• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jaring pengaman pencegahan konflik: kasus masyarakat oku Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Jaring pengaman pencegahan konflik: kasus masyarakat oku Timur"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

NIM. 09.2.00.1.09.01.0020

JARING PENGAMAN PENCEGAHAN KONFLIK: KASUS MASYARAKAT OKU TIMUR

Tesis

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister di Bidang Kajian Islam

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

KATA PENGANTAR









Persoalan konflik merupakan problem besar yang mengarah kepada kehancuran dan disintegrasi bangsa. Hal tersebut nampak dari berbagai kasus yang terjadi di Indonesia. Provinsi Sumatera Selatan sebagai salah satu wilayah rentan konflik, namun tetap aman dan tidak terprovokasi dengan berbagai persoalan konflik di provinsi-provinsi tetangga. Asumsi dasar yang dikembangkan karena adanya jaring pengaman pencegahan konflik, asumsi itu perlu dikaji lebih mendalam.

Asumsi yang berkembang bahwa masyarakat OKU Timur memiliki jaring pengaman agama yang berpijak pada nilai-nilai sebiduk sehaluan yang menjadi motto kabupaten tersebut. Namun demikian, asumsi tersebut perlu dikaji tingkat efektifitasnya. Tinjuan ini juga terkait dengan masih adanya informasi yang berhubungan dengan ketimpangan pemberlakuan terhadap suku atas suku lain, termasuk ketidakadilan dalam menerima bantuan dana keagamaan satu agama dengan agama lain, Selain itu juga, penerimaan intervensi terhadap tradisi dan keyakinan keagamaan, yang dapat menimbulkan gesekan-gesekan, sekalipun di tempat ini belum pernah berkembang menjadi konflik kekerasan. Kekerasan sosial, sebagai akibat dari kesenjangan sosial maupun sikap budaya. Adanya kesenjangan kesejahteraan sosial penduduk dalam bidang ekonomi antara penduduk pendatang yang dominan kaya dengan penduduk primbumi yang pada umumnya tergolong miskin, yakni antara orang Bali yang secara ekonomi lebih sukses dibandingkan orang Komering dan orang Jawa. Yang sebagian menyebut sebagai salah satu bentuk benih-benih konflik. Dari hal-hal tersebut maka penelitian yang berjudul Jaring Pengaman Pencegahan Konflik: Masyarakat Oku Timur menarik untuk dikaji.

(3)

dan fungsi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam pencegahan konflik. BAB V merupakan penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan implementasi penelitian.

Selesainnya buku ini tentu saja tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu proses penulisan hingga selesainya buku ini. Pertama penulis mengucapkan terima kasih kepada DR. Sudarnoto Abdul Hakim, MA selaku pembimbing, melalui bimbingan dan arahannya yang telaten dan teliti penulis menuntaskan buku ini.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. DR. Azyumardi Azra, MA Direktur Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. DR. Suwito, MA, DR. Fuad Jabali, dan DR. Yusuf Rahman yang telah memberikan ide, masukan, dan juga saran yang membangun dan sangat berguna.

Penulis mengucapkan banyak terima kepada Pak Heri Junaidi, Ibu Syefriyeni, Pak Idzam Fautanu, Pak Jhon Supriyanto, Pak Syarifuddin, Pak Maryuzi, Pak Kusnadi, Pak Abdul Hadi\\ serta bapak-bapak yang ada di IMPASS (Ikatan Mahasiswa Sumatera Selatan), juga kepada dosen-dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang atas bantuan, doa dan motivasinya yang sangat membantu proses penyelesaian studi S2 di Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bupati OKU Timur serta segenap jajarannya, juga kepada Tri Kartika Sari dan Yan Safari. Terima kasih banyak atas semua bantuannya selama proses pengumpulan data di Kabupaten OKU Timur.

Lebih lanjut penulis persembahkan karya ini kepada ayahanda Mustopa Usman, dan Ibunda Sofiah Suhaimi, juga yunda Agusliana, kanda Agustiansyah, serta Adinda Ari Kurniawan yang terus mensupport baik baik materil maupun non materil. Terima kasih banyak atas pengorbanan yang telah diberikan selama ini.

Kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, yang telah memberikan saran, kritik, dan bantuan hingga selesainya penulisan buku ini diucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT membalasnya sebagai amal ibadah. Semoga bermanfa’at. Amin.

Jakarta, Mei 2011 Penulis,

(4)

TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA

A. Huruf Konsonan

أ = ' ز = z ق = q

ب = b س = s ك = k

ت = t ش = sh ل = l

ث = th ص = s} م = m

ج = j ض = d{ ن = n

ح = h{ ط = t} و = w

خ = kh ظ = z} ه = h

د = d ع =ء = `

ذ = dh غ = gh ي = y

ر = r ف = f

B. Huruf Vokal

Vokal Tunggal: a = ´ ; i = ; u = Vokal Panjang: a< = ا ; i> = ي ; ū = و

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v

TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA ix DAFTAR ISI x

BAB I

PENDAHULUAN 1

BAB II

PENCEGAHAN KONFLIK DALAM PERSPEKTIF 14

A.Karakteristik Konflik ─ 14

B.Teoritisasi Penyebab Konflik ─ 27

C.Pendekatan dalam Upaya Pencegahan Konflik ─ 33 D.Jaring Pengaman Pencegahan Konflik ─ 42

BAB III

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM UPAYA MENCEGAH KONFLIK 45

A. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Keadilan dan Kesejahteraan Umat ─ 45

B. Perbaikan di Bidang Sosial Ekonomi ─ 60

BAB IV

PERAN DAN FUNGSI FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

(FKUB) DALAM PENCEGAHAN KONFLIK 68

A. Dinamika Kehidupan Umat Beragama di Kabupaten OKU Timur ─ 68

B. Wewenang dan Tanggung Jawab FKUB ─ 81 C. Agenda Kegiatan FKUB dalam Menciptakan

(6)

D. Kerjasama Pemerintah Kabupaten OKU Timur

dengan Pemuka Agama, serta Masyarakat OKU Timur dalam Upaya Mencegah Konflik ─ 88

BAB V

PENUTUP 99 A. Kesimpulan ─ 99

B. Implementasi Penelitian ─ 100

DAFTAR PUSTAKA ─ 101 INDEKS ─ 113

(7)

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Persoalan konflik merupakan problem besar yang mengarah kepada kehancuran dan disintegrasi bangsa. Hal tersebut nampak dari berbagai kasus yang terjadi diberbagai provinsi yang ada di Indonesia, misalnya konflik yang terjadi di Aceh (1976-2005),1 Papua (1965-2000),2 Poso (1998-2001),3 Tasikmalaya (1996),4 Sampit5 (Kalimantan Tengah) tahun 1997-2001, Sambas (Kalimantan Barat) tahun 1999-2001,6 Ambon (1999-2002)7.

Provinsi Sumatera Selatan sebagai salah satu wilayah rentan konflik,8 namun tetap aman dan tidak terprovokasi dengan berbagai

1Untuk lebih jelasnya lihat Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, eds.

Disintegrasi Pasca Orde Baru: Konflik Lokal dan Dinamika Internasional (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), 92-93.

2Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, eds. Disintegrasi Pasca Orde Baru:

Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, 100-117.

3Endang Kironosasi, dkk., ‚Deskripsi Penelitian Wilayah Poso,‚ dalam

Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air, Rusmin Tumanggor, eds. (Jakarta: Lemlit & PM UIN Syahid Bekerjasama dengan Balitbangsos Depsos RI, 2004), 129-176.

4Toriq Hadad, Amarah Tasikmalaya: Konflik di Basis Islam (Jakarta: ISAI,

1998), 9-28.

5Syamir Salam dan Badri Yatim, ‚Deskripsi Penelitian Wilayah Sampit,‚

dalam Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air, Rusmin Tumanggor, eds., 85-126.

6Lihat Stanley, eds. Konflik Etnis di Sambas (Jakarta: IAIS, 2000), 120-124.

Lihat juga Hamdani Anwar dan Amsal Bakhtiar, ’’Deskripsi Penelitian Wilayah Sambas,‚ dalam Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air, Rusmin Tumanggor, eds., 35-80.

7Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, eds. Disintegrasi Pasca Orde Baru:

Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, 157-174. Untuk mengetahui lebih jelas bagaimana deskripsi wilayah Ambon, Lihat Imam Soeyoeti, ‛Deskripsi Penelitian Wilayah Ambon,‚ dalam Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air, Rusmin Tumanggor, eds., 177-220. Lihat juga

Eriyanto, Media dan Konflik Ambon: Media, Berita dan Kerusuhan Komunal di

Ambon 1999-2002 (Jakarta: Penerbit Kantor Berita Radio 68 H, 2003), dalam kata pengantar.

8Sumatera Selatan mempunyai 22 suku, antara lain suku Komering,

(8)

persoalan konflik di provinsi-provinsi tetangga. Berdasarkan hasil studi terdahulu diketahui wilayah Sumatera Selatan yang memiliki masyarakat multikultural, multi-etnik dan multi-religius adalah Kabupaten OKU Timur. Indikator yang menjadi dasar adalah Pertama, Kabupaten ini memiliki penduduk yang berjumlah 620.862 jiwa, dengan mayoritas penduduk beragama Islam (588.213 jiwa), mayoritas kedua beragama Hindu (12.901 jiwa), sisanya Kristen (11.745 jiwa) Katolik (7.157 jiwa), Budha (846 jiwa).9 Kedua, penduduk di Kabupaten OKU Timur terdiri dari berbagai suku dan etnis. Berdasarkan data dari Pemerintah Kabupaten OKU Timur suku yang berada di wilayah tersebut meliputi suku Bali (24%), suku komering (22%), suku Jawa (19%), suku Padang (14%), Suku Batak (12%), suku Palembang (9%). Sedangkan etnis yang berada di wilayah dikenal dengan sebiduk sehaluan tersebut terdiri dari etnis Basemah yang berasal dari Kabupaten Lahat (termasuk Kabupaten Empat Lawang) dan Kota Pagar Alam, Kisam (Kabupaten OKU Selatan), Kedurang (Kabupaten Bengkulu Selatan), Padang Guci dan Kinal (Kabupaten Kaur). Pasemah (Besemah) bersama-sama dengan Rejang, Empat Lawang, Kikim dan Kisam serta beberapa daerah yang terletak antara Lampung dan Palembang iliran, Etnis India, Etnis China, dan Etnis Arab.10

Berdasarkan data tersebut memperlihatkan bahwa wilayah OKU Timur yang rentan terhadap konflik, namun tetap aman di tengah-tengah wilayah lain di Indonesia yang bergejolak. Asumsi yang berkembang bahwa masyarakat OKU Timur memiliki jaring pengaman agama yang berpijak pada nilai-nilai sebiduk sehaluan yang menjadi motto kabupaten tersebut. Namun demikian, asumsi tersebut perlu dikaji tingkat efektifitasnya. Tinjuan ini juga terkait dengan masih adanya informasi yang berhubungan dengan ketimpangan pemberlakuan terhadap suku atas suku lain, termasuk ketidakadilan dalam menerima bantuan dana keagamaan satu agama dengan agama lain, Selain itu juga, penerimaan intervensi terhadap tradisi dan keyakinan keagamaan, yang dapat menimbulkan gesekan-gesekan, sekalipun di tempat ini belum pernah berkembang menjadi konflik kekerasan. Kekerasan sosial, sebagai akibat dari kesenjangan sosial maupun sikap budaya. Adanya

Kubu. Selain itu juga ada etnis Cina, India, Arab, dan Melayu. Sumber: Depdikbud Ditjen. Kebudayaan, Peta Suku Bangsa di Pulau Sumatera, Direktorat Jarahnita Subdit Lingkungan Budaya, 1989, 34.

9Sumber: Arsip Departemen Agama Kabupaten OKU Timur, 2010.

10Sumber: www. bappedaokutimurkab.go.id di akses tanggal 10 Januari

(9)

kesenjangan kesejahteraan sosial penduduk dalam bidang ekonomi antara penduduk pendatang yang dominan kaya dengan penduduk primbumi yang pada umumnya tergolong miskin, yakni antara orang Bali yang secara ekonomi lebih sukses dibandingkan orang Komering dan orang Jawa. Yang sebagian menyebut sebagai salah satu bentuk benih-benih konflik.11 Dari hal-hal tersebut maka penelitian yang berjudul Jaring Pengaman Pencegahan Konflik: Masyarakat Oku Timur layak untuk diteliti.

Studi ini bermula dari keinginan memperoleh jawaban mengenai upaya untuk mencegah terjadinya konflik di daerah yang memiliki keragaman baik suku maupun agama, yang bila tidak disikapi secara bijak dapat memunculkan konflik komunal Sehubungan dengan itu, permasalahan yang ada dalam judul tersebut diidentifikasi sebagai berikut.

Untuk mengamankan masyarakat pluralis yang rentan terjadinya konflik dengan menggunakan jaring pengaman masyarakat dapat dikaji dari berbagai aspek, yakni Pertama, aspek ekonomi, dengan melakukan upaya-upaya yang dapat mensejahterakan masyarakat, seperti pemberdayaan masyarakat berbasis keadilan dan kesejahteraan umat, dengan memberlakukan JPS (Jaring Pengaman Sosial), memberikan bantuan bagi keluarga yang kurang mampu, mengadakan pelatihan-pelatihan kepada masyarakat yang tidak mempunyai pekerjaan sehingga ia mempunyai keterampilan yang dapat menghasilkan uang. Kedua, aspek normatif (dokrin agama), yakni upaya memberikan kesadaran dan pemahaman yang baik mengenai pentingnya untuk hidup damai dan rukun, salah satu caranya dengan mengadakan kegiatan pengajian yang materinya seputar pentingnya menciptakan dan memelihara kerukunan dan keharmonisan hidup beragama (pengajian agama berbasis pluralitas), peran serta dan kearifan pemuka agama untuk tidak melakukan dakwah standar ganda dalam masyarakat majemuk. Ketiga, aspek politik dan hukum, yakni dengan memberlakukan sangsi yang tegas dan mengamankan siapa saja yang berbuat sesuatu hal yang dapat menyebabkan terjadinya konflik.

Artinya, untuk mencegah agar tidak terjadinya konflik yang perlu diperhatikan, yakni bagaimana kondisi sosial masyarakat itu, seperti keadaan ekonomi, situasi politik, sosial budaya, dll. Disinilah dituntut sejauh mana peran pemerintah dalam menyelesaikan

11Berdasarkan observasi dan pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti

(10)

masalah yang ada. Disamping itu, pemerintah juga perlu bekerja sama dengan semua pihak yang terkait, antara lain dengan pemuka agama, agamawan dan para cendikiawan teologis. Dalam hal ini juga, banyak sudut pandang dan ilmu yang dapat dipakai dalam mengkaji masalah tersebut, antara lain: ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu sosiologi, ilmu psikologi, dll.

Melihat begitu kompleksnya masalah yang dihadapi dalam upaya mencegah agar konflik komunal tidak terjadi, diperlukan ilmu pengetahuan yang kompeten dan dapat diharapkan sanggup memecahkan masalah ini dengan wajar. Teknologi, teologi, ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu antropologi budaya, ilmu hukum harus bisa disinerjikan dan dikolaborasikan dengan efektif. Karena teologi saja misalnya, tidak dapat diharapkan mampu memecahkan persoalan, apalagi teologi yang masih berpegang pada pola tradisional dan biasanya kurang menguasai pengetahuan sosiologis. Munculnya usaha pengembangan ke arah teoritis dan praktis dalam teologi seperti teologi sosial, teologi bisnis, dewasa ini sesungguhnya merupakan jawaban dari kesempitan makna teologi yang sampai sekarang ini dianut oleh mayoritas muslim di Indonesia. Dari teknologi pun juga belum cukup, karena teknik pembangunan dari sarana-sarana fisik adalah lain dari teknik menangani masalah sosial. Masyarakat tidak dapat digerakkan dalam pembangunan ini dengan hanya ditawari teknologi-teknologi canggih melainkan perlu teknik-teknik penyadaran akan perlunya kehidupan yang lebih baik. Untuk itu butuh juga ilmu-ilmu, misalnya psikologi atau sosiologi umum.

(11)

Sesuai dengan pembatasan yang telah ditentukan, maka rumusan masalah penelitian ini, yakni apakah jaring pengaman pencegahan konflik dapat menjadi salah satu strategi yang efektif untuk mencegah terjadinya konflik pada masyarakat Kabupaten OKU Timur Sumatera Selatan ? Dari rumusan masalah ini kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana peran dan kerjasama pemerintah Kabupaten OKU Timur dengan pemuka agama dalam jaring pengaman pencegahan konflik pada masyarakat Kabupaten OKU Timur?

b. Bagaimana fungsi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten OKU Timur dalam upaya pencegahan konflik di Kabupaten OKU Timur?

c. Bagaimana fungsi kegiatan sosial kemasyarakatan (gotong royong, kerja sama dan bakti sosial) dalam upaya pencegahan konflik di Kabupaten OKU Timur?

Tujuan diadakan penelitian ini, yaitu untuk mengkaji bagaimana peran dan kerjasama pemerintah Kabupaten OKU Timur dengan pemuka agama dalam jaring pengaman pencegahan konflik pada masyarakat Kabupaten OKU Timur; memaparkan bagaimana fungsi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten OKU Timur dalam upaya pencegahan konflik di Kabupaten OKU Timur; serta untuk memperoleh gambaran bagaimana fungsi kegiatan sosial kemasyarakatan (gotong royong, kerja sama dan bakti sosial) dalam upaya pencegahan konflik di Kabupaten OKU Timur.

Manfaat penelitian ini adalah dapat menjadi salah satu strategi dalam meminimalisir dan mencegah terjadinya konflik umat beragama di Indonesia umumnya, dan di Kabupaten OKU Timur Sumatera Selatan khususnya. Serta diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi bagi pemerintah dalam membuat kebijakan mengenai kerukunan umat beragama.

Kajian Teoritis

(12)

menjadi salah satu upaya untuk mencegah konflik.12 Sedangkan menurut Mark Juergensmeyer dalam penelitian yang berjudul Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, bahwa cara efektif untuk mencegah terjadinya konflik melalui pendekatan yang lebih menekankan peran sentral agama bagi tegaknya tatanan publik dan terpeliharanya rasa aman masyarakat, yang hanya akan terwujud manakala tidak mencampuradukkan agama dengan politik. 13 Hal senada juga diungkapkan oleh Reynal Querol.14

Menurut Frances Stewart dalam penelitiannya yang berjudul ‛Sebab-Sebab Dasar Sosial Ekonomi dan Konflik Politik, dengan Kekerasan‛ menyatakan bahwa konflik dapat terjadi karena adanya ketidakrelasian antar pemeluk agama yang disebabkan oleh monopoli kekuasaan politik satu kelompok atau kelompok lainnya yang menimbulkan kesenjangan-kesenjangan sosial. Oleh karenanya, perbaikan di bidang sosial ekonomi dan sosial politik dapat menjadi salah satu langkah problem solving dalam resolusi konflik.15 Hal senada

juga diungkapkan oleh Leo Suryadinata.16 Sedangkan menurut Marc

12Arifin Assegaf, ‚Memahami Sumber Konflik Antar Iman,‛ dalam

Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Th. Sumartana, eds. (Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei, 2001), 34-37.

13Mark Juergensmeyer, Terror in the Mind of God: the Global Rise of

Religious Violence, 326.

14Reynal Querol dalam analisisnya mengenai etnisitas, sistem politik dan

perang sipil menyatakan bahwa perbedaan agama menjadi faktor yang sangat kuat dalam memunculkan konflik yang dahsyat dibandingkan konflik perebutan sumber-sumber ekonomi, ataupun perbedaan bahasa. Menurut Reynal Querol faktor agama menjadi lebih berpotensi menimbulkan konflik dibandingkan faktor sosial lainnya, hal

ini dikarenakan: Pertama, faktor eksklusifitas agama itu sendiri. Agama dapat

dijadikan sebagai identitas yang secara mutlak akan membedakan seseorang dengan lainnya. Kedua, perbedaan agama yang didukung oleh perbedaan peradaban cenderung memberikan perbedaan pemahaman dalam melihat fenomena realitas, hubungan sosial, dll. Meskipun kelompok memiliki perbedaan bahasa, namun mereka cenderung memiliki cara pandang dan pemahaman yang sama dalam melihat dunia jika seseorang tersebut memiliki kesamaan peradaban. Hal ini akan menjadi lebih sulit bagi mereka yang berbeda agama. Kajian selengkapnya lihat Reynal Querol, M. Ethnicity, Political System and Civil Wars (Bellaterra-Barcelona, Spain, Institute d’analisis Economic (IAE), 2004), 2.

15Frances Stewart, ‛Sebab-Sebab Dasar Sosial Ekonomi, Konflik Politik, dengan Kekerasan,‛ dalam Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, Helene Bouvier, eds., 186-209.

(13)

Gaborieau dalam penelitiannya ‛Konflik Hindu-Muslim di India dalam Perspektif Sejarah‛ menegaskan bahwa terjadinya konfik antar agama lebih disebabkan oleh masalah politik, seperti dianalogikan kasus India yang sejak kerusuhan Gujarattaun pada tahun 2002.17

Penelitian Imtiyaz Yusuf dan Lars Peter Schmidt yang berjudul Understanding Conflict and Approaching Peace in Southern Thailand, menyimpulkan bahwa penyebab konflik yang diisukan dengan SARA (Suku Agama Ras) lebih disebabkan pada persaingan ekonomi. Terutama adanya kecemburuan komunitas pribumi terhadap kemajuan komunitas minoritas pendatang. Kasus Kalimantan (2000), Thailand dan di Asia Tenggara menjadi salah satu contoh konflik lokal bernuansa kecemburuan sosial ekonomi yang dikembangkan menjadi SARA. Oleh karena itu untuk mencegah agar konflik seperti ini tidak terjadi yang perlu diperhatikan, yakni meningkatkan kesejahteraan ekonomi penduduk.18 Hal senada juga dinyatakan oleh Jeremy Black dalam bukunya War and the New Disorder in the 21st Century.19

Karya M. Arfah Shiddiq dalam disertasinya yang berjudul ‛Konflik dan Konformitas antara Islam dan Kristen (Studi tentang Hubungan antar Umat Beragama di Indonesia 1966-1992)‛. Disertasi ini membahas mengenai faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antara umat Islam dan Kristen di Indonesia dalam kurun waktu 1966-1992 adalah faktor doktrinal, konflik historis politis, isu Kristenisasi (kasus Indonesia). Akan tetapi, jika di analisis secara mendalam faktor-faktor tersebut, ternyata kesenjangan sosial-ekonomi dan perebutan kekuasaan merupakan pemicu terjadinya konflik yang disertai kekerasan. Disamping itu, menurut M. Arfah Shiddiq agama juga dapat dipandang sebagai faktor konformitas, dalam melihat konformitas antara Islam dan Kristen, ada beberapa faktor yang dapat dijadikan acuan, yaitu adannya titik temu antara ajaran Islam dan Kristen, budaya sebagai faktor konformitas, dan urgensi dialog antar umat beragama dalam konteks

17Menurut Marc Gaborieau dalam kasus ini terlihat jelas bahwa konflik agama

memang dapat membantu meningkatkan prospek meraih kemenangan dalam pemilihan umum bagi nasionalis Hindu yang berkuasa di India. Kajian lebih lanjut lihat Marc Gaborieau, ‛Konflik Hindu-Islam di India dalam Perspektif Sejarah,‛ dalam Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, Helene Bouvier, eds., 21-30.

18Imtiyaz Yusuf dan Lars Peter Schmidt, Understanding Conflict and

Approaching Peace in Southern Thailand (Bangkok: Konrand Adenaver Stiftung, 2006), 191.

19Jeremy Black, War and the New Disorder in the 21st Century (New

(14)

pluralitas bangsa. Disertasi ini hanya membahas konflik yang terjadi antara umat agama Islam dan Kristen, serta resolusi konflik yang lebih memfokuskan pada pendekatan normatif agama, padahal banyak konflik yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan masalah sosial umat beragama, seperti kesenjangan sosial-ekonomi dan perebutan kekuasaan (masalah politik). 20

Heri Junaidi21 dalam penelitiannya yang berjudul ‛Analisis Kerukunan antar Agama di Wilayah Kabupaten OKU Timur Provinsi Sumatera Selatan Melalui Nilai-Nilai Bahasa Wong Kito Galo‛, membahas mengenai bagaimana nilai-nilai bahasa Wong Kito Galo menjadi dasar bahasa kerukunan yang perlu dilestarikan dan dihargai secara berkesinambungan khususnya di Kabupaten OKU Timur yang memiliki kemajemukan baik agama maupun budaya. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya konflik. Dalam penelitian ini hanya memfokuskan pada kajian nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa Wong Kito Galo sebagai salah satu upaya mencegah terjadinya konflik antar umat beragama di Kabupaten OKU Timur.

Zubaedi dalam penelitiannya yang berjudul ‛Integrasi Kelompok Etnis dan Agama Berbeda pada Masyarakat Transmigran di Desa Sumber Agung Argamakmur Bengkulu Utara Provinsi Sumatera Selatan‛, membahas mengenai integrasi yang terjadi dalam beberapa aspek kehidupan di Desa Sumber Agung, yaitu dalam hal urusan pemukiman atau tempat tinggal, penggunaan bahasa, kebudayaan, pergaulan dan tatanan sosial yang lain. Integrasi etnis dan agama yang berbeda tidak selalu menimbulkan gesekan-gesekan yang berujung pada konflik etnis dan agama, tetapi sebaliknya di daerah ini integrasi etnis dan agama yang berbeda membawa banyak manfaat, antara lain terpeliharanya keharmonisan antar masyarakat dan kedamaian di desa tersebut, meningkatkan pemahaman masyararakat tentang kebebasan beragama, sehingga dapat mencegah terjadinya gesekan yang dapat menimbulkan konflik antar umat beragama, terjadinya akulturasi budaya

20M. Arfah Shiddiq, ‚Konflik dan Konformitas antara Islam dan Kristen (Studi Tentang Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia 1966-1992).‛ Disertasi PascaSarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000.

(15)

dan inkulturasi budaya, meningkatnya pembangunan dan kemakmuran di desa Sumber Agung karena terjalinnya kerja sama yang baik antara pemerintah setempat, tokoh masyarakat dan pemuka agama dengan masyarakat. Penelitian ini hanya menjelaskan mengenai upaya mencegah terjadinya konflik melalui integrasi etnis dan agama yang berbeda.22

Faizah dalam tesisnya yang berjudul ‛Konsep Dakwah dalam Mencegah Konflik antar Umat Beragama‛,23 yang membahas mengenai konsep dakwah dalam mencegah konflik antar umat beragama, yang lebih memfokuskan pembahasan mengenai konsep dakwah dari segi materi dan metode dakwah yang dapat mencegah konflik antar umat beragama. Dalam tesisnya, Faizah lebih memfokuskan penelitiannya pada upaya pencegahan konflik melalui pendekatan normatif agama, yakni bagaimana mencari konsep dan format dakwah yang tidak menimbulkan terjadinya konflik.

Kajian ini lebih memfokuskan pembahasan mengenai pencegahan konflik dengan menggunakan pendekatan sosial umat beragama, dengan mengkaji bagaimana kerja sama, serta bahu membahu dari semua pihak yang ada di Kabupaten OKU Timur (termasuk di dalamnya pemerintah Kabupaten OKU Timur, pemuka agama, agamawan dan para cendikiawan teologis) yang dijadikan alat dalam upaya mencegah agar tidak terjadinya konflik di daerah ini.

Objek Kajian

Penelitian ini pada dasarnya merupakan studi lapangan (field research) dengan menggunakan dua macam sumber data, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer yang dimaksud adalah sumber data yang diambil langsung dari sumbernya,24 yakni data mengenai jaring pengaman pencegahan konflik masyarakat Kabupaten OKU Timur, baik berupa hasil observasi, hasil wawancara, arsip ataupun dokumen-dokumen hasil kegiatan yang berkaitan dengan upaya

22Zubaedi,‛Integrasi Kelompok Etnis dan Agama Berbeda pada Masyarakat Transmigran di Desa Sumber Agung Argamakmur Bengkulu Utara Provinsi Sumatera Selatan,‛ Disampaikan dalam Seminar Hasil Penelitian Kompetitif Kehidupan Keagamaan ‚Internalisasi Nilai-Nilai Keagamaan dalam Rangka Memperkuat Wawasan Kebangsaan‛, yang diselenggarakan oleh Badan Litbang Departemen Agama RI, di Hotel Horison, Bekasi, Jawa Barat, tanggal 6-7 Oktober 2009.

23Faizah, ‛Konsep Dakwah Dalam Mencegah Konflik Antar Umat Beragama.‛ Tesis PascaSarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.

24Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek

(16)

pencegahan konflik di Kabupaten OKU Timur. Sedangkan sumber sekunder studi ini adalah data berupa monografi kelembagaan agama, hasil penelitian dan dialog, studi kasus, artikel-artikel dalam majalah dan surat kabar yang berkaitan dengan penelitian ini.

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui berbagai teknik pengumpulan data, yaitu: observasi,25 wawancara,26 dan dokumentasi. Wawancara ditujukan kepada orang-orang yang dianggap memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai upaya pencegahan konflik di Kabupaten OKU Timur serta terlibat langsung di dalamnya, seperti Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur 2010-2015 (Kholid Mawardi), Kabid Kesatuan Bangsa (Marwan), Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur (Nurkarsiarto), serta pemuka agama (Islam, Hindu, Kristen Protestan, Khatolik, dan Budha).27 Wawancara ini dilakukan selama dua hari, yakni tanggal 9-10 Februari 2011.28

Sedangkan metode dokumentasi29 digunakan untuk mendapatkan data yang berkenaan dengan upaya pencegahan konflik umat beragama yang ditulis dalam jurnal penelitian, hasil penelitian, opini media dan tabloid. Metode ini juga digunakan untuk mengumpulkan data mengenai Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten OKU Timur (struktur organisasi dan dokumen-dokumen hasil kegiatan yang telah dilakukan), serta arsip kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat, seperti gotong royong, kerja sama, dan kegiatan bakti sosial, yang berkaitan dengan upaya pencegahan terjadinya konflik di Kabupaten OKU Timur. Dengan digunakannya metode ini diharapkan dapat diketahui seberapa besar manfaat dan peran strategis dari adanya FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Kabupaten OKU Timur, serta terlaksananya kegiatan sosial

25Consule G. Sevilla, eds. Pengantar Metode Penelitian (Jakarta: Penerbit UI

Press, 1993), 198-203.

26Untuk lebih jelas mengenai pengertian wawancara lihat Masri Singarimbun

dan Sofian Effendi, eds. Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1995), 192-215.

27Dalam hal ini digunakan purposive random sampling, yaitu mengambil

responden dengan tingkat kesempatan yang sama dan dilakukan secara acak. Hal tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa: perwakilan pemuka agama memiliki pengetahuan dan pengertian yang sama tentang jaring pengaman pencegahan konflik; diambil satu perwakilan dari setiap agama yang dianggap mewakili, dalam hal ini, perwakilan agama Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto).

28Wawancara dilakukan selama dua hari agar didapatkan data yang failed,

karena bila jaraknya berjauhan ditakutkan perubahan situasi dan kondisi mempengaruhi responden.

29Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek

(17)

kemasyarakatan tersebut dalam mencegah terjadinya konflik di Kabupaten OKU Timur.

Ada dua jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu Pertama, pendekatan sosiologi-politik.30 Pendekatan ini dipakai

karena ilmu sosial (sosiologi) mencoba memahami, menelaah, meneliti, mencari persamaan dan perbedaan antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Ilmu sosial juga mencoba memahami perilaku individu dalam masyarakat dan sebaliknya perilaku masyarakat sebagai kumpulan individu dengan kelompok masyarakat lainnya.31 Sedangkan ilmu politik mengkaji mengenai hak dan wewenang, kekuasaan, proses pembuatan keputusan dalam masyarakat, serta konflik yang terjadi sebagai akibat dari distribusi dan alokasi barang dan jasa yang dianggap mempunyai nilai oleh masyarakat menjadi tak seimbang.32 Ilmu politik juga mencakup studi mengenai berbagai permasalahan manusia, tentang perlengkapan yang dikembangkan untuk memecahkan masalah tersebut, serta ide dan faktor yang mempengaruhi keputusan manusia untuk mengatasi semua permasalahan itu.33 Dari kedua ilmu ini kemudian melahirkan hubungan antara ilmu sosial (sosiologi) dan ilmu politik, yang menghasilkan cabang ilmu sosiologi politik, dengan tokoh

30Ilmu politik menaruh perhatian pada kekuasaan, karakteristik-karakteristik

dan kegiatan-kegiatan pemerintah, serta aktivitas-aktivitas politik dalam lingkungan masyarakat yang berbeda-beda. Para sosiolog telah banyak belajar dari para ahli politik. Namun para sosiolog biasanya lebih tertarik pada bagaimana institusi-institusi seperti keluarga dan sistem pendidikan mempengaruhi sikap politik dan jalannya pemungutan suara. Untuk lebih jelasnya lihat Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik: Suatu Pemikiran dan Penerapan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007), 16.

31Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan

Struktural (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 139-145.

32Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 2003), 3.

33Penjelasan ini memperlihatkan bahwa politik merupakan suatu bidang studi

khusus tentang cara-cara manusia memecahkan permasalahan-permasalahan bersama dengan manusia yang lain. Dalam hal ini ilmu politik mencakup studi mengenai permasalahan manusia, mengenai perlengkapan yang dikembangkan manusia untuk memecahkan permasalahan tersebut, mengenai factor-faktor yang mempengaruhi keputusan manusia, dan terutama mengenai ide yang mempengaruhi manusia untuk mengatasi semua permasalahan tersebut. Dengan demikian ilmu politik tidak sama dengan studi mengenai pemerintahan, melainkan fungsi pemerintahan dalam masyarakat. Menurut anggapan umum, titik sentral studi politik adalah kekuasaan

dalam konteks masyarakat. Bahasan lebih lanjut lihat Rafael Raga Maran, Pengantar

(18)

utamanya Maurice Duverger yang membicarakan tentang basis-basis sosial dari kekuasaan dalam masyarakat.34

Pendekatan sosiologi-politik digunakan dalam penelitian ini dengan asumsi bahwa nilai-nilai politis yang ada di Kabupaten OKU Timur dan telah dilakukan oleh pihak yang berwenang (seperti pemerintah Kabupaten OKU Timur, serta pemuka agama) tidak bisa lepas dalam kehidupan sosial umat beragama di daerah ini, yang turut mempengaruhi, mewarnai dan membentuk hubungan yang harmonis antar umat beragama di Kabupaten OKU Timur. Dengan pendekatan ini juga diharapkan dapat ditembus rahasia nilai-nilai yang terkandung dalam politisasi pemerintah Kabupaten OKU Timur dalam upaya mencegah terjadinya konflik di daerah ini.

Kedua, pendekatan fenomenologis. Menurut Suharsimi Arikunto, pendekatan fenomenologis dapat menjadi salah satu pendekatan dalam penelitian kualitatif karena kebenaran sesuatu itu dapat diperoleh dengan cara menangkap fenomena atau gejala yang memancar dari objek yang diteliti, sehingga dapat dipahami mengapa seseorang melakukan suatu tindakan.35

34Kunci dari pandangan Duverger ini terletak pada konsepnya tentang politik.

Menurut Duverger politik adalah masalah kekuasaan. Jadi, ilmu politik atau sosiologi politik adalah ilmu kekuasaan, yakni ilmu yang mempelajari tentang seluruh jaringan hubungan yang telah mempunyai model atau pola (atau struktur) yang mengandung sifat otoritas. Kekuasaan dalam arti hubungan yang mengandung otoritas mempengaruhi kehidupan politik, baik dalam bentuk negara maupun

komunitas-komuitas yang lebih kecil.Ada dua corak pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuasaan,

yakni bisa sebagai penyebab konflik atau perpecahan dan bisa juga sebagai benih integrasi. Kekuasaan dapat memainkan peranan sebagai penyebab konflik dan alat untuk menindas, bilamana orang melihat politik sebagai arena pertarungan atau medan pertempuran. Dalam hal ini kekuasaan memungkinkan mereka yang berhasil merebut dan mengontrolnya untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya di dalam masyarakat. Disamping itu, ada pihak lain yang menentang dan ingin merebut kekuasaan itu untuk tujuan yang sama. Sejalan dengan itu, Duverger menyebut ini sebagai aspek antagonisme atau konflik dari kekuasaan atau politik. Aspek kedua, muncul bilamana orang menganggap bahwa politik adalah suatu upaya untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Dalam hal ini kekuasaaan dilihat sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum melawan tekanan dan tuntutan berbagai kelompok kepentingan. Disini kekuasaan memainkan peranan integratif, memihak dan melindungi kepentingan bersama vis-a-vis kepentingan golongan atau kelompok. Kedua aspek kekuasaan itu selalu muncul dalam kehidupan politik. Kajian selengkapnya mengenai hal ini lihat Maurice Duverger, The Study Of Politics (New York: Crowell, 1972).

35Untuk lebih jelasnya lihat Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian: Suatu

(19)

Digunakan pendekatan fenomenilogis dalam studi ini untuk mengkaji fenomena-fenomena mengenai bagaimana jaring pengaman pencegahan konflik di Kabupaten OKU Timur. Mengapa masyarakat tidak melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan konflik, apakah karena kesadaran atau ada hal lain yang turut mempengaruhinya. Dengan pendekatan ini diharapkan fenomena-fenomena yang nampak di Kabupaten OKU Timur berkenaan dengan upaya yang telah dilakukan masyarakat serta seluruh elemen yang ada (termasuk di dalamnya pemerintah Kabupaten OKU Timur, serta pemuka agama) dalam mencegah agar tidak terjadi konflik di daerah ini.

Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis interaksionisme simbolik36 untuk melihat berbagai fenomena yang ada pada skala mikro dan lingkungan sepesifik. Yakni dengan melakukan deskriptif terhadap konteks sosial. Setelah itu, diberi interpretasi yang relevan dengan referensi teoritis dan data yang telah terkumpul untuk melihat hubungan signifikannya. Lalu diambil kesimpulan mengenai jaring pengaman pencegahan konflik masyarakat Kabupaten OKU Timur Provinsi Sumatera Selatan. Oleh karena itu, analisis atas lingkungan sosial politik, sosial kultural, sosial ekonomi dan sosial keagamaan yang ada saat itu akan menjadi pelengkap penting studi ini.

36Istilah interaksionisme simbolik merupakan sumbangan orisinal Berbert

Blumer melalui artikel Man and Society (1969). Sebenarnya teori ini tidak spesifik

melakukan analisis konflik. Interaksionisme simbolis membahas interpretasi aktor terhadap simbol-simbol, termasuk bahasa, yang dibawa oleh aktor lain dalam proses interaksi sosial. Simbol bisa dimaknai secara variatif oleh masing-masing aktor dalam interaksi sosial. Lihat Novri Susan, Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer

(Jakarta: Kencana, 2009), 61. Lihat juga Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian

(20)

BAB II

PENCEGAHAN KONFLIK DALAM PERSPEKTIF

Bab ini mengkaji mengenai: karakteristik konflik (ciri-ciri konflik); faktor penyebab konflik yang terdiri dari faktor struktural (keadaan/kondisi negara, keamanan dalam negeri, etnisitas suatu wilayah); faktor politik (sistem politik, ideologi politik yang berlaku, dinamika politik antarkelompok, perilaku elite, distribusi kekuasaan dan wewenang yang tidak merata); faktor budaya dan persepsi (diskriminasi budaya terhadap kaum minoritas, persepsi terhadap kelompok tertentu). Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai teori yang dipakai dalam pencegahan konflik, yakni conflict management (mengelola konflik dengan cara mengatasi perbedaan seproduktif mungkin untuk mengurangi eskalasi konflik kekerasan); dan democratic conflict governance (suatu dinamisasi hubungan antara berbagai aktor dan lembaga dalam tata kelola unsur konflik dalam suatu ruang politik yang inklusif).

A. Karakteristik Konflik

Para pemikir besar dalam ilmu sosial telah banyak mencurahkan pemikirannya tentang konflik, seperti Darwin, Maltus, Machiavelli, Hobbes, Herbert Spencer dan Karl Marx.37 Mereka membagi konflik ke dalam empat kategori, yaitu: Pertama, persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain. Kedua, keadaan

37Mereka menganalisis konflik sebagai sesuatu yang menyatu (embedded)

dalam diri manusia. Maka eksistensi konflik dalam peradaban manusia adalah untuk mempertahankan hidup terhadap lingkungannya. Apalagi, konflik selalu membicarakan pertentangan, baik dalam bidang ekonomi, politik dan sosial budaya, di mana manusia saling berinteraksi sosial. Farrington dan Chertok (1993) melakukan pemetaan pemikiran Machiavelli dan Hobbes dalam melihat kecenderungan konflik sebagai elemen dasar dari sifat manusia. Darwin dan Maltus membahas konflik dari sudut pandang kompetisi untuk mendapatkan sumber daya. Herbert Spencer menyatakan, konflik adalah proses alamiah yang memberikan kontribusi pada perubahan sosial. William Graham Summer mengungkapkan, kompetisi untuk bertahan hidup mempunyai pengaruh positif pada kemajuan sosial. Farrington dan Chertok membahas Marxian Theory, yang memandang konflik adalah struktur dasar kondisi masyarakat dan konflik yang merupakan bagian lazim dalam setiap hubungan manusia. Pemikiran Marx dalam melihat eksistensi manusia, merupakan sebuah kontradiksi, baik dalam pikiran dan tindakan manusia, melalui proses dialektika: tesis, anti tesis, dan sintesis. Dikutip dari Hasrullah, Dendam Konflik Poso (periode 1998-2001) (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), 39.

(21)

atau perilaku yang bertentangan (misalnya pertentangan pendapat, kepentingan, ataupun pertentangan antar individu).38 Ketiga, perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan atau tuntutan yang bertentangan. Dan Keempat, bahwa konflik adalah perseteruan.39

Pemahaman tersebut memperlihatkan bahwa pengertian konflik adalah terjadinya pertentangan dalam hubungan kemanusiaan antara satu pihak dengan pihak lain, ataupun antara kelompok dengan kelompok lain, yang timbul akibat adanya perbedaan kepentingan dalam mencapai suatu tujuan.

Pengertian konflik di atas sesuai dengan pendapatnya Pruit dan Rubin, yang menyatakan bahwa konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan, atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dicapai secara simultan.40 Jika memahami konflik pada dimensi ini, maka unsur-unsur yang ada di dalam konflik adalah persepsi, aspirasi, dan aktor yang terlibat di dalamnya. Artinya dalam dunia sosial yang ditemukan persepsi, maka akan ditemukan pula aspirasi dan aktor.

Menurut jenisnya konflik terbagi dua, yakni: konflik vertikal (konflik antara elite dengan rakyatnya); dan konflik horizontal, yakni konfllik yang terjadi dikalangan massa (rakyat) sendiri.41 Selain jenis konflik, dikenal pula istilah tipe konflik yang akan menggambarkan persoalan sikap, perilaku, dan situasi yang ada. Tipe-tipe konflik terdiri

38Hal ini senada dengan pendapatnya Otomar J. Bartos dan Paul Wehr yang

mendefinisikan konflik sebagai situasi pada saat para aktor menggunakan perilaku konflik melawan satu sama lain untuk menyelesaikan tujuan yang berseberangan atau mengekspresikan naluri permusuhan. Dalam definisi itu sebenarnya Bartos dan Wehr memasukkan unsur perilaku konflik sebagai unsur pemicu konflik. Kajian lebih lanjut lihat Otomar J. Bartos dan Paul Wehr, Using Conflict Theory (New York: Cambridge University Press, 2003), 13.

39Pengertian yang sama juga terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

yang mengartikan konflik sebagai perbedaan, pertentangan dan perselisihan. Lihat

Badudu-Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Penerbit Pustaka Sinar

Harapan, 2001), 711. Lihat juga Departemen Agama RI, Manajemen Konflik Umat

Beragama (Jakarta: Puslitbang Depag RI, 2004), 28-29. Bandingkan dengan D.G Pruitt & Rubin, Teori Konflik Sosial (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 31.

40G. Dean Pruitt dan Sung Hee Kim, Social Conflict: Escalation, Stalemate,

and Settlement (New York: McGraw-Hill, 2004), 10.

41Novri Susan, Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer (Jakarta:

(22)

dari tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka, dan konflik di permukaan. 42

Ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul. Pertama, pandangan primordialis.43 Kelompok ini menganggap,

perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan juga agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama.44 Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut kelompok ini suku, agama dan identitas lainnya dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik dalam bentuk materil maupun non-materil.45 Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugrah dan perbedaan adalah berkah.46

Lederach menjelaskan bagaimana konflik dalam perspektif konstruksi sosial.47 Ada tujuh asumsi yang dituliskannya, yaitu:

42Simon Fisher, eds. Working with Conflict: Skills and Strategies for Action

diterjemahkan oleh S.N. Kartika Sari, et.al., Mengelola Konflik: Keterampilan &

Strategi Untuk Bertindak (Jakarta: Penerbit The British Council, 2001), 5.

43Antony Giddens, Human Society A Reader (Cambridge: Polity Press, 1992),

162. Harold R. Isaacs, ‚Basic Group Identity: The Idol of the Trible,‛ dalam Ethnicity, Theory and Experience, ed. Nathan Glazer and Daniel P. Moyniham (Cambridge: Harvard University Press, 1975), 29-52.

44Lihat Vanhanen, ‚Ethnic Conflicts Explained by Ethnic Neotism,‛ Research in Biopolitics, Vol. 7, Stamford CT: JAI Press, 1999.

45Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk

mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan "Islam" misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mendukung kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari pilihan yang dikehendaki elite, selama itu pula benturan antar kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi. Kajian lebih

lanjut lihat Paul R. Brass, Ethnicity and Nationalism: Theory and Comparison (New

York: Sage Publication, 1991), 10.

46Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan (Jakarta: PT. Dunia Pustaka

Jaya, 1995), 37-40.

47John Paul Lederach adalah salah seorang sosiolog perdamaian yang

(23)

Pertama, konflik sosial dipahami sebagai hal yang alamiah, suatu pengalaman-pengalaman umum yang hadir di setiap hubungan dan budaya. Kedua, konflik dipahami sebagai kejadian konstruktif kebudayaan secara sosial. Konflik tidak hanya terjadi pada seseorang, tetapi orang merupakan peserta aktif dalam menciptakan situasi dan interaksi yang mereka ambil pengalaman sebagai konflik. Ketiga, konflik muncul melalui proses interaktif yang melandaskan pada pencarian dan penciptaan makna bersama. Keempat, proses interaktif disempurnakan melalui dan diakarkan dalam persepsi manusia, interpretasi ekspresi, dan niatan-niatan, yang semuanya tumbuh dari dan berputar kembali ke kesadaran umum mereka (common sense). Kelima, pemaknaan muncul sebagaimana manusia meletakkan diri mereka sendiri dan sesuatu yang sosial seperti situasi, kejadian, dan tindakan di dalam pengetahuan terkumpul mereka. Keenam, kebudayaan berakar di dalam pengetahuan bersama dan skema-skema dan digunakan oleh sekelompok orang untuk merasakan, menafsirkan, mengekspresikan, dan merespons kenyataan sosial di sekitar mereka. Ketujuh, pemahaman hubungan konflik sosial dan budaya tidak hanya satu pertanyaan sensitif dari kesadaran, tetapi lebih jauh petualangan yang dalam dari penemuan dan penggalian arkeologis dari pengetahuan umum bersama dari sekelompok orang.48

Menurut Novri Susan, konflik bisa muncul pada skala yang berbeda seperti konflik antar orang (interpersonal conflict), konflik antarkelompok (intergroup conflict), konflik antar kelompok dengan negara (vertical conflict), dan konflik antarnegara (interstate conflict).49

Pemahaman tersebut juga seiring dengan teori orientasi kepentingan

lihat John Paul Lederach, Preparing for Peace Conflict Transformation Across Culture (Syracus, NY: Syracus University Press, 1996), 9-10.

48Selanjutnya Lederach menyatakan bahwa pandangan konstruksionis

mengusulkan bahwa manusia bertindak pada basis suatu pemaknaan yang ada pada mereka. Pemaknaan diciptakan melalui pengetahuan bersama dan terakumulasi. Konflik sosial politik pun didorong oleh proses pemaknaan aktor-aktor yang terlibat dalam konflik. Sehingga dalam menganalisis konflik, bahasa dalam struktur hubungan sosial menjadi sangat penting. Analisis inilah yang kemudian menciptakan segitiga negoisasi kepemimpinan yang banyak dipakai dalam menciptakan resolusi konflik

damai. John Paul Lederach, Preparing for Peace Conflict Transformation Across

Culture , 11.

49Untuk lebih jelas mengenai bahasan ini lihat Novri Susan, Sosiologi Konflik

(24)

Dahrendorf.50 Menurutnya, kepentingan adalah sesuatu yang berskala luas, yang akan mempengaruhi tindakan seseorang. Dalam konteks ini, terdapat dua jenis kepentingan: (1) kepentingan tersembunyi, yaitu harapan peran yang tidak disadari oleh yang lain, dan (2) kepentingan nyata, yaitu kepentingan tersembunyi yang telah disadari orang lain. Sedangkan secara teoritis dapat diproposisikan, apabila dalam satu wilayah terdapat kehidupan lintas etnis dan agama di mana masing-masing mempunyai norma, nilai dan hukum yang berbeda di antara satu sama lainnya dalam menata kehidupan sosial dan kebudayaannya, maka keutuhan dan persatuan dapat terjelma dalam wilayah tersebut manakala mereka secara sadar dan rela dapat melatenkan atau memodifikasi norma, nilai dan hukum tersebut yang nyata-nyata mengundang pertentangan etnis, agama serta pelapisan masyarakat. Disamping itu dapat menampilkan sisi-sisi yang sesuai berbagai norma dan hukum yang ada.

Sebaliknya jika dinamika relatif aman, namun masing-masing etnis, agama dan pelapisan masyarakat memaksakan perbedaan itu kepada satu sama lainnya di wilayah interaksi antar variasi tersebut, inilah yang menjadi sumber keretakan, konflik dan berwujud dengan kerusuhan sosial.51 Hal tersebut ditegaskan Simon Fisher yang menyatakan bahwa konflik adalah hubungan antara dua pihak (individu ataupun kelompok) yang memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif.52 Ahmad Syafi’i Ma’arif juga mengatakan hal yang senada, yakni bahwa konflik akan senantiasa menjadi bagian yang melekat terhadap keberlangsung peradaban.53 Akan tetapi, konflik menjadi menarik untuk dikaji saat ia diterapkan dalam praksis agama. Sebabnya tidak lain karena agama justru didesain, bahkan diklaim sebagai jalan menuju kedamaian. Kegagalan agama, seharusnya tidak

50Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society (London:

Routledge & Kegan Paul, 1959), 173-179.

51Rumin Tumanggor, eds. Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam

Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air (Jakarta: Lemlit & PM UIN Syahid Bekerjasama dengan Balitbangsos Depsos RI, 2004), 5-6.

52Ahad Soedijar, Bencana Sosial Sampit (Jakarta: Badan Litbang Sosial

Depsos RI, 2002), 3.

(25)

ditimpakan langsung kepada agama itu sendiri, tetapi pada proses keberagamaan pemeluknya.

Memaknai konflik dari konstruk agama, maka penilaian dasar dari etimologi bahwa agama tidak lain terstruktur dari kata a yang berarti tidak dan gama yang bermakna kacau. Jadi agama berjati-makna tidak kacau, dan itulah sebabnya orang yang beragama adalah orang yang meraih dan mempraktikan hidup tidak kacau, apalagi mengacaukan. Tetapi di dalam kenyataan, sejarah membuktikan bahwa manusia yang memeluk suatu agama tidak menjamin menjadi sebagai komunitas pembawa rahmat damai bagi seru sekalian alam. Bahkan, di antara sesama pemeluk agama, antara satu sekte dengan sekte lainnya, sampai yang berbeda agama, terbukti selalu dan potensil menciptakan konflik.54 Ada formula ironi-sosiologis yang menyatakan, di mana ada agama, di situ ada konflik.55 Oleh karena itu, agama dianggap mengandung potensi bawaan konflik. Terutama karena doktrin dasar dari agama adalah klaim keselamatan eskatologis,56 yang mudah rentan kualitas humanitas relasinya.57

54Bahasan lebih lanjut lihat Abdul Qodir Shaleh, Agama Kekerasan

(Yogyakarta: Prismasophie, 2003), 79.

55Analisis sosio-historis menjelaskannya secara benderang, tentang hal

tersebut. Pertama, agama diturunkan atau diciptakan di saat kekacauan; baik yang

berkaitan dengan kerisuhan relasi sosial maupun nilai, sedang terjadi. Agama datang untuk menyelesaikan masalah, begitu misi hakikinya. Dalam konteks tersebut, misal munculnya dogma bahwa saat agama Kristen lahir, tugasnya adalah menyelamatkan umat manusia dan dunia dengan cara menggenapkan agama Yahudi. Hal yang sama juga terjadi saat Islam turun, klaimnya bertajuk untuk melengkapi dan melanjutkan misi Isa. Tugas kerasulan Muhammad adalah untuk menjadikan seantero manusia di jagat ini berakhlak mulia. Ironisnya, pada saat pelahiran agama-agama tersebut telah dengan sendirinya menegasikan agama yang sudah ada. Sebagai resikonya adalah pemberangusan oleh penguasa agama (dan umumnya didukung pemerintah) terhadap agama baru tersebut. Pemertahanan diri dari agama baru dan perlawanan dengan sendirinya dilakukan. Kedua-duanya jelas mengatasnamakan Tuhan dan demi

kesucian-Nya. Kedua, ketika sebuah agama tersebut tercipta, yang bertikai, selain

dengan agama lain (antar agama) adalah antara sesama penganutnya (intern agama). Konflik justru terjadi dengan alasan demi membela agama yang bersangkutan. Fakta tersebut sangat mencolok baik di dalam tradisi kristiani maupun islami. Konflik dari dan di dalam komunitas agama lantas menjadi laten dan poten. Lihat Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralism (London: Alhoda Publishers dan Printers, 1999), 136.

(26)

Agama dianggap sebagai salah satu sumber konflik sebagaimana juga paham hidup yang lain seperti komunisme, kapitalisme, ataupun nasionalisme.58 Kemudian konflik Irak-Iran yang merupakan cermin konflik nasionalisme.59 Begitu juga di Indonesia, berbagai kerusuhan terjadi silih berganti, antara lain di Tasikmalaya (1996),60 Poso (1998-2001),61 dan Ambon (1999-2002),62 menunjukkan bahwa bila konflik telah terjadi, tidak ada yang bisa membedung agresifitas pemeluk agama. Pada kasus ini juga memperlihatkan bahwa konflik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia mengandung sentimen agama, apapun alasannya, menyerang atau mempertahankan diri dari serangan.63 Dan masih banyak lagi konflik yang terjadi di berbagai daerah dibelahan

jalan keselamatan bagi manusia (Kitab Ulangan, 18: 15-18 dan Kisah para Rasul, 3: 22). Yesus Kristus adalah raja abadi, sebab kerajaan-Nya itu kekal adanya, jauh berbeda dengan kerajaan duniawi yang binasa kelak, karena ia abadi untuk selamanya

(Injil Lukas, 1: 32-33). Dikutip dari Fritzjof Shuon, Mencari Titik Temu

Agama-Agama (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 1994), 3-7.

57Yang tidak selalu mendapatkan jalan perjumpaan sosiologis antara umat

beragama. Hal ini terjadi hampir di semua wilayah konflik dunia, termasuk dan terutama di Indonesia. Terutama bila nuansa politis (baca kepentingan pribadi atau kelompok) memanfaatkannya. Masalahnya karena beragama itu bersyarat, yakni harus

beriman. Di sinilah sesungguhnya sumber yang jadi pemicu terciptanya social ill di

atas. Itulah sebabnya secara sosiologis, dapat dimaklumi bila iman (faith) yang menjadi dasar dan ruh seseorang beragama, yakni di dalam merumuskan dirinya dan orang-orang di luar dirinya, senantiasa jadi terminologi rawan. Sebab, iman berkarakter muskil abstrak dan logikanya unik. Selain itu, iman acapkali menafikan kemajemukan.

Lihat Yusnar Yusuf MS, Prasangka Ber-agama: Implikasi Konflik Sosial di Ambon

Atas Relasi Keberagamaan di Indonesia (Jakarta: Penamadani, 2004), 125-130.

58M. Hilaly Basya dan David K. Alka, Amerika Perangi Teroris Bukan Islam

(Jakarta: Penerbit Center for Moderate Moslem, 2004), 12-27. Lihat juga Donald Eugene Smith, Religion, Politics, and Social Change in the Third World (New York: The Free Press, 1971), 223.

59Nasir Tamara dan Agnes Samsuri, Perang Iran-Perang Irak (Jakarta: Penerbit

Sinar Harapan, 1981), 56-62.

60Toriq Hadad, Amarah Tasikmalaya: Konflik di Basis Islam (Jakarta: ISAI,

1998), 9-28.

61Endang Kironosasi, dkk., ‚Deskripsi Penelitian Wilayah Poso,‚ dalam

Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air, Rumin Tumanggor, eds., 129-176.

62Kusuma Espe, Provokator Paradigma Kritis di Tengah Konflik: Penyadaran

Masyarakat Pasca Pertikaian antar Komunitas di Ambon (Jakarta: Awan Indah, 2004), 16-18.

63Departemen Agama RI, Sosiologi Keagamaan: Suatu Kajian Empirik dalam

(27)

dunia, bagaimana sebetulnya teoritisasi penyebab konflik, akan dibahas lebih lanjut pada sub bab berikut ini.

B. Teoritisasi Penyebab Konflik

Michael Brown dalam bukunya Nationalism and Ethnic Conflict mengungkap bahwa para peneliti yang meneliti konflik di dalam suatu negara mengidentifikasikan ada empat faktor yang menyebabkan terjadinya konflik, yakni64: Pertama, faktor struktural. Dalam cakupan bahasan faktor struktural menekankan terdapat tiga faktor pokok utama yang dapat menyebabkan terjadinya konflik, yakni keadaan/kondisi negara, keamanan dalam negeri, dan etnisitas suatu wilayah.65 Kedua,

64M.E. Brown, et.al., Nationalism and Ethnic Conflict (Cambridge: The MIT

Press, 1997), 5-12.

65Contoh kasus konflik di Poso yang diakibatkan faktor struktural yakni:

Pertama, Horizontal Inequalities, sebuah kombinasi dari ketidaksamaan antara dua kelompok agama yang dominan Muslim dan Nasrani dalam kebijakan Islamisasi selama beberapa dekade terakhir dari rezim Orde Baru, yang menyebabkan timbulnya ketidakpuasan sosial ekonomi. Ketidaksamaan horizontal antarkelompok telah menjadi

dasar dari sumber-sumber konflik etnik dan agama. Kedua, Dynamics of Migration,

akibat dinamika transmigrasi resmi yang dilakukan oleh pemerintah baik dari Jawa dan Bali, maupun transmigrasi secara spontan yang berasal dari suku Bugis Sulawesi Selatan, telah menambah terciptanya dimensi ketidakpuasan dan ketegangan antara

pendatang dengan penduduk setempat. Ketiga, Natural Resources Contestation,

kompetisi dalam sumber-sumber alam, terutama lahan, seperti yang telah diprediksikan para ahli sebagai sumber utama dalam ketegangan atau konflik di Sulawesi Tengah. Perebutan sumber lahan, mengundang kontroversi dalam dua sisi, yaitu: (1) penduduk pendatang merujuk pada pemilikan lahan berdasarkan pemerintahan, mengklaim legitimasi pada konsep hukum barat dalam hak-hak kekayaan, (2) sementara pribumi atau penduduk asli bersandar pada konsep hukum adat istiadat dan hak-hak tradisional. Keempat, Weak Legal Institutions, lemahnya institusi hukum telah menyebabkan terjadinya kekerasan. Kurang efektifnya institusi-institusi hukum pada episode kekerasan dan penegakan hukum (apakah itu besar atau kecil) telah berperan meningkatkan kekerasan, seperti yang terjadi di Poso, di mana dua perkelahian yang memicu fase konflik yang pertama dan kedua yang mengarah kepada vigilantisme yang

telah memunculkan kekerasan. Kelima, Transparency and Accountability of

(28)

faktor politik. Biasanya faktor politik seringkali menjadi pemicu ketegangan antar-etnik. Terjadinya ketegangan etnis terkait dengan sistem politik, ideologi politik yang berlaku, dinamika politik antarkelompok, dan juga perilaku elite.66 Ketiga, faktor sosial ekonomi. Sumber potensial dari faktor sosial ekonomi yang dapat memunculkan konflik, yakni: permasalahan ekonomi dalam negeri, sistem ekonomi yang diskriminan dan dampak modernisasi ekonomi. Keempat, faktor budaya atau persepsi. Terdapat dua faktor yang dianggap sebagai sumber dari munculnya konflik, yaitu diskriminasi budaya terhadap kaum minoritas dan persepsi terhadap kelompok tertentu.67 Sedangkan

66Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen

politik para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama. Hal ini menunjukkan bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah memprovokasi masyarakat. Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan mudah terpicu untuk bertindak yang menjurus ke arah terjadinya kerusuhan maupun konflik antar kelompok atau golongan.

Sumber: http://www.perspektifbaru.com/wawancara/399 Di akses tanggal 11 Maret 2011.

67Contoh kasus pertikaian berkepanjangan antara suku Madura dengan warga

suku Melayu di Sambas dapat dilihat bahwa interaksi dua suku yang berbeda budaya dan perilaku sosialnya tersebut sangat rawan menimbulkan konflik. Suku Madura berasal dari daerah yang gersang, kering dan tak ada hasil daerah yang dapat diandalkan. Latar belakang daerah yang demikian menyebabkan orang Madura dikenal sebagai suku yang keras, berani dan tekun dalam berusaha. Kebudayaan mereka berorientasi keluar, menggarap lahan yang tidak terbatas pada pulau Madura saja, tetapi daerah manapun yang dapat dijadikan sandaran hidup. Mereka juga merantau, karena desakan daerah yang miskin dan sempit. Hal inilah yang menjadikan orang Madura sangat mandiri dan berani menghadapi segala rintangan apapun. Namun, sifat keberanian yang kadang berlebihan ditambah dengan rendahnya tingkat pendidikan, pada umumnya menyebabkan tindakan dan perilaku sering kurang mengenakkan masyarakat setempat. Orang Madura seperti inilah hidup di lingkungan suku Melayu yang ramah, toleran dan tenggang rasa. Bahasan lebih lanjut lihat M.E. Brown, et.al., Nationalism and Ethnic Conflict (Cambridge: The MIT Press, 1997). Lihat juga Edi Petebang dan Eri Sutrisno, Konflik Etnik di Sambas, 115-120.

Sedangkan menurut A.B. Tangdililing ada perbedaan adat istiadat (budaya) antara Melayu dan Madura konteks di Sambas merupakan kejadian unik, disebabkan yang lebih dominan adalah perselisihan karakter dan adat istiadat, karena dari segi agama, kedua suku itu sama-sama menganut agama Islam yang taat. Bedanya Melayu cenderung lebih inklusif, sedangkan sikap keberagamaan suku Madura cenderung lebih eksklusif. Dalam keadaan demikian, kesalahpahaman mudah muncul dan itu merupakan salah satu potensi konflik. Diantara potensi konflik yang dapat menjadi

(29)

konflik antarkelompok baik yang ada dalam kelompok itu sendiri maupun dalam lingkungan masyarakat terjadi karena, ketika salah satu kelompok berusaha memaksakan nilai (value) yang mereka miliki pada kelompok lain. Dalam cakupan bahasan konflik antarkelompok, Walter G. Stephan dan Cookie White Stephan yang dikutip oleh Hasrullah menawarkan tiga teori tentang penyebab konflik antarkelompok, yakni68: Pertama, Realistic Group Conflict Theory. Teori ini mempunyai premis didasari oleh kompetisi untuk memperebutkan resources (land, money, natural resources) atau pun value, belief dan norms. Teori realistik ini digunakan untuk memprediksi konsekuensi psikologis, di mana realitas konflik kelompok memicu meningkatnya kohesivitas dan etnosentrisme antarkelompok. Perubahan ini biasanya diiringi dengan kekerasan terhadap kelompok lain. Konflik juga dapat terjadi ketika kemampuan untuk memelihara kesetaraan antarkelompok menjadi timpang, yang dapat dipicu oleh ketidakseimbangan mendapatkan peluang kerja, tingkat ekonomi, kemakmuran antarkelompok tersebut. Kedua, Relative Deprivation Theory. Premis dalam teori ini berbeda dengan premis teori sebelumnya yang menekankan pada perbedaan nyata antarkelompok. Relative Deprivation Theory, cenderung memfokuskan diri pada persepsi, menjadi kelompok yang kurang beruntung. Misalnya, persepsi merasa tertindas dapat memicu munculnya konflik, meskipun pada persepsi yang dirasakan belum tentu kebenarannya. Konsep teori ini cenderung mempunyai kaitan dengan teori pertukaran sosial (social exhange theory) karena dalam cakupan bahasannya, konflik muncul dari perasaan dalam suatu kelompok yang merasa kurang beruntung ditinjau dari segi input dan output-nya, jika dibandingkan kelompok lain. Faktor perasaan inilah yang kemudian memunculkan kekecewaan, sehingga menimbulkan konflik. Ketiga, Basic Psychological Need Theory. Teori ini menekankan adanya pertikaian dalam pemenuhan kebutuhan dasar psikis. Isu yang dimunculkan dalam teori ini yaitu konflik muncul karena terjadi

istiadat yang berbeda. Kedua, Terdapat ketidakserasian pandangan hidup dan perilaku

antara keduanya. Ketiga, Kecembuan ekonomi antara Melayu yang merasa penduduk

asli dan Madura sebagai penduduk pendatang, karena Madura lebih sejahtera

dibandingkan dengan Melayu. Keempat, Suku Melayu merasa tanah mereka diambil

oleh orang-orang Madura. Lihat A.B. Tangdililing, ‚Aspek Sosiologis-Antropologis Etnik di Kalimantan Barat‛, dalam Edi Petebang dan Eri Sutrisno, Konflik Etnik di Sambas, 131-136.

(30)

pembohongan kebutuhan psikis seperti: rasa aman, identitas, pengakuan, dan partisipasi. Konflik yang dilandasi oleh kebutuhan psikis cenderung bertahan cukup lama sehingga kebutuhan tersebut dapat terpenuhi. Yang jelas, ketiga teori yang ditawarkan di atas menggunakan analisis psikologi sosial dalam memetakan fenomena konflik antarkelompok.

George Ritzer yang dikutip oleh Ahmad Soedijar,69 mengatakan bahwa yang menjadi faktor penyebab terjadinya konflik, antara lain masalah distribusi kekuasaan dan wewenang secara proporsional tidak merata tanpa kecuali, lemahnya penegakan hukum, adanya kesenjangan sosial-ekonomi yang melebar, tindakan sewenang-wenang satu kelompok terhadap kelompok lain. Satu sisi konflik juga dapat terjadi, bilamana salah satu pihak merasakan ketidakadilan terhadap diri, kelompok atau suku mereka. Ketidakadilan itu dapat disebabkan oleh posisi yang dominan dari kelompok atau suku lainnya di bidang politik, ekonomi, pelayanan, pendidikan dan lainnya. Selain daripada itu, setiap kelompok atau suku mempunyai harapan dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh kelompok tersebut, karenanya mereka berkeinginan untuk mencapai harapan dan cita dan menjunjung nilai tersebut. Setiap kelompok akan berupaya secara terus menerus untuk mendapatkan sesuatu melebihi apa yang telah dicapai oleh pihak lain. Bagi kelompok ini kelebihan yang diperoleh akan memberikan posisi tertentu, ataupun dapat mengangkat gengsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Perebutan kedudukan dan gengsi tersebut merupakan benih-benih konflik yang bila tidak disikapi secara bijak dapat menimbulkan konflik komunal.70

Menurut Aripinsyah terjadinya konflik dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni terkait dengan stratifikasi sosial dan ekonomi.71

69Ahad Soedijar, Bencana Sosial Sampit (Jakarta: Badan Litbang Sosial

Depsos RI, 2002), 5-6. Lihat juga Achmad Habib, Konflik antaretnik di Pedesaan:

Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa (Yogyakarta: LKiS, 2009), 26.

70Chaider S. Bamualim, eds. Communal Conflict in Contempory Indonesia

(Jakarta: The Konrad Adenauer Foundation Bekerja Sama dengan Center for Languanges and Cultures UIN Syarif Hidayatullah, 2002), viii-xiii.

71Faktor-faktor itu pada awalnya hanyalah pertentangan kelas sosial dilihat

(31)

Faktor pemicu konflik adalah stratifikasi sosial: pelapisan sosial kehidupan dalam masyarakat seperti perbedaan status sosial dan ekonomi antar pemeluk agama maupun para pemimpinnya, yang antara lain dapat melahirkan kecemburuan sosial. Stratifikasi sosial ini merupakan faktor yang dapat mempengaruhi faktor-faktor lainnya, antara lain faktor kepentingan ekonomi dan politik,72 faktor faham/penafsiran agama,73 mobilitas kegiatan dakwah/umat,74 keyakinan agama.75 Sedangkan Mills tidak sepakat dengan pendapat yang menyatakan bila penyebab konflik hanya terdiri dari dimensi ekonomi, tetapi dia lebih sepakat terhadap pandangan Weber tentang terbaginya stratifikasi sosial ke dalam tiga dimensi, yakni ekonomi, prestise, dan politik. Karena Mills melihat hubungan konflik, yang

tertentu dan penduduk setempat beragama lainnya, maka yang terjadi berikutnya adalah manipulasi pertentangan antara kelompok agama. Padahal sebenarnya, pertentangan tersebut semata-mata pertentangan ekonomi, pendapatan masyarakat yang tidak seimbang, lapangan kerja yang selektif. Pada akhirnya, yang terlihat secara nyata adalah pertentangan religiusitas, agama versus agama. Lihat Aripinsyah, Hubungan Antar Agama: Wacana Pluralisme, Eksklusivisme, dan Inklusivisme (Jakarta: IAIN Press, 2002), 59-60.

72Kepentingan-kepentingan nyata setiap kelompok masyarakat termasuk para

pemeluk agama dan para pemimpin setiap kelompok agama yang sama dalam memperebutkan sumber-sumber kehidupan ekonomi dan politik sebagai kebutuhan sosial yang penting. Termasuk perebutan aset kekuasaan politik, seperti menjadi anggota DPR, birokrasi pemerintah, dan sebagainya. Kepentingan ini dipengaruhi oleh tingkat stratifikasi sosial dari masing-masing kelompok umat maupun pemimpinnya.

73Perbedaan pemahaman atau penafsiran terhadap ajaran agama dapat

melahirkan sikap fanatisme berlebihan terhadap mazhab atau faham keagamaan yang dianut oleh setiap kelompok agama di lingkungan intern agama yang sama, baik pada level umat/jamaah maupun pemimpinnya. Perbedaan paham ini juga terkait denga

Referensi

Dokumen terkait

Dengan media pengumpulan data wawancara penulis dapat menggunakan hasil jawaban dari responden sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kriteria apa saja yang akan digunakan

(3) Bagi sekolah, strategi pembelajaran model elaborasi ini di harapkan menjadi salah satu masukan dalam rangka meningkatkan motivasi belajar matematika. Hasil

Menjadi menarik bila aspek religiusitas masyarakat transmigran, terutama masyarakat Islam di wilayah baru perkebunan diteliti lebih lanjut, untuk mendapatkan gambaran, apakah

Bagi Penyedia Jasa atau Pemilik Kapal yang sedang menjalani pemeriksaan oleh instansi yang terkait, antara lain pihak kepolisian, TNI, Bea Cukai, Perpajakan, atas dugaan

Sesuai dengan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis pengaruh dari CEE ( Capital

Jaringan yang digunakan untuk dalam memprediksi ekspor bijih coklat menurut negara tujuan utama dengan resilient backpropogation dengan langkah pembelajaran

Berdasarkan data observasi unsur-unsur iklim yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi Pongtiku Tana Toraja menunjukkan bahwa kebanyakan kasus puting beliung yang terjadi

Berdasarkan jawaban responden terlihat bahwa tingkat kehadiran pegawai sudah baik, walaupun dari hasil pengamatan awal penulis, tidak seluruh pegawai hadir dalam setiap apel