• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3. Dinamika Pedagogi Reflektif

Dalam pembahasan kali ini adalah bagaimana pelaksanaan Pedagogi Reflektif secara nyata dalam pembelajaran atau kuliah dilakukan, sehingga mahasiswa dapat dibantu menjadi pribadi yang utuh yang berkembang segi pengetahuan, suara hati, dan kepekaannya pada orang lain.

Pedagogi Reflektif menawarkan sebuah proses pembelajaran melalui tiga (3) unsur utama yaitu pengalaman, refleksi, dan aksi. Sebagai sebuah seni dan ilmu mengajar, Pedagogi Reflektif juga menawarkan cara-cara yang lebih eksplisit dengan maksud agar visi dan nilai-nilai Ignasian dapat disampaikan dalam proses belajar mengajar. Ketiga unsur utama itu dibantu oleh unsur sebelum pembelajaran yaitu melihat konteks dan dibantu oleh unsur setelah pembelajaran dengan evaluasi. Maka secara garis besar Pedagogi Reflektif mempunyai dinamika sebagai berikut: (1) konteks, (2) pengalaman, (3) refleksi, (4) aksi, (5) evaluasi (Suparno, 2015: 21) secara lebih rinci dapat dilihat melalui skema berikut ini:

Skema 2.2 Dinamika Pedagogi Reflektif

a. Konteks

Konteks pembelajaran terdiri dari mahasiswa, lingkungan, dan perguruan tinggi. Sebagaimana tertulis dalam Modul Tim PPR (2010: 42) konteks merupakan suatu proses penggalian pengalaman atau pengetahuan pada siswa untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa dapat memahami tentang materi belajar yang akan dipelajari. Tahap konteks dalam Implementasi Pedagogi Reflektif ini sama dengan kegiatan apersepsi yang dilakukan para pendidik untuk mengawali suatu proses belajar. Kegiatan-kegiatan penggalian konteks dalam Pedagogi Reflektif antara lain dapat dilakukan dengan tanya jawab, pengisian kuesioner, pretes, analisis diri mahasiswa dll. Seperti pada penelitian skripsi Elia Maya pada tahun 2011 dan Ignasius Yudha pada tahun 2015 penggalian

3C (competence, conscience, compassion) 1. Konteks 2. Pengalaman 3. Refleksi 4. Aksi 5. Evaluasi

konteks yang mereka lakukan adalah dengan mengadakan pretes terhadap siswa-siswi pada kelas yang mereka teliti. Hasil menunjukkan bahwa dengan mengadakan pretes maka mereka dapat terbantu dalam menemukan permasalahan belajar di dalam kelas yang akan mereka teliti selain itu juga memberikan informasi-informasi penting kepada pendidik mengenai kondisi kelas sehingga pendidik dapat menentukan upaya membantu peserta didik untuk belajar.

b. Pengalaman

Menurut Ignasius, mengalami berarti “merasakan sesuatu secara mendalam”. Aktivitas “mengenyam/mengunyah sesuatu secara batin” merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu pada tahap pengalaman ini, mahasiswa diajak untuk melakukan kegiatan yang memuat tidak hanya aspek kognitif (pemahaman) atas materi yang tengah disimak tetapi juga aspek afektif (perasaan/penghayatan) dan aspek konatif (niat/kehendak). Jadi, keseluruhan pribadi (akal, budi, rasa, dan kehendak) mahasiswa diasah supaya mereka dapat memperoleh pengetahuan yang semakin utuh (P3MP USD, 2012: 16).

Pengalaman sendiri dibagi menjadi 2 yaitu pengalaman langsung dan pengalaman tidak langsung. Pengalaman langsung adalah pengalaman yang dialami sendiri oleh mahasiswa, sehingga seluruh diri terlibat. Pengalaman tidak langsung adalah pengalaman yang dialami lewat imaginasi, bacaan, simulasi, role play, video dll. Jadi istilah pengalaman dipakai untuk menunjuk pada setiap kegiatan yang memuat pemahaman

kognitif bahan yang disimak yang juga memuat unsur afektif yang dihayati oleh pelajar. Dalam penelitian sebelumnya pengalaman-pengalaman yang tergambar adalah pengalaman-pengalaman siswa secara langsung, yaitu siswa mengalami sendiri setiap peristiwa yang ada di dalam kelas tempat peneliti sebelumnya melakukan penelitian. Mereka terlibat secara langsung dalam setiap hal yang terjadi di dalam kelas melalui aktivitas belajar yang mereka ikuti.

c. Refleksi

Salah satu dinamika dasar yang dikembangkan dalam Pedagogi Reflektif adalah membiasakan manusia untuk mengadakan refleksi atas pengalaman hidup. Hal ini sangat diperlukan guna mendapat kepastian bahwa pengalaman itu otentik, bukan pengalaman orang lain yang dipaksakan kepadanya (P3MP USD, 2017).

Dalam tahap refleksi ini mahasiswa dibantu untuk menggali pengalaman sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya dan mengambil makna bagi hidup pribadi, hidup bersama, dan hidup kemasyarakatan. Tujuan dari kegiatan refleksi adalah: a) siswa mampu menangkap nilai hakiki dari apa yang dipelajari; b) menemukan keterkaitan antar unsur pengetahuan dan antara pengetahuan dengan realitasnya; c) memahami implikasi pengetahuan dan seluruh tanggung jawabnya guna menemukan kebenaran dan kebebasan; d) membentuk hati nurani siswa baik itu dalam hal keyakinan nilai, sikap dan seluruh cara bernalar mereka. Di dalam proses ini dosen membimbing mahasiswa merefleksikan

pengalaman belajarnya dan mahasiswa diberi kebebasan untuk berefleksi.

Refleksi dalam Pedagogi Reflektif harus bermuara pada keputusan tekad yang kuat untuk melakukan segala hal yang siswa rasakan, dan refleksi jangan hanya menjadi mentah kalau hanya menghasilkan pemahaman dan reaksi afektif. Hal ini mengingat bahwa refleksi adalah penghubung antara pengalaman dan aksi, sehingga refleksi harus benar-benar menuntun siswa untuk dapat mengungkapkan apa yang dirasakan untuk kemudian diwujudkan melalui aksi atau tindakan (Subagya, 2012: 58).

d. Aksi

Langkah selanjutnya dalam pembelajaran dengan Pedagogi Reflektif adalah aksi. Aksi dilakukan mahasiswa setelah mereka merefleksikan pengalaman belajar mereka. Dari pengalaman belajar yang telah direfleksikan tersebut diharapkan siswa terdorong untuk mengambil keputusan atau komitmen dan kemudian melaksanakannya. Perwujudan pengalaman inilah yang disebut aksi. Aksi dalam Pedagogi Reflektif dapat berupa dua hal yaitu aksi ke dalam dan aksi keluar. Aksi ke dalam merupakan sikap diri yang menjadi lebih baik dan lebih maju. Sedangkan aksi ke luar adalah tindakan nyata yang dirasakan oleh orang lain.

Dalam spiritualitas Ignasian, pemaknaan pengalaman yang diperoleh melalui refleksi tersebut dimaksudkan agar peserta didik mampu mengambil keputusan dan bertindak dengan semangat magis (the power

to do more/unggul) (P3MP USD, 2012: 29). Pada penelitian sebelumnya,

aksi yang tergambar adalah adanya perubahan dalam hal sikap belajar para siswa. Melalui kegiatan refleksi yang telah dilakukan, mereka kemudian terdorong untuk mengambil komitmen dan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini terlihat bahwa ketika dilakukan post test ada banyak perubahan dalam hal sikap, maupun nilai akademik para siswa.

e. Evaluasi

Sebagai akhir dari semua tahap yang telah diupayakan oleh para pendidik maka perlu dilakukan suatu proses evaluasi. Evaluasi dimaksudkan untuk melihat secara keseluruhan bagaimana seluruh proses Pedagogi Reflektif terjadi dan berkembang. Dapat terjadi prosesnya tidak berjalan lancar sehingga hasilnya tidak kelihatan, bisa jadi ketidaklancaran karena konteks mahasiswa kurang diperhatikan oleh dosen dll. Pada dasarnya evaluasi lebih diperlukan bagi dosen dan program studi untuk melihat apakah bantuan mereka kepada mahasiswa dalam proses pembelajaran dengan Pedagogi Reflektif ini memang berjalan baik atau tidak. Jadi lebih untuk melihat program dan pelaksanaan program sesuai dengan tujuannya. Hasil evaluasi ini akan menjadi umpan balik bagi dosen dan mahasiswa. Bagi mahasiswa hasil evaluasi ini bermanfaat untuk memperbaiki cara belajarnya, sedangkan bagi dosen merupakan masukan untuk memperbaiki cara dan metode pembelajaran yang digunakan (Suparno, 2015: 40).

Pada akhirnya Pedagogi Reflektif bermaksud mewujudkan pembentukan yang mencakup kemajuan akademik, namun tidak hanya itu. Yang menjadi fokus perhatian adalah pertumbuhan pelajar yang menyeluruh sebagai pribadi demi sesama. Jadi evaluasi berkala perkembangan pelajar dalam sikap, prioritas-prioritas dan kegiatan-kegiatan selaras dengan sikap menjadi orang demi orang lain (man for

others) amat penting (Subagya, 2012: 61).

Untuk itulah mengapa Pedagogi Reflektif merupakan suatu proses berkesinambungan yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain. Tahap-tahap yang telah dikemukakan di atas dapat menjadi sebuah pola efektif yang dipakai terus menerus baik untuk belajar maupun untuk merangsang kesediaan untuk tetap berkembang sepanjang hidup. Masing-masing tahap berperan penting dalam proses pembentukan mahasiswa menjadi pribadi yang utuh, karena setiap pengulangan tahap yang dilakukan menurut pola Pedagogi Reflektif sebagaimana dikemukakan oleh Subagya (2012: 64) dapat membantu pengembangan pelajar supaya: tahap demi tahap belajar membeda-bedakan dan selektif dalam memilih pengalaman yang akan ia masuki; mampu menimba kepenuhan dan kekayaan refleksi dari pengalaman-pengalaman itu dan dari kemauannya sendiri berkat kejujuran dan kemanusiaan mampu untuk membuat keputusan yang bertanggungjawab.

Sesungguhnya akhir dari proses yang berkesinambungan tersebut adalah tumbuhnya nilai 3C (competence, conscience, compassion) yang

selama ini menjadi fokus utama dalam pandangan Pedagogi Reflektif. Hal tersebut juga sejalan dengan Panggilan Universitas Sanata Dharma yaitu “menjadi penggali kebenaran yang unggul dan humanis demi terwujudnya masyarakat yang semakin bermartabat” yang dirumuskan melalui misi berikut ini:

1) Mengembangkan sistem pendidikan holistik yang merupakan perpaduan keunggulan akademik dan nilai-nilai kemanusiaan melalui pendekatan yang berciri cura personalis, dialogis, pluralistik, dan transformatif.

2) Menciptakan komunitas akademik universitas yang mampu

menghargai kebebasan akademik serta otonomi keilmuan, mampu bekerjasama lintas ilmu, dan lebih mengedepankan kedalaman daripada keluasan wawasan keilmuan dalam usaha menggali kebenaran lewat kegiatan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

3) Menghadirkan pencerahan yang mencerdaskan bagi masyarakat melalui publikasi hasil kegiatan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, pengemban kerjasama dengan berbagai mitra yang memiliki visi serta kepedulian yang sama, dan pemberdayaan para alumni dalam pengembangan keterlibatan nyata di tengah masyarakat.

Untuk itu, agar seluruh proses dinamika pembelajaran dengan Pedagogi Reflektif dapat berjalan dengan baik dan lancar, sehingga dapat

mencapai tujuan utamanya yaitu pertumbuhan aspek 3C (competence,

conscience, compassion) pada mahasiswa atau people for with others

maka diperlukan adannya beberapa sikap dari dosen dan mahasiswa yaitu sebagai berikut:

1) Mahasiswa

a) Aktif dan kreatif dalam belajar. Sikap yang penting dalam pendekatan Pedagogi Reflektif adalah bahwa mahasiswa harus aktif dan kreatif dalam belajar. Mahasiswa yang harus mengolah bahan, mencerna, mengerjakan, menekuni bahan yang dipelajari. Untuk itu mahasiswa harus bersemangat belajar, mengolah bahan, menggali, dan melatih. Tanpa keaktifan dan kreativitas mahasiswa tidak akan dapat menguasai bahan dan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang diinginkan. Keaktifan ini tidak dapat diwakilkan kepada siapapun, karena yang menjalani proses mengerti adalah mahasiswa itu sendiri.

b) Rela dibimbing oleh dosen. Agar proses pembelajaran dan pendampingan belajar berjalan dengan baik, maka mahasiswa juga diharapkan rela dibimbing oleh dosen. Kerelaan dibimbing ini diwujudkan dengan sikap terbuka kepada dosen, berani bertanya, berani mengungkapkan gagasan dan kesulitan dalam belajar. 2) Dosen

a) Sebagai fasilitator, membantu mahasiswa agar aktif belajar dan berlatih. Fungsi dosen adalah sebagai fasilitator yang membantu

mahasiswa dalam belajar, yaitu sebagai pendorong serta memberikan semangat agar mahasiswa mau belajar.

b) Mengenal mahasiswa. Agar proses membantu mahasiswa berjalan dengan baik, dosen diharapkan mengenal mahasiswa terutama kesulitannya, cara berpikirnya, cara penalarannya, kesulitan belajarnya dan juga keadaannya. Dengan begitu dosen dapat memberikan pendampingan dengan lebih tepat.

c) Menguasai bidangnya. Karena tugas dosen adalah membantu mahasiswa menguasai kompetensi dalam bidangnya maka sangat penting dosen menguasai bidang kajiannya. Dengan menguasai bidangnya maka dosen dapat memberikan masukan serta peneguhan kepada mahasiswa dalam mencerna pengetahuan. d) Dosen yang terus belajar. Agar dosen semakin dapat menjadi

fasilitator yang baik dan berkembang, maka penting bahwa dosen selalu belajar agar pengetahuannya selalu up to date dan dapat menuntun mahasiswa sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan zaman.

Selain kedua hal di atas penting pula memperhatikan proses pendampingan yang baik supaya pelaksanaan PPR benar-benar berhasil dan membawa pada tujuan yaitu tumbuhnya 3C mahasiswa. Proses pendampingan tersebut meliputi:

a) Dialogis. Artinya dosen dan mahasiswa saling membantu, saling terbuka dan saling mengungkapkan apa yang dirasakan. Dosen

tidak mencekoki mahasiswa tetapi membantu mahasiswa mendalami sendiri setiap pengetahuan.

b) Saling percaya. Rasa saling percaya antara dosen dan mahasiswa sangat dibutuhkan.

c) Cura personalis. Yaitu bagaimana dosen memperhatikan yang lemah dan memberikan bantuan terutama terkait dengan proses belajar.

Dengan demikian, orientasi dari pendidikan Yesuit seperti yang dikemukakan oleh Pater Peter-Hans Kolvenbach (Darminta, S.J., 1987: 59) yaitu bahwa tujuan pendidikan Yesuit tidak pernah hanya berarti diperolehnya suatu gudang informasi dan ketrampilan atau persiapan untuk pekerjaan tertentu, tetapi tujuan akhirnya lebih terletak pada perkembangan manusia yang purna, yang menuju ke arah tindakan, tindakan yang diresapi oleh semangat dan kehadiran Yesus Kristus, manusia demi orang lain dapat tercapai dengan baik.

Dokumen terkait