• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Kehidupan Umat Beragama di Kabupaten OKU Timur Wilayah Ogan Komering Ulu (OKU) Timur meliputi 20

kecamatan dan 184 Kelurahan dengan luas wilayah 4.467,58 km2. Ibukota Kabupaten OKU Timur adalah Martapura. Penyebaran penduduk di wilayah ini dominan di wilayah perdesaan dengan tingkat pendidikan yang belum merata, pertumbuhan penduduk tinggi, etnisitas yang majemuk, sarana dan prasarana sosial terbatas.156 Sehubungan

155Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Data ini juga didukung dengan arsip FKUB Kabupaten OKU Timur periode 2006-2009. Penjelasan lebih rinci mengenai bagaimana jaringan kerjasama antar umat beragama dapat dilihat

karya Hamka Haq, Jaringan Kerjasama antar Umat Beragama: dari Wacana ke Aksi

Nyata (Jakarta: Penerbit Titahandalusia Press, 2002), 79-83.

156Kecamatan Buay Madang Timur ditempati penduduk terbesar di Kabupaten

OKU Timur yaitu 52.637 jiwa, begitu pula Kecamatan Belitang dan Kecamatan Martapura dengan penduduk 49.585 jiwa dan 47.352 jiwa. Sedangkan Kecamatan Jayapura mempunya penduduk paling sedikit yaitu 11.446 jiwa. Penyebaran penduduk di wilayah Kabupaten OKU Timur menurut data tahun 2010 relatif tidak merata di

dengan hal tersebut, salah satu hal yang menarik adalah keanekaragaman budaya yaitu adat istiadat dan suku bangsa yang berada di Kabupaten OKU Timur. Masyarakat yang ada di kabupaten ini terdiri dari suku bangsa Komering, suku bangsa ini adalah suku bangsa penduduk asli/lama. Perkembangan selanjutnya karena pengembangan wilayah transmigrasi dan mobilitas penduduk (urbanisasi) terdapat suku bangsa lainnya seperti Jawa, Bali serta Tionghoa. Penduduk suku bangsa asli/lama tersebar di masing-masing wilayah kecamatan, sedangkan penduduk suku bangsa Jawa-Bali menyebar di kawasan-kawasan transmigrasi dengan mata pencaharian sebagai petani, sedangkan penduduk Tionghoa menyebar di kawasan perkotaan dengan mata pencaharian sebagai pedagang.157 Penduduk dari berbagai suku bangsa ini mempunyai keanekaragaman bahasa yang berbeda, namun antara mereka hidup dengan rukun dan damai. Selain itu mayoritas penduduk sebagai penganut agama Islam. Mobilitas penduduk Kabupaten OKU Timur tinggi, sehingga mereka banyak berkomunikasi antar etnis dan kontak sosial budaya pun terjadi. Kebudayaan yang masih dilakukan sampai saat ini di Kabupaten OKU Timur di antaranya ruwahan, maulid dan selamatan.

Berdasarkan observasi di lapangan, benih-benih konflik yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat di Kabupaten OKU Timur, antara lain Pertama, adanya kesenjangan kesejahteraan sosial penduduk dalam bidang ekonomi antara penduduk pendatang yang dominan kaya dengan penduduk pribumi yang pada umumnya tergolong miskin. Kedua, kekerasan sosial, sebagai akibat dari kesenjangan sosial maupun sikap budaya. Ketiga, adakalanya terjadi intervensi terhadap tradisi dan keyakinan keagamaan, yang bisa menimbulkan gesekan-gesekan, sekalipun di tempat ini belum pernah berkembang menjadi konflik kekerasan. Keempat, penggunaan idiom atau simbol-simbol secara tidak tepat di Indonesia telah menjadi identitas kelompok agama tertentu.158

setiap wilayah kecamatan. Jumlah penduduk dengan kepadatan tertinggi terdapat di

Kecamatan Martapura mencapai 463 jiwa/Km2, disusul oleh Kecamatan Belitang

Mulya dengan kepadatan 424 jiwa/Km2. Kepadatan penduduk terendah adalah

Kecamatan Jayapura yaitu 49 jiwa/Km2. Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.

157Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9

Februari 2011.

158Selain itu, permasalahan sosial lainnya yang ada di wilayah Kabupaten

OKU Timur yakni dibukanya agro-industri seperti perkebunan besar kelapa sawit dan karet, yang berpengaruh terhadap pola penggunaan lahan, serta polusi industri yang mengakibatkan banyak konflik kepentingan penggunaan lahan yang mengakibatkan

Sedangkan potensi kerukunan di Kabupaten OKU Timur, yaitu: keterlibatan pemuda dan tokoh masyarakat, serta pemuka agama dalam Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat); mudahnya komunikasi yang akrab antar pemuka agama; koordinasi yang baik antara aparat pemerintah dan pemuka agama; kepekaan yang positif dari pemuka agama untuk mengantisipasi secara dini kemungkinan munculnya gangguan kerukunan umat beragama, serta adanya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten OKU Timur yang mempunyai peran strategis dalam memelihara kerukunan umat beragama di daerah ini.

Menurut Wakil Bupati OKU Timur, bila dikaji lebih lanjut mengenai sejarah terjadinya konflik di berbagai daerah di Indonesia. Peristiwa konflik yang terjadi di Indonesia yang menyebabkan kerusuhan yang memakan korban nyawa di berbagai daerah. Oleh pengamat sosial, kerusuhan itu dikaitkan dengan terjadinya kesenjangan sosial dan ekonomi yang melanda tanah air. Tetapi ada sebagian lagi yang berpendapat dan mengaitkan kerusuhan tersebut bukan hanya sebagai akibat kesenjangan sosial semata, melainkan juga erat kaitannya dengan masalah SARA (Suku Agama dan Ras). Berbagai analisis yang kritis dilontarkan oleh para ahli sosiologi dan para biroktat, pemuka agama, dan tokoh masyarakat di media massa, penyebab-penyebab dari prahara yang melanda Tanah Air lengkap dengan solusi-solusinya. Namun, kerusuhan demi kerusuhan seolah tidak pernah menunjukkan tanda-tanda surut, bahkan beberapa daerah menunjukkan indikasi peningkatan konflik. Masalah ini perlu dikritisi dan dicermati secara hati-hati. Bagi daerah-daerah yang secara teritorial aman dan tentram, perlu mengambil pelajaran dari fenomena konflik dari kerusuhan yang terjadi di daerah-daerah lain. Antisipasi dini perlu dilakukan oleh pemimpin-pemimpin, tokoh-tokoh masyarakat dan pemuka agama. Interaksi yang berpotensi menjadi sumber konflik perlu ditelaah dan diatur oleh pemimpin di daerah guna memelihara agar kerukunan tetap terjaga dan mencegah terjadinya konflik.159

munculnya masalah kepentingan serta kesehatan masyarakat sekitarnya. Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9 Februari 2011.

159Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9

Februari 2011. Lihat juga Bidawi Zubir, ‚Tantangan dan Harmoni dalam Pluralisme:

Sebuah Sketsa Pengalaman Lapangan‛ dalam Islam Humanis, Islam dan Persoalan

Kepemimpinan, Pluralitas, Lingkungan Hidup, Supremasi Hukum dan Masyarakat Marginal, M. Tuwah ed. (Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2001), 47-48.

Ia juga mengatakan bahwa agama dapat menjadi wahana yang sangat efektif untuk memobilisasi massa. Namun keefektifan agama sebagai penyebab suatu konflik tergantung pada kondisi yang dialami sebuah masyarakat. Agama akan mudah menjadi wahana mobilisasi guna mencapai tujuan negatif, seperti penyebab konflik, apabila masyarakat mengalami ketidakberdayaan ekonomi dan politik yang tinggi. Sebaliknya, agama akan sulit dijadikan penyebab konflik apabila keberdayaan ekonomi dan politik masyarakat tinggi.160 Karena sejatinya tak ada agama satu pun, baik itu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Budha yang mengajarkan pengikutnya untuk menyakiti orang lain, apalagi membunuh manusia. Tapi, agama hadir di dunia dengan membawa misi suci yakni cinta damai terhadap sesama. Itulah pluralitas agama di era globalisasi yang menjadi karakteristik dari bangsa Indonesia yang heterogen. Sehingga tak bisa dipungkiri, pluralitas agama ini memiliki potensi dan peran sangat besar dalam proses integrasi dan pembangunan Kabupaten OKU Timur. Realitas ini didasarkan pada ajaran agama yang mewajibkan umatnya untuk mencintai sesama dan hidup rukun. Tak terkecuali, Islam dalam al-Qur’a>n surat al-Hujura>t: 10 yang mengajarkan: ‚Sesungguhnya orang -orang beriman itu tidak lain adalah bersaudara. Maka, damaikanlah antara dua saudaramu, dan bertakwalah pada Allah supaya kamu dirahmati‛.161

Bahwa pada beberapa tahun terakhir ini, ketika bangsa Indonesia mengalami masa transisi dari Orde Baru ke era Reformasi dengan berbagai isu dan kecenderungan global, khususnya mengenai demokratisasi, HAM, dan ekonomi global, kondisi ini dapat dijadikan peluang oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk menimbulkan kerusakan dan berakhir pada konflik komunal. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik di berbagai daerah di Indonesia, seperti kasus di Maluku, Poso, Aceh. Selain itu, faktor penyebab konflik juga, bisa bernuansa agama, etnis, politis, sosial,

160Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9

Februari 2011. Lihat juga Loekman Soetrisno, Konflik Sosial: Study Kasus di

Indonesia (Yogyakarta: Tajidu Press, 2003), 39-40.

161Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011.

budaya, atau kombinasi dari berbagai nuansa tersebut.162 Untuk mencegah agar konflik yang terjadi di berbagai daerah itu tidak merambat ke Kabupaten OKU Timur, maka pemerintah kabupaten ini segera membentuk suatu forum yang diharapkan dapat berperan aktif dalam upaya pemeliharaan kerukunan, forum itu bernama Forum Kerukunan Umat Beragama atau disingkat FKUB,163 yang akan dibahas lebih lanjut pada sub bab berikutnya.

Selain membentuk FKUB, pemerintah Kabupaten OKU Timur juga menghimbau dan mengajak para pemuka agama, baik pemuka agama Islam, Kristen, Khatolik, Hindu dan Budha untuk dialog dan memahami benar pentingnya perdamaian. Salah tema dialog yang efektif dalam memelihara kerukunan dan mencegah terjadinya konflik, yakni membahas mengenai pluralisme agama (pemahaman yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan, dengan menerimanya sebagai sebuah kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu). Itulah pluralitas agama di era globalisasi yang menjadi karakteristik dari bangsa Indonesia yang heterogen. Sehingga tak bisa dipungkiri, pluralitas agama ini memiliki potensi dan peran sangat besar dalam proses integrasi dan pembangunan Kabupaten OKU Timur. Realitas ini didasarkan pada ajaran agama yang mewajibkan umatnya untuk mencintai sesama dan hidup rukun. Di samping itu, pluralitas agama ini juga mengandung potensi terjadinya konflik, disintegrasi bangsa, ketika melihat masing-masing agama memiliki klaim kebenaran absolut dan muatan emosi keagamaan yang menjadi dasar interaksi primer. Konflik atas dasar perbedaan agama bisa disebabkan, baik oleh ajaran agama itu sendiri, kualitas moral-spiritual penganutnya, maupun latar belakang budaya, seperti kultur patriarkal atau ikatan primordial yang masih kuat. Secara struktural perbedaan agama tersebut berkaitan erat dengan rasa in-security dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya.164

162Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9

Februari 2011. Lihat J.A. Ferdinandus, ‚Pola Ideal Jaringan Kerjasama Antar Umat

Beragama,‛ dalam Jaringan Kerjasama antar Umat Beragama: dari Wacana ke Aksi Nyata, Hamka Haq eds., 88.

163Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011.

164Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid

Pemuka agama dan tokoh masyarakat disebut dengan istilah fungsionaris agama, dan intelektual; fungsionaris agama boleh jadi termasuk intelektual, dan sebaliknya tidak semua intelektual merupakan fungsionaris agama. Seorang intelektual boleh jadi sangat qualified dan kapabel dalam hal-hal agama, namun tidak disebut dan diakui masyarakat luas sebagai fungsionaris agama, karena tidak sepenuhnya menjalankan fungsi-fungsi fungsionaris agama.165

Dalam perkembangan selanjutnya, semakin banyak dialog yang justru dilakukan para intelektual, juga melibatkan fungsionaris dan wakil-wakil berbagai agama. Dialog yang berlangsung itu dapat dilihat dalam kerangka Kimball, yang mengambil beberapa bentuk distingtif tetapi saling berkaitan,166 yakni: Pertama, dialog parlementer,167 dialog

kelembagaan,168 dialog teologis,169 dialog dalam masyarakat,170 dialog kerohanian171.

Islam (Faturrahman), Tanggal 9-10 Februari 2011. Lihat juga Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), 10.

165Yang dimaksud dengan fungsionaris adalah orang yang menjalankan

fungsi-fungsi kepemimpinan agama; memimpin dan mengarahkan para pemeluk agama, seringkali bukan hanya dalam urusan agama (sakral) seperti keimanan (teologi), ibadat, ritual, dan sebagainya, tetapi juga dalam urusan-urusan yang lebih bersifat keduniaan (profan). Secara individual dan kolektif mereka dikenal dengan julukan (yang sekaligus menunjukkan fungsinya) ulama, ustad, mubalig, pastur, pendeta, bikhsu, pedanda.

Untuk lebih jelasnya lihat Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia

Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), 56-58.

166A. Charles Kimball, ‚Muslim-Christian Dialogue,‛ dalam J.L. Esposito,

eds., The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol. 3 (New York:

Oxford University Press, 1995), 204. Lihat juga Azyumardi Azra, Konteks Berteologi

di Indonesia Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), 62-65.

167Yakni dialog yang melibatkan ratusan peserta, misalnya World’s

Parliament of Religions pada tahun 1893 di Chicago, World Conference on Religion and Peace (WCRP) dan the World Congress of Faiths (WCF) pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an. Dalam pertemuan-pertemuan ini, ratusan para peserta cenderung memusatkan diri dalam penciptaan dan pengembangan kerjasama yang lebih baik di antara berbagai kelompok agama, dan sekaligus mengggalang perdamaian di antara para pemeluk agama.

168Yakni dialog di antara wakil-wakil institusional berbagai organisasi agama,

yang bertujuan untuk membicarakan dan memecahkan masalah mendesak yang dihadapi umat agama yang berbeda, serta untuk mengembangkan dan menciptakan komunikasi di antara wakil-wakil kelembagaan dari organisasi berbagai agama. Dialog kelembagaan ini melibatkan majelis-majelis agama yang diakui pemerintah, yakni MUI, PGI, KWI, Parisadha Hindu Dharma, dan Walubi.

169Dialog jenis ini mencakup pertemuan-pertemuan baik regular maupun tidak

untuk membahas persoalan-persoalan teologis dan filosofis, seperti makna tradisi keagamaan seseorang dalam konteks pluralisme keagamaan. Dialog teologi ini pada

Manfaat dialog, antara lain terkikisnya kesalahpahaman yang bersumber dari adanya perbedaan bahasa dari masing-masing agama, dialog juga dimaksudkan untuk mencari respons yang sama terhadap semua tantangan yang dihadapi oleh agama, yakni bahwa tantangan yang dihadapi oleh salah satu agama pada dasarnya tantangan yang dihadapi oleh semua agama, dan tantangan yang dihadapi oleh agama, juga tantangan yang dihadapi manusia sebagai manusia.172

Dialog antar pemuka agama menurut Romo Pius harus senantiasa dimulai dan dilandasi oleh kejujuran dan ketulusan. Ketulusan untuk mengakui dan menyadari keterbatasan diri dalam pemahaman tentang Tuhan dan kebenaran-Nya. Dan jika ketulusan itu telah ada, maka akan lahir pula ketulusan untuk mengerti dari pihak lain agar pemahaman tentang Tuhan dan kebenaran serta kekuasaan-Nya dapat lebih diperkaya. Tetapi harus jelas bahwa yang pertama sekali haruslah ada ketulusan untuk mengakui keterbatasan diri sendiri untuk memahami kebesaran-Nya. Bila ada perasaan sempurna itu terdapat dalam pemahaman kebenaran Tuhan, jangan-jangan bukan kebenaran Tuhan itu sendiri yang dianggap sempurna melainkan kebenaran diri sendiri. Dilandasi dengan ketulusan dan kejujuran, tantangan selanjutnya di antara sesama pemuka agama dalam melaksanakan peranannya di tengah-tengah umat adalah keterbukaan. Keterbukaan agar orang dapat mengetahui, mencari informasi yang jujur, mempelajaari apa yang ingin dipelajari. Keterbukaan untuk berdialog dan berdiskusi guna menyelesaikan konflik-konflik pandangan untuk

umumnnya diselenggarakan kalangan intelektual atau organisasi-organisasi yang dibentuk untuk juga mengembangkan dialog antaragama, seperti Interfidei, Paramadina, MADIA, dll.

170Dialog dalam kategori ini pada umumnya berkonsentrasi pada penyelesaian

hal-hal praktis dan aktual dalam kehidupan yang menjadi perhatian bersama. Misalnya hubungan yang lebih patut antara agama dan negara, hak-hak minoritas agama, kemiskinan, masalah-masalah yang muncul dari perkawinan antaragama, pendekatan yang lebih pantas dalam penyebaran agama, atau nilai-nilai agama dalam pendidikan. Dialog semacam ini biasanya diselenggarakan oleh organisasi-organisasi dialog dan LSM lainnya.

171Dialog seperti ini bertujuan untuk menyuburkan dan memperdalam

kehidupan spiritual di antara berbagai agama. Bentuk dialog spiritual yang mungkin lebih acceptable adalah melalui aspek esoteris agama, seperti ditawarkan misalnya oleh Schuon (1975), Schimmel & Falaturi (1979), dan Sayyed Hossein Nasr dalam berbagai bukunya.

172Departemen Agama, Sosiologi Keagamaan: Suatu Kajian Empirik dalam

Memantapkan Nilai-Nilai Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Puslitbag Depag RI, 2004), 119.

mencegah terjadinya konflik yang lebih luas lagi. Keterbukaan yang dilembagakan dalam arti mewujudkan kontrol sosial yang nyata, agar konflik dalam membentuk apapun pun dapat dengan mudah diatasi. Juga termasuk konflik-konflik yang kemungkinan timbul akibat begitu heterogennya masyarakat Kabupaten OKU Timur khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Sebelum dicapainya nilai-nilai sikap ideal yang dimaksud, sudah barang tentu masing-masing pemuka agama harus kredibel di mata umatnya. Apakah kata-kata kita dapat dipegang dan dijadikan panutan umat. Apakah kita hanya mampu berbicara yang luhur-luhur saja dari nilai agama kita tanpa membawakan contoh dan teladan yang benar. Menurut Romo Pius selama ini karena suasana dialogis belum terlembagakan dengan baik, respon yang diberikan oleh agama dalam menghadapi tantangan eksternal, masih bersifat monolitikeksial, yakni hanya mengandalkan agamanya masing-masing dan menolak kehadiran agama lain, jika kelompok lain mau melibatkan, tetap dalam format monolitik. Sekilas kecenderungan monolitik-eklesial ini mengisyaratkan semangant untuk melakukan perubahan seperti yang dikehendaki oleh ketentuan normatif ajaran agama. Jika dicermati lebih mendalam, kecenderungan ini sebenarnya akan menggiring agama ke dalam persaingan, sektarian, eksklusivitas, dan instrumentalis. Padahal dengan semakin maju perkembangan teknologi informasi dan transfortasi, yang telah meruntuhkan batas-batas budaya, bahasa, etnis, geografis, ideologi, dengan sendirinya perjumpaan dialog dan kerjasama antar umat beragama tidak mungkin bisa dihindari.173

Dalam konteks ini mengembangkan suasana dialog memang tidak mudah. Salah satu cara yang dapat dilakukan dengan metode fenomenologi dan perennialistik. Fenomenologi seperti dijelaskan oleh Hidayat dan Nafis merupakan cara memahami agama yang ada dengan sikap apresiatif tanpa semangat penaklukan atau pengkafiran. Dialog agama dengan metode fenomenologis itu, meskipun masih terasa aspek dakwahnya, cukup positif karena disamping akan melahirkan kompetisi di bidang intelektual, juga metode ini tidak berpretensi melakukan falsifikasi terhadap keyakinan orang dalam rangka membenarkan agamanya sendiri. Dengan metode ini mengajak untuk menjadi

173Hasil wawancara dengan Romo Pius (pemuka agama Khatolik), Tanggal 10

Februari 2011. Lihat juga Departemen Agama, Sosiologi Keagamaan: Suatu Kajian

Empirik dalam Memantapkan Nilai-Nilai Kerukunan Umat Beragama (Jakarta:

Puslitbag Depag RI, 2004), 119-120. Bandingkan dengan Hamka Haq, Jaringan

Kerjasama antar Umat Beragama: dari Wacana ke Aksi Nyata (Jakarta: Penerbit Titahandalusia Press, 2002), 81-82.

pemerhati dan pendengar yang baik, sehingga bisa memahami dan menghargai sikap keberagamaan orang lain tanpa membuang keimanan kita. Menurut Swidler, yang ingin ditekankan melalui dialog secara fenomenologis ini adalah saling belajar terhadap pengalaman keberagamaan orang lain.174

Selanjutnya agar diperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap agama lain, dialog tidak boleh berhenti hanya pada pemahaman secara fenomenologis, karena hasil paling jauh yang diperoleh adalah ditemukan adanya struktur-struktur yang sama dalam setiap agama, yang diekspresikan ke dalam berbagai cara. Oleh karena itu dialog perlu dikembangkan lagi melalui metode perennialistik yang bisa mengarahkan pada usaha pencarian kemungkinan adanya apa yang disebut trancendent unity of religious. Metode ini tidak mempunyai pretensi menegaskan sama terhadap keragaman agama-agama secara eksoterik seperti bahasa, simbol-simbol, dan tradisi keagamaan. Tanpa menolak itu semua, metode perennial ingin memberikan suatu insight bahwa dibalik adanya perbedaan eksoterik, sesungguhnya dalam semua agama terdapat pesan tentang kesatuan transedental, yakni kepasrahan kepada realitas yang mutlak, yaitu Tuhan, terlepas bagaimana yang mutlak itu dikontruksi ke dalam bahasa para pemeluknya. 175

Ulama176 memperlihatkan karakteristik-karakteristik tertentu sebagai sebuah kelompok sosial. Mereka lebih daripada sekedar suatu kelompok kerja. Meskipun garis pembatas antara ulama dan pedagang atau petani, misalnya, tidak selalu jelas karena banyak pula ulama yang menjadi pedagang atau petani untuk mendapatkan nafkah, tetapi karena pengetahuan dan fungsi khusus yang mereka miliki, mereka sebagai suatu kelompok jelas berbeda dengan kelompok-kelompok sosial

174Dikutip dari Departemen Agama, Sosiologi Keagamaan: Suatu Kajian

Empirik dalam Memantapkan Nilai-Nilai Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Puslitbag Depag RI, 2004), 120-121.

175Dikutip dari Departemen Agama, Sosiologi Keagamaan: Suatu Kajian

Empirik dalam Memantapkan Nilai-Nilai Kerukunan Umat Beragama, 120-121.

176Istilah ulama, bentuk jamak dari kata benda (fa>’il) bahasa Arab ’a>lim,

berasal dari kata kerja ’alima yang berarti mengetahui atau berpengetahuan tentang.

Sedangkan ’a>lim adalah seorang yang memiliki atribut ’ilm (pengetahuan) sebagai

suatu kekuatan yang berakar kuat dalam ilmu pengetahuan seseorang yang sangat terpelajar dalam ilmu pengetahuan dan literatur. Singkatnya seorang yang pakar dalam ilmu-ilmu agama yang mempunyai hak-hak istimewa untuk disebut ulama. Untuk lebih

jelas mengenai hal ini lihat E.W. Lane, Arabic-English Lexicon, Vol II (Cambridge:

Cambridge UP, 1984), 2138. Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic,

lainnya. Ulama dengan demikian membentuk suatu kelompok sosial yang dapat tumpang tindih dengan kelompok-kelompok sosial lainnya dari segi kerja. Dalam pengertian ini, cukup beralasan menyatakan bahwa ulama lebih merupakan suatu kelompok fungsional daripada kelompok kerja. Lebih jauh, berkat kedalaman ilmu dan fungsi khas yang mereka pegang, ulama jelas termasuk ke dalam kelompok cendekiawan, yang memainkan peran sebagai elit kultural dalam masyarakat Muslim. Sebagai suatu kelompok elit kultural dan kelompok nonpolitis, ulama secara strategis menduduki posisi sebagai kelompok mediator, yang menjembatani jurang pemisah antara umara>’ (penguasa) dan ummah (rakyat jelata).177

Peran kaum intelektual sebagai agen perubahan sosial, yakni: menata kehidupan sosial terutama nilai/norma yang diajarkan oleh agama; membimbing masyarakat melalui aktivitas intelektual mereka untuk mendapatkan pemahaman yang benar; menauladani perilaku yang benar sebagai perbuatah dakwah untuk masyarakat dimanapun berada; menjadi pembela utama dan penolong masyarakat dalam melepaskan

Dokumen terkait