SKRIPSI
Oleh:
FRANS ARIADI GINTING
111301112
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
“Jika engkau telah berlari dengan orang berjalan kaki, dan engkau telah
dilelahkan, bagaimanakah engkau hendak berpacu melawan kuda?”
Yeremia 12:5a
Skripsi ini kupersembahkan untuk bapak tercinta dan mama di sorga
i
Jl. Dr. Mansur, No. 7, Medan
11112fagt@gmail.com
ABSTRAK
Laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki, disebut juga Men Who Have Sex with Men (M-S-M) berpotensi mengalami kecemasan berkaitan dengan perilakunya. Selain itu, kesejahteraan psikologis mereka juga dapat menurun, khususnya dalam hal mengenal diri sendiri seutuhnya (Eudaimonic Well-Being).
Penelitian ini menggambarkan hubungan kecemasan terkait perilaku seksual M-S-M
dengan eudaimonic well-being-nya. Subjek penelitian berjumlah 56 orang yang diperoleh dengan teknik snowball sampling. Kecemasan diukur dengan State-Trait Anxiety Inventory-State (STAI-S) dari Spielberg (α = 0,964) dan Eudaimonic Well-Being diukur dengan Quetionnaire for Eudaimonic Well-Being (QEWB) dari
Waterman (α = 0,867). Hasil analisis data menggunakan teknik statistika nonparametrik dengan formulasi Spearman’s Rho memperlihatkan kedua variabel berkorelasi negatif secara signifikan (r = -0,3,77, p = 0,004). Secara umum subjek memiliki Kecemasan yang rendah (M<µ, 47,67<50) dan Eudaimonic Well-Being
yang tinggi (M>µ, 44,68>32). Secara rinci, subjek juga memiliki Sense of Purpose
yang tinggi (M>µ, 15,64>12), Purposeful Personal Expressiveness yang tinggi (M>µ, 21,64>14), dan Efforful Engagement yang tinggi (M>µ, 7,4>6). Dengan demikian, setiap laki-laki yang berniat melakukan perilaku M-S-M perlu menyadari kondisi cemas dan eudaimonic well-being-nya berkaitan dengan perilaku tersebut. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan analisis pengaruh untuk menemukan peran satu variabel terhadap variabel yang lainnya.
Frans Ariadi Ginting and Arliza Juairinai Lubis
Psychology Faculty of Universitas Sumatera Utara (USU) Medan Dr. Mansur street 7, Medan
11112fagt@gmail.com
ABSTRACT
Men Who Have Sex with Men (M-S-M) have potential experience anxiety related to the behavior. They also at risk to experience lower psychological well-being, especially in being their true-self, or known as Eudaimonic Well-Being. This study describes the correlation of anxiety caused by MSM’s sexual behavior with eudaimonic well-being. There are 56 subjects involved that obtained by snowball sampling technique. Anxiety was measured by the State-Trait Anxiety Inventory-State (STAI-S) from Spielberg (α = 0.964) and Eudaimonic Well-Being measured by Quetionnaire for Eudaimonic Well-Being (QEWB) Waterman (α = 0.867). With nonparametric statistical data analysis techniques using Spearman's Rho formulations, result showed that both variables have significant correlation (r = -0,3,77, p = 0.004). In general, subjects experience low anxiety (M<μ, 47.67<50) and high Eudaimonic Well-Being (M>μ, 44.68>32). Specifically, subjects have higher Sense of Purpose (M>μ, 15.64>12), higher Purposeful Personal Expressiveness (M>μ, 21.64>14), and higher Engagement Efforful (M>μ, 7.4>6). Thus, every man who considered in doing same sex behavior is advised to be aware on his anxiety and eudaimonic well-being condition regarding that behavior. This study can be elaborated further by analytical study to find the impact between two variables.
iii
berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan Skripsi penelitian dengan judul
“Hubungan Kecemasan dengan Eudaimonic Well-Being pada Men Who Have Sex
with Men (M-S-M)”. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dan dukungan dalam proses
penyelesaian Skripsi Penelitian ini, sebagai berikut:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog, sebagai dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara.
2. Kak Arliza Juairiani Lubis, M.Si, Psikolog, sebagai dosen pembimbing,
yang mengarahkan jalan keluar dari kebuntuan dan membantu
menyempurnakan setiap hal yang saya kerjakan pada penelitian ini,
termasuk juga untuk setiap motivasi yang diberikan dan juga setiap tawa
ketika menemukan beberapa kesalahan yang saya lakukan. Terima kasih
banyak kakak, senang sekali bisa mendapat kesempatan jadi anak
bimbingan kakak.
3. Kak Rahma Fauzia Sinulingga, M. Psi, Psikolog dan Ibu Ika Sari Dewi, S.
Psi, Psikolog, sebagai dosen penguji dalam sidang penelitian ini.
Terimakasih buat waktu dan kesempatan yang diberikan untuk bimbingan
revisi untuk memperbaiki pelaporan akhir penelitian ini.
4. Bapak Ferry Novliadi, M. Si, sebagai dosen pembimbing akademik saya
penelitian ini. Untuk mendiang Mama yang aku yakini berada di sorga,
terima kasih sudah melahirkanku dan setiap mandat yang sudah diberikan.
Buat abangku Nius Abdi Ginting sang inspirator, Abram Jimmy Ginting
yang menjadi ayah idaman anak-anak, adekku Grace Shinta br. Ginting
yang selalu menemani di rumah, dan bibikku Nova br. Ginting.
6. Kelompok kecilku Y&B di UKM KMK USU UP Psikologi, Kak Vivin
S.Psi, Kak Ita S.Psi, Bang Sony yang juga udah S.Psi, Janpri yang
akhirnya menjadi bagian aparat negara, dan Adolf M. Purba sahabat yang
paling menjengkelkan tetapi yang terbaik dari yang pernah ada sampai
diselesaikannya penelitian ini
7. Sahabat-sahabatku selama berkuliah di Psikologi USU, Mega yang selalu
memberi doa dan dukungan, Regina, Fio, Yunita, Pali, dan Novi, untuk
setiap canda tawa dan inspirasi pada setiap hal-hal yang detail, Grace
sahabat yang sering sekali berubah jadi batu tetapi selalu mencoba maju, Rahel teman IPK yang selalu sama sampai semester empat, Kristin teman
„kombak‟ yang gak bisa sedih, Friska, Ana, Kak Rani, untuk doa dan
teguran serta motivasi menjalani perkuliahan, Clara dan mianthy, sebagai
teman curhat yang bahkan tidak dipahami sedang mencurahkan apa, dan
juga semua teman seangkatan 2011. Kalian semua adalah satu alasan
bagiku untuk menikmati perkuliahan selama di Psikologi, Gbu All.
v
disesatkan hahaha.
9. Permata GBKP Pokok Mangga, khususnya untuk setiap pengurus runggun
periode 2013-2015, Nia, John, Oyah, Queen, Niko, Bang Iman, Kak
Juneva, Arnold, Nando, Bang Danny, dan Bang Ander, untuk support,
doa, teman ngumpul hampir tiap malam. Terimakasih untuk setiap
perbedaan karakter, perdebatan yang sering sekali bahkan nggak penting,
bahkan untuk bully2-an (bukan buli-buli minyak) yang sering sekali terlalu ekstrim khususnya buat abang ketua John dan iya untukku juga. Aku akan
merindukan kalian.
10.Untuk ke-56 subjek penelitian dan ke-30 subjek uji coba M-S-M.
Terimakasih untuk kesempatan dapat berdiskusi dengan kalian semua.
Terimakasih juga untuk beberapa orang yang mau curhat tentang setiap
permasalahan kalian.
11.Untuk Medan Plus, khususnya Bang Epeng, dan ketua TIMku di KTB
GBKP Pusat, Bang Sura, kalian membantuku menemukan arti yang
mendalam secara pribadi dalam penelitian ini. Tuhan memberkati kalian.
12.Yang terutama dan terakhir, Tuhan Yesus Kristus. Aku tak bisa
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini berguna
bagi kita semua. Amin.
Medan, Agustus 2015
Abstrak……… i
Kata Pengantar……….. iii
Daftar Isi………. vii
Daftar Tabel……… xii
I. BAB I PENDAHULUAN……… 1
A. Latar Belakang Masalah………... 1
B. Rumusan Masalah……….. 17
C. Tujuan Penelitian……… 17
D. Manfaat Penelitian……….. 17
E. Sistematika Penulisan………. 18
II. BAB II LANDASAN TEORI……… 20
A. Kecemasan……….. 20
A.1. Definisi Kecemasan………. 20
A.2. Jenis-Jenis Kecemasan……….. 22
A.3. Faktor-Faktor Penyebab Kecemasan………. 24
A.4. Indikator Kecemasan………. 26
A.5. Jangka Waktu Kecemasan Umum………. 27
B. Eudaimonic Well-Being……….. 28
B.1. Definisi Eudaimonic Well-Being……….. 28
B.2. Komponen Eudaimonic Well-Being……….. 30
C. Perilaku Seksual M-S-M (Men Who Have Sex with Men... 36
C.1. Perilaku Seksual………. 36
C.2. Konsep Kinsey Mengenai Pengalaman Perilaku Seksual…….. 38
C.3. M-S-M (Men Who Have Sex with Men)………. 40
D. Dinamika Kecemasan pada M-S-M dengan Eudaimonic Well-Being……….43
E. Hipotesa Penelitian……….. 48
III. BAB III METODOLOGI PENELITIAN………... 49
A. Identifikasi Variabel Penelitian………. 49
B. Definisi Operasional……… 50
B.1. Definisi Operasional Kecemasan……….. 50
B.2. Definisi Operasional Eudaimonic Well-Being..………. 50
C. Populasi dan Sampling……….………... 51
D. Metode dan Alat Pengumpulan Data……… 52
D.1. Pengukuran Tingkat Kecemasan……… 52
D.2. Pengukuran Tingkat Eudaimonic Well-Being……… 53
E. Kategorisasi Setap Variabel dan Aspek Variabel……… 54
F. Uji Instrumen Penelitian………. 55
F.1. Validitas……….. 55
F.2. Daya Beda Aitem……… 56
F.2.1. Hasil Uji Coba Variabel Kecemasan……… 57
I.1. Tahap Persiapan……….. 60
I.2. Tahap Pelaksanaan……….. 61
I.3. Tahap Pengolahan Data……….. 61
IV. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 63
A. Gambaran Umum Subjek Penelitian………. 63
A.1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia……… 63
A.2. Gambaran M-S-M Berdasarkan Jangka Waktu Terakhir Mela- kukan Perilaku Seks Sejenis………. 64
A.3. Gambaran Subjek Berdasarkan Intensitas Melakukan Perilaku M-S-M……… 65
A.4. Gambaran Subjek Berdasarkan Agama yang Dianut…………. 65
A.5. Gambaran Subjek Berdasarkan Suku………. 66
A.6. Gambaran Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir.. 67
A.7. Gambaran Subjek Berdasarkan Pekerjaan………. 67
B. Hasil Penelitian……… 68
B.1. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik……….. 68
B.1.1. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Kecemasan………… 68
B.1.4 Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Aspek Purposeful
Personal Expresiveness EWB……… 70
B.1.5. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Aspek Effortful Enga- gement EWB………... 70
B.2. Kategorisasi Data Penelitian……….. 71
B.2.1. Kategorisasi Data Kecemasan……… 71
B.2.2. Kategorisasi Data Eudaimonic Well-Being……… 72
B.2.3. Kategorisasi Data Aspek Sense Of Purpose dari Variabel EWB………. 72
B.2.4. Kategorisasi Data Aspek Puposeful Personal Expre- ssiveness dari Variabel EWB……… 73
B.2.5. Kategorisasi Data Aspek Effortful Engagement dari Variabel Eudaimonic Well-Being……….74
B.3. Hasil Korelasi Kecemasan dengan Eudaimonic Well-Being…. 75 B.4. Gambaran Keseluruhan Subjek Berdasarkan Hubungan antara Variabel Kecemasan dengan Variabel EWB dan Ketiga Aspek EWB……… 78
B.5. Hasil Berkaitan dengan Data Kontrol……… 81
B.6. Gambaran Kecemasan Berdasarkan Indikator Anxiety Absent dan Anxiety Present………. 85
Daftar Pustaka………. 104
Lampiran
Tabel.
1. Blue Print Alat Ukur Kecemasan STAI-S Spielberg…………... 53 2. Blue Print Quetionnaire for Eudaimonic Well-Being (QEWB)
Waterman ……….. 54
3. Distribusi Aitem Alat Ukur Kecemasan Setelah Uji Coba……. 57 4. Distribusi Aitem Alat Ukur Eudaimonic Well-Being setelah Uji
Coba………. 58
5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia………. 64 6. Gambaran M-S-M Berdasarkan Jangka Waktu Terakhir Mela-
kukan Perilaku Seks Sejenis………. 64
7. Gambaran Subjek Berdasarkan Intensitas Melakukan Peri-
laku M-S-M……….. 65
8. Gambaran Subjek Berdasarkan Agama yang Dianut………… 65 9. Gambaran Subjek Berdasarkan Suku/Etnis………….………... 66 10. Gambaran Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ter-
akhir………. 67
18.Kategorisasi Variabel Eudaimonic Well-Being………….…….. 72 19.Kategorisasi Aspek Sense Of Purpose Variabel Eudaimonic
Well-Being……… 73
20. Kategorisasi Aspek Purposeful Personal Expressiveness
Varia-bel Eudaimonic Well-Being……… 74
21.Kategorisasi Aspek Effortful Engagement Variabel Eudai-
monic Well-Being……… 75
22.Hasil Korelasi Spearman’s Rho antara Variabel Kecemasan
dengan EWB……… 75
23.Cross Tabulation Kecemasan dengan EWB………... 76
24.Cross Tabulation Kecemasan dengan Aspek Sense of Purpose
EWB……….. 76
25.Cross Tabulation Kecemasan dengan Aspek Purposeful Personal
Expressiveness EWB……… 77
26.Cross Tabulation Kecemasan dengan Aspek Effortful Enga-
gement EWB……… 77
27.Gambaran Masing-Masing Subjek Berdasarkan Korelasi Kece- masan dengan EWB dan Ketiga Aspek EWB……….. 78 28.Data Kecemasan dan EWB Subjek Berdasarkan Data Kontrol
kategori Berdasarkan Indikator Anxiety Present dan Anxiety
Absent………..…. 85
i
Jl. Dr. Mansur, No. 7, Medan
11112fagt@gmail.com
ABSTRAK
Laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki, disebut juga Men Who Have Sex with Men (M-S-M) berpotensi mengalami kecemasan berkaitan dengan perilakunya. Selain itu, kesejahteraan psikologis mereka juga dapat menurun, khususnya dalam hal mengenal diri sendiri seutuhnya (Eudaimonic Well-Being).
Penelitian ini menggambarkan hubungan kecemasan terkait perilaku seksual M-S-M
dengan eudaimonic well-being-nya. Subjek penelitian berjumlah 56 orang yang diperoleh dengan teknik snowball sampling. Kecemasan diukur dengan State-Trait Anxiety Inventory-State (STAI-S) dari Spielberg (α = 0,964) dan Eudaimonic Well-Being diukur dengan Quetionnaire for Eudaimonic Well-Being (QEWB) dari
Waterman (α = 0,867). Hasil analisis data menggunakan teknik statistika nonparametrik dengan formulasi Spearman’s Rho memperlihatkan kedua variabel berkorelasi negatif secara signifikan (r = -0,3,77, p = 0,004). Secara umum subjek memiliki Kecemasan yang rendah (M<µ, 47,67<50) dan Eudaimonic Well-Being
yang tinggi (M>µ, 44,68>32). Secara rinci, subjek juga memiliki Sense of Purpose
yang tinggi (M>µ, 15,64>12), Purposeful Personal Expressiveness yang tinggi (M>µ, 21,64>14), dan Efforful Engagement yang tinggi (M>µ, 7,4>6). Dengan demikian, setiap laki-laki yang berniat melakukan perilaku M-S-M perlu menyadari kondisi cemas dan eudaimonic well-being-nya berkaitan dengan perilaku tersebut. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan analisis pengaruh untuk menemukan peran satu variabel terhadap variabel yang lainnya.
Frans Ariadi Ginting and Arliza Juairinai Lubis
Psychology Faculty of Universitas Sumatera Utara (USU) Medan Dr. Mansur street 7, Medan
11112fagt@gmail.com
ABSTRACT
Men Who Have Sex with Men (M-S-M) have potential experience anxiety related to the behavior. They also at risk to experience lower psychological well-being, especially in being their true-self, or known as Eudaimonic Well-Being. This study describes the correlation of anxiety caused by MSM’s sexual behavior with eudaimonic well-being. There are 56 subjects involved that obtained by snowball sampling technique. Anxiety was measured by the State-Trait Anxiety Inventory-State (STAI-S) from Spielberg (α = 0.964) and Eudaimonic Well-Being measured by Quetionnaire for Eudaimonic Well-Being (QEWB) Waterman (α = 0.867). With nonparametric statistical data analysis techniques using Spearman's Rho formulations, result showed that both variables have significant correlation (r = -0,3,77, p = 0.004). In general, subjects experience low anxiety (M<μ, 47.67<50) and high Eudaimonic Well-Being (M>μ, 44.68>32). Specifically, subjects have higher Sense of Purpose (M>μ, 15.64>12), higher Purposeful Personal Expressiveness (M>μ, 21.64>14), and higher Engagement Efforful (M>μ, 7.4>6). Thus, every man who considered in doing same sex behavior is advised to be aware on his anxiety and eudaimonic well-being condition regarding that behavior. This study can be elaborated further by analytical study to find the impact between two variables.
A. Latar Belakang Masalah
Dalam melakukan aktivitas seksual, laki-laki umumnya memiliki pasangan
seksual yang adalah lawan jenis kelamin, yaitu perempuan. Akan tetapi, beberapa
orang menyatakan dirinya pernah melakukan hubungan seksual dengan orang dari
jenis kelamin yang sama (Laumann et all, dalam Papalia, 2009). Penelitian yang
dilakukan oleh Kinsey (1948) menemukan bahwa 46% dari laki-laki yang menjadi
subjek penelitiannya bereaksi secara seksual kepada orang-orang dari kedua jenis
kelamin, lebih jauh lagi 37% dari subjek tersebut memiliki, setidaknya, satu
pengalaman berhubungan seks dengan sesama jenis kelaminnya. Laki-laki yang
melakukan hubungan seksual dengan laki-laki memiliki frekuensi yang lebih
sering dibandingkan dengan perempuan yang melakukan hubungan seksual
dengan perempuan. Hal ini bisa disebabkan karena laki-laki memiliki dorongan
seksual yang lebih tinggi dibandingkan perempuan (Vohs et all, dalam Miller &
Perlman, 2009).
Miller & Perlman menyatakan bahwa laki-laki memiliki sikap dan
perilaku seksual yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Oliver dan Hyde pada tahun 1991, yang
memiliki frekuensi masturbasi yang lebih sering dibandingkan perempuan. Kedua,
laki-laki lebih terbuka berkaitan dengan aktivitas seks bebas. Ketiga, laki-laki
memiliki pasangan seks yang lebih banyak dibandingkan perempuan (Miller &
Perlman, 2009).
Kort, seorang psikoterapis (2006) menyatakan bahwa sering sekali klien
laki-lakinya mengaku pernah berhubungan seksual dengan laki-laki, tetapi tidak
merasa bahwa diri mereka adalah gay ataupun biseksual. Mereka tidak
menunjukkan perkembangan mental dan identitas diri sebagai homoseksual. Kort
(2006) menyatakan bahwa sulit untuk mengkategorikan orang-orang seperti ini
sehingga mereka dinyatakan dalam kelompok M-S-M (Men who have Sex with Men), yaitu laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki lain. Tidak semua M-S-M mendefinisikan diri mereka sebagai gay atau biseksual (Argyo, 2012). Salah satunya dapat dilihat dari pengalaman SN, laki-laki berusia
24 tahun yang pernah lebih dari sekali melakukan hubungan seksual dengan
sesama laki-laki tetapi tidak merasa dirinya gay atau biseksual.
“Kami memang masih sering tidur sama.. kadang dia di kamarku atau aku di kamarnya… aku sayang kali samanya (seorang laki -laki).. tapi kau pun taukan dek aku sukaknya sebetulnya sama perempuan, aku gak ngerasanya aku ini gay, aku cuman sukak sama dia dek, bukan ke laki-laki lain.. yahh.. tapi ya gitu dek..”
(Komunikasi personal 1 Desember, 2014)
M-S-M bukanlah suatu penemuan baru, dimana hal ini sudah lama diteliti oleh para pakar di bidang seksual. Pada tahun 1948, Kinsey bersama rekannya,
gambaran perilaku seksual, yang pada satu sisi hanya bersama lawan jenis
(eksklusif heteroseksual) dan pada sisi lain hanya bersama sesama jenis (eksklusif
homoseksual). Kinsey (1948) berpendapat bahwa mengukur perilaku seksual
lebih tepat dibandingkan menyatakan seseorang sebagai gay, biseksual, ataupun
straight. Skala Kinsey tersebut dapat dilihat seperti gambar 1.1 di bawah ini:
Perilaku seksual
Argyo (2012) menjelaskan bahwa M-S-M dimaksudkan untuk menjelaskan semua laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, tanpa memandang
orientasi seksual mereka. Laki-laki yang disebut M-S-M adalah laki-laki yang secara eksklusif berhubungan seks dengan laki-laki lain, laki-laki yang
berhubungan seks dengan laki-laki lain tapi sebagian besarnya berhubungan seks
dengan perempuan, laki-laki yang berhubungan seks baik dengan laki-laki
maupun perempuan tanpa ada perbedaan kesenangan, dan laki-laki yang
berhubungan seks dengan laki-laki lain untuk uang atau karena mereka tidak
mempunyai akses untuk melakukan hubungan seksual dengan perempuan,
misalnya di penjara dan ketentaraan. M-S-M mengacu pada orang yang melakukan hubungan seksual sesama laki-laki. Untuk setiap perilaku hubungan
Aktivitas seksual M-S-M memiliki banyak faktor penyebab dan alasannya. Ada karena alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup, ada yang coba-coba
melakukan hubungan seksual, ada yang membutuhkan kasih sayang ayah, ada
yang karena kebutuhan seksual yang tinggi, tetapi khawatir melakukannya dengan
perempuan, dan banyak penyebab lainnya (Kort, 2013). Dari wawancara personal,
SN menyatakan alasan melakukan hubungan seksual sejenis dikarenakan adanya
nafsu seksual yang tinggi namun khawatir terhadap konsekuensi jika
melakukannya dengan perempuan.
“…..mudah kali sebetulnya aku jatuh di situ (seks).. misalnya kan
kulihat adegan-adegan yang sejenis saja aku bisa terangsang dek. Kurasa kan memang kalo cowok senormal apapun dia kalau nafsu
seksnya tinggi nggak bakal peduli dia sama siapa
dilampiaskannya.. itu jugalah yang aku alami dek.. waktu ada rangsangan masuk ke otak memang aku nafsu kali.. kan nggak mungkinlah aku salurkan ke cewek dek, kan konsekuensinya bahaya, bisa hamil.. makanya waktu ada kesempatan sama adek itu
kami lakukanlah…”
(Komunikasi personal 1 Desember, 2014)
M-S-M bukanlah perilaku yang wajar pada masyarakat Indonesia. Terlebih lagi, dalam pandangan agama mayoritas yang ada di Indonesia, yakni Islam dan
Nasrani, sangat menentang perilaku ini. Dalam ajaran Nasrani, baik Katolik
maupun Protestan, aktivitas seksual M-S-M yang melibatkan perilaku sodomi dijelaskan pada beberapa kitab yang memperlihatkan kisah, akibat, dan
ketidakberkenanan Tuhan terhadap perilaku tersebut. Gilbert (2002) menegaskan
bahwa seks bebas yang dilakukan dengan sesama jenis disebut sebagai seks liar,
yang mana sangat dimurkai oleh Tuhan. Hal ini tercatat dalam Alkitab pada kitab
Gomora dengan api dan belerang akibat kebejatan berupa perilaku sodomi sesama
laki-laki. Peristiwa tersebut diyakini sebagai awal terjadinya perilaku sodomi yang
merujuk pada perilaku homoseksualitas (Stamps, 1991).
Selain tertulis di kitab suci agama Nasrani, perilaku sodomi di kota Sodom
dan Gomora juga terdapat di kitab A’raaf: 80-81 Al-Quran. Al-Quran
mengisahkan fakta bahwa kaum keturunan Nabi Luth merupakan orang-orang
yang pertama kali melakukan peraktik sodomi. Perbuatan ini dinyatakan sebagai
perbuatan dosa yang sangat menjijikkan, perbuatan yang keji dan melampaui
batas (Philips dan Khan, 2003). Peristiwa ini juga digambarkan sebagai
kebobrokan moral akibat ketidakmampuan untuk menahan nafsu mereka. Dasar
Philips dan Khan (2003) dalam menyatakan perilaku tersebut sebagai perilaku
yang bertentangan dikutip dari ayat Al-Quran, yakni Al A’raaf: 80-81 yang
berbunyi “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah)
Tatkala dia berkata kepada kaumnya, „Mengapa kalian mengerjakan perbuatan
keji itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum
kalian? Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk memuaskan nafsu kalian
(kepada mereka), kalian adalah kaum yang melampaui batas.’”
Berdasarkan uraian di atas, M-S-M dalam sudut pandang agama bukanlah sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan sehingga orang yang melakukannya
dinyatakan bersalah dan disebut sebagai orang yang berdosa (Cohen dan George,
dalam Syahputra, 2011). Orang dinyatakan berdosa jika melanggar hukum dan
kehendak Tuhan (Fromm dalam Crapps, 1994). Cohen dan George (dalam
signifikan dengan pengalaman spiritual seseorang. Hal ini tergambar dari
wawancara yang dilakukan dengan SN, dimana ia memiliki perasaan bersalah,
ketidaknyamanan, dan perasaan telah berkhianat kepada Tuhan karena aktivitas
M-S-M tersebut.
“…gitulah dek kalo waktu itu memang aku ngerasa sangat tidak
nyaman… rasa bersalah.. intimidasi.. wah semua-semualah itu…… waktu kita melakukannya ya kalau kita tau yang benar, ya kita
merasa bersalah…jadi waktu itu aku memang benar-benar
menduakan Tuhan”
(Komunikasi personal, 1 Desember 2014)
“aku ini gila sex.. aku mau dilayani rasanya (oleh seorang laki-laki), tapi aku malu kali sambil melayani Tuhan sambil melakukan
dosa itu”
(Komunikasi personal, 28 Maret 2015)
Selain wawancara dengan SN, data hasil sebuah penelitian yang dilakukan
oleh Subhi, Mohamad, Sarnon, Nen, Hoesni, Alavi, dan Chong (2011)
memperlihatkan bahwa sekitar 80% dari 20 subjek penelitiannya yang melakukan
hubungan seksual dengan sesama jenis juga mengalami konflik berkaitan dengan
perilaku tersebut dengan keyakinan akan ajaran agama. Salah seorang laki-laki
dalam penelitian tersebut menyatakan sebagai berikut:
“It was hard in a way. I knew I couldn't change God. God doesn't change. He's the same. So I knew I had to change but I just didn't know how. That was the wrestle. I would pray to change. I had people pray for me to change. I prayed to heart. And then I would get disillusioned and I would become weary from the battle. And I would go back out in frustration thinking that I can't do it, it's impossible. Then I would be up in the lifestyle, living the same lifestyle and then in time the pull towards God again began”.
Pernyataan tersebut mengungkapkan bahwa keyakinannya terhadap Tuhan
sangat sulit untuk mewajarkan perilaku seksual sejenis yang diinginkannya. Freud
(dalam Gangemi dan Mancini; dalam Tranka, Balcar, dan Kuska, 2011)
menjelaskan bahwa konflik batin yang dialami oleh orang-orang tersebut,
termasuk SN, merupakan proses intrapsychic conflict. Intrapsychic conflict
merupakan proses yang terjadi dalam internal diri seseorang, bukan karena faktor
dari luar, dimana proses tersebut merupakan pertentangan dari dorongan libidinal
dengan komponen yang mengontrol ego (Freud dalam Rangell, 1963).
Intrapsychic conflict dikaitkan dengan pemahaman Freud tentang pikiran manusia. Baginya, pikiran memiliki tiga komponen utama: id, ego, dan superego. Komponen tersebut merupakan prinsip kesenangan, prinsip realitas, dan dunia
moralitas sosial. Ketiganya terus berinteraksi dan berkompromi satu sama lain.
Apabila ketiganya mengalami pertentangan maka hal ini menimbulkan konflik
batin dalam diri seseorang (Johnson, 2007).
Dunia moralitas sosial, yakni superego tidak hanya berbicara mengenai pandangan agama, tetapi juga pandangan budaya masyarakat yang ada di
sekitarnya. Perilaku seks sejenis, misalnya, tidak hanya dipandang negatif dari
ajaran agama, tetapi juga pandangan masyarakat itu sendiri yang menganggap hal
ini menyimpang. Ada penemuan bahwa hubungan seksual antara pasangan yang
berjenis kelamin sama tidak akan dapat berjalan secara bebas karena masyarakat
masih menganggap bahwa hal ini merupakan suatu disfungsi suatu aktivitas
(Savin, William, Cohen, 1996). Banyak sekali hambatan dan risiko yang dihadapi
keluarga juga kemungkinan ikut serta mengucilkan mereka (Walker, dalam
Fajriani, 2013). Hal ini sejalan dengan pernyataan Musdah (dalam Fajriani, 2013)
bahwa pada masyarakat Indonesia, perilaku seks sejenis adalah perilaku yang
sangat menyimpang dan merupakan penyakit sosial.
Konflik batin yang dialami oleh SN dan beberapa subjek penelitian yang
terkait dengan perilaku seks sejenis memperlihatkan bahwa perilaku tersebut
bertentangan dengan nilai yang ada pada diri mereka sehingga mereka mengalami
ketidaknyamanan. Ketika seseorang sulit untuk tidak melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan nilai-nilai yang ada mengindikasikan bahwa mereka belum
mampu mengelola diri mereka. Hal tersebut menjadi sumber yang berkontribusi
pada rendahnya kesejahteraan seseorang (Ryan dan Deci, 2001)
Tidak semua M-S-M mengalami konflik atau kondisi psikologis yang negatif dalam melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Di antara
mereka terdapat orang-orang yang memilih melakukan perilaku tersebut tanpa
adanya perasaan kegelisahan. Mereka meyakini bahwa hal tersebut adalah diri
mereka yang sesungguhnya sehingga dalam menyalurkan hasrat tersebut dianggap
sebagai aktivitas dari dirinya yang sejati. Hal ini tergambar dari hasil wawancara
personal peneliti dengan FA, 20 tahun, berikut ini:
“yaa… gimana ya.. aku sih ngelakuinnya enjoy aja.. ia emang salah sih kalo dari aturan agama.. eh.. tapikan itu urusan aku sama Tuhanku ajalah, Dia kok yang ciptain aku, pasti ngertilah Tuhan
itu.. hahaha”
“Kalo apa kata orang ya kan… selagi nggak ngerugikan orang
itulah ya kan, aku gak ada masalah, terserah mau dibilang apa, kan
gak kuganggu hidup orang itu… yang penting sekarang aku
nyaman aku senang sama diriku sendiri… bisa jadi pacar abang itu,
hidupku senang.. ngapain stress mikirin apa kata orang, ya kan?”
(Komunikasi personal, 4 Maret 2015)
Demikian pula pada JW, 29 tahun, merasakan bahwa aktivitas tersebut
adalah aktivitas yang menyenangkan dan tidak menimbulkan suatu kondisi
psikologis yang negatif.
“Aduh.. kok gelisah pulak? Kitanya yang buat itu… Apa ya
kubilang, kalau kataku itu bagian hidupkulah.. dapat dikatakan semangat kali pun aku kalau aku bisa main sama orang-orang yang kusukak. Apalagi aku tipikalnya pembosankan dek.. jadi yah aku nggak mau ribetlah, kalau sukak dekatin.. ajak kenal lebih dalam, terus baru diajak main, kalau dia gak mau kita nggak maksa juga ya kan? Salah sih salah emang, tapi kitanya itu yang milih
kekmananya… hidup ini kan pilihan.”
(Komunikasi personal, 21 Februari 2015)
Tidak hanya itu, TS, 34 tahun, juga menyatakan bahwa dirinya tidak
terlalu memikirkan perilaku tersebut. Baginya yang terpenting adalah ia bisa
mencapai kesuksesannya melalui pengembangan potensi, yakni bakat dan
kreativitasnya dalam hal men-disign batik. Hal ini sesuai dengan pernyataannya dalam salah satu media sosial: miliki. Soal cowok blaknganlah, tp bkn dtinggalin. Hehehe.. eh ada
y mau meluk ak mlm ini? Butuh pelukan nih. hahaha”
Konsep kesejahteraan (well-being) mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal (Ryan & Deci, 2001). Kesejahteraan psikologis berkisar
dari kondisi mental negatif misalnya, ketidakpuasan hidup, kecemasan, merasa
tertekan, rasa percaya diri yang rendah, dan sering berperilaku agresif, sampai
pada kondisi mental yang positif seperti, realisasi potensi dan aktualisasi diri
(Bradburn, dalam Liwarti, 2013).
Ada dua perspektif mengenai kesejahteraan yang diturunkan dari dua
pandangan filsafat yang berbeda. Pandangan pertama adalah hedonic, yang memandang tujuan hidup yang utama adalah mendapatkan kenikmatan secara
optimal untuk mencapai kebahagian serta menghindari kondisi-kondisi yang tidak
menyenangkan (Diener dan Lucas, dalam Ryan & Deci, 2001). Pandangan kedua
adalah eudaimonic, yang memandang kesejahteraan sebagai suatu konsep aktualisasi potensi manusia dalam menghadapi tantangan kehidupan (Keyes,
Shmotkin, dan Ryff, dalam Rahayu, 2008).
Kesulitan M-S-M terkait dengan memilih melakukan hubungan seksual sejenis dengan nilai-nilai yang dianutnya terkait dengan kesejahteraan yang
sifatnya eudaimonic. Pendekatan eudaimonic, berfokus pada realisasi diri, ekspresi pribadi, dan sejauh mana seorang individu mampu untuk
mengaktualisasikan potensi dirinya (Waterman, dalam Ryan & Deci, 2001).
Waterman bersama rekannya (2010) mengistilahkan kesejahteraan yang
didasari perspektif eudaimonic sebagai Eudaimonic Well-Being (EWB).
Eudaimonic well-being mengacu pada kualitas hidup seseorang yang ditandai dengan perkembangan potensi terbaik yang dimilikinya serta bagaimana potensi
tersebut teraplikasi dalam pengekspresian dirinya dan kesesuaian dengan tujuan
hidup (Waterman, et al, 2010). Waterman, yang mendasari konsepnya dengan
eudomonic tersebut, berpendapat bahwa konsep kesejahteraan psikologis sudah banyak yang meluas cakupan variabelnya dari apa yang didefinisikan oleh
Aristoteles. Konsep Waterman lebih sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Aristoteles tentang eudaimonic yang mengacu pada “Living a Good Life”, yakni hidup secara konsisten pada daimon-nya atau diri yang sejati.
Dari dasar pandangan tersebut, Waterman tidak menyetujui jika
konsepnya disamakan dengan konsep kesejahteraan psikologis lainnya sekalipun
bersama-sama memandang dari segi eudaimonic, salah satunya adalah kesejahteraan psikologis yang diungkapkan oleh Ryff. Waterman mengakui
bahwa konsep Ryff masih searah dengan apa yang dinyatakan oleh Aristoteles,
tetapi konsepnya yang luas karena dipengaruhi perkembangan psikologi klinis dan
perkembangan manusia ternyata lebih mampu mengukur elemen objektif, yakni
perilaku. Sedangkan, konsep Waterman mampu mengukur elemen subjektif,
yakni perasaan bahagia yang dialami oleh seseorang (Waterman, 2010).
Waterman menjelaskan ada enam aitem katagori yang saling berkaitan
signifikan dalam mengejar keunggulan, keterlibatan intens dalam setiap
kegiatannya, dan menikmati setiap kegiatan sebagai pribadi ekspresif. Lebih jauh
lagi, Schutee, Wissing, dan Khumalo (2013) melakukan analisis faktor pada alat
ukur yang digunakan Waterman dalam mengukur EWB, dimana penelitian tersebut menghasilkan tiga aspek dalam teori tersebut, yakni Sense of Purpose (SoP), Purposeful Personal Expressiveness (PPE), dan Effortful Engagement (EE).
Sense of Purpose (SoP) mengacu pada prinsip dan tujuan hidup yang dimiliki oleh seseorang, Purposeful Personal Expressiveness (PPE) merupakan setiap kegiatan yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan tujuan hidupnya ,
dan Effortful Engagement (EE) yakni keterlibatan dalam aktivitas yang ia lakukan (Schutee, Wissing, dan Khumalo, 2013). Keberhasilan seseorang dalam
pencapaian EWB yang tinggi akan sejalan dengan kemampuannya dalam mengelola setiap permasalahan (Waterman, dkk. 2010). Mengelola permasalahan
yang ada termasuk juga di dalamnya adalah mengelola kecemasan yang dialami.
Seorang yang terlibat dalam perilaku seksual sejenis, seperti M-S-M,
tentunya memiliki nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya berkaitan dengan
menjadi diri yang ideal. Akan tetapi, dalam situasi yang dialami M-S-M, konflik muncul ketika nilai-nilai yang tertanam tidak sejalan dengan perilaku seksual
yang ingin dilakukan terutama apabila baru pertama kali dilakukan. Individu yang
toleransi moral yang lebih longgar (Freud, dalam Andri dan Dewi, 2007).
Keadaan ini mengarahkan seseorang pada suatu kecemasan, yang mana sangat
terkait dengan rendahnya kesejahteraan dalam dirinya.
Kecemasan adalah suatu pengalaman perasaan yang tidak menyenangkan
akibat ketegangan-ketegangan dalam internal seseorang (Freud, dalam Hall,
1995). Selain itu, Johnston (dalam Trismiati, 2006), mendefinisikan kecemasan
sebagai reaksi yang tidak menyenangkan karena adanya hambatan terhadap
keinginan pribadi atau perasaan tertekan yang dapat disebabkan oleh perasaan
kecewa, rasa tidak puas, dan rasa tidak aman.
Kecemasan hampir sama dengan ketakutan, akan tetapi ketakutan hanya
terjadi terhadap sesuatu hal di dunia luar, sedangkan kecemasan bisa terjadi baik
dari luar maupun dari dalam diri seseorang (Hall, 1995). Kasus yang dialami oleh
SN dan beberapa lainnya yang berkonflik menunjukkan bahwa ia mengalami
kecemasan yang menimbulkan suatu keinginan yang tidak realistis, yakni harapan
bahwa kedua pilihan antara id dan superego dapat ia lakukan. Hal ini tersirat dari kalimat yang diutarakan oleh SN meskipun pada akhirnya ia mengerti bahwa
pikirannya tidak dapat terjadi.
“….aku ingin itu tetap bisa dilakukan dan bisa dibenarkan sama
Tuhan sekalipun Tuhan nggak mungkin bersatu dengan iblis dek.. tapi yah.. apa yang dilakukan yang disenangi iblis nggak mungkin juga diterima sama Tuhan.. jadi waktu itu aku memang benar-benar menduakan Tuhan, padahal Tuhan bilang gak mungkin ada
hamba yang setia pada dua tuan secara bersamaan..”
Selain SN, pada penelitian Subhi juga ditemukan bahwa dari 80% subjek
penelitiannya yang mengalami konflik, 31,3% mengaku mengalami kecemasan
dalam dirinya terkait dengan perilaku seksual sejenis, sedangkan yang lainnya
mengalami kondisi psikologis yang buruk, seperti menyalahkan diri sendiri, hasrat
ingin bunuh diri, merasa terasing, depresi, dan malu, yang mana semuanya
kondisi tersebut erat kaitannya dengan kecemasan (Subhi, dkk., 2011).
Kaplan dan Sadock (1997) menyatakan bahwa kecemasan adalah respon
terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, bersifat internal dan
konfliktual, serta tidak rasional. Definisi ini terkait dengan teori Spielberg dimana
kondisi yang sedang dialami oleh seseorang berkaitan dengan kegagalan, tekanan,
kekhawatiran, perasaan tidak aman, dan konflik-konflik, yang dinyatakan sebagai
suatu situasi (state), akan membawa seseorang pada kecemasan (dalam McDowell, 2006). Spielberg menyebut kecemasan seperti ini sebagai state anxiety.
Kecemasan juga terjadi pada seseorang yang baru pertama kali melakukan
sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai dan norma. Konflik yang merujuk pada
kecemasan akan terjadi pada M-S-M ketika melakukan hubungan seksual sejenis, tetapi konflik tersebut bisa teredam ketika perilaku tersebut terus dipupuk dan
dilakukan berulang-ulang. Perilaku seksual, termasuk perilaku M-S-M adalah suatu aktivitas yang berpotensi menyebabkan seseorang kecanduan. Orford
(dalam Moeljosoedjono, 2008) menyatakan bahwa seks adalah perilaku yang
bersifat adiktif sehingga perilaku ini sifatnya berulang dilakukan, kompulsif, sulit
berulang, maka kesenangan dan kebahagiaan yang ia peroleh akan menghilangkan
rasa bersalah dan kecemasan yang dialami saat pertama kali (Moeljosoedjono,
2008).
Selain kecemasan akibat konflik yang dialami oleh M-S-M, sumber kecemasan lainnya juga bervariatif pada setiap pelakunya. Bagi beberapa orang,
sumber yang menjadi kecemasan adalah risiko aktivitas seksual tersebut. Berbagai
macam penyakit seks menular dapat menginfeksi para M-S-M, misalnya HIV-AIDS, terutama pada perilaku seksual ini lazim menggunakan alat tubuh yang
tidak sesuai fungsinya misalnya mulut dan anus untuk penetrasi, sehingga mudah
terjadi luka yang menyebabkan penyakit mudah masuk (UNAIDS, 2006). Tidak
adanya ikatan yang pasti pada pelaku seks sejenis menyebabkan perilaku ini
sering dilakukan secara berulang dan dengan orang yang berbeda-beda (Savin,
William Cohen, 1996). Oleh sebab itu, memungkinkan penyakit lebih mudah
menyebar. Namun, bagi beberapa orang M-S-M memang sudah memiliki antisipasi yang tinggi dalam menghadapi risiko ini, misalnya penggunaan
kondom, obat antibiotik, dan sebagainya. Akan tetapi, ini juga dapat
menyebabkan kecemasan pada beberapa M-S-M lainnya.
Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecemasan berdampak
pada kesehatan mental seseorang (Vivi, 2012). Sereen, dkk (dalam Feroze et. Al,
2010) menyebutkan secara khusus kecemasan berpengaruh kepada kondisi fisik,
kualitas hidup yang buruk, dan perasaan ketidakberdayaan. Selain itu, dari hasil
penelitian Juan, Romedios, David, Maria, dan Manuel (2012) menemukan bahwa
mana artinya orang-orang yang tinggi tingkat kecemasannya memiliki
kesejahteraan psikologis yang rendah. Lebih jauh lagi ditemukan bahwa
kecemasan umumnya disertai dengan kesejahteraan psikologis yang rendah
karena kecemasan merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan,
mengganggu, bahkan menyakitkan sehingga meyebabkan seseorang sulit untuk
menikmati hidup (Arsip UII, 2012). Akan tetapi, kecemasan yang diungkapkan
pada penelitian ini adalah kecemasan secara umum, yang mana Spielberg
menyatakan bahwa kecemasan yang secara umum dialami oleh seseorang
sepanjang hidupnya dikategorikan sebagai trait anxiety. Kecemasan ini adalah kondisi ketidaknyaman psikologis akibat adanya ancaman terhadap diri seseorang
(Carducci, 2009).
Kesejahteraan psikologis yang dikaitkan dengan kecemasan pada
penelitian sebelumnya adalah kesejahteraan psikologis dari teori Ryff, Ryan, dan
Deci. Sedangkan, pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui kaitan kecemasan
dengan Eudaimonic Well-Being Waterman. Lebih jauh lagi, uraian di atas menunjukkan bahwa kecemasan yang memiliki hubungan dengan kesejahteraan
psikologis seseorang adalah kecemasan umum (trait anxiety), yang mana tidak dapat disamakan dengan kecemasan state yang ada pada M-S-M.
Situasi konflik, rasa bersalah, dan sebagainya yang dialami oleh M-S-M
pada paparan di atas memiliki dua sisi, yakni rendahnya Eudaimonic Well-Being
dan adanya kecemasan akibat perilaku tersebut. Untuk itu, pada penelitian ini
sejenis yang adalah state anxiety dengan Eudaimonic Well-Being Watermanpada
M-S-M (Men Who Have Sex with Men).
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
“Apakah ada hubungan Kecemasan akan perilaku seks sejenis dengan
Eudaimonic Well-Being pada M-S-M (Men Who Have Sex with Men)?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan Kecemasan akibat
perilaku seks sejenis dengan Eudaimonic Well-Being pada M-S-M (Men Who Have Sex with Men).
D. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah dapat
memperkaya pemahaman dan ilmu pengetahuan di bidang Psikologi Klinis,
bidang Psikologi Seksual, bidang Kesehatan Mental, dan Psikologi Sosial.
Adapun manfaat praktis penelitian ini yaitu dengan adanya gambaran dari
hasil penelitian ini diharapkan pihak-pihak yang bergerak di bidang kesehatan
mental dan psikologi seksual lebih mengerti dinamika hubungan kecemasan
dengan Eudaimonic Well-Being pada M-S-M. Manfaat praktis penelitian ini juga ditujukan pada M-S-M untuk mengembalikan kesejahteraan psikologis yang terganggu akibat dampak konflik yang dialaminya dan juga untuk menurunkan
setiap individu yang membacanya, khususnya tentang dinamika psikologis M-S-M.
E. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Bab ini berisi tentang penjelasan mengenai latar belakang peneliti
mengangkat topik tentang M-S-M, konflik batin yang dialami antara dorongan perilaku seksual dengan sejenis dan nilai dan norma,
bagaimana kecemasan yang timbul serta kaitannya dengan EWB, identifikasi permasalahan, tujuan, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Bab ini berisi tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan
penelitian. Dalam penelitian ini akan digunakan teori mengenai
kecemasan, Eudaimonic Well-Being Waterman beserta aspek-aspeknya, teori M-S-M. Bab ini juga akan diakhiri dengan dinamika kaitan antara teori yang digunakan.
BABIII : Metode Penelitian
Bab ini berisi metode yang digunakan dalam penelitian ini yang
mencakup metode penelitian kuantitatif korelasi, metode pengumpulan
data, alat bantu pengumpulan data, karakteristik dan teknik
BAB IV : Hasil dan Pembahasan
Bab ini berisi uraian hasil penelitian, seperti gambaran umum dan
karakteristik subjek penelitian dan cara analisa data, serta interpretasi
data dan pembahasan.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang disusun
berdasarkan analisa dan interpretasi data penelitian, yang juga
dilengkapi dengan saran-saran bagi peneliti lain berdasarkan hasil
LANDASAN TEORI
Pada penelitian ini digunakan beberapa teori, yaitu teori tentang
kecemasan, teori mengenai Eudaimonic Well-Being, teori tentang perilaku seksual berkaitan dengan perilaku seks sejenis, teori mengenai M-S-M (Men who have Sex with Men), dan kemudian diakhiri dengan dinamika keseluruhan teori yang digunakan.
A. Kecemasan
A.1. Definisi Kecemasan
Banyak definisi kecemasan yang dikemukakan oleh para ahli. Kecemasan
dapat didefenisikan sebagai suatu keadaan perasaan gelisah, ketidaktentuan, takut
dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual yang tidak diketahui atau
dikenal (Stuart and Sundeens, 1998). Kecemasan adalah respon terhadap suatu
ancaman yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar atau bersifat
konfliktual (Kaplan & Sadock, 1997). Selain itu, Taylor (1953) mengemukakan
bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan subyektif mengenai ketegangan
mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan
mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman.
Kecemasan bersinonim dengan rasa takut, akan tetapi kecemasan memiliki
bahwa rasa takut hanya terjadi terhadap sesuatu hal di luar manusia, sedangkan
kecemasan dapat muncul dari luar diri individu maupun dari dalam dirinya
sendiri. Kecemasan yang muncul dari dalam diri sendiri umumnya muncul karena
adanya suatu konflik. Hal ini sesuai dengan Definisi kecemasan yang
diungkapkan oleh Dradjat (2003), yakni suatu manifestasi berbagai masalah emosi
yang bercampur baur, yang terjadi ketika seseorang mengalami tekanan perasaan
dan pertentangan batin.
Freud (dalam Hall, 1995) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan
hasil dari konflik psikis yang tidak disadari. Ketika mekanisme diri berhasil,
kecemasan menurun dan rasa aman datang lagi. Namun, bila konflik terus
berkepanjangan, maka kecemasan ada pada tingkat tinggi. Menurut Freud (dalam
Brintha & Ramakrishnan, 2013), kecemasan adalah konsekuensi dari pertentangan
kebutuhan, terutama frustrasi yang terjadi di situasi konflik. Teori Freud juga
mengatakan bahwa seseorang sebagian besar tidak menyadari sumber atau
penyebab kecemasan, tetapi sebetulnya dapat diidentifikasi dengan cara melihat
riwayat hidupnya. Dalam teori Freud, kecemasan yang bersumber dari konflik
batin yang terkait dengan pertentangan id dan superego dapat muncul dalam wujud perasaan bersalah dan malu.
Spielberg menyatakan bahwa kecemasan bisa dikarenakan dua hal, yaitu
faktor situasi yang menyebabkan konflik atau faktor kepribadian yang memang
cenderung pencemas (dalam McDowell, 2006). Dari kedua hal tersebut, Spielberg
sumber kecemasannya dari karakter pribadi. Situasi-situasi yang dimaksudkan
dalam state anxiety, tidak hanya berbicara dari faktor dari luar, tetapi juga kondisi yang sedang dialami oleh seseorang berkaitan dengan suatu hal, misalnya
kegagalan, tekanan, kekhawatiran, perasaan tidak aman, dan konflik-konflik.
Semua ini dialami dalam tingkat yang berbeda oleh setiap individu. Dari kedua
jenis tersebut, mengukur trait anxiety juga dapat dipakai untuk melihat apakah seseorang memiliki gangguan kecemasan atau tidak (Spielberg, dalam McDowell,
2006).
Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan
adalah suatu perasaan yang tidak menyenangkan yang muncul secara samar tanpa
diketahui penyebab yang jelas sebagai suatu respon terhadap tekanan perasaan,
perasaan tidak aman, perasaan bersalah dan malu akibat konflik-konflik
ketegangan dalam diri individu, yang ditandai dengan adanya kekhawatiran atau
rasa takut dan hal ini dialami dalam tingkatan yang berbeda-beda oleh setiap
individu.
A.2. Jenis-jenis Kecemasan
Ada tiga jenis kecemasan yang dikemukakan oleh Freud, yakni kecemasan
realistis, kecemasan neurotis, dan kecemasan moral (dalam Feist and Feist, 2009).
Egolah yang dapat membentuk perasaan kecemasan, tetapi ketiga komponen,
yakni id, ego, dan superego berperan dalam ketiga jenis konflik yang dikemukakan oleh Freud tersebut (Feist and Feist, 2009). Antara ketiga
menyenangkan. Perbedaannya hanya terletak pada sumber penyebabnya (Hall,
1995).
1. Kecemasan realistis. Kecemasan ini disebut juga sebagai kecemasan akan
kenyataan yaitu suatu pengalaman perasaan akibat adanya suatu bahaya
dalam dunia luar. Bahaya tersebut adalah setiap keadaan dalam lingkungan
seseorang yang mengancam untuk mencelakakannya.
2. Kecemasan neurotis. Kecemasan ini ditimbulkan oleh suatu pengamatan
tentang bahaya dari naluri-naluri. Kecemasan ini juga sering dihasilkan
bila impuls id ingin ditampilkan, akan tetapi ledakannya di kontrol oleh
ego. Salah satu jenis kecemasan ini adalah ketakutan yang menegangkan dan tidak irasional, yakni phobia.
3. Kecemasan moral. Kecemasan ini muncul dalam bentuk perasaan bersalah
atau malu yang ditimbulkan oleh suatu pengamatan mengenai bahaya dari
hati nurani. Pada kecemasan ini, seseorang tidak dapat hidup leluasa dalam
standar moralnya atau berlawanan terhadap suatu perilaku yang dikatakan
tidak etis. Pada kasus ini ego mengingatkan terjadinya suatu kemungkinan pembalasan dari super ego. Sumber kecemasan ini adalah pertentangan yang terjadi dalam diri individu, yakni antara id dan superego.
Pertentangan ini sifatnya intra-psikis, yang berarti bahwa hal ini
merupakan pertentangan struktural dan tidak menyangkut paut hubungan
antara dirinya dengan dunia melainkan dengan nilai-nilai yang dianut oleh
Selain jenis kecemasan yang diungkapkan oleh Freud, Spielberg (dalam
Carducci, 2009) juga membagi kecemasan dalam dua bentuk, antara lain :
1. Kecemasan sesaat (state anxiety) merupakan reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi tertentu yang dirasakan sebagai suatu ancaman. Reaksi
ini bersifat subjektif, dirasakan dengan sadar, perasaan tegang, gelisah dan
aktifnya sistem saraf otonom. Penilaian terhadap stimulus (situasi) yang
dianggap mengancam dipengaruhi oleh sikap, kemampuan, pengalaman
masa lalu dan kecemasan dasar. Kecemasan ini juga mengacu pada
keadaan “sekarang dan pada saat ini.”
2. Kecemasan dasar (trait anxiety) merupakan ciri atau sifat seseorang yang cukup stabil yang mengarahkan seseorang dalam menginterpretasikan
suatu keadaan yang mengancam. Trait anxiety sifatnya bawaan dan berbeda pada tiap individu. Seseorang yang memiliki trait anxiety yang tinggi memiliki kecenderungan yang tinggi pula dalam menanggapi suatu
situasi sebagai ancaman. Kecemasan ini adalah kecemasan yang secara
umum dialami oleh seseorang sepanjang hidupnya.
A.3. Faktor-faktor Penyebab Kecemasan
Kecemasan memiliki banyak faktor penyebab dan tidak datang dengan
sendirinya. Berikut ini adalah beberapa penyebab kecemasan:
1. Kecemasan objektif, merupakan kecemasan akan bahaya sesungguhnya
yang datangnya dari lingkungan atau dunia luar yang dapat mengancam
2. Kecemasan hati nurani, merupakan kecemasan yang timbul apabila
individu mengerjakan perbuatan yang berlawanan dengan moralitas
(Freud, dalam Hall, 1995). Lemahnya ego akan menyebabkan ancaman yang memicu munculnya kecemasan (Ardnt, 1974). Freud berpendapat
bahwa sumber ancaman terhadap ego berasal dari dorongan yang bersifat
insting dari id dan tuntutan - tuntutan dari superego. Freud (dalam Hall, 1995) menyatakan bahwa mengontrol arah tindakan, memilih segi - segi
lingkungan ke mana ia akan memberi respon dan memutuskan insting -
insting manakah yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya. Dalam
melaksanakan fungsi – fungsi eksekutif ini ego harus berusaha mengintegrasikan tuntutan - tuntutan id, superego, dan dunia luar sering menimbulkan tegangan berat pada ego dan menyebabkan timbulnya kecemasan.
3. Kecemasan neurotik, merupakan kecemasan yang berasal dari tubuh
karena takut hukuman akibat telah dilakukan pemuasan insting (Freud, dalam Hall, 1995).
4. Kecemasan sosial, merupakan kecemasan yang timbul bila individu takut
pendapat umum atau pendapat lingkungannya mencela perbuatannya
(Binder dan Kielholzt, dalam Trismiati, 2006).
5. Kecemasan berbeda tingkatannya pada intensitas perilaku. Ketika
seseorang melakukan suatu perilaku amoral secara berulang, maka
kebahagiaan yang diperoleh dari aktivitas tersebut akan meredam rasa
2008). Hal ini sejalan dengan teori belajar mengenai habituasi, James W.
(2009), seorang psikolog menulis bahwa habituasi merupakan penurunan
respon/tanggapan terhadap rangsangan/stimulus yang diberikan, dan tidak
dijumpai perubahan pada rangsangan lain selain dari rangsangan yang
diberikan.
A.4. Indikator Kecemasan
Spielberg (dalam Marteau dan Bekker, 1992) membuat dua indikator
kecemasan, yakni Anxiety Present dan Anxiety Absent.
Anxiety Present yakni indikator hadirnya tanda-tanda kecemasan. Adapun tanda tanda kecemasan tersebut berupa perasaan yang dialami oleh seseorang
seperti:
1. Merasa resah terhadap apa yang ia lakukan
2. Stres dengan tindakannya
3. Kesal terhadap diri sendiri
4. Cemas terhadap nasib
5. Takut dengan apa yang ia lakukan dan yang akan terjadi.
6. Perasaan gugup dengan sekitarnya
7. Timbulnya perasaan gelisah
8. Bimbang dengan perilakunya
9. Kebingungan dengan pilihan
Anxiety absent, adalah indikator yang sebaliknya, dimana kehadiran perasaan-perasaan seperti ini memperlihatkan bahwa tidak adanya kecemasan
pada seseorang. Tanda-tanda tersebut adalah kebalikan dari tanda-tanda present,
yaitu:
1. Ketenangan setelah melakukan sesuatu
2. Tidak adanya perasaan khawatir
3. Perasaan lega
4. Kepuasan dalam melakukan tindakan
5. Tetap merasa nyaman
6. Tetap percaya diri
7. Rileks dengan tindakannya
8. Yakin dengan pilihannya
9. Mengetahui bahwa apapun yang dilakukan adalah sesuai keinginannya
10.Hadirnya perasaan senang
A.5. Jangka Waktu Kecemasan Umum
Menurut DSM IV, kecemasan umumnya terjadi selama kurang dari enam
bulan, yang mana jika telah terjadi lebih dari enam bulan sudah dapat dinyatakan
sebagai gangguan, yakni generality anxiety disorder. Selain itu, yang membedakan kecemasan umum dengan gangguan kecemasan umum adalah pada
gejalanya, yang mana pada gangguan kecemasan memiliki gejala ketakutan yang
berlebihan dan intens selama berbulan-bulan yang tidak hanya menonjol pada saat
penyebab yang pasti, tetapi menimbulkan kehawatiran di segala sisi
kehidupannya. Pada penelitian ini, kecemasan yang dimaksud bukanlah gangguan
kecemasan, melainkan kecemasan umum yang terkait dengan suatu situasi
tertentu yang menjadi sumber kecemasan.
B. Eudaimonic Well-Being
B.1. Definisi Eudaimonic Well-Being
Eudaimonic Well-Being fokus pada realisasi diri, dimana kesejahteraan dipandang dari sejauh mana seseorang telah berfungsi sepenuhnya (Lazarus and
Folkman, dalam Ryan and Deci 2001). Filosofi eudomonism mendefinisikan bahwa tindakan yang tepat akan membawa seseorang menuju kesejahteraan.
Aristoteles menyatakan bahwa seseorang akan menemukan kebahagiaan dalam
mengekspresikan kebajikan dan dalam melakukan apa yang layak untuk
dilakukan sesuai dengan prinsip yang ia pegang (Ryan & Deci, 2001).
Kebahagiaan memiliki dua perspektif dasar yang menentukannya.
Pandangan pertama adalah hedomonic dan pandangan yang kedua adalah
eudaimonic. Keduanya berfokus pada kebahagiaan yang dialami oleh individu. Akan tetapi, eudaimonic yang dipakai selanjutnya dalam penelitian ini berbeda dengan hedomonic. Hedomonic memandang tujuan hidup yang utama adalah mendapatkan kenikmatan secara optimal, atau dengan kata lain, yakni mencapai
kebahagiaan. Jenis kebahagiaan ini fokus mencapai kepuasan hidup dengan
Berbeda dengan konsep hedomonic, Waterman (1993) menyatakan bahwa konsepsi well-being dalam pandangan eudaimonic menekankan pada bagaimana cara manusia untuk hidup dalam daimon-nya, atau dirinya yang sejati (true self). Diri yang sejati itu terjadi ketika manusia melakukan aktivitas yang paling
kongruen atau sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dan dilakukan secara
menyeluruh serta benar-benar terlibat di dalamnya (fully engaged) (Ryan & Deci, 2001). Oleh karena itu, Eudaimonic Well-Being mengacu pada kualitas hidup yang berasal dari perkembangan potensi terbaik seseorang dan aplikasi yang
bertujuan untuk pemenuhan ekspresi pribadi serta kesesuaian dengan tujuan hidup
(Waterman, 2010).
Mengejar keunggulan dan relisasi diri merupakan sifat-sifat khusus yang
mencerminkan fungsi eudaimonic. Selain itu, perasaan menikmati setiap kegiatan yang ia lakukan dan kemampuan untuk terus mengekspresikan pribadi adalah
pengalaman subjektif dari eudaimonia (Waterman et al, 2010). Teori eudaimonic
menyatakan bahwa kualitas hidup individu juga terletak pada kemampuan
individu mengidentifikasi bakat-bakat mereka serta tindakan mengembangkannya
untuk memperoleh tujuan dan makna hidup. Memilih tindakan yang paling sesuai
dengan diri sendiri akan menimbulkan perasaan eudaimonia. Waterman (2010)
mengemukakan bahwa ada enam komponen yang saling terkait dalam
Eudaimonic Well-Being, yakni: (1) penemuan diri, (2) pengembangan potensi terbaik yang dimiliki seseorang, (3) adanya tujuan yang berarti dalam hidup, (4)
usaha yang dituangkan dalam mengejar keunggulan, (5) keterlibatan intens dalam
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Eudaimonic Well-Being adalah kualitas hidup yang diperoleh dari pengembangan potensi terbaik yang dimiliki oleh seseorang sesuai dengan tujuan hidupnya, yang mana hal ini
dicapai dengan adanya pengenalan akan diri sendiri terkait potensi diri dan
pengembangannya, memiliki tujuan hidup, bersifat aktif, terlibat dalam kegiatan
yang sesuai, dan menikmati setiap keterlibatan pada kegiatan. Eudaimonic Well-Being mengacu pada bagaimana seseorang mengatasi tantangan dalam kehidupan serta menentukan tindakan yang paling sesuai dalam setiap hal yang mengganggu
kehidupannya.
B.2. Komponen Eudaimonic Well-Being
Berikut ini adalah enam komponen dalam Eudaimonic Well-Being yang dikemukakan oleh Waterman (2010):
1. Self discovery
Eudaimonism menekankan bahwa setiap orang harus mampu mengenali
dirinya dan hidup sesuai dengan daimonnya, yaitu diri yang sejati. Hal ini
bertujuan untuk membantu usaha dalam menuju realisasi diri. Seseorang harus
menyadari dirinya dalam tipe pribadi yang seperti apa dalam menjalani
kehidupannya. Pernyataan yang mengacu pada komponen ini dapat berupa “Saya
2. Perceived development one’s best potentials
Salah satu elemen penting dalam Eudaimonic Well-Being adalah mengenali potensi unik yang terbaik yang dimilikinya. Hal ini tidak berhenti pada
identifikasi potensi, tetapi juga keaktifan dalam usaha pengembangan potensi
tersebut agar berfungsi sepenuhnya. Pernyataan dalam komponen ini berupa
“Saya mengetahui potensi terbaik yang saya miliki dan saya mencoba
mengembangkannya di setiap kesempatan yang memungkinkan.”
3. A Sense of Purpose and Meaning in Life
Pada komponen ini seseorang mampu mengidentifikasi potensi diri yang
ia miliki dan tindakan mengembangkannya. Akan tetapi, potensi yang
dikembangkan lebih mengacu pada kesesuaian dengan tujuan hidup yang
memberikan makna bagi hidupnya. Dalam mengalami Eudaimonic Well-Being, individu harus menerapkan keterampilan dalam mengejar tujuan hidup yang
bermakna. Pernyataan dalam komponen ini berupa “Saya bisa berkata bahwa saya
telah menemukan tujuan hidup saya.”
4. Investment of Significant Effort in Persuit of Excellence.
Bukanlah suatu hal yang mudah dalam mencapai keunggulan. Realisasi
diri muncul dengan sendirinya sehingga membutuhkan upaya yang lebih untuk
mencapainya. Upaya yang maksimal yakni dilakukan dengan cara memfungsikan
Waterman menemukan bahwa ada hubungan yang postif antar Eudaimonic Well-Being dengan tingkat usaha yang diinvestasikannya dalam keterlibatan kegiatan.
5. Intense Involvement in Activities
Ketika seseorang menemukan kegiatan yang bermakna dan sesuai dengan
tujuan hidupnya, maka keterlibatannya juga harusnya lebih tinggi terhadap
kegiatan tersebut dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan lainnya. Seseorang akan
menemukan perasaan eudaimonia ketika menemukan kegiatan yang
membutuhkan bakat dan keterampilannya.
6. Enjoyment of Activities as Personally Expressive
Salah satu aspek paling jelas dalam menDefinisikan Eudaimonic Well-Being adalah pengalaman langsung berupa rasa bahagia dalam kegiatan yang dikerjakan. Seseorang yang mengalami Eudaimonic Well-Being harus merasakan bahwa apa yang mereka lakukan dalam hidup adalah ekspresi dari pribadi siapa
diri mereka sesungguhnya.
B.3. Aspek Eudaimonic Well-Being
Selain enam komponen yang disampaikan oleh Waterman, beberapa
peneliti lain, seperti Schutee, Wissing, dan Khumalo membuat sebuah analisis
faktor pada alat ukur Eudaimonic Well-Being Waterman pada tahun 2013. Pada penelitian tersebut, mereka menemukan adanya tiga aspek utama dalam variabel
1. Sense of Purpose (SoP) yaitu aspek yang berfokus pada sejauh mana seseorang mengenali dirinya (self knowledge) dan kebermaknaan suatu tujuan hidup dalam dirinya. Kebermaknaan tujuan hidup sejalan dengan
bagaimana seseorang mempersepsikan makna hidupnya. Hal ini sejalan
dengan konstruk makna hidup yang disampaikan Ryff (1989) yakni
adanya tujuan hidup, arah yang jelas, dan intensitas dalam pencapaiannya.
2. Purposeful Personal Exvressiveness (PPE) yaitu aspek yang fokus pada keaktifan seseorang secara penuh pada setiap aktivitas yang bermakna dan
bertujuan. Hal ini juga terkait dengan afeksi atau perasaan menikmati
setiap kegiatan yang mengekspresikan kepribadiannya serta usaha yang
dilakukan dalam pengembangan potensi. Aspek ini juga sejalan dengan
motivasi intrinsik dari teori self-determination yang dikemukakan oleh Ryan (2008), yakni adanya ketertarikan, otonomi, dan pengekspresian diri
pada setiap aktivitas yang dilakukannya.
3. Effortful Engagement (EE) yaitu aspek yang mengacu pada bagaimana seseorang memiliki suatu harapan sehingga menimbulkan upaya dalam
setiap kegiatan yang memungkinkan dalam pencapaian harapan tersebut,
sekalipun hal tersebut sulit. Tanggung jawab dalam pencapaian akan
berkebalikan dengan sifat menyerah dan mengikuti arus kehidupan. Aspek
ini berkaitan dengan optimalisasi diri di setiap pengalaman (Delle Fave