• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kecemasan dengan Eudaimonic Well-Being pada Men Who Have Sex with Men (M-S-M)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Kecemasan dengan Eudaimonic Well-Being pada Men Who Have Sex with Men (M-S-M)"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh:

FRANS ARIADI GINTING

111301112

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)
(4)

“Jika engkau telah berlari dengan orang berjalan kaki, dan engkau telah

dilelahkan, bagaimanakah engkau hendak berpacu melawan kuda?”

Yeremia 12:5a

Skripsi ini kupersembahkan untuk bapak tercinta dan mama di sorga

(5)

i

Jl. Dr. Mansur, No. 7, Medan

11112fagt@gmail.com

ABSTRAK

Laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki, disebut juga Men Who Have Sex with Men (M-S-M) berpotensi mengalami kecemasan berkaitan dengan perilakunya. Selain itu, kesejahteraan psikologis mereka juga dapat menurun, khususnya dalam hal mengenal diri sendiri seutuhnya (Eudaimonic Well-Being).

Penelitian ini menggambarkan hubungan kecemasan terkait perilaku seksual M-S-M

dengan eudaimonic well-being-nya. Subjek penelitian berjumlah 56 orang yang diperoleh dengan teknik snowball sampling. Kecemasan diukur dengan State-Trait Anxiety Inventory-State (STAI-S) dari Spielberg (α = 0,964) dan Eudaimonic Well-Being diukur dengan Quetionnaire for Eudaimonic Well-Being (QEWB) dari

Waterman (α = 0,867). Hasil analisis data menggunakan teknik statistika nonparametrik dengan formulasi Spearman’s Rho memperlihatkan kedua variabel berkorelasi negatif secara signifikan (r = -0,3,77, p = 0,004). Secara umum subjek memiliki Kecemasan yang rendah (M<µ, 47,67<50) dan Eudaimonic Well-Being

yang tinggi (M>µ, 44,68>32). Secara rinci, subjek juga memiliki Sense of Purpose

yang tinggi (M>µ, 15,64>12), Purposeful Personal Expressiveness yang tinggi (M>µ, 21,64>14), dan Efforful Engagement yang tinggi (M>µ, 7,4>6). Dengan demikian, setiap laki-laki yang berniat melakukan perilaku M-S-M perlu menyadari kondisi cemas dan eudaimonic well-being-nya berkaitan dengan perilaku tersebut. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan analisis pengaruh untuk menemukan peran satu variabel terhadap variabel yang lainnya.

(6)

Frans Ariadi Ginting and Arliza Juairinai Lubis

Psychology Faculty of Universitas Sumatera Utara (USU) Medan Dr. Mansur street 7, Medan

11112fagt@gmail.com

ABSTRACT

Men Who Have Sex with Men (M-S-M) have potential experience anxiety related to the behavior. They also at risk to experience lower psychological well-being, especially in being their true-self, or known as Eudaimonic Well-Being. This study describes the correlation of anxiety caused by MSM’s sexual behavior with eudaimonic well-being. There are 56 subjects involved that obtained by snowball sampling technique. Anxiety was measured by the State-Trait Anxiety Inventory-State (STAI-S) from Spielberg (α = 0.964) and Eudaimonic Well-Being measured by Quetionnaire for Eudaimonic Well-Being (QEWB) Waterman (α = 0.867). With nonparametric statistical data analysis techniques using Spearman's Rho formulations, result showed that both variables have significant correlation (r = -0,3,77, p = 0.004). In general, subjects experience low anxiety (M<μ, 47.67<50) and high Eudaimonic Well-Being (M>μ, 44.68>32). Specifically, subjects have higher Sense of Purpose (M>μ, 15.64>12), higher Purposeful Personal Expressiveness (M>μ, 21.64>14), and higher Engagement Efforful (M>μ, 7.4>6). Thus, every man who considered in doing same sex behavior is advised to be aware on his anxiety and eudaimonic well-being condition regarding that behavior. This study can be elaborated further by analytical study to find the impact between two variables.

(7)

iii

berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan Skripsi penelitian dengan judul

“Hubungan Kecemasan dengan Eudaimonic Well-Being pada Men Who Have Sex

with Men (M-S-M)”. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dan dukungan dalam proses

penyelesaian Skripsi Penelitian ini, sebagai berikut:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog, sebagai dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sumatera Utara.

2. Kak Arliza Juairiani Lubis, M.Si, Psikolog, sebagai dosen pembimbing,

yang mengarahkan jalan keluar dari kebuntuan dan membantu

menyempurnakan setiap hal yang saya kerjakan pada penelitian ini,

termasuk juga untuk setiap motivasi yang diberikan dan juga setiap tawa

ketika menemukan beberapa kesalahan yang saya lakukan. Terima kasih

banyak kakak, senang sekali bisa mendapat kesempatan jadi anak

bimbingan kakak.

3. Kak Rahma Fauzia Sinulingga, M. Psi, Psikolog dan Ibu Ika Sari Dewi, S.

Psi, Psikolog, sebagai dosen penguji dalam sidang penelitian ini.

Terimakasih buat waktu dan kesempatan yang diberikan untuk bimbingan

revisi untuk memperbaiki pelaporan akhir penelitian ini.

4. Bapak Ferry Novliadi, M. Si, sebagai dosen pembimbing akademik saya

(8)

penelitian ini. Untuk mendiang Mama yang aku yakini berada di sorga,

terima kasih sudah melahirkanku dan setiap mandat yang sudah diberikan.

Buat abangku Nius Abdi Ginting sang inspirator, Abram Jimmy Ginting

yang menjadi ayah idaman anak-anak, adekku Grace Shinta br. Ginting

yang selalu menemani di rumah, dan bibikku Nova br. Ginting.

6. Kelompok kecilku Y&B di UKM KMK USU UP Psikologi, Kak Vivin

S.Psi, Kak Ita S.Psi, Bang Sony yang juga udah S.Psi, Janpri yang

akhirnya menjadi bagian aparat negara, dan Adolf M. Purba sahabat yang

paling menjengkelkan tetapi yang terbaik dari yang pernah ada sampai

diselesaikannya penelitian ini

7. Sahabat-sahabatku selama berkuliah di Psikologi USU, Mega yang selalu

memberi doa dan dukungan, Regina, Fio, Yunita, Pali, dan Novi, untuk

setiap canda tawa dan inspirasi pada setiap hal-hal yang detail, Grace

sahabat yang sering sekali berubah jadi batu tetapi selalu mencoba maju, Rahel teman IPK yang selalu sama sampai semester empat, Kristin teman

„kombak‟ yang gak bisa sedih, Friska, Ana, Kak Rani, untuk doa dan

teguran serta motivasi menjalani perkuliahan, Clara dan mianthy, sebagai

teman curhat yang bahkan tidak dipahami sedang mencurahkan apa, dan

juga semua teman seangkatan 2011. Kalian semua adalah satu alasan

bagiku untuk menikmati perkuliahan selama di Psikologi, Gbu All.

(9)

v

disesatkan hahaha.

9. Permata GBKP Pokok Mangga, khususnya untuk setiap pengurus runggun

periode 2013-2015, Nia, John, Oyah, Queen, Niko, Bang Iman, Kak

Juneva, Arnold, Nando, Bang Danny, dan Bang Ander, untuk support,

doa, teman ngumpul hampir tiap malam. Terimakasih untuk setiap

perbedaan karakter, perdebatan yang sering sekali bahkan nggak penting,

bahkan untuk bully2-an (bukan buli-buli minyak) yang sering sekali terlalu ekstrim khususnya buat abang ketua John dan iya untukku juga. Aku akan

merindukan kalian.

10.Untuk ke-56 subjek penelitian dan ke-30 subjek uji coba M-S-M.

Terimakasih untuk kesempatan dapat berdiskusi dengan kalian semua.

Terimakasih juga untuk beberapa orang yang mau curhat tentang setiap

permasalahan kalian.

11.Untuk Medan Plus, khususnya Bang Epeng, dan ketua TIMku di KTB

GBKP Pusat, Bang Sura, kalian membantuku menemukan arti yang

mendalam secara pribadi dalam penelitian ini. Tuhan memberkati kalian.

12.Yang terutama dan terakhir, Tuhan Yesus Kristus. Aku tak bisa

(10)

segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini berguna

bagi kita semua. Amin.

Medan, Agustus 2015

(11)

Abstrak……… i

Kata Pengantar……….. iii

Daftar Isi………. vii

Daftar Tabel……… xii

I. BAB I PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang Masalah………... 1

B. Rumusan Masalah……….. 17

C. Tujuan Penelitian……… 17

D. Manfaat Penelitian……….. 17

E. Sistematika Penulisan………. 18

II. BAB II LANDASAN TEORI……… 20

A. Kecemasan……….. 20

A.1. Definisi Kecemasan………. 20

A.2. Jenis-Jenis Kecemasan……….. 22

A.3. Faktor-Faktor Penyebab Kecemasan………. 24

A.4. Indikator Kecemasan………. 26

A.5. Jangka Waktu Kecemasan Umum………. 27

B. Eudaimonic Well-Being……….. 28

B.1. Definisi Eudaimonic Well-Being……….. 28

B.2. Komponen Eudaimonic Well-Being……….. 30

(12)

C. Perilaku Seksual M-S-M (Men Who Have Sex with Men... 36

C.1. Perilaku Seksual………. 36

C.2. Konsep Kinsey Mengenai Pengalaman Perilaku Seksual…….. 38

C.3. M-S-M (Men Who Have Sex with Men)………. 40

D. Dinamika Kecemasan pada M-S-M dengan Eudaimonic Well-Being……….43

E. Hipotesa Penelitian……….. 48

III. BAB III METODOLOGI PENELITIAN………... 49

A. Identifikasi Variabel Penelitian………. 49

B. Definisi Operasional……… 50

B.1. Definisi Operasional Kecemasan……….. 50

B.2. Definisi Operasional Eudaimonic Well-Being..………. 50

C. Populasi dan Sampling……….………... 51

D. Metode dan Alat Pengumpulan Data……… 52

D.1. Pengukuran Tingkat Kecemasan……… 52

D.2. Pengukuran Tingkat Eudaimonic Well-Being……… 53

E. Kategorisasi Setap Variabel dan Aspek Variabel……… 54

F. Uji Instrumen Penelitian………. 55

F.1. Validitas……….. 55

F.2. Daya Beda Aitem……… 56

F.2.1. Hasil Uji Coba Variabel Kecemasan……… 57

(13)

I.1. Tahap Persiapan……….. 60

I.2. Tahap Pelaksanaan……….. 61

I.3. Tahap Pengolahan Data……….. 61

IV. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 63

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian………. 63

A.1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia……… 63

A.2. Gambaran M-S-M Berdasarkan Jangka Waktu Terakhir Mela- kukan Perilaku Seks Sejenis………. 64

A.3. Gambaran Subjek Berdasarkan Intensitas Melakukan Perilaku M-S-M……… 65

A.4. Gambaran Subjek Berdasarkan Agama yang Dianut…………. 65

A.5. Gambaran Subjek Berdasarkan Suku………. 66

A.6. Gambaran Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir.. 67

A.7. Gambaran Subjek Berdasarkan Pekerjaan………. 67

B. Hasil Penelitian……… 68

B.1. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik……….. 68

B.1.1. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Kecemasan………… 68

(14)

B.1.4 Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Aspek Purposeful

Personal Expresiveness EWB……… 70

B.1.5. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Aspek Effortful Enga- gement EWB………... 70

B.2. Kategorisasi Data Penelitian……….. 71

B.2.1. Kategorisasi Data Kecemasan……… 71

B.2.2. Kategorisasi Data Eudaimonic Well-Being……… 72

B.2.3. Kategorisasi Data Aspek Sense Of Purpose dari Variabel EWB………. 72

B.2.4. Kategorisasi Data Aspek Puposeful Personal Expre- ssiveness dari Variabel EWB……… 73

B.2.5. Kategorisasi Data Aspek Effortful Engagement dari Variabel Eudaimonic Well-Being……….74

B.3. Hasil Korelasi Kecemasan dengan Eudaimonic Well-Being…. 75 B.4. Gambaran Keseluruhan Subjek Berdasarkan Hubungan antara Variabel Kecemasan dengan Variabel EWB dan Ketiga Aspek EWB……… 78

B.5. Hasil Berkaitan dengan Data Kontrol……… 81

B.6. Gambaran Kecemasan Berdasarkan Indikator Anxiety Absent dan Anxiety Present………. 85

(15)

Daftar Pustaka………. 104

Lampiran

(16)

Tabel.

1. Blue Print Alat Ukur Kecemasan STAI-S Spielberg…………... 53 2. Blue Print Quetionnaire for Eudaimonic Well-Being (QEWB)

Waterman ……….. 54

3. Distribusi Aitem Alat Ukur Kecemasan Setelah Uji Coba……. 57 4. Distribusi Aitem Alat Ukur Eudaimonic Well-Being setelah Uji

Coba………. 58

5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia………. 64 6. Gambaran M-S-M Berdasarkan Jangka Waktu Terakhir Mela-

kukan Perilaku Seks Sejenis………. 64

7. Gambaran Subjek Berdasarkan Intensitas Melakukan Peri-

laku M-S-M……….. 65

8. Gambaran Subjek Berdasarkan Agama yang Dianut………… 65 9. Gambaran Subjek Berdasarkan Suku/Etnis………….………... 66 10. Gambaran Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ter-

akhir………. 67

(17)

18.Kategorisasi Variabel Eudaimonic Well-Being………….…….. 72 19.Kategorisasi Aspek Sense Of Purpose Variabel Eudaimonic

Well-Being……… 73

20. Kategorisasi Aspek Purposeful Personal Expressiveness

Varia-bel Eudaimonic Well-Being……… 74

21.Kategorisasi Aspek Effortful Engagement Variabel Eudai-

monic Well-Being……… 75

22.Hasil Korelasi Spearman’s Rho antara Variabel Kecemasan

dengan EWB……… 75

23.Cross Tabulation Kecemasan dengan EWB………... 76

24.Cross Tabulation Kecemasan dengan Aspek Sense of Purpose

EWB……….. 76

25.Cross Tabulation Kecemasan dengan Aspek Purposeful Personal

Expressiveness EWB……… 77

26.Cross Tabulation Kecemasan dengan Aspek Effortful Enga-

gement EWB……… 77

27.Gambaran Masing-Masing Subjek Berdasarkan Korelasi Kece- masan dengan EWB dan Ketiga Aspek EWB……….. 78 28.Data Kecemasan dan EWB Subjek Berdasarkan Data Kontrol

(18)

kategori Berdasarkan Indikator Anxiety Present dan Anxiety

Absent………..…. 85

(19)

i

Jl. Dr. Mansur, No. 7, Medan

11112fagt@gmail.com

ABSTRAK

Laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki, disebut juga Men Who Have Sex with Men (M-S-M) berpotensi mengalami kecemasan berkaitan dengan perilakunya. Selain itu, kesejahteraan psikologis mereka juga dapat menurun, khususnya dalam hal mengenal diri sendiri seutuhnya (Eudaimonic Well-Being).

Penelitian ini menggambarkan hubungan kecemasan terkait perilaku seksual M-S-M

dengan eudaimonic well-being-nya. Subjek penelitian berjumlah 56 orang yang diperoleh dengan teknik snowball sampling. Kecemasan diukur dengan State-Trait Anxiety Inventory-State (STAI-S) dari Spielberg (α = 0,964) dan Eudaimonic Well-Being diukur dengan Quetionnaire for Eudaimonic Well-Being (QEWB) dari

Waterman (α = 0,867). Hasil analisis data menggunakan teknik statistika nonparametrik dengan formulasi Spearman’s Rho memperlihatkan kedua variabel berkorelasi negatif secara signifikan (r = -0,3,77, p = 0,004). Secara umum subjek memiliki Kecemasan yang rendah (M<µ, 47,67<50) dan Eudaimonic Well-Being

yang tinggi (M>µ, 44,68>32). Secara rinci, subjek juga memiliki Sense of Purpose

yang tinggi (M>µ, 15,64>12), Purposeful Personal Expressiveness yang tinggi (M>µ, 21,64>14), dan Efforful Engagement yang tinggi (M>µ, 7,4>6). Dengan demikian, setiap laki-laki yang berniat melakukan perilaku M-S-M perlu menyadari kondisi cemas dan eudaimonic well-being-nya berkaitan dengan perilaku tersebut. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan analisis pengaruh untuk menemukan peran satu variabel terhadap variabel yang lainnya.

(20)

Frans Ariadi Ginting and Arliza Juairinai Lubis

Psychology Faculty of Universitas Sumatera Utara (USU) Medan Dr. Mansur street 7, Medan

11112fagt@gmail.com

ABSTRACT

Men Who Have Sex with Men (M-S-M) have potential experience anxiety related to the behavior. They also at risk to experience lower psychological well-being, especially in being their true-self, or known as Eudaimonic Well-Being. This study describes the correlation of anxiety caused by MSM’s sexual behavior with eudaimonic well-being. There are 56 subjects involved that obtained by snowball sampling technique. Anxiety was measured by the State-Trait Anxiety Inventory-State (STAI-S) from Spielberg (α = 0.964) and Eudaimonic Well-Being measured by Quetionnaire for Eudaimonic Well-Being (QEWB) Waterman (α = 0.867). With nonparametric statistical data analysis techniques using Spearman's Rho formulations, result showed that both variables have significant correlation (r = -0,3,77, p = 0.004). In general, subjects experience low anxiety (M<μ, 47.67<50) and high Eudaimonic Well-Being (M>μ, 44.68>32). Specifically, subjects have higher Sense of Purpose (M>μ, 15.64>12), higher Purposeful Personal Expressiveness (M>μ, 21.64>14), and higher Engagement Efforful (M>μ, 7.4>6). Thus, every man who considered in doing same sex behavior is advised to be aware on his anxiety and eudaimonic well-being condition regarding that behavior. This study can be elaborated further by analytical study to find the impact between two variables.

(21)

A. Latar Belakang Masalah

Dalam melakukan aktivitas seksual, laki-laki umumnya memiliki pasangan

seksual yang adalah lawan jenis kelamin, yaitu perempuan. Akan tetapi, beberapa

orang menyatakan dirinya pernah melakukan hubungan seksual dengan orang dari

jenis kelamin yang sama (Laumann et all, dalam Papalia, 2009). Penelitian yang

dilakukan oleh Kinsey (1948) menemukan bahwa 46% dari laki-laki yang menjadi

subjek penelitiannya bereaksi secara seksual kepada orang-orang dari kedua jenis

kelamin, lebih jauh lagi 37% dari subjek tersebut memiliki, setidaknya, satu

pengalaman berhubungan seks dengan sesama jenis kelaminnya. Laki-laki yang

melakukan hubungan seksual dengan laki-laki memiliki frekuensi yang lebih

sering dibandingkan dengan perempuan yang melakukan hubungan seksual

dengan perempuan. Hal ini bisa disebabkan karena laki-laki memiliki dorongan

seksual yang lebih tinggi dibandingkan perempuan (Vohs et all, dalam Miller &

Perlman, 2009).

Miller & Perlman menyatakan bahwa laki-laki memiliki sikap dan

perilaku seksual yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Oliver dan Hyde pada tahun 1991, yang

(22)

memiliki frekuensi masturbasi yang lebih sering dibandingkan perempuan. Kedua,

laki-laki lebih terbuka berkaitan dengan aktivitas seks bebas. Ketiga, laki-laki

memiliki pasangan seks yang lebih banyak dibandingkan perempuan (Miller &

Perlman, 2009).

Kort, seorang psikoterapis (2006) menyatakan bahwa sering sekali klien

laki-lakinya mengaku pernah berhubungan seksual dengan laki-laki, tetapi tidak

merasa bahwa diri mereka adalah gay ataupun biseksual. Mereka tidak

menunjukkan perkembangan mental dan identitas diri sebagai homoseksual. Kort

(2006) menyatakan bahwa sulit untuk mengkategorikan orang-orang seperti ini

sehingga mereka dinyatakan dalam kelompok M-S-M (Men who have Sex with Men), yaitu laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki lain. Tidak semua M-S-M mendefinisikan diri mereka sebagai gay atau biseksual (Argyo, 2012). Salah satunya dapat dilihat dari pengalaman SN, laki-laki berusia

24 tahun yang pernah lebih dari sekali melakukan hubungan seksual dengan

sesama laki-laki tetapi tidak merasa dirinya gay atau biseksual.

“Kami memang masih sering tidur sama.. kadang dia di kamarku atau aku di kamarnya… aku sayang kali samanya (seorang laki -laki).. tapi kau pun taukan dek aku sukaknya sebetulnya sama perempuan, aku gak ngerasanya aku ini gay, aku cuman sukak sama dia dek, bukan ke laki-laki lain.. yahh.. tapi ya gitu dek..”

(Komunikasi personal 1 Desember, 2014)

M-S-M bukanlah suatu penemuan baru, dimana hal ini sudah lama diteliti oleh para pakar di bidang seksual. Pada tahun 1948, Kinsey bersama rekannya,

(23)

gambaran perilaku seksual, yang pada satu sisi hanya bersama lawan jenis

(eksklusif heteroseksual) dan pada sisi lain hanya bersama sesama jenis (eksklusif

homoseksual). Kinsey (1948) berpendapat bahwa mengukur perilaku seksual

lebih tepat dibandingkan menyatakan seseorang sebagai gay, biseksual, ataupun

straight. Skala Kinsey tersebut dapat dilihat seperti gambar 1.1 di bawah ini:

Perilaku seksual

Argyo (2012) menjelaskan bahwa M-S-M dimaksudkan untuk menjelaskan semua laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, tanpa memandang

orientasi seksual mereka. Laki-laki yang disebut M-S-M adalah laki-laki yang secara eksklusif berhubungan seks dengan laki-laki lain, laki-laki yang

berhubungan seks dengan laki-laki lain tapi sebagian besarnya berhubungan seks

dengan perempuan, laki-laki yang berhubungan seks baik dengan laki-laki

maupun perempuan tanpa ada perbedaan kesenangan, dan laki-laki yang

berhubungan seks dengan laki-laki lain untuk uang atau karena mereka tidak

mempunyai akses untuk melakukan hubungan seksual dengan perempuan,

misalnya di penjara dan ketentaraan. M-S-M mengacu pada orang yang melakukan hubungan seksual sesama laki-laki. Untuk setiap perilaku hubungan

(24)

Aktivitas seksual M-S-M memiliki banyak faktor penyebab dan alasannya. Ada karena alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup, ada yang coba-coba

melakukan hubungan seksual, ada yang membutuhkan kasih sayang ayah, ada

yang karena kebutuhan seksual yang tinggi, tetapi khawatir melakukannya dengan

perempuan, dan banyak penyebab lainnya (Kort, 2013). Dari wawancara personal,

SN menyatakan alasan melakukan hubungan seksual sejenis dikarenakan adanya

nafsu seksual yang tinggi namun khawatir terhadap konsekuensi jika

melakukannya dengan perempuan.

“…..mudah kali sebetulnya aku jatuh di situ (seks).. misalnya kan

kulihat adegan-adegan yang sejenis saja aku bisa terangsang dek. Kurasa kan memang kalo cowok senormal apapun dia kalau nafsu

seksnya tinggi nggak bakal peduli dia sama siapa

dilampiaskannya.. itu jugalah yang aku alami dek.. waktu ada rangsangan masuk ke otak memang aku nafsu kali.. kan nggak mungkinlah aku salurkan ke cewek dek, kan konsekuensinya bahaya, bisa hamil.. makanya waktu ada kesempatan sama adek itu

kami lakukanlah…”

(Komunikasi personal 1 Desember, 2014)

M-S-M bukanlah perilaku yang wajar pada masyarakat Indonesia. Terlebih lagi, dalam pandangan agama mayoritas yang ada di Indonesia, yakni Islam dan

Nasrani, sangat menentang perilaku ini. Dalam ajaran Nasrani, baik Katolik

maupun Protestan, aktivitas seksual M-S-M yang melibatkan perilaku sodomi dijelaskan pada beberapa kitab yang memperlihatkan kisah, akibat, dan

ketidakberkenanan Tuhan terhadap perilaku tersebut. Gilbert (2002) menegaskan

bahwa seks bebas yang dilakukan dengan sesama jenis disebut sebagai seks liar,

yang mana sangat dimurkai oleh Tuhan. Hal ini tercatat dalam Alkitab pada kitab

(25)

Gomora dengan api dan belerang akibat kebejatan berupa perilaku sodomi sesama

laki-laki. Peristiwa tersebut diyakini sebagai awal terjadinya perilaku sodomi yang

merujuk pada perilaku homoseksualitas (Stamps, 1991).

Selain tertulis di kitab suci agama Nasrani, perilaku sodomi di kota Sodom

dan Gomora juga terdapat di kitab A’raaf: 80-81 Al-Quran. Al-Quran

mengisahkan fakta bahwa kaum keturunan Nabi Luth merupakan orang-orang

yang pertama kali melakukan peraktik sodomi. Perbuatan ini dinyatakan sebagai

perbuatan dosa yang sangat menjijikkan, perbuatan yang keji dan melampaui

batas (Philips dan Khan, 2003). Peristiwa ini juga digambarkan sebagai

kebobrokan moral akibat ketidakmampuan untuk menahan nafsu mereka. Dasar

Philips dan Khan (2003) dalam menyatakan perilaku tersebut sebagai perilaku

yang bertentangan dikutip dari ayat Al-Quran, yakni Al A’raaf: 80-81 yang

berbunyi “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah)

Tatkala dia berkata kepada kaumnya, „Mengapa kalian mengerjakan perbuatan

keji itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum

kalian? Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk memuaskan nafsu kalian

(kepada mereka), kalian adalah kaum yang melampaui batas.’”

Berdasarkan uraian di atas, M-S-M dalam sudut pandang agama bukanlah sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan sehingga orang yang melakukannya

dinyatakan bersalah dan disebut sebagai orang yang berdosa (Cohen dan George,

dalam Syahputra, 2011). Orang dinyatakan berdosa jika melanggar hukum dan

kehendak Tuhan (Fromm dalam Crapps, 1994). Cohen dan George (dalam

(26)

signifikan dengan pengalaman spiritual seseorang. Hal ini tergambar dari

wawancara yang dilakukan dengan SN, dimana ia memiliki perasaan bersalah,

ketidaknyamanan, dan perasaan telah berkhianat kepada Tuhan karena aktivitas

M-S-M tersebut.

“…gitulah dek kalo waktu itu memang aku ngerasa sangat tidak

nyaman… rasa bersalah.. intimidasi.. wah semua-semualah itu…… waktu kita melakukannya ya kalau kita tau yang benar, ya kita

merasa bersalah…jadi waktu itu aku memang benar-benar

menduakan Tuhan”

(Komunikasi personal, 1 Desember 2014)

“aku ini gila sex.. aku mau dilayani rasanya (oleh seorang laki-laki), tapi aku malu kali sambil melayani Tuhan sambil melakukan

dosa itu”

(Komunikasi personal, 28 Maret 2015)

Selain wawancara dengan SN, data hasil sebuah penelitian yang dilakukan

oleh Subhi, Mohamad, Sarnon, Nen, Hoesni, Alavi, dan Chong (2011)

memperlihatkan bahwa sekitar 80% dari 20 subjek penelitiannya yang melakukan

hubungan seksual dengan sesama jenis juga mengalami konflik berkaitan dengan

perilaku tersebut dengan keyakinan akan ajaran agama. Salah seorang laki-laki

dalam penelitian tersebut menyatakan sebagai berikut:

It was hard in a way. I knew I couldn't change God. God doesn't change. He's the same. So I knew I had to change but I just didn't know how. That was the wrestle. I would pray to change. I had people pray for me to change. I prayed to heart. And then I would get disillusioned and I would become weary from the battle. And I would go back out in frustration thinking that I can't do it, it's impossible. Then I would be up in the lifestyle, living the same lifestyle and then in time the pull towards God again began”.

(27)

Pernyataan tersebut mengungkapkan bahwa keyakinannya terhadap Tuhan

sangat sulit untuk mewajarkan perilaku seksual sejenis yang diinginkannya. Freud

(dalam Gangemi dan Mancini; dalam Tranka, Balcar, dan Kuska, 2011)

menjelaskan bahwa konflik batin yang dialami oleh orang-orang tersebut,

termasuk SN, merupakan proses intrapsychic conflict. Intrapsychic conflict

merupakan proses yang terjadi dalam internal diri seseorang, bukan karena faktor

dari luar, dimana proses tersebut merupakan pertentangan dari dorongan libidinal

dengan komponen yang mengontrol ego (Freud dalam Rangell, 1963).

Intrapsychic conflict dikaitkan dengan pemahaman Freud tentang pikiran manusia. Baginya, pikiran memiliki tiga komponen utama: id, ego, dan superego. Komponen tersebut merupakan prinsip kesenangan, prinsip realitas, dan dunia

moralitas sosial. Ketiganya terus berinteraksi dan berkompromi satu sama lain.

Apabila ketiganya mengalami pertentangan maka hal ini menimbulkan konflik

batin dalam diri seseorang (Johnson, 2007).

Dunia moralitas sosial, yakni superego tidak hanya berbicara mengenai pandangan agama, tetapi juga pandangan budaya masyarakat yang ada di

sekitarnya. Perilaku seks sejenis, misalnya, tidak hanya dipandang negatif dari

ajaran agama, tetapi juga pandangan masyarakat itu sendiri yang menganggap hal

ini menyimpang. Ada penemuan bahwa hubungan seksual antara pasangan yang

berjenis kelamin sama tidak akan dapat berjalan secara bebas karena masyarakat

masih menganggap bahwa hal ini merupakan suatu disfungsi suatu aktivitas

(Savin, William, Cohen, 1996). Banyak sekali hambatan dan risiko yang dihadapi

(28)

keluarga juga kemungkinan ikut serta mengucilkan mereka (Walker, dalam

Fajriani, 2013). Hal ini sejalan dengan pernyataan Musdah (dalam Fajriani, 2013)

bahwa pada masyarakat Indonesia, perilaku seks sejenis adalah perilaku yang

sangat menyimpang dan merupakan penyakit sosial.

Konflik batin yang dialami oleh SN dan beberapa subjek penelitian yang

terkait dengan perilaku seks sejenis memperlihatkan bahwa perilaku tersebut

bertentangan dengan nilai yang ada pada diri mereka sehingga mereka mengalami

ketidaknyamanan. Ketika seseorang sulit untuk tidak melakukan hal-hal yang

bertentangan dengan nilai-nilai yang ada mengindikasikan bahwa mereka belum

mampu mengelola diri mereka. Hal tersebut menjadi sumber yang berkontribusi

pada rendahnya kesejahteraan seseorang (Ryan dan Deci, 2001)

Tidak semua M-S-M mengalami konflik atau kondisi psikologis yang negatif dalam melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Di antara

mereka terdapat orang-orang yang memilih melakukan perilaku tersebut tanpa

adanya perasaan kegelisahan. Mereka meyakini bahwa hal tersebut adalah diri

mereka yang sesungguhnya sehingga dalam menyalurkan hasrat tersebut dianggap

sebagai aktivitas dari dirinya yang sejati. Hal ini tergambar dari hasil wawancara

personal peneliti dengan FA, 20 tahun, berikut ini:

“yaa… gimana ya.. aku sih ngelakuinnya enjoy aja.. ia emang salah sih kalo dari aturan agama.. eh.. tapikan itu urusan aku sama Tuhanku ajalah, Dia kok yang ciptain aku, pasti ngertilah Tuhan

itu.. hahaha”

(29)

“Kalo apa kata orang ya kan… selagi nggak ngerugikan orang

itulah ya kan, aku gak ada masalah, terserah mau dibilang apa, kan

gak kuganggu hidup orang itu… yang penting sekarang aku

nyaman aku senang sama diriku sendiri… bisa jadi pacar abang itu,

hidupku senang.. ngapain stress mikirin apa kata orang, ya kan?”

(Komunikasi personal, 4 Maret 2015)

Demikian pula pada JW, 29 tahun, merasakan bahwa aktivitas tersebut

adalah aktivitas yang menyenangkan dan tidak menimbulkan suatu kondisi

psikologis yang negatif.

“Aduh.. kok gelisah pulak? Kitanya yang buat itu… Apa ya

kubilang, kalau kataku itu bagian hidupkulah.. dapat dikatakan semangat kali pun aku kalau aku bisa main sama orang-orang yang kusukak. Apalagi aku tipikalnya pembosankan dek.. jadi yah aku nggak mau ribetlah, kalau sukak dekatin.. ajak kenal lebih dalam, terus baru diajak main, kalau dia gak mau kita nggak maksa juga ya kan? Salah sih salah emang, tapi kitanya itu yang milih

kekmananya… hidup ini kan pilihan.”

(Komunikasi personal, 21 Februari 2015)

Tidak hanya itu, TS, 34 tahun, juga menyatakan bahwa dirinya tidak

terlalu memikirkan perilaku tersebut. Baginya yang terpenting adalah ia bisa

mencapai kesuksesannya melalui pengembangan potensi, yakni bakat dan

kreativitasnya dalam hal men-disign batik. Hal ini sesuai dengan pernyataannya dalam salah satu media sosial: miliki. Soal cowok blaknganlah, tp bkn dtinggalin. Hehehe.. eh ada

y mau meluk ak mlm ini? Butuh pelukan nih. hahaha”

(30)

Konsep kesejahteraan (well-being) mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal (Ryan & Deci, 2001). Kesejahteraan psikologis berkisar

dari kondisi mental negatif misalnya, ketidakpuasan hidup, kecemasan, merasa

tertekan, rasa percaya diri yang rendah, dan sering berperilaku agresif, sampai

pada kondisi mental yang positif seperti, realisasi potensi dan aktualisasi diri

(Bradburn, dalam Liwarti, 2013).

Ada dua perspektif mengenai kesejahteraan yang diturunkan dari dua

pandangan filsafat yang berbeda. Pandangan pertama adalah hedonic, yang memandang tujuan hidup yang utama adalah mendapatkan kenikmatan secara

optimal untuk mencapai kebahagian serta menghindari kondisi-kondisi yang tidak

menyenangkan (Diener dan Lucas, dalam Ryan & Deci, 2001). Pandangan kedua

adalah eudaimonic, yang memandang kesejahteraan sebagai suatu konsep aktualisasi potensi manusia dalam menghadapi tantangan kehidupan (Keyes,

Shmotkin, dan Ryff, dalam Rahayu, 2008).

Kesulitan M-S-M terkait dengan memilih melakukan hubungan seksual sejenis dengan nilai-nilai yang dianutnya terkait dengan kesejahteraan yang

sifatnya eudaimonic. Pendekatan eudaimonic, berfokus pada realisasi diri, ekspresi pribadi, dan sejauh mana seorang individu mampu untuk

mengaktualisasikan potensi dirinya (Waterman, dalam Ryan & Deci, 2001).

(31)

Waterman bersama rekannya (2010) mengistilahkan kesejahteraan yang

didasari perspektif eudaimonic sebagai Eudaimonic Well-Being (EWB).

Eudaimonic well-being mengacu pada kualitas hidup seseorang yang ditandai dengan perkembangan potensi terbaik yang dimilikinya serta bagaimana potensi

tersebut teraplikasi dalam pengekspresian dirinya dan kesesuaian dengan tujuan

hidup (Waterman, et al, 2010). Waterman, yang mendasari konsepnya dengan

eudomonic tersebut, berpendapat bahwa konsep kesejahteraan psikologis sudah banyak yang meluas cakupan variabelnya dari apa yang didefinisikan oleh

Aristoteles. Konsep Waterman lebih sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Aristoteles tentang eudaimonic yang mengacu pada “Living a Good Life”, yakni hidup secara konsisten pada daimon-nya atau diri yang sejati.

Dari dasar pandangan tersebut, Waterman tidak menyetujui jika

konsepnya disamakan dengan konsep kesejahteraan psikologis lainnya sekalipun

bersama-sama memandang dari segi eudaimonic, salah satunya adalah kesejahteraan psikologis yang diungkapkan oleh Ryff. Waterman mengakui

bahwa konsep Ryff masih searah dengan apa yang dinyatakan oleh Aristoteles,

tetapi konsepnya yang luas karena dipengaruhi perkembangan psikologi klinis dan

perkembangan manusia ternyata lebih mampu mengukur elemen objektif, yakni

perilaku. Sedangkan, konsep Waterman mampu mengukur elemen subjektif,

yakni perasaan bahagia yang dialami oleh seseorang (Waterman, 2010).

Waterman menjelaskan ada enam aitem katagori yang saling berkaitan

(32)

signifikan dalam mengejar keunggulan, keterlibatan intens dalam setiap

kegiatannya, dan menikmati setiap kegiatan sebagai pribadi ekspresif. Lebih jauh

lagi, Schutee, Wissing, dan Khumalo (2013) melakukan analisis faktor pada alat

ukur yang digunakan Waterman dalam mengukur EWB, dimana penelitian tersebut menghasilkan tiga aspek dalam teori tersebut, yakni Sense of Purpose (SoP), Purposeful Personal Expressiveness (PPE), dan Effortful Engagement (EE).

Sense of Purpose (SoP) mengacu pada prinsip dan tujuan hidup yang dimiliki oleh seseorang, Purposeful Personal Expressiveness (PPE) merupakan setiap kegiatan yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan tujuan hidupnya ,

dan Effortful Engagement (EE) yakni keterlibatan dalam aktivitas yang ia lakukan (Schutee, Wissing, dan Khumalo, 2013). Keberhasilan seseorang dalam

pencapaian EWB yang tinggi akan sejalan dengan kemampuannya dalam mengelola setiap permasalahan (Waterman, dkk. 2010). Mengelola permasalahan

yang ada termasuk juga di dalamnya adalah mengelola kecemasan yang dialami.

Seorang yang terlibat dalam perilaku seksual sejenis, seperti M-S-M,

tentunya memiliki nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya berkaitan dengan

menjadi diri yang ideal. Akan tetapi, dalam situasi yang dialami M-S-M, konflik muncul ketika nilai-nilai yang tertanam tidak sejalan dengan perilaku seksual

yang ingin dilakukan terutama apabila baru pertama kali dilakukan. Individu yang

(33)

toleransi moral yang lebih longgar (Freud, dalam Andri dan Dewi, 2007).

Keadaan ini mengarahkan seseorang pada suatu kecemasan, yang mana sangat

terkait dengan rendahnya kesejahteraan dalam dirinya.

Kecemasan adalah suatu pengalaman perasaan yang tidak menyenangkan

akibat ketegangan-ketegangan dalam internal seseorang (Freud, dalam Hall,

1995). Selain itu, Johnston (dalam Trismiati, 2006), mendefinisikan kecemasan

sebagai reaksi yang tidak menyenangkan karena adanya hambatan terhadap

keinginan pribadi atau perasaan tertekan yang dapat disebabkan oleh perasaan

kecewa, rasa tidak puas, dan rasa tidak aman.

Kecemasan hampir sama dengan ketakutan, akan tetapi ketakutan hanya

terjadi terhadap sesuatu hal di dunia luar, sedangkan kecemasan bisa terjadi baik

dari luar maupun dari dalam diri seseorang (Hall, 1995). Kasus yang dialami oleh

SN dan beberapa lainnya yang berkonflik menunjukkan bahwa ia mengalami

kecemasan yang menimbulkan suatu keinginan yang tidak realistis, yakni harapan

bahwa kedua pilihan antara id dan superego dapat ia lakukan. Hal ini tersirat dari kalimat yang diutarakan oleh SN meskipun pada akhirnya ia mengerti bahwa

pikirannya tidak dapat terjadi.

“….aku ingin itu tetap bisa dilakukan dan bisa dibenarkan sama

Tuhan sekalipun Tuhan nggak mungkin bersatu dengan iblis dek.. tapi yah.. apa yang dilakukan yang disenangi iblis nggak mungkin juga diterima sama Tuhan.. jadi waktu itu aku memang benar-benar menduakan Tuhan, padahal Tuhan bilang gak mungkin ada

hamba yang setia pada dua tuan secara bersamaan..”

(34)

Selain SN, pada penelitian Subhi juga ditemukan bahwa dari 80% subjek

penelitiannya yang mengalami konflik, 31,3% mengaku mengalami kecemasan

dalam dirinya terkait dengan perilaku seksual sejenis, sedangkan yang lainnya

mengalami kondisi psikologis yang buruk, seperti menyalahkan diri sendiri, hasrat

ingin bunuh diri, merasa terasing, depresi, dan malu, yang mana semuanya

kondisi tersebut erat kaitannya dengan kecemasan (Subhi, dkk., 2011).

Kaplan dan Sadock (1997) menyatakan bahwa kecemasan adalah respon

terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, bersifat internal dan

konfliktual, serta tidak rasional. Definisi ini terkait dengan teori Spielberg dimana

kondisi yang sedang dialami oleh seseorang berkaitan dengan kegagalan, tekanan,

kekhawatiran, perasaan tidak aman, dan konflik-konflik, yang dinyatakan sebagai

suatu situasi (state), akan membawa seseorang pada kecemasan (dalam McDowell, 2006). Spielberg menyebut kecemasan seperti ini sebagai state anxiety.

Kecemasan juga terjadi pada seseorang yang baru pertama kali melakukan

sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai dan norma. Konflik yang merujuk pada

kecemasan akan terjadi pada M-S-M ketika melakukan hubungan seksual sejenis, tetapi konflik tersebut bisa teredam ketika perilaku tersebut terus dipupuk dan

dilakukan berulang-ulang. Perilaku seksual, termasuk perilaku M-S-M adalah suatu aktivitas yang berpotensi menyebabkan seseorang kecanduan. Orford

(dalam Moeljosoedjono, 2008) menyatakan bahwa seks adalah perilaku yang

bersifat adiktif sehingga perilaku ini sifatnya berulang dilakukan, kompulsif, sulit

(35)

berulang, maka kesenangan dan kebahagiaan yang ia peroleh akan menghilangkan

rasa bersalah dan kecemasan yang dialami saat pertama kali (Moeljosoedjono,

2008).

Selain kecemasan akibat konflik yang dialami oleh M-S-M, sumber kecemasan lainnya juga bervariatif pada setiap pelakunya. Bagi beberapa orang,

sumber yang menjadi kecemasan adalah risiko aktivitas seksual tersebut. Berbagai

macam penyakit seks menular dapat menginfeksi para M-S-M, misalnya HIV-AIDS, terutama pada perilaku seksual ini lazim menggunakan alat tubuh yang

tidak sesuai fungsinya misalnya mulut dan anus untuk penetrasi, sehingga mudah

terjadi luka yang menyebabkan penyakit mudah masuk (UNAIDS, 2006). Tidak

adanya ikatan yang pasti pada pelaku seks sejenis menyebabkan perilaku ini

sering dilakukan secara berulang dan dengan orang yang berbeda-beda (Savin,

William Cohen, 1996). Oleh sebab itu, memungkinkan penyakit lebih mudah

menyebar. Namun, bagi beberapa orang M-S-M memang sudah memiliki antisipasi yang tinggi dalam menghadapi risiko ini, misalnya penggunaan

kondom, obat antibiotik, dan sebagainya. Akan tetapi, ini juga dapat

menyebabkan kecemasan pada beberapa M-S-M lainnya.

Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecemasan berdampak

pada kesehatan mental seseorang (Vivi, 2012). Sereen, dkk (dalam Feroze et. Al,

2010) menyebutkan secara khusus kecemasan berpengaruh kepada kondisi fisik,

kualitas hidup yang buruk, dan perasaan ketidakberdayaan. Selain itu, dari hasil

penelitian Juan, Romedios, David, Maria, dan Manuel (2012) menemukan bahwa

(36)

mana artinya orang-orang yang tinggi tingkat kecemasannya memiliki

kesejahteraan psikologis yang rendah. Lebih jauh lagi ditemukan bahwa

kecemasan umumnya disertai dengan kesejahteraan psikologis yang rendah

karena kecemasan merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan,

mengganggu, bahkan menyakitkan sehingga meyebabkan seseorang sulit untuk

menikmati hidup (Arsip UII, 2012). Akan tetapi, kecemasan yang diungkapkan

pada penelitian ini adalah kecemasan secara umum, yang mana Spielberg

menyatakan bahwa kecemasan yang secara umum dialami oleh seseorang

sepanjang hidupnya dikategorikan sebagai trait anxiety. Kecemasan ini adalah kondisi ketidaknyaman psikologis akibat adanya ancaman terhadap diri seseorang

(Carducci, 2009).

Kesejahteraan psikologis yang dikaitkan dengan kecemasan pada

penelitian sebelumnya adalah kesejahteraan psikologis dari teori Ryff, Ryan, dan

Deci. Sedangkan, pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui kaitan kecemasan

dengan Eudaimonic Well-Being Waterman. Lebih jauh lagi, uraian di atas menunjukkan bahwa kecemasan yang memiliki hubungan dengan kesejahteraan

psikologis seseorang adalah kecemasan umum (trait anxiety), yang mana tidak dapat disamakan dengan kecemasan state yang ada pada M-S-M.

Situasi konflik, rasa bersalah, dan sebagainya yang dialami oleh M-S-M

pada paparan di atas memiliki dua sisi, yakni rendahnya Eudaimonic Well-Being

dan adanya kecemasan akibat perilaku tersebut. Untuk itu, pada penelitian ini

(37)

sejenis yang adalah state anxiety dengan Eudaimonic Well-Being Watermanpada

M-S-M (Men Who Have Sex with Men).

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

“Apakah ada hubungan Kecemasan akan perilaku seks sejenis dengan

Eudaimonic Well-Being pada M-S-M (Men Who Have Sex with Men)?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan Kecemasan akibat

perilaku seks sejenis dengan Eudaimonic Well-Being pada M-S-M (Men Who Have Sex with Men).

D. Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah dapat

memperkaya pemahaman dan ilmu pengetahuan di bidang Psikologi Klinis,

bidang Psikologi Seksual, bidang Kesehatan Mental, dan Psikologi Sosial.

Adapun manfaat praktis penelitian ini yaitu dengan adanya gambaran dari

hasil penelitian ini diharapkan pihak-pihak yang bergerak di bidang kesehatan

mental dan psikologi seksual lebih mengerti dinamika hubungan kecemasan

dengan Eudaimonic Well-Being pada M-S-M. Manfaat praktis penelitian ini juga ditujukan pada M-S-M untuk mengembalikan kesejahteraan psikologis yang terganggu akibat dampak konflik yang dialaminya dan juga untuk menurunkan

(38)

setiap individu yang membacanya, khususnya tentang dinamika psikologis M-S-M.

E. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisi tentang penjelasan mengenai latar belakang peneliti

mengangkat topik tentang M-S-M, konflik batin yang dialami antara dorongan perilaku seksual dengan sejenis dan nilai dan norma,

bagaimana kecemasan yang timbul serta kaitannya dengan EWB, identifikasi permasalahan, tujuan, manfaat penelitian, dan sistematika

penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini berisi tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan

penelitian. Dalam penelitian ini akan digunakan teori mengenai

kecemasan, Eudaimonic Well-Being Waterman beserta aspek-aspeknya, teori M-S-M. Bab ini juga akan diakhiri dengan dinamika kaitan antara teori yang digunakan.

BABIII : Metode Penelitian

Bab ini berisi metode yang digunakan dalam penelitian ini yang

mencakup metode penelitian kuantitatif korelasi, metode pengumpulan

data, alat bantu pengumpulan data, karakteristik dan teknik

(39)

BAB IV : Hasil dan Pembahasan

Bab ini berisi uraian hasil penelitian, seperti gambaran umum dan

karakteristik subjek penelitian dan cara analisa data, serta interpretasi

data dan pembahasan.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang disusun

berdasarkan analisa dan interpretasi data penelitian, yang juga

dilengkapi dengan saran-saran bagi peneliti lain berdasarkan hasil

(40)

LANDASAN TEORI

Pada penelitian ini digunakan beberapa teori, yaitu teori tentang

kecemasan, teori mengenai Eudaimonic Well-Being, teori tentang perilaku seksual berkaitan dengan perilaku seks sejenis, teori mengenai M-S-M (Men who have Sex with Men), dan kemudian diakhiri dengan dinamika keseluruhan teori yang digunakan.

A. Kecemasan

A.1. Definisi Kecemasan

Banyak definisi kecemasan yang dikemukakan oleh para ahli. Kecemasan

dapat didefenisikan sebagai suatu keadaan perasaan gelisah, ketidaktentuan, takut

dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual yang tidak diketahui atau

dikenal (Stuart and Sundeens, 1998). Kecemasan adalah respon terhadap suatu

ancaman yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar atau bersifat

konfliktual (Kaplan & Sadock, 1997). Selain itu, Taylor (1953) mengemukakan

bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan subyektif mengenai ketegangan

mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan

mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman.

Kecemasan bersinonim dengan rasa takut, akan tetapi kecemasan memiliki

(41)

bahwa rasa takut hanya terjadi terhadap sesuatu hal di luar manusia, sedangkan

kecemasan dapat muncul dari luar diri individu maupun dari dalam dirinya

sendiri. Kecemasan yang muncul dari dalam diri sendiri umumnya muncul karena

adanya suatu konflik. Hal ini sesuai dengan Definisi kecemasan yang

diungkapkan oleh Dradjat (2003), yakni suatu manifestasi berbagai masalah emosi

yang bercampur baur, yang terjadi ketika seseorang mengalami tekanan perasaan

dan pertentangan batin.

Freud (dalam Hall, 1995) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan

hasil dari konflik psikis yang tidak disadari. Ketika mekanisme diri berhasil,

kecemasan menurun dan rasa aman datang lagi. Namun, bila konflik terus

berkepanjangan, maka kecemasan ada pada tingkat tinggi. Menurut Freud (dalam

Brintha & Ramakrishnan, 2013), kecemasan adalah konsekuensi dari pertentangan

kebutuhan, terutama frustrasi yang terjadi di situasi konflik. Teori Freud juga

mengatakan bahwa seseorang sebagian besar tidak menyadari sumber atau

penyebab kecemasan, tetapi sebetulnya dapat diidentifikasi dengan cara melihat

riwayat hidupnya. Dalam teori Freud, kecemasan yang bersumber dari konflik

batin yang terkait dengan pertentangan id dan superego dapat muncul dalam wujud perasaan bersalah dan malu.

Spielberg menyatakan bahwa kecemasan bisa dikarenakan dua hal, yaitu

faktor situasi yang menyebabkan konflik atau faktor kepribadian yang memang

cenderung pencemas (dalam McDowell, 2006). Dari kedua hal tersebut, Spielberg

(42)

sumber kecemasannya dari karakter pribadi. Situasi-situasi yang dimaksudkan

dalam state anxiety, tidak hanya berbicara dari faktor dari luar, tetapi juga kondisi yang sedang dialami oleh seseorang berkaitan dengan suatu hal, misalnya

kegagalan, tekanan, kekhawatiran, perasaan tidak aman, dan konflik-konflik.

Semua ini dialami dalam tingkat yang berbeda oleh setiap individu. Dari kedua

jenis tersebut, mengukur trait anxiety juga dapat dipakai untuk melihat apakah seseorang memiliki gangguan kecemasan atau tidak (Spielberg, dalam McDowell,

2006).

Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan

adalah suatu perasaan yang tidak menyenangkan yang muncul secara samar tanpa

diketahui penyebab yang jelas sebagai suatu respon terhadap tekanan perasaan,

perasaan tidak aman, perasaan bersalah dan malu akibat konflik-konflik

ketegangan dalam diri individu, yang ditandai dengan adanya kekhawatiran atau

rasa takut dan hal ini dialami dalam tingkatan yang berbeda-beda oleh setiap

individu.

A.2. Jenis-jenis Kecemasan

Ada tiga jenis kecemasan yang dikemukakan oleh Freud, yakni kecemasan

realistis, kecemasan neurotis, dan kecemasan moral (dalam Feist and Feist, 2009).

Egolah yang dapat membentuk perasaan kecemasan, tetapi ketiga komponen,

yakni id, ego, dan superego berperan dalam ketiga jenis konflik yang dikemukakan oleh Freud tersebut (Feist and Feist, 2009). Antara ketiga

(43)

menyenangkan. Perbedaannya hanya terletak pada sumber penyebabnya (Hall,

1995).

1. Kecemasan realistis. Kecemasan ini disebut juga sebagai kecemasan akan

kenyataan yaitu suatu pengalaman perasaan akibat adanya suatu bahaya

dalam dunia luar. Bahaya tersebut adalah setiap keadaan dalam lingkungan

seseorang yang mengancam untuk mencelakakannya.

2. Kecemasan neurotis. Kecemasan ini ditimbulkan oleh suatu pengamatan

tentang bahaya dari naluri-naluri. Kecemasan ini juga sering dihasilkan

bila impuls id ingin ditampilkan, akan tetapi ledakannya di kontrol oleh

ego. Salah satu jenis kecemasan ini adalah ketakutan yang menegangkan dan tidak irasional, yakni phobia.

3. Kecemasan moral. Kecemasan ini muncul dalam bentuk perasaan bersalah

atau malu yang ditimbulkan oleh suatu pengamatan mengenai bahaya dari

hati nurani. Pada kecemasan ini, seseorang tidak dapat hidup leluasa dalam

standar moralnya atau berlawanan terhadap suatu perilaku yang dikatakan

tidak etis. Pada kasus ini ego mengingatkan terjadinya suatu kemungkinan pembalasan dari super ego. Sumber kecemasan ini adalah pertentangan yang terjadi dalam diri individu, yakni antara id dan superego.

Pertentangan ini sifatnya intra-psikis, yang berarti bahwa hal ini

merupakan pertentangan struktural dan tidak menyangkut paut hubungan

antara dirinya dengan dunia melainkan dengan nilai-nilai yang dianut oleh

(44)

Selain jenis kecemasan yang diungkapkan oleh Freud, Spielberg (dalam

Carducci, 2009) juga membagi kecemasan dalam dua bentuk, antara lain :

1. Kecemasan sesaat (state anxiety) merupakan reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi tertentu yang dirasakan sebagai suatu ancaman. Reaksi

ini bersifat subjektif, dirasakan dengan sadar, perasaan tegang, gelisah dan

aktifnya sistem saraf otonom. Penilaian terhadap stimulus (situasi) yang

dianggap mengancam dipengaruhi oleh sikap, kemampuan, pengalaman

masa lalu dan kecemasan dasar. Kecemasan ini juga mengacu pada

keadaan “sekarang dan pada saat ini.”

2. Kecemasan dasar (trait anxiety) merupakan ciri atau sifat seseorang yang cukup stabil yang mengarahkan seseorang dalam menginterpretasikan

suatu keadaan yang mengancam. Trait anxiety sifatnya bawaan dan berbeda pada tiap individu. Seseorang yang memiliki trait anxiety yang tinggi memiliki kecenderungan yang tinggi pula dalam menanggapi suatu

situasi sebagai ancaman. Kecemasan ini adalah kecemasan yang secara

umum dialami oleh seseorang sepanjang hidupnya.

A.3. Faktor-faktor Penyebab Kecemasan

Kecemasan memiliki banyak faktor penyebab dan tidak datang dengan

sendirinya. Berikut ini adalah beberapa penyebab kecemasan:

1. Kecemasan objektif, merupakan kecemasan akan bahaya sesungguhnya

yang datangnya dari lingkungan atau dunia luar yang dapat mengancam

(45)

2. Kecemasan hati nurani, merupakan kecemasan yang timbul apabila

individu mengerjakan perbuatan yang berlawanan dengan moralitas

(Freud, dalam Hall, 1995). Lemahnya ego akan menyebabkan ancaman yang memicu munculnya kecemasan (Ardnt, 1974). Freud berpendapat

bahwa sumber ancaman terhadap ego berasal dari dorongan yang bersifat

insting dari id dan tuntutan - tuntutan dari superego. Freud (dalam Hall, 1995) menyatakan bahwa mengontrol arah tindakan, memilih segi - segi

lingkungan ke mana ia akan memberi respon dan memutuskan insting -

insting manakah yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya. Dalam

melaksanakan fungsi – fungsi eksekutif ini ego harus berusaha mengintegrasikan tuntutan - tuntutan id, superego, dan dunia luar sering menimbulkan tegangan berat pada ego dan menyebabkan timbulnya kecemasan.

3. Kecemasan neurotik, merupakan kecemasan yang berasal dari tubuh

karena takut hukuman akibat telah dilakukan pemuasan insting (Freud, dalam Hall, 1995).

4. Kecemasan sosial, merupakan kecemasan yang timbul bila individu takut

pendapat umum atau pendapat lingkungannya mencela perbuatannya

(Binder dan Kielholzt, dalam Trismiati, 2006).

5. Kecemasan berbeda tingkatannya pada intensitas perilaku. Ketika

seseorang melakukan suatu perilaku amoral secara berulang, maka

kebahagiaan yang diperoleh dari aktivitas tersebut akan meredam rasa

(46)

2008). Hal ini sejalan dengan teori belajar mengenai habituasi, James W.

(2009), seorang psikolog menulis bahwa habituasi merupakan penurunan

respon/tanggapan terhadap rangsangan/stimulus yang diberikan, dan tidak

dijumpai perubahan pada rangsangan lain selain dari rangsangan yang

diberikan.

A.4. Indikator Kecemasan

Spielberg (dalam Marteau dan Bekker, 1992) membuat dua indikator

kecemasan, yakni Anxiety Present dan Anxiety Absent.

Anxiety Present yakni indikator hadirnya tanda-tanda kecemasan. Adapun tanda tanda kecemasan tersebut berupa perasaan yang dialami oleh seseorang

seperti:

1. Merasa resah terhadap apa yang ia lakukan

2. Stres dengan tindakannya

3. Kesal terhadap diri sendiri

4. Cemas terhadap nasib

5. Takut dengan apa yang ia lakukan dan yang akan terjadi.

6. Perasaan gugup dengan sekitarnya

7. Timbulnya perasaan gelisah

8. Bimbang dengan perilakunya

9. Kebingungan dengan pilihan

(47)

Anxiety absent, adalah indikator yang sebaliknya, dimana kehadiran perasaan-perasaan seperti ini memperlihatkan bahwa tidak adanya kecemasan

pada seseorang. Tanda-tanda tersebut adalah kebalikan dari tanda-tanda present,

yaitu:

1. Ketenangan setelah melakukan sesuatu

2. Tidak adanya perasaan khawatir

3. Perasaan lega

4. Kepuasan dalam melakukan tindakan

5. Tetap merasa nyaman

6. Tetap percaya diri

7. Rileks dengan tindakannya

8. Yakin dengan pilihannya

9. Mengetahui bahwa apapun yang dilakukan adalah sesuai keinginannya

10.Hadirnya perasaan senang

A.5. Jangka Waktu Kecemasan Umum

Menurut DSM IV, kecemasan umumnya terjadi selama kurang dari enam

bulan, yang mana jika telah terjadi lebih dari enam bulan sudah dapat dinyatakan

sebagai gangguan, yakni generality anxiety disorder. Selain itu, yang membedakan kecemasan umum dengan gangguan kecemasan umum adalah pada

gejalanya, yang mana pada gangguan kecemasan memiliki gejala ketakutan yang

berlebihan dan intens selama berbulan-bulan yang tidak hanya menonjol pada saat

(48)

penyebab yang pasti, tetapi menimbulkan kehawatiran di segala sisi

kehidupannya. Pada penelitian ini, kecemasan yang dimaksud bukanlah gangguan

kecemasan, melainkan kecemasan umum yang terkait dengan suatu situasi

tertentu yang menjadi sumber kecemasan.

B. Eudaimonic Well-Being

B.1. Definisi Eudaimonic Well-Being

Eudaimonic Well-Being fokus pada realisasi diri, dimana kesejahteraan dipandang dari sejauh mana seseorang telah berfungsi sepenuhnya (Lazarus and

Folkman, dalam Ryan and Deci 2001). Filosofi eudomonism mendefinisikan bahwa tindakan yang tepat akan membawa seseorang menuju kesejahteraan.

Aristoteles menyatakan bahwa seseorang akan menemukan kebahagiaan dalam

mengekspresikan kebajikan dan dalam melakukan apa yang layak untuk

dilakukan sesuai dengan prinsip yang ia pegang (Ryan & Deci, 2001).

Kebahagiaan memiliki dua perspektif dasar yang menentukannya.

Pandangan pertama adalah hedomonic dan pandangan yang kedua adalah

eudaimonic. Keduanya berfokus pada kebahagiaan yang dialami oleh individu. Akan tetapi, eudaimonic yang dipakai selanjutnya dalam penelitian ini berbeda dengan hedomonic. Hedomonic memandang tujuan hidup yang utama adalah mendapatkan kenikmatan secara optimal, atau dengan kata lain, yakni mencapai

kebahagiaan. Jenis kebahagiaan ini fokus mencapai kepuasan hidup dengan

(49)

Berbeda dengan konsep hedomonic, Waterman (1993) menyatakan bahwa konsepsi well-being dalam pandangan eudaimonic menekankan pada bagaimana cara manusia untuk hidup dalam daimon-nya, atau dirinya yang sejati (true self). Diri yang sejati itu terjadi ketika manusia melakukan aktivitas yang paling

kongruen atau sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dan dilakukan secara

menyeluruh serta benar-benar terlibat di dalamnya (fully engaged) (Ryan & Deci, 2001). Oleh karena itu, Eudaimonic Well-Being mengacu pada kualitas hidup yang berasal dari perkembangan potensi terbaik seseorang dan aplikasi yang

bertujuan untuk pemenuhan ekspresi pribadi serta kesesuaian dengan tujuan hidup

(Waterman, 2010).

Mengejar keunggulan dan relisasi diri merupakan sifat-sifat khusus yang

mencerminkan fungsi eudaimonic. Selain itu, perasaan menikmati setiap kegiatan yang ia lakukan dan kemampuan untuk terus mengekspresikan pribadi adalah

pengalaman subjektif dari eudaimonia (Waterman et al, 2010). Teori eudaimonic

menyatakan bahwa kualitas hidup individu juga terletak pada kemampuan

individu mengidentifikasi bakat-bakat mereka serta tindakan mengembangkannya

untuk memperoleh tujuan dan makna hidup. Memilih tindakan yang paling sesuai

dengan diri sendiri akan menimbulkan perasaan eudaimonia. Waterman (2010)

mengemukakan bahwa ada enam komponen yang saling terkait dalam

Eudaimonic Well-Being, yakni: (1) penemuan diri, (2) pengembangan potensi terbaik yang dimiliki seseorang, (3) adanya tujuan yang berarti dalam hidup, (4)

usaha yang dituangkan dalam mengejar keunggulan, (5) keterlibatan intens dalam

(50)

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Eudaimonic Well-Being adalah kualitas hidup yang diperoleh dari pengembangan potensi terbaik yang dimiliki oleh seseorang sesuai dengan tujuan hidupnya, yang mana hal ini

dicapai dengan adanya pengenalan akan diri sendiri terkait potensi diri dan

pengembangannya, memiliki tujuan hidup, bersifat aktif, terlibat dalam kegiatan

yang sesuai, dan menikmati setiap keterlibatan pada kegiatan. Eudaimonic Well-Being mengacu pada bagaimana seseorang mengatasi tantangan dalam kehidupan serta menentukan tindakan yang paling sesuai dalam setiap hal yang mengganggu

kehidupannya.

B.2. Komponen Eudaimonic Well-Being

Berikut ini adalah enam komponen dalam Eudaimonic Well-Being yang dikemukakan oleh Waterman (2010):

1. Self discovery

Eudaimonism menekankan bahwa setiap orang harus mampu mengenali

dirinya dan hidup sesuai dengan daimonnya, yaitu diri yang sejati. Hal ini

bertujuan untuk membantu usaha dalam menuju realisasi diri. Seseorang harus

menyadari dirinya dalam tipe pribadi yang seperti apa dalam menjalani

kehidupannya. Pernyataan yang mengacu pada komponen ini dapat berupa “Saya

(51)

2. Perceived development one’s best potentials

Salah satu elemen penting dalam Eudaimonic Well-Being adalah mengenali potensi unik yang terbaik yang dimilikinya. Hal ini tidak berhenti pada

identifikasi potensi, tetapi juga keaktifan dalam usaha pengembangan potensi

tersebut agar berfungsi sepenuhnya. Pernyataan dalam komponen ini berupa

“Saya mengetahui potensi terbaik yang saya miliki dan saya mencoba

mengembangkannya di setiap kesempatan yang memungkinkan.”

3. A Sense of Purpose and Meaning in Life

Pada komponen ini seseorang mampu mengidentifikasi potensi diri yang

ia miliki dan tindakan mengembangkannya. Akan tetapi, potensi yang

dikembangkan lebih mengacu pada kesesuaian dengan tujuan hidup yang

memberikan makna bagi hidupnya. Dalam mengalami Eudaimonic Well-Being, individu harus menerapkan keterampilan dalam mengejar tujuan hidup yang

bermakna. Pernyataan dalam komponen ini berupa “Saya bisa berkata bahwa saya

telah menemukan tujuan hidup saya.”

4. Investment of Significant Effort in Persuit of Excellence.

Bukanlah suatu hal yang mudah dalam mencapai keunggulan. Realisasi

diri muncul dengan sendirinya sehingga membutuhkan upaya yang lebih untuk

mencapainya. Upaya yang maksimal yakni dilakukan dengan cara memfungsikan

(52)

Waterman menemukan bahwa ada hubungan yang postif antar Eudaimonic Well-Being dengan tingkat usaha yang diinvestasikannya dalam keterlibatan kegiatan.

5. Intense Involvement in Activities

Ketika seseorang menemukan kegiatan yang bermakna dan sesuai dengan

tujuan hidupnya, maka keterlibatannya juga harusnya lebih tinggi terhadap

kegiatan tersebut dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan lainnya. Seseorang akan

menemukan perasaan eudaimonia ketika menemukan kegiatan yang

membutuhkan bakat dan keterampilannya.

6. Enjoyment of Activities as Personally Expressive

Salah satu aspek paling jelas dalam menDefinisikan Eudaimonic Well-Being adalah pengalaman langsung berupa rasa bahagia dalam kegiatan yang dikerjakan. Seseorang yang mengalami Eudaimonic Well-Being harus merasakan bahwa apa yang mereka lakukan dalam hidup adalah ekspresi dari pribadi siapa

diri mereka sesungguhnya.

B.3. Aspek Eudaimonic Well-Being

Selain enam komponen yang disampaikan oleh Waterman, beberapa

peneliti lain, seperti Schutee, Wissing, dan Khumalo membuat sebuah analisis

faktor pada alat ukur Eudaimonic Well-Being Waterman pada tahun 2013. Pada penelitian tersebut, mereka menemukan adanya tiga aspek utama dalam variabel

(53)

1. Sense of Purpose (SoP) yaitu aspek yang berfokus pada sejauh mana seseorang mengenali dirinya (self knowledge) dan kebermaknaan suatu tujuan hidup dalam dirinya. Kebermaknaan tujuan hidup sejalan dengan

bagaimana seseorang mempersepsikan makna hidupnya. Hal ini sejalan

dengan konstruk makna hidup yang disampaikan Ryff (1989) yakni

adanya tujuan hidup, arah yang jelas, dan intensitas dalam pencapaiannya.

2. Purposeful Personal Exvressiveness (PPE) yaitu aspek yang fokus pada keaktifan seseorang secara penuh pada setiap aktivitas yang bermakna dan

bertujuan. Hal ini juga terkait dengan afeksi atau perasaan menikmati

setiap kegiatan yang mengekspresikan kepribadiannya serta usaha yang

dilakukan dalam pengembangan potensi. Aspek ini juga sejalan dengan

motivasi intrinsik dari teori self-determination yang dikemukakan oleh Ryan (2008), yakni adanya ketertarikan, otonomi, dan pengekspresian diri

pada setiap aktivitas yang dilakukannya.

3. Effortful Engagement (EE) yaitu aspek yang mengacu pada bagaimana seseorang memiliki suatu harapan sehingga menimbulkan upaya dalam

setiap kegiatan yang memungkinkan dalam pencapaian harapan tersebut,

sekalipun hal tersebut sulit. Tanggung jawab dalam pencapaian akan

berkebalikan dengan sifat menyerah dan mengikuti arus kehidupan. Aspek

ini berkaitan dengan optimalisasi diri di setiap pengalaman (Delle Fave

Gambar

   Gambar 1.1
Gambar 2.1
Tabel 1. Blue Print Alat Ukur Kecemasan STAI-S Spielberg
Tabel 2. Blue Print Quetionnaire for Eudaimonic Well-Being (QEWB)
+7

Referensi

Dokumen terkait