari sungai-sungai kecil untuk tujuan-tujuan bermanfaat. Berapa pun ukuran suatu waduk atau apa pun tujuan akhir dari pemanfaatan airnya, fungsi utama dari suatu waduk adalah untuk menstabilkan aliran air, baik dengan cara pengaturan persediaan air yang berubah-ubah pada suatu sungai alamiah, maupun dengan cara memenuhi kebutuhan yang berubah-ubah dari para konsumen (Linsley, 1985).

2.1.1 Fungsi Waduk sebagai PLTA

(29)

11 sumberdaya terpenting setelah tenaga uap/panas. Hampir 30% dari seluruh kebutuhan tenaga di dunia dipenuhi oleh pusat-pusat listtrik tenaga air, bahkan di Norwegia 99% dari jumlah seluruh kapasitas terpasang berasal dari tenaga air (Dandekar dan Sharma, 1991). Kelebihan bendungan sebagai PLTA dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga lainnya yaitu :

1. Berbeda dengan bahan bakar yang digunakan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), bahan bakar untuk PLTA sama sekali tidak habis terpakai ataupun berubah menjadi sesuatu yang lain. Air melimpas melalui turbin, tanpa kehilangan kemampuan pelayanan untuk wilayah di hilirnya.

2. Biaya pengoperasian dan pemeliharaan PLTA lebih rendah jika dibandingkan dengan PLTU atau Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

3. Turbin-turbin pada PLTA bisa dioperasikan ataupun dihentikan pengoperasiannya setiap saat. Hal ini tidak dimungkinkan pada PLTU dan PLTN karena akan mengakibatkan pemborosan bahan bakar yang luar biasa. 4. PLTA, cukup sederhana untuk dimengerti dan cukup mudah untuk

dioperasikan. Ketangguhan sistemnya dapat lebih diandalkan, dibandingkan dengan sumber-sumberdaya lainnya.

5. Peralatan PLTA yang mutakhir, umumnya memiliki peluang yang besar untuk bisa dioperasikan selama lebih dari 50 tahun, sedangkan umur efektif PLTN sekitar 30 tahun.

6. Mengingat kemudahan untuk memikul beban ataupun melepaskannya kembali, PLTA juga bisa dimanfaatkan sebagai cadangan yang bisa diandalkan pada sistem kelistrikan terpadu antara PLTU, PLTA, dan PLTN.

7. Dengan teknik perencanaan yang mutakhir, pembangkit listrik dapat menghasilkan tenaga dengan efisiensi yang sangat tinggi meskipun fluktuasi beban cukup besar.

8. Perkembangan mutakhir yang telah dicapai pada pangembangan air turbin, telah dimungkinkan untuk memanfaatkan jenis turbin yang sesuai dengan keadaan setempat.

(30)

12

diperlukan waduk untuk keperluan tersebut dapat dimanfaatkan pula misalnya sebagai irigasi dan pengendali banjir.

Kelemahan PLTA yang paling menonjol yaitu :

1. Hampir semua PLTA merupakan proyek padat modal. Seperti layaknya proyek padat modal yang lain, laju pengembalian modal pada PLTA adalah rendah.

2. Masa persiapan suatu proyek PLTA pada umumnya memakan waktu yang cukup lama.

3. PLTA sangat tergantung pada aliran sungai secara alamiah. Sedangkan aliran sungai tersebut sangat bervariasi, sehingga pada umumnya tenaga andalan atau tenaga mantap akan sangat lebih kecil jika dibandingkan dengan kapasitas totalnya.

2.1.2 Fungsi Waduk sebagai Sarana Budidaya Ikan dengan Sistem KJA Selain sebagai PLTA, waduk juga berfungsi sebagai sarana pengembangan budidaya ikan dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA). Penggunaan keramba sebagai wadah pemeliharaan ikan sudah cukup lama diterapkan di Indonesia. Di danau Mungdung (Jambi), nelayan sudah mulai memelihara benih ikan jelawat (Leptobarbus houveni) yang ditangkap dari perairan danau di dalam keramba bambu terapung sejak tahun 1920 (Reksalegor, 1979 dalam Beveridge, 1996 dalam Widyastuti, 2005). Di Indonesia, keramba jaring untuk pertama kali digunakan dalam penelitian pemeliharaan ikan di dalam waduk Jatiluhur pada tahun 1974 (Hardjamulia et al. 1991 dalam Widyastuti, 2005). Pemeliharaan ikan dengan keramba secara intensif di waduk oleh petani baru dimulai sejak tahun 1986, pertama kali diterapkan di Waduk Saguling kemudian di Danau Toba, Waduk Cirata, Waduk Wonogiri, Waduk Kedung Ombo bahkan di laut maupun teluk. Ryding dan Rast (1989) dalam Widyastuti (2005) menyatakan bahwa budidaya ikan dalam keramba merupakan budidaya diwilayah perairan yang disekat, biasanya mengapung dan dibatasi oleh jaring. Wilayah tersebut melindungi keramba yang digunakan untuk produksi ikan.

(31)

13 alami seperti plankton, detritus dan organisme yang terbawa arus. Pada sistem semi intensif, sudah diberikan pakan tambahan dengan protein rendah (< 10 %) seperti dari sisa hasil pertanian. Sedangkan pada budidaya sistem intensif, pertumbuhan ikan hampir secara keseluruhan bergantung pada bahan pakan protein tinggi ( > 20%). Sebagian besar keramba jaring apung yang terdapat pada waduk-waduk di Indonesia menggunakan sistem intensif karena dapat mengoptimalkan produksi ikan (Radityo, 2013).

2.2 Pencemaran Waduk

Waduk merupakan suatu badan penampung air, biasanya merupakan muara dari beberapa sungai. Air sungai yang mengisi waduk tersebut banyak yang sudah tercemar dan membawa masukan nutrisi, padatan, dan bahan kimia toksik yang akhirnya mengendap di dasar. Penampungan bahan-bahan tersebut berlangsung bertahun-tahun, sehingga menyebabkan proses pendangkalan (Darmono 2001 dalam Permana, 2012). Oleh sebab itu waduk sangat rentan terkena pencemaran air. Pencemaran air akan menurunkan kualitas air untuk berbagai macam pemanfaatan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 menyatakan bahwa :

Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan ataukomponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat

berfungsi sesuai dengan peruntukannya

(32)

14

sumberdaya lingkungan perairan DAS Citarum berasal dari kegiatan pembesaran ikan dengan keramba jaring apung (KJA).

Secara umum limbah yang masuk ke badan air dapat digolongkan dalam limbah anorganik dan organik. Selain mengakibatkan beberapa badan air (sungai & anak sungai) di hulu tidak lagi memenuhi peruntukannya; pencemaran dan sedimentasi juga mengancam keberlanjutan fisik dan fungsi waduk yang ada (Garno, 2000). Masuknya arus pekat ke dalam kolam waduk akan mendesak naik air waduk yang ada di dekat dasar kolam yang miskin oksigen dan kaya akan dekomposisi anaerobik. Air ini akan meracuni satwa air/ikan yang hidup di lapis atas kolam waduk dan dapat menimbulkan kematian masal ikan-ikan tersebut (Mulyanto, 2008).

Bukit dan Yusuf dalam Garno (2000) memperkirakan bahwa sungai Citarum setiap harinya mendapatkan limbah organik dari pemukiman sekitar 77.330 ton Biological oxigen Demand (BOD); sedangkan Ilyas dalam Garno (2000) memperkirakannya lebih besar lagi yakni sekitar 160.552 ton BOD. Sedangkan Industri di hulu sungai Citarum selain mangandung logam berat yang tinggi, juga mengandung kadar BOD dan Chemical Oxigen Demand (COD) yang tinggi. Diperkirakan pada periode 2000-2002 sumberdaya lingkungan perairan Citarum bagian hulu setiap harinya menerima limbah organik sekitar 81.330-109.114 ton BOD. Pertanian juga menyumbang limbah nitrogen dan fosfor sebesar 6.460–187.852 ton N/th. dan 3.060–21.992 ton P/th. Pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan serta penambangan pasir di hulu sungai Citarum menyebabkan permukaan tanah terkikis dan air yang masuk ke dalam sungai Citarum mengandung sedimen yang tinggi. Waduk yang merupakan bendungan dari sungai menjadi perangkap sedimen yang besar dari seluruh masukan sungai

(Cole, 1988 dalam permana, 2012).

Sedimentasi di dalam waduk adalah fenomena yang tak terhindari dan pada kondisi normal diperhitungkan untuk menentukan umur ekonomi waduk, air yang memasuki waduk membawa angkutan sedimen hasil erosi pada DAS yang kemudian sebagian akan mengendap di dalam waduk berupa (Mulyanto, 2008) : 1. Wash Load / sedimen cuci yang berbutir sangat halus. Sedimen ini bersumber

(33)

15 diangkut oleh air dalam bentuk koloidal, sehingga sukar mengendap dalam waduk, mengalir ke hilir bersama air limpasan.

2. Suspended load / sedimen layang dengan butiran yang lebih kasar, kira-kira beberapa per seratus sampai dengan beberapa per puluhan millimeter, yang diangkut dalam suspense / keadaan melayang ke dalam waduk sebagian besar akan terendap di bagian hilir kolam waduk bersama dengan sebagian kecil wash load.

3. Bed load / sedimen dasar dengan besar butiran yang lebih besar dari butiran layang, menggelincir dan bergulingan (translating and rolling) pada dasar sungai. Hampir semua sedimen dasar akan mengendap di kolam waduk bagian hulu serta pada dasar alur sungai pemasok air waduk.

Ketika aliran-masuk sedimen (sediment inflow) besar dibandingkan dengan kapasitas waduknya, maka usia manfaat waduk tersebut akan pendek. Suatu waduk kecil pada sungai yang besar akan melewatkan sebagian besar alirannya sedemikian capat sehingga sedimen yang halus tidak akan mengendap, tetapi dialirkan ke hilir. Suatu waduk besar, sebaliknya, akan menahan air untuk beberapa tahun yang memungkinkan pemisahan sedimen terapung secara hampir sempurna. Efisiensi tangkapan suatu waduk akan berkurang sejalan dengan umurnya, karena kapasitas waduk akan dikurangi oleh tumpukan sedimen. Dengan demikian, pemenuhan waduk sepenuhnya oleh sedimen mungkin memerlukan waktu panjang, tetapi sebenarnya usia manfaat waduk telah berakhir pada waktu kapasitas simpanan yang diambil oleh sedimen telah cukup besar untuk mencegah waduk melaksanakan fungsinya. (Linsley, 1985). Pengendapan berlebihan di daerah genangan dapat mempengaruhi pembebanan pada bendungan dan mengganggu saluran muka kearah bangunan pelimpah ataupun fasilitas pengeluaran air (Litbang SDA, 2007).

(34)

16

KJA tidak berkurang, karena limbah KJA langsung berada dalam badan air itu sendiri (Garno, 2000). Limbah oraganik yang masuk ke waduk meningkatkan konsentrasi nutrient terlarut pada badan air waduk-waduk tersebut (eutrofikasi). Eutrofikasi dipastikan akan memacu pertumbuhan tumbuhan hijau gulma air seperti enceng gondok (Eicornia crassipes) dan fitoplankton secara berlebihan. Pertumbuhan gulma air seperti enceng gondok secara belebihan akan menutupi permukaan air dan mempercepat proses pendangkalan.

Air limbah yaitu air dari suatu daerah pemukiman yang telah dipergunakan untuk berbagai keperluan, harus dikumpulkan dan dibuang untuk menjaga lingkungan hidup yang sehat dan baik. Air limbah yang harus dibuang dari suatu daerah pemukiman terdiri dari :

1. Air limbah rumah tangga (saniter), yaitu air limbah dari daerah perumahan serta sarana-sarana komersial, institusional, dan yang serupa dengannya. 2. Air limbah industri, yaitu bila bahan-bahan buangan industri merupakan

bagian terbesar.

3. Air resapan / aliran masuk, yaitu air dari luar yang masuk ke dalam sistem pembuangan dengan berbagai cara, serta air hujan yang tercurah dari sumber-sumber seperti talang dan drainasi pondasi.

4. Air hujan, hasil dari aliran curah hujan.

Ciri-ciri limbah terdiri dari ciri-ciri fisik, kimiawi, dan biologis yaitu : 1. Ciri-ciri fisik utama air limbah adalah kandungan bahan padat, warna, bau dan

(35)

17 biasanya lebih tinggi daripada air bersih, karena adanya tambahan air hangat dari pemakaian perkotaan.

2. Ciri-ciri kimiawi air limbah selain dapat diketahui melalui pengukuran BOD5, COD, dan Total Organic Carbon (TOC) dapat juga diketahui melalui pengujian kadar ammonia bebas, nitrogen organik, nitrit, nitrat, fosfor organik dan fosfor anorganik. Nitrogen dan fosfor telah umum diidentifikasikan sebagai bahan untuk pertumbuhan gulma air. Pengujian-pengujian lain seperti klorida, sulfat, PH serta alkalinitas diperlukan untuk mengkaji dapat tidaknya air limbah yang sudah diolah dipakai kembali. Pengukuran gas-gas yang ada, seperti hidrogen sulfida, oksigen metan dan karbon dioksida dilakukan untuk membantu operasi sistem yang bersangkutan.

3. Ciri-ciri biologis air limbah yaitu mengandung bakteri patogen yang dapat menyebabkan berbagai macam penyakit.

2.3 Sistem Pengelolaan Waduk

Keberadaan waduk tidak dapat dipisahkan dari aktivitas kehidupan manusia. Waduk yang memberikan banyak manfaat terhadap masyarakat membuat waduk menjadi lokasi masyarakat dalam berinteraksi dan bergantung untuk kelansungan hidupnya. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan R.M. Gatot Soemartono mengenai lingkungan hidup. Menurut Soemartono dalam Ruray (2012), lingkungan hidup adalah ruang tempat baik makhluk hidup maupun tidak hidup berada dalam satu kesatuan, dalam non fisik, sehingga mempengaruhi kelangsungan kehidupan makhluk tersebut khususnya manusia. Dengan kata lain, pengelolaan waduk dapat diadaptasi dari cara pengelolaan lingkungan hidup secara umum kemudian dapat diterapkan sesuai dengan kondisi waduk yang lebih spesifik.

(36)

18

lingkungan administratif. Pendekatan Hukum Lingkungan Administratif ini meliputi dua instrument, yaitu :

1. Instrumen Perizinan. Instrumen perizinan merupakan hal yang penting karena instrument tersebut dapat mengarahkan atau mengendalikan aktivitas-aktivitas tertentu, dapat mencegah bahaya dari lingkungan, dapat melindungi objek-objek tertentu, serta dapat menyeleksi orang-orang beserta aktivitasnya.

2. Instrumen Ekonomi. Instrumen Ekonomi merupakan suatu instrument yang didasari oleh konsep pencemar membayar, suatu konsep yang berangkat dari pemikiran bahwa biaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran merupakan kunci untuk mengatasi masalah lingkungan secara tepat.

Pada dasarnya pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan lingkungan hidup adalah pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha lainnya. Pasal 63 UU Nomor 32 Tahun 2009, menunjuk adanya tugas pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yakni diantaranya menetapkan kebijakan nasional tentang lingkungan hidup, dan bahwa kebijakan ini harus dilakukan secara terpadu oleh semua instansi.

Selain pemerintah, pihak yang memiliki kewajiban dalam pengelolaan lingkungan hidup adalah masyarakat. Kewajiban masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup sesuai pasal 67 UU Nomor 32 Tahun 2009 menentukan :“Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup”.

Pihak yang juga memiliki kewajiban dalam pengelolaan lingkungan hidup adalah pihak pelaku usaha. Dalam pasal 68 UU Nomor 32 Tahun 2009 ditegaskan bahwa :

Setiap orang yang melakukan usaha dan/kegiatan berkewajiban :

a. Memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu.

b. Menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup.

(37)

19 21 yang dihasilkan dalam Koferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro tahun 1992, Agenda 21 Indonesia merumuskan strategi nasional untuk pembangunan berkelanjutan yang dikelompokan menjadi empat are yakni : pelayanan masyarakat, pengelolaan limbah, pengelolaan sumberdaya tanah, pengelolaan sumberdaya alam (Mitchell, 2010).

2.4Teori Kelembagaan

Kelembagaan adalah kegiatan kolektif dalam suatu kontrol atau jurisdiksi, pembebasan atau liberasi, dan perluasan atau ekspansi kegiatan individu (Arifin, 2005). Definisi kelembagaan mencakup dua batas pemisah penting, yaitu (1) norma dan konvensi (norms and conventions), serta (2) aturan main (rules of the game). Kelembagaan umumnya dapat diprediksi dan cukup stabil, serta dapat diaplikasikan pada situasi berulang, sehingga sering juga diartikan sebagai seperangkat aturan main atau tata cara untuk keberlangsungan sekumpulan kepentingan (a set of working rules of going concerns).

Menurut Arifin (2005), ruang lingkup kelembagaan dapat dibatasi pada hal-hal berikut :

1. Kelembagaan adalah kreasi manusia (human creations). Beberapa bagian penting dari kelembagaan adalah hasil akhir dari upaya atau kegiatan manusia yang dilakukan secara sadar.

2. Kumpulan Individu (group of individuals). Kelembagaan hanya berlaku pada sekelompok individu, setidaknya dua orang atau bagi seluruh anggota masyarakat.

3. Dimensi waktu (time dimension). Karakteristik suatu institusi adalah apabila sesuatu dapat diaplikasikan pada situasi yang berulang (repeated situations) dalam suatu dimensi waktu.

4. Dimensi tempat (place dimension). Salah satu determinan penting dalam aransemen kelembagaan adalah lingkungan fisik, yang juga dapat berperan penting dalam pembentukan suatu struktur kelembagaan.

(38)

20

6. Pemantauan dan penegakan hukum (monitoring and enforcement). Aturan main dan norma harus dipantau dan ditegakan oleh suatu badan yang kompeten, atau oleh masyarakat secara internal pada tingkat individu.

7. Hierarki dan jaringan (nested levels and institutions). Kelembagaan bukanlah struktur yang terisolasi, tapi merupakan bagian dari hierarki dan jaringan atau sistem kelembagaan yang lebih kompleks.

8. Konsekuensi kelembagaan (consequences of institutions). Umumnya dikenal dua tingkatan konsekuensi. Pertama, kelembagaan meningkatkan rutinitas, keteraturan, atau tindakan manusia yang tidak memerlukan pilihan lengkap dan sempurna. Kedua, kelembagaan memiliki pengaruh bagi terciptanya suatu pola interaksi yang stabil yang diinternalisasi oleh setiap individu.

Ciri umum kelembagaan menurut Bogason (2000) dalam Suhana (2008), yaitu adanya sebuah struktur yang didasarkan pada interaksi di antara para aktor, adanya pemahaman bersama tentang nilai-nilai, dan adanya tekanan untuk berperilaku sesuai dengan yang telah disepakati/ditetapkan. Kelembagaan dilihat sebagai aturan main yang memberi naungan dan sanksi terhadap individu-individu dan kelompok-kelompok dalam menentukan pilihannya.

Bogason (2000) dalam Suhana (2008) juga menyatakan bahwa ada Terdapat tiga level aturan, yaitu level aksi, level aksi kolektif, dan level konstitusi. Pada level aksi, aturan secara langsung mempengaruhi aksi nyata dan biasanya ada standar atau rules of conduct. Pada level aksi kolektif, aturan didefinisikan untuk aksi pada masa-masa yang akan datang atau penetapan aturan ini sering disebut sebagai kebijakan. Sedangkan pada level konstitusi kita mendiskusikan prinsip-prinsip bagi pengambilan keputusan kolektif masa yang akan datang, seperti prinsip-prinsip demokrasi. Aturan-aturan pada level konstitusi ini biasanya ditulis secara formal dan dikodifikasi.

2.5Kinerja Kelembagaan

(39)

21 penegakan kebijakan. Urgensi kelembagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup oleh Magda Lovei dan Charles Waise, Jr mengungkapkan bahwa kerangka administrasi dan institutional merupakan bagian yang melekat dari sistem manajemen lingkungan. Fasilitas dan dukungan proses pembuatan kebijakan lingkungan, dan kepastian pelaksanaan dan penegakan kebijakan. Instansi pemerintah yang ditunjuk dan disetujui oleh pejabat terpilih untuk melaksanakan tugas-tugas ini merupakan pilar utama administrasi lingkungan (Ruray, 2012).

Keberadaan kelembagaan pengelola lingkungan dan keberhasilan peraturan perundang-undangan lingkungan juga ditentukan oleh “the existing administrative and institutional framework” sebagaimana dikemukakan oleh Nancy H. Kumasek dan Gary. S Silverman, pilar utama dari badan-badan administrasi lingkungan diangkat dan disetujui oleh pejabat terpilih untuk melaksanakan tugas-tugas ini. Kerangka Administrasi juga membutuhkan organisasi formal dan informal dengan peraturan yang telah ditetapkan; dan pola hubungan dan komunikasi; dan pengembangan kelembagaan, seperti proses pengambilan keputusan, distribusi kewenangan, interaksi, dan pola komunikasi dengan organisasi lain, individu, dan kelompok (Ruray, 2012).

2.6Penelitian Terdahulu

(40)

22

mengatur tata kelolanya, faktor ekonomi karena demand yang tinggi terhadap produk perikanan dan pertanian, adanya kepentingan politis masing-masing daerah yang tergenangi waduk untuk memenuhi pendapatan daerahnya, tidak ada leading sector yang mampu menggerakkan massa untuk melakukan collective action dan lemahnya penegakan peraturan/kesepakatan yang sudah dibuat.

(41)

23 lingkungan perairan dalam hubungannya dengan budidaya ikan sistem KJA yang mereka lakukan.

(42)

24

BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN

Waduk Cirata dibangun untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik untuk wilayah Jawa dan Bali. Selain memiliki fungsi utama sebagai pembangkit listrik, Waduk Cirata dimanfaatkan sebagai lokasi pembudidaya ikan dengan sistem KJA, pariwisata, lalu lintas air, dan penangkapan ikan. Berbagai kegiatan yang ada di Waduk Cirata tersebut menimbulkan manfaat ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat sekitar. Pengelola Waduk Citara membiarkan masyarakat membudidayakan ikan di area sebagai kompensasi dari masyarakat yang kehilangan lapangan pekerjaan akibat penggenangan saat pembuatan waduk.

(43)

25 Kondisi yang terjadi di Waduk Cirata menandakan kurang efektifnya sistem kelembagaan dalam mengelola KJA di Waduk Cirata. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah KJA yang melebihi kapasitas. Berdasarkan SK Gub No. 41 Tahun 2002, jumlah maksimum keramba jaring apung di Waduk Cirata yaitu sebanyak 12.000 petaksedangkan pada tahun 2011 jumlah KJA yang ada yaitu sebanyak 53.031 petak. Oleh karena itu, perlu dikaji kelembagaan yang mengelola Waduk Cirata. Analisis stakeholder dilakukan untuk mengetahuisiapa saja, apa peran, dan bagaimana pelaksanaan tugas, dan keterkaitan dari setiap stakeholder yang terlibat dengan pengelolaan Waduk Cirata. Lembaga yang tekait dengan pengelolaan Waduk Cirata sendiri yaitu Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat, Dinas Perikanan Kabupaten Bandung Barat, Purwakarta, dan Cianjur, Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC), dan Unit Pembangkit Cirata (UP Cirata) Kelompok Pengawas Masyarakat (POKMASWAS), Asosiasi Petani Pembudidayaan Ikan Waduk Cirata (ASPINDAC), kelompok penjual pakan (Agen, Sub Agen dan Bandar Ikan), dan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat.

(44)

26

Gambar 3. Kerangka pemikiran operasional penelitian

Peningkatan jumlah KJA melebihi kapasitas waduk Waduk Cirata

Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)

Tragedy of the common

Budidaya ikan dengan sistem KJA

Penurunan produksi ikan Penurunan umur waduk

sebagai pembangkit listrik

Pencemaran dan sedimentasi

Kurang efektifnya lembaga pengelola Waduk Cirata

Organisasi

Analisis stakeholder yang terlibat

Analisis keterkaitan hubungan antar stakeholder

Analisis persepsi stakeholder

Aturan main

Identifikasi aturan terkait pengelolaan waduk

Rekomendasi Kelembagaan

(45)

27

IV. METODE PENELITIAN

4.1Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Waduk Cirata. Lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive) dikarenakan karakteristik dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Waduk Cirata yang mencakup tiga wilayah administrasi dan belum efektif dalam pelaksanaannya. Waduk Cirata merupakan salah satu waduk yang di dalamnya terdapat berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2014.

4.2Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui proses wawancara dengan responden menggunakan kuesioner. Responden penelitian terdiri dari petani ikan dan informan dari berbagai dinas terkait. Data sekunder diperoleh dari laporan yang telah dipublikasi maupun yang tidak dipublikasikan, arsip dan dokumentasi dari instansi pemerintah dan lembaga terkait serta dari berbagai sumber data yang relevan seperti buku, jurnal, tesis, skripsi, dan internet. Data sekunder meliputi informasi yang terkait dengan daerah penelitian serta data lain yang dibutuhkan dalam penelitian.

4.3Metode Penentuan Sampel

(46)

28

4.4Metode dan Prosedur Analisis Data

(47)

29

Tabel 1 Matriks metode analisis data

No Tujuan Penelitian Parameter Sumber Data Maetode

Pengumpulan Data Analisis Data 1. Mengidentifikasi karakteristik

stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan KJA Waduk Cirata

- Stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan Waduk

(48)

30

Tabel 2 Lanjutan

No Tujuan Penelitian Parameter Sumber Data Maetode

Pengumpulan Data Analisis Data 4. Mengidentifikasi dan menganalisis

aturan yang terkait dalam pengelolaan KJA Waduk Cirata

- Penggunaan Waduk Cirata untuk berbagai kegiatan

- Perijinan budidaya ikan dengan sistem KJA

- Pembatasan luas wilayah

- Pembatasan jumlah KJA

- Konservasi, pencemaran, dan bahan pembuatan KJA

Dinas dan Instansi Terkait Dokumentasi Analisis Isi/Konten

5. Menganalisis model kelembagaan untuk pengelolaan KJA Waduk Cirata

- Perluasan wewenang salah satu lembaga yang sudah ada

- Perubahan pada koordinasi dan pembagian wewenang antar lembaga yang telah ada

- Pembentukan kelembagaan baru

Dinas dan Instansi Terkait Wawancara Responden Dengan Menggunakan kuesioner

(49)

31

4.4.1 Analisis Karakteristik Stakeholder Waduk Cirata

Karakteristik stakeholder di Waduk Cirata terkait dengan keberadaan pembudidayaan ikan dengan sistem KJA dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan perairan Waduk Cirata. Analisis deskriptif meliputi kondisi sosial ekonomi, peran dan struktur kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan perairan Waduk Cirata yang terkait pembudidayaan ikan dengan sistem KJA. Masing-masing karakteristik stakeholder yang terlibat dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik stakeholder Waduk Cirata

No Stakeholder Karakteristik

1. Petani Ikan Pendidikan, usia, mata pencarian, lama bertani ikan, status kepemilikan KJA, mata pencarian, kependudukan

2. Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC)

Kewenangan terhadap waduk (hak dan kewajiban), status kelembagaan, profit/nonprofit

3. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bandung Barat, Cianjur, Purwakarta dan Provinsi Jawa Barat

Kewenangan, program kerja, anggaran pengelolaan waduk terkait KJA

4. Kelompok Lokal/Usaha Kewenangan, lingkup wilayah, keanggotaan, tujuan terbentuknya, aktivitas

4.4.2 Analisis Keterkaitan antar Stakeholder Waduk Cirata

(50)

32

yang ditanggung oleh aktor untuk melakukan pengorganisasian kelembagaan sumber daya (Widiastuti, 2013).

Sebelum mengetahui tingkat kepentingan dan pengaruh dari stakeholder yang terkait dengan pengelolaan KJA Waduk Cirata, terlebih dahulu perlu dilakukan analisis aktor yang terkait dengan pengelolaannya. Analisis aktor bertujuan untuk mengetahui siapa saja aktor yang terlibat dalam pengelolaan Waduk Cirata. Suhana (2008) mengkategorikan aktor ke dalam lima kategori untuk memudahkan analisis yakni pemerintah (pengambil kebijakan dan lembaga legislatif), swasta (pengusaha dan lembaga donor), tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi sosial lainnya, serta pakar dan professional. Aktor yang teridentifikasi dikategorikan ke dalam kelompok institusi pemerintah, masyarakat, organisasi sosial, dunia usaha dan akademisi. Selain itu dibedakan pula berdasarkan tingkat continuum mulai dari tingkat lokal, provinsi, hingga tingkat pusat.

Proses penentuan aktor dilakukan dengan beberapa cara, antara lain (Suhana, 2008) :

1. Mengidentifikasi sendiri berdasarkan pengalaman dalam bidang pembangunan wilayah (berkaitan dengan perencanaan kebijakan).

2. Mengidentifikasi berdasarkan catatan statistik serta laporan penelitian. Hasil identifikasi ini berupa daftar panjang individu dan kelompok yang terkait dengan pengelolaan Waduk Cirata.

3. Identifikasi aktor menggunakan pendekatan partisipatif dengan teknik snowball dimana setiap aktor mengidentifkasi aktor lainnya. Berdiskusi dengan aktor yang teridentifikasi pertama kali dapat mengungkapkan pandangan mereka tentang keberadaan aktor penting lain yang berkaitan dengannya. Metode ini juga dapat membantu pengertian yang lebih mendalam terhadap kepentingan dan keterkaitan aktor.

(51)

33 kebijakan (IIED 2001, Mardle 2003 dalam Suhana, 2008). Kegiatan ini dilakukan dengan wawancara langsung dan kuesioner terhadap wakil dari semua aktor yang teridentifikasi dari hasil analisis aktor. Stakeholder dipetakan ke dalam matriks analisis stakeholder berdasarkan besarnya kepentingan dan pengaruh. Besarnya kepentingan dan pengaruh diberi nilai sesuai dengan panduan yang telah dibuat. Untuk menilai besarnya kepentingan digunakan panduan penilaian untuk mengetahui tingkat kepentingan seprti pada Tabel 4 sedangkan untuk mengetahui besarnya pengaruh digunakan panduan penilaian untuk mengetahui besarnya pengaruh seperti pada Tabel 5. Jumlah nilai yang didapatkan oleh masing-masing stakeholder adalah 25 poin untuk besarnya kepentingan dan 25 poin untuk besarnya pengaruh. Pengolahan data kualitatif hasil wawancara dikuantitatifkan dengan mengacu pada pengukuran data berjenjang lima pada Tabel 3.

Tabel 3 Penilaian tingkat kepentingan

No Variabel Indikator Skor

1. Keterlibatan Terlibat seluruh proses Terlibat 3 proses 2. Manfaat Pengelolaan Mendapat 4 manfaat

Mendapat 3 manfaat 3. Sumberdaya yang disediakan Menyediakan semua sumberdaya

Menyediakan 3 sumberdaya 4. Prioritas pengelolaan Sangat menjadi prioritas

Prioritas 5. Ketergantungan sumberdaya 81-100 % bergantung

(52)

34

Tabel 4 Penilaian tingkat pengaruh

No Variabel Indikator Skor 2. Peran dan partisipasi Berkontribusi pada semua point

Berkontribusi dalam 3 point 5. Kapasitas sumberdaya

yang disediakan

Tabel 5 Ukuran kuantitatif terhadap identifikasi dan pemetaan stakeholder

Skor Nilai Kriteria Keterangan Kepentingan Aktor

5 21-25 Sangat Tinggi Sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya

4 16-20 Tinggi Ketergantungan tinggi pada keberadaan sumberdaya

3 11-15 Cukup Cukup bergantung pada keberadaan sumberdaya

2 6-10 Rendah Ketergantungan pada keberadaan sumberdaya kecil

(53)

35

Tabel 5 lanjutan

Skor Nilai Kriteria Keterangan Pengaruh Stakeholder

5 21-25 Sangat Tinggi Sangat mempengaruhi pengeloaan sumberdaya

4 16-20 Tinggi Mempengaruhi pengelolaan sumberdaya

3 11-15 Cukup Cukup mempengaruhi pengelolaan sumberdaya

2 6-10 Rendah Kurang mempengaruhi pengelolaan sumberdaya

1 1-5 Sangat Rendah Tidak mempengaruhi pengelolaan sumberdaya

Sumber : Abbas, 2005

Alat analisis yang digunakan untuk melihat besarnya kepentingan dan pengaruh masing-masing aktor terhadap pengelolaan waduk adalah “aktor grid” yang mengkategorikan aktor menurut tingkat kepentingan dan pengaruh terhadap pengelolaan Waduk Cirata. Sebaran posisi stakeholder menurut kepentingan dan pengaruhnya diilustrasikan pada Gambar 4 berikut.

Tinggi

Pengaruh

A

Aktor /Subject

B

Pemain / Players

C

Penonton / Bystanders

D

Subjek / actor

Rendah Tinggi

Kepentingan

Gambar 4. Tingkat Kepentingan dan Pengaruh Stakeholders dalam pengelolaan KJA

(54)

36

Kuadran I (Subject) menunjukkan kelompok yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kegiatan tetapi rendah pengaruhnya, mencakup anggota organisasi yang melakukan kegiatan dan responsif terhadap pelaksanaan kegiatan tetapi bukan pengambil kebijakan

Kuadran II (Players) merupakan kelompok aktor yang memiliki derajat pengaruh dan kepentingan yang tinggi untuk mensukseskan kegiatan seperti tokoh masyarakat, kepala instansi terkait, dan kepala pemerintahan.

Kuadran III (Bystanders) mewakili kelompok aktor yang rendah pengaruh dan kepentingannya, Interest mereka dibutuhkan untuk memastikan dua hal yakni: (a) interest-nya tidak terpengaruh sebaliknya, dan (b) kepentingan dan pengaruhnya tidak mengubah keadaan.

Kuadran IV (actor) merupakan aktor yang berpengaruh tetapi rendah kepentingannya dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan.

Tabel 6 Matriks analisis keterkaitan antar stakeholder

Tujuan Penelitian Indikator Jenis Data

(55)

37 Kelembagaan yang baik didukung oleh hubungan yang baik diantara stakeholder yang terlibat. Oleh karena itu perlu dianalisis keterkaitan diantara aktor yang terlibat dalam menjalankan pengelolaan Waduk Cirata. Ostrom (1990) dalam Rahmaniah (2012) menyatakan bahwa dalam menganalisis hubungan atau keterkaitan antar stakeholder dalam sistem kelembagaan perlu dibedakan berdasarkan tingkatannya, yaitu :

1. Level konstitusi (constitutional), yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun aturan main untuk level collective choice.

2. Level pilihan kolektif (collective choice), yaitu lembaga yang berperan dalam meyusun peraturan untuk dilaksanakan oleh lembaga operasional.

3. Lembaga operasional (operational) yaitu lembaga yang secara langsung melaksanakan kebijakan di lapangan.

4.4.3 Analisis Persepsi Stakeholder terhadap Pengelolaan Waduk Waduk Cirata memiliki berbagai fungsi untuk berbagai pihak yang berbeda. Masing-masing pihak memiliki kepentingannya masing-masing yang terkadang tidak sejalan dengan kepentingan pihak yang lain. Dalam hal manfaatkan waduk, setiap pihak akan berlaku sesuai dengan tujuan dari kepentingannya dan latar belakangnya. Pengelola Waduk Cirata, bagian pembangkit listrik, dan petani ikan memiliki cara yang berbeda dalam meilihat kondisi waduk. Analisis persepsi stakeholder dilakukan untuk melihat persepsi dari masing-masing pihak yang

(56)

38

Tabel 7 Persepsi stakeholder terhadap pengelolaan KJA Waduk Cirata

No. Parameter Uraian Skala Likert

(57)

39 di Waduk Cirata dan bagaimana keefektifan dalam pelaksanaan peran dan tugas masing-masing. Analisis peraturan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah terkait dengan analisis peraturan dan perundang-undangan tentang pengelolaan waduk dan implementasinya di lapangan. Analisis ini untuk melihat apakah peraturan yang dibuat telah terlaksana dan kaitannya dengan kelembagaan formal dan non-formal serta petani ikan dan masyarakat sebagai pelaku peraturan dan perundang-undangan.

Tabel 8 Parameter dalam analisis konten peraturan

Tujuan Analisis Parameter Analisis Melihat konten peraturan yang mengatur

penggunaan kawasan Waduk Cirata

Penggunaan Waduk Cirata untuk berbagai kegiatan

Melihat konten peraturan yang mengatur perijinan budidaya ikan dengan sistem KJA

Perijinan budidaya ikan dengan sistem KJA

Melihat konten peraturan yang mengatur luas wilayah waduk yang diperbolehkan untuk melakukan aktivitas budidaya ikan

Pembatasan luas wilayah

Melihat konten peraturan yang membatasi jumah KJA

Pembatasan jumlah KJA

Melihat konten peraturan yang menyarankan untuk melakukan konservasi waduk, larangan pencemaran waduk, dan penggunaan bahan untuk membuat KJA

Konservasi, pencemaran, dan bahan pembuatan KJA

Melihat konten peraturan yang mengatur pengawasan dan saksi jika terjadi pelanggaran

Sistem pengawasan dan saksi

(58)

40

pada struktur, koordinasi, dan wewenang antar lembaga yang telah ada; pembuatan suatu lembaga baru yang diberikan wewenang secara menyeluruh atau menjadi jembatan bagi beberapa pemangku kepentingan agar dapat memudahkan koordinasi dalam mengelola waduk terkait budidaya ikan dengan sistem KJA. Indikator yang digunakan dalam menganalisis model kelembagaan untuk pengelolaan Waduk Cirata yaitu acceptabilitas, possibility, dan efektivitas.

Tabel 9 Indikator model kelembagaan

Tujuan Parameter Indikator Menganalisis

model kelembagaan dalam pengelolaan Waduk Cirata

1. Perluasan wewenang salah satu lembaga yang sudah ada

2.Perubahan pada koordinasi dan pembagian wewenang antar lembaga yang telah ada

3.Pembentukan kelembagaan baru

- Acceptabilitas : daya penerimaan terhadap model kelembagaan baru

- Possibility : kemungkinan pelaksanaan terhadap model kelembagaan baru

(59)

41

Bab V. GAMBARAN UMUM

Waduk Cirata terletak di 3 wilayah administrasi yaitu Kabupaten Bandung Barat, Kabupeten Purwakarta, dan Kabupaten Cianjur. Wilayah Kabupaten Cianjur merupakan wilayah yang paling besar terkena genangan dari Waduk Cirata.

5.1Kabupaten Bandung Barat

Secara geografis Kabupaten Bandung Barat terletak diantara 107°,1 10’ -107°,4 40 Bujur Timur dan 6°,3 73’-7°,1 31’ Lintang Selatan, dengan luas wilayah sebesar 1.305,77 kilometer persegi atau sekitar 130.577,40 hektar. Batas wilayah Kabupaten Bandung Barat meliputi : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang; sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi; sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur. Pada tahun 2012 jumlah penduduk Kabupaten Bandung Barat mencapai 1.572.806 orang, penduduk laki-laki berjumlah 802.607 orang sedangkan perempuan 770.199 orang dengan rasio jenis kelaminnya mencapai 1.04. Rata-rata kepadatan penduduk per kilometer persegi mencapai 1.250 jiwa (BPS, 2013).

(60)

42

Tabel 10 Data produksi ikan di KJA Cirata dan Saguling tahun 2009 – 2013

No Komoditas Produksi (Ton)

2009 2010 2011 2012 2013 1 Mas 12.158,00 12.229,51 15.484,95 16.627,04 16.627,04 2 Nila 10.382,80 10.970,74 11.570,13 11.816,02 11.816,02 3 Gurame 174,80 577,36 500,66 265,53 265,53 4 Patin 3.610,90 1.718,12 0,00 2.626,46 2.626,46 5 Lele 262,20 807,97 0,00 693,08 693,08 6 Ikan lainnya 825,00 1.122,57 17,90 184,92 184,92 Jumlah 27.413,70 27.426,27 27.573,65 32.213,05 32.213,05

Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bandung Barat

5.2Kabupaten Purwakarta

Kabupaten Purwakarta merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Secara geografis Kabupaten Purwakarta terletak pada 107° 30’-107° 40’ Bujur Timur dan 6° 25’-6° 45’ Lintang Selatan. Secara administratif, Kabupaten Purwakarta memiliki batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Karawang dan Kabupaten Subang; sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Subang dan Kabupaten Bandung Barat; sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bogor dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur (BPS, 2013).

Gambar

Gambar 1. Grafik KJA Cirata tahun 1988  – 2011
Gambar 3. Kerangka pemikiran operasional penelitian
Tabel 3  Penilaian tingkat kepentingan
Tabel 4  Penilaian tingkat pengaruh
+7

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam instrument sertifikasi dosen ada instrument deskripsi diri. Deskripsi diri ini ditulis oleh dosen yang disertifikasi, yang menjelaskan atau mendeskripsikan kegiatan,

2.4 Daftar Nama Kelompok Tani dan Kios Pupuk Di Desa Pagar Jati Kec.Lubuk Pakam Kab.Deli Serdang. Berikut ini adalah nama-nama kelompok tani dan kios pupuk yang ada

Belajar ada dalam hubungan antara manusia dan lingkungan Tujuan pendidikan Menghasil-kan perubahan perilaku ke arah yang dikehendaki Mengembang- kan kapasitas dan

Penerapan pada studi kasus data Ekspor Indonesia dengan metode Wavelet Thresholding dan parameter Minimax threshold memberikan estimasi yang mulus dan nilai MSE

Pediatric Physical Therapy, Jan S. Functional Movement Development, Donna J. Suzanne “Tink” Martin.. Panduan Praktik Klinis Fisioterapi | 15 Motor skill Acquisition in the

Setelah r (koefisien korelasi) dari pola asuh demokratis di dalam keluarga terhadap kepercayaan diri peserta didik di MTs Matholi’ul Huda Gembong Pati tahun

5 Konsep tauhid yang pada awalnya berarti mengesakan Allah, pada tahap selanjutnya dapat juga digunakan sebagai konsep manusia baik dalam sosial, budaya,