• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Kecemasan pada M-S-M dengan Eudaimonic Well-

Argyo (2012) sejalan dengan teori Kinsey memandang perilaku seksual sesama laki-laki tidak dititikberatkan pada orientasi seksualnya. Argyo menyebutnya dengan istilah yang sama dengan Kort, yakni M-S-M. M-S-M

dimaksudkan untuk menjelaskan semua laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, tanpa memandang identitas seksual mereka. Kelompok ini mengacu pada kelompok yang lebih luas pada individu yang melakukan hubungan seksual

berjenis kelamin sama. Akan tetapi, hubungan seksual dengan sejenis seperti yang dilakukan oleh M-S-M, bisa saja menimbulkan dampak psikologis seperti konflik batin, perasaan marah, takut, depresi, rendah diri, bersalah dan berdosa (Sarwono, 2003). Dampak psikologis lain yang diakibatkan tersebut dapat berupa hadirnya kecemasan dan juga menurunnya kesejahteraan dalam diri seseorang.

Perilaku seksual M-S-M yang merupakan suatu aktivitas ternyata dapat menyebabkan seorang tidak dapat menikmatinya sepenuhnya. Akan tetapi, hal ini memang tidak sepenuhnya terjadi pada setiap M-S-M karena beberapa di antara mereka justru tidak bermasalah sama sekali dengan perilaku tersebut. Namun, bagi mereka yang berkonflik akibat perilaku ini menunjukkan bahwa kondisi mereka berkebalikan dengan konsep Eudaimonic Well-Being yang dikemukakan oleh Waterman. Waterman memandang bahwa orang-orang yang sudah mampu menjadi dirinya yang sejati memiliki perasaan menikmati setiap kegiatan yang ia lakukan dan kemampuan untuk terus mengekspresikan pribadi sebagai pengalaman subjektif dari eudaimonia (Waterman et al, 2010). Dari situasi tersebut dapat dilihat bahwa orang yang berkonflik dengan perilaku seks sejenis dengan laki-laki memiliki tingkat EWB yang masih rendah.

Setiap orang memiliki tingkatan yang berbeda-beda dalam kesejahteraan

eudaimonic, berkisar dari yang murni tidak ada sampai pada kesejahteraan

eudaimonic yang sempurna. Eudaimonic Well-Being mengacu pada kualitas hidup seseorang yang ditandai dengan perkembangan potensi terbaik yang dimiliki serta bagaimana potensi tersebut teraplikasi dalam pengekspresian dirinya dan kesesuaian dengan tujuan hidup (Waterman, et al, 2010). Kualitas hidup M-S-M

tidak berfokus pada perilakunya, tetapi pada kondisi psikologis yang diakibatkan perilaku tersebut. Jika perilaku tersebut sesuai dengan dirinya maka EWB-nya akan baik-baik saja, tetapi jika tidak sesuai maka EWB akan terganggu.

Demikian pula dengan ketiga aspek Eudaimonic Well-Being, yakni, Sense of Purpose, Purposeful Personal Expressiveness, dan Efforful Engagement.

Sesuai dengan penelitian Schutee, dkk (2013) yang memperlihatkan bahwa ketiga aspek tersebut berkebalikan dengan kebermaknaan hidup dalam diri seseorang. Orang-orang yang masih berada pada tahap pencarian makna hidup secara umum masih diliputi oleh keraguan dalam dirinya dalam menentukan pilihan hidup. Sehingga kondisi mereka menjadi berkonflik ketika diperhadapkan pada beberapa hal yang sepertinya sama-sama bernilai dalam diri seseorang. Seorang M-S-M

yang tidak berkonflik dan mantap dalam pilihannya untuk tetap melakukan hubungan seksual sejenis berarti sudah mampu mengetahui tujuan hidupnya (SoP), meyakini bahwa aktivitas perilaku M-S-M sesuai dengan tujuan hidup tersebut (PPE), dan berupaya maksimal dalam aktivitasnya (EE).

Selain EWB dan ketiga aspek EWB tersebut yang masih rendah pada M-S- M yang berkonflik, kondisi psikologis yang juga muncul pada mereka adalah hadirnya kecemasan. Kecemasan yang terjadi pada M-S-M terkait dengan perilaku melakukan hubungan seksual dengan laki-laki diistilahkan dengan state anxiety.

Disebut demikian karena kecemasan yang terjadi diakibatkan oleh suatu situasi, yakni perilaku seks sejenis.

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan kecemasan pada M-S-M.

Pertama, faktor yang dapat menyebakan kecemasan moral. Misalnya, ketika individu termotivasi untuk mengekspresikan id (perilaku M-S-M) yang berlawanan dengan superego-nya (misalnya nilai-nilai agama dan budaya masyarakat), ia akan merasa malu atau bersalah. Kedua, faktor yang menyebabkan kecemasan sosial pada M-S-M, yakni berasal dari sudut pandang nilai dan norma yang ada di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Contohnya di Indonesia, perilaku M-S-M bukanlah suatu hal yang lazim dan dianggap sebagai perilaku sosial yang menyimpang (Musdah, dalam Fajriani, 2013). Ketiga, berbicara mengenai kecemasan pada M-S-M tidak terlepas dari pandangan bahwa aktivitas seksual tersebut berisiko. Penggunaan anus dan mulut yang digunakan sebagai alat untuk penetrasi rentan untuk menginfeksi setiap M-S-M (UNAIDS, 2006).

Faktor penyebab kecemasan juga bisa berasal dari intensitas melakukan perilakunya. Ketika melakukan Hanya Sekali perilaku yang bertentangan dengan moral akan berbeda kecemasannya dengan yang melakukan secara berulang- ulang. Konflik yang merujuk pada kecemasan tentu umum terjadi pada M-S-M

ketika melakukan hubungan seksual sejenis, tetapi konflik tersebut bisa teredam ketika perilaku tersebut terus dipupuk dan dilakukan berulang-ulang. Ketika seseorang melakukan perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma secara berulang, maka rasa bersalah ataupun konflik akan perilaku tersebut akan berangsur-angsur menghilang (Atkinson, dalam Chaplin, 1995).

Dari dinamika di atas, Kecemasan akan perilaku M-S-M memiliki kaitan dengan Eudaimonic Well-Being. Sejalan dengan itu, korelasi tersebut dapat digambarkan juga dengan tingkat ketiga aspek EWB, yakni Sense of Purpose (SoP) yang mengacu pada prinsip dan tujuan hidup yang dimiliki oleh seseorang,

Purposeful Personal Expressiveness (PPE) yang merupakan setiap kegiatan yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan tujuan hidupnya, dan Effortful Engagement (EE) yakni keterlibatan dalam aktivitas yang ia lakukan (Schutee, Wissing, dan Khumalo, 2013). Hal ini dapat dijelaskan bahwa masing-masing variabel dan aspek tersebut terpaut dengan kondisi psikologis yang tidak baik, seperti konflik. Mereka yang berkonflik mengalami tingkat EWB dan aspek- aspeknya yang rendah disertai dengan adanya kecemasan.

Sekalipun demikian, seorang M-S-M yang mengalami kecemasan tidak dapat dipastikan tidak memiliki kesejahteraan eudaimonic atau sebaliknya. Perilaku tersebut memang bertentangan dengan agama, pandangan masyarakat, berisiko, dan sebagainya, tetapi hal tersebut bisa saja menjadi suatu aktivitas yang sesuai dengan internal dirinya sehingga kecemasan yang terjadi mungkin tidak terkait dengan pilihan untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, untuk membuktikan lebih jauh fenomena tersebut maka penelitian ini perlu untuk dilakukan, melihat bahwa asumsi-asumsi tersebut belum sepenuhnya dapat dikatakan kokoh.

Dokumen terkait