• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

E. Dinamika Perilaku Seksual, Komunikasi Seksual dalam Keluarga,

Komunikasi merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan individu, termasuk dalam berelasi di keluarga. Menurut Runcan et al. (2012), segala aspek dalam kehidupan keluarga selalu melibatkan komunikasi karena komunikasi merupakan sarana untuk dapat menjalankan fungsi keluarga dengan baik. Selain itu, komunikasi juga dapat membangun dan menjaga hubungan antara orangtua dan anak. Hubungan antara orangtua dan anaknya dapat meningkat ketika komunikasi yang dilakukan bersifat efektif. Hal tersebut juga memungkinkan anak untuk lebih mengikuti apa yang dikatakan oleh orangtuanya (Zolten & Long, 2006).

Komunikasi antara orangtua dan anak mengenai seks ditemukan berhubungan dengan kemungkinan remaja melakukan penundaan terhadap hubungan seksual (Seloilwe, Magowe, Dithole, & Lawrence, 2015).

Komunikasi seksual yang dilakukan dalam keluarga dapat dipengaruhi oleh tingkat keterbukaan yang dirasakan anak terhadap diskusi seks yang dilakukan, serta jumlah informasi yang dipelajari dan dibagikan selama diskusi (Warren & Neer, 1986). Saat komunikasi seksual tersebut berlangsung secara terbuka, maka dapat menghasilkan perilaku seksual yang aman (Richards, 2013, dalam Gumban, et al., 2016). Remaja yang memiliki komunikasi yang baik dengan orangtuanya akan mendapatkan informasi yang baik pula mengenai bahaya penyakit seksual sehingga mereka lebih mungkin untuk tidak terlibat dalam seks yang beresiko dibandingkan mereka yang tidak pernah berkomunikasi dengan orangtuanya (Likewise & Weinman, 2008, dalam Gumban, Martos, Rico, Bernarte, & Tuason, 2016). Adanya komunikasi yang efektif dari orangtua juga dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai nilai-nilai seksualitas yang tepat kepada anak (Prihartini, Nuryoto, & Aviatin, 2000) sehingga anak mampu untuk membuat keputusan yang sehat terkait perilaku seksualnya (Gumban, Martos, Rico, Bernarte, & Tuason, 2016). Oleh karena itu, menjadi penting bagi orangtua untuk berkomunikasi secara terbuka dan efektif dengan anaknya (Zolten & Long 2006).

Kedekatan adan koneksi dalam hubungan keluarga memungkinkan orangtua dan anak untuk mengembangkan hubungan yang saling percaya, serta dapat mendiskusikan hal-hal seksual secara terbuka (Turnbull, 2012). Runcan et al. (2012) menambahkan bahwa komunikasi yang berlangsung secara timbal balik dan tidak sepihak dapat berkontribusi secara signifikan

terhadap keterbukaan dan pembentukan hubungan antara orangtua-anak. Hasil penelitian dari Leeds, et al. (2014) menunjukkan bahwa komunikasi yang terbuka antara orangtua dan anak berkorelasi secara kuat dengan penurunan tingkat kehamilan remaja, maupun dalam penurunan perilaku seksual berisiko.

Menurut Seloilwe, Magowe, dan Dithole (2015), remaja memiliki keinginan untuk berbicara mengenai seksualitas dengan orangtuanya, tetapi orangtua merasa tidak nyaman untuk membicarakan masalah tersebut. Orangtua seringkali menghindari diskusi mengenai seksual dengan remaja karena adanya norma-norma budaya, pengetahuan yang kurang, atau ketidaknyamanan mereka untuk mendiskusikan hal tersebut (UNESCO, 2009, dalam Yuniarti & Rusmilawaty, 2015). Komunikasi yang dilakukan orangtua dengan anak mengenai masalah seksual seringkali minim, bersifat menghakimi, serta membatasi akses informasi mengenai kesehatan seksual dan reproduksi (Ladipo 2003, dalam Kunnuji, 2012). Gaya komunikasi yang ditunjukkan tersebut menyebabkan anak merasa kurang nyaman sehingga mereka cenderung menghindari komunikasi mengenai seksual dengan orangtuanya (Wang, 2016). Komunikasi yang kurang ini menyebabkan anak memiliki memiliki pengetahuan yang kurang mengenai seksual (Sarwono, 2010). Remaja memiliki rasa ingin tahu yang besar, tetapi tidak diimbangi oleh ketersediaan akses informasi yang baik dari orangtua karena mereka merasa tabu untuk membicarakan seks dengan anak sehingga anak menjadi berpaling ke sumber informasi lain yang mungkin tidak akurat, seperti teman.

Informasi yang tidak akurat ini berdampak pada keputusan seksual yang kurang tepat yang diambil oleh anak.

Selain itu, komunikasi antarpribadi juga dianggap secara cara yang paling ampuh dalam mengubah sikap dan perilaku seseorang. Sebagai komunikator, orangtua kerap memberikan pesan-pesan dan informasi yang dapat mengubah sikap dan perilaku anaknya. (Ramadhani, 2013). Melalui proses komunikasi anak mengembangkan pola kognisi, pengetahuan, dan sikap terhadap dunia luar (Moitra & Mukherje, 2012). Menurut Novilla, Barnes, De La Cruz, Williams, dan Rogers (2006, dalam Turnbull, 2012), orangtua mampu mempengaruhi sikap anak-anak mereka dengan membentuk keyakinan, serta nilai-nilai tentang identitas, hubungan dan keintiman. Melalui cara orangtua berkomunikasi, anak mulai membentuk ide dan kepercayaan mengenai dirinya. Dengan kata lain, komunikasi seksual yang dilakukan dapat mempengaruhi afektif atau keadaan emosional, kognitif atau kepercayaan, keyakinan, ide, konsep, maupun konatif atau kecenderungan berperilaku yang dimiliki seseorang terhadap perilaku seksual pranikah. Menurut Allport (1954, dalam Notoatmodjo, 1993) dan Azwar (2009), komponen kognitif, afektif, dan konatif tersebut merupakan komponen yang secara bersama-sama akan membentuk sikap seseorang secara utuh.

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 1993). Sikap dapat dipahami sebagai evaluasi dari objek pemikiran yang meliputi perasaan, keyakinan, dan perilaku masa lalu, serta memandu proses pengambilan

keputusan yang terlibat dalam berlakunya perilaku (Maio, Olson, Bernard, & Luke, 2003, dalam Gravel, et al., 2016). Sikap ini berbeda dengan perilaku karena sikap masih merupakan suatu predisposisi perilaku (Mar’at, 1982) dan

sikap ini sering digunakan untuk memprediksi perilaku seseorang atau sekelompok orang (Morissan, 2013). Menurut Azwar (2009), perilaku atau kecenderungan berperilaku dari seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku. Terdapat beberapa komponen objek sikap yang dapat menentukan terbentuknya sikap seseorang terhadap seks, yaitu sikap terhadap hubungan seksual pranikah dengan pasangan tetap yang menunjukkan kecenderungan melakukan hubungan seksual pranikah dengan pasangan tetap karena alasan saling mencintai, sikap dalam melakukan hubungan seksual pranikah pada kondisi spesifik yang cenderung membenarkan hubungan seksual pranikah karena ada syarat-syarat tertentu, dan sikap terhadap hubungan seksual pranikah sebagai pengalaman hidup yang menunjukkan kecenderungan untuk melakukan hubungan seksual pranikah sebagai penambah pengalaman hidup yang menyenangkan.

Menurut Kotchick, Shaffer, Forehand, & Miller (2001, dalam Topkaya, 2012), nilai dan sikap mengenai seksualitas akan ditularkan dari orangtua ke anak. Dari studi yang dilakukan Gravel, et al. (2016) diketahui bahwa sikap ibu terhadap perilaku seksual pranikah mempengaruhi sikap yang dimiliki responden terhadap perilaku seksual pranikah, sikap inilah yang nantinya dapat mempengaruhi kemungkinan mereka untuk terlibat atau tidak dalam

perilaku seksual pranikah (Sprecher & McKinney, 1993; Gravel, et al., 2016). Azwar (2009) membedakan sikap menjadi dua jenis, yaitu sikap yang positif dan sikap negatif. Sikap positif memiliki kecenderungan tindakan yaitu mendekati, menyenangi, dan mengharapkan objek tertentu. Sedangkan, sikap negatif memiliki kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, dan tidak menyukai objek tertentu. Sementara itu, Wang et al. (2007) menyatakan bahwa sikap remaja yang lebih permisif mengarahkan pada seks pertama yang lebih awal.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi yang efektif antara orangtua dan anak dapat menghindarkan anak-anak dari perilaku seksual pranikah. Selain itu, komunikasi mengenai seksual yang dilakukan oleh orangtua dan anak juga dapat membentuk sikap anak terhadap seks. Sikap terhadap seks yang dimiliki ini dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap perilaku seksual pranikah yang dilakukan oleh seseorang. Dengan kata lain, hubungan antara komunikasi seksual dan perilaku seksual pranikah dapat dimediasi oleh adanya sikap terhadap seks yang dimiliki.

Gambar 2.1 Skema Hubungan Antar Variabel Cenderung tidak melakukan Perilaku Seksual Pranikah Membentuk Sikap Remaja terhadap Seks

Sikap yang negatif / konservatif Kognitif Ada diskusi seksual yang dilakukan orangtua & anak

Minim atau tidak ada diskusi seksual

yang dilakukan orangtua & anak

Afektif Konatif

Kurang mampu membuat keputusan

yang baik terkait seksual pranikah Sikap sebagai pengalaman hidup Mampu membuat keputusan yang baik terkait seksual

pranikah Sikap dengan pasangan tetap Sikap pada kondisi spesifik Sikap yang positif / permisif Komunikasi Seksual dalam

Keluarga

Comfort (Tingkat keterbukaan yang dirasakan)

Information (Jumlah informasi yang diterima) Cenderung melakukan Perilaku Seksual Pranikah Pengetahuan seksual yang dimiliki betambah

Pengetahuan seksual yang dimiliki menjadi kurang

Berpaling ke sumber informasi lain yang

Dokumen terkait