• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Psikologis Strategi Coping Tiap Pasangan

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

D. Pembahasan Penelitian

2. Dinamika Psikologis Strategi Coping Tiap Pasangan

Kehadiran anak retardasi mental berat dalam keluarga merupakan penyebab stres pada orangtua karena dengan adanya anak tersebut orangtua akan mengalami perubahan yang penting dan menimbulkan tuntutan yang mengancam kesejahteraan sehingga menuntut seseorang untuk beradaptasi dengan cara tertentu (Passer dan Smith, 2004). Orangtua yang memiliki anak retardasi mental akan berusaha mengurangi dan mengatasi stres yang dialami dengan menggunakan suatu usaha tertentu. Pembahasan berikut ini akan menggambarkan strategi coping yang digunakan oleh masing-masing pasangan orangtua.

a. Pasangan Subjek 1

Pasangan subjek 1 memiliki anak yang menderita retardasi mental berat dengan IQ 39. Subjek 1 (ibu) mengatakan bahwa anak tersebut mengalami keterlambatan dalam berjalan dan berkomunikasi. Oleh karena itu, menurut pasangan orangtua ini anak tersebut agak cadel dan kurang jelas dalam berkomunikasi sehingga sulit untuk dimengerti oleh orang lain. Selain itu, kondisi dan koordinasi tangan anak tersebut agak lemah yang menyebabkan anak tersebut belum mampu mengurus kebutuhannya sehari-hari secara mandiri. Pasangan subjek juga mengungkapkan bahwa perkembangan pendidikan anak juga sedikit lamban sehingga anak tersebut belum mampu membaca dan menulis. Keadaan ini membuat pasangan orangtua ini merasa

tertekan, namun mereka berusaha untuk mengatasi dan menghadapi masalah anak retardasi mental ini dengan menggunakan usaha tertentu.

Dalam menghadapi stres yang dihadapi, pasangan ini melakukan usaha atau tindakan secara aktif untuk menghilangkan atau mengurangi stressor. Active coping yang dilakukan oleh pasangan ini mengarah pada masalah pendidikan anak supaya anak tidak tertinggal nantinya. Active coping yang dilakukan oleh ayah didukung dengan usaha planning. Menurut ayah (1), pendidikan adalah hal yang penting bagi kehidupan masa depan anaknya sehingga anak tersebut membutuhkan pendidikan dan pembinaan secara khusus. Pendapat subjek ini cenderung dipengaruhi karena tingkat pendidikan subjek yang cukup tinggi. Oleh karena itu, subjek berusaha untuk tetap terus menyekolahkan anak tersebut di YPAC (Yayasan Pendidikan Anak Cacat). Berikut pernyataannya:

“....untuk saat ini kan dia sekolah di YPAC...dia ini dibina secara khusus..dan gurunya juga guru khusus..memang orang kayak gini kan guru yang biasa itu kan kurang bisa ya...jadi orang itu kan harus pendidikan khusus untuk orang kayak gini kan...” (Lamp. S1-bpk., w1 no. 1 hal. 160)

Usaha yang dilakukan subjek ini semata-mata untuk kehidupan masa depan anak dan ia bertekad supaya anaknya tersebut minimal memiliki kemampuan membaca dan menulis. Usaha ini tentunya didukung dengan kondisi kesehatan subjek yang cukup baik. Berdasarkan hasil observasi, kondisi fisik subjek terlihat gagah dan

sehat serta tidak mengalami masalah kesehatan khusus. Berikut pernyataannya:

“....tekad aku itu tadi selagi aku masih hidup...selagi aku masih kuat...dia harus sekolah...jadi minimal walaupun dia gak pinter sama kayak orang...dia sudah bisa syukur-syukur baca nulis itu...” (Lamp. S1-bpk., w1 no. 7b hal. 161)

Harapan dan tekad yang dimiliki oleh ayah (1) ini membuatnya untuk tetap optimis melakukan usaha apapun untuk mendukung tindakan aktifnya, yaitu dengan melakukan perencanaan untuk kehidupan masa depannya, yaitu membina anak dengan segala cara supaya anak tidak ketinggalan dalam hal pendidikan, antara lain memberitahu anak tentang yang baik dan buruk, mengajari melakukan hal-hal kecil, mendidik dalam pergaulan dan sopan santun serta mengajari membaca dan menulis. Berikut pernyataannya:

“...kita selaku orangtua..selaku orangtua..kita sebisa mungkin...merencanakan untuk menghadapi masa depan dia..kita bina dia sebaik mungkin...jangan sampai dia tertinggal...ngasih tau di tentang yang baik sama yang gak baik...ngajari dia melakukan hal-hal sepele...didik dia gimana caranya bergaul...sopan santun...ngajari baca..nulis...ya pokoknya apa aja lah.... kalau bisa jangan ketinggalan..” (Lamp. S1-bpk, w1 no. 3a hal. 160)

Tindakan secara aktif yang dilakukan oleh ibu (1) adalah dengan memperhatikan pendidikan anak tersebut supaya tidak tertinggal dari anak-anak lain. Selain itu, subjek juga berusaha untuk tidak membedakan perlakuannya dengan anak-anaknya yang lain dan terus mengajarkan tentang hal-hal yang baik dan buruk dengan harapan

agar suatu saat nanti anak tersebut bisa mengerti. Berikut pernyataannya:

“...kami sekarang masih tetep berusaha untuk dia...ya dengan sekolahnya jangan sampai ketinggalan...jadi jangan sampai kita masa bodoh dengan dia....gak merhatiin dia karena keadaannya yang kayak ini...kita kasih tau terus aja mana yang benar, yang gak benar..kan lama-lama nanti dia ngerti...itu dulu aja yang sekarang kami lakukan...” (Lamp. S1-ibu, w1 no. 14b hal. 187)

Pasangan ini juga melakukan restraint coping yaitu dengan menunggu waktu dan kesempatan yang tepat untuk bertindak melakukan coping (Carver, Scheier, & Weintraub dalam MacArthur dan John, 1998). Pasangan ini memiliki keinginan yang sama dimana mereka berencana suatu saat nanti akan membukakan usaha dagang bagi anak. Namun, usaha tersebut baru dilakukan jika anak retardasi mental tersebut tidak memiliki keahlian apapun dan anak juga sudah sedikit mampu untuk membaca dan menulis. Berikut ungkapan ayah (1) :

“....itu tergantung nanti lah...artinya ya....kalau memang dia nanti dikasih kesempatan untuk bekerja...ya saya bersyukur....mungkin yang sesuai dengan kemampuannya...tapi kalo dia umpamanya memang gak punya kemampuan lain...ya ada persiapan lain...ya mungkin dagang....” (Lamp. S1-bpk., w1 no. 11a hal.162)

Ibu (1) menyatakan:

“Kalau rencana...aku baru ada rencana untuk masa depan dia ini...kalau dia nanti sudah bisa baca...nulis...kita ada rejeki...ya mau kubukakan usaha aja dia ini...bukain warung...” (Lamp. S1-ibu, w2 no. 3 hal.188)

Pasangan ini juga menggunakan emotion-focused coping, yaitu strategi coping yang berusaha untuk mengatur respon-respon emosional yang muncul (Passer dan Smith, 2004). Pasangan subjek ini merasa sedih dan khawatir dengan kehidupan masa depan anaknya, namun mereka tetap berusaha untuk bersikap pasrah dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Berikut pernyataan mereka :

“..pasti was-was..khawatir...karena mengingat jaman yang semakin lama semakin sulit...dan istilahnya orang itu semakin berlomba-lomba untuk maju kan...nah sedangkan dia kan keadaannya begini ya...namun saya tetep yakin..dan saya tetep berdoa bahwa Tuhan lah yang akan menentukan nanti...” (Lamp. S1-bpk., w1 no. 5a hal. 160)

“...ya aku sekarang ini lebih sering doa...sholat...ya berdoa untuk dia ini lah kan...berdoa kalau bisa itu kan untuk gimana masa depan dia ini..” (Lamp. S1-ibu, w1 no. 10 hal. 186) Tindakan turning to religion yang dilakukan oleh pasangan ini didukung dengan keyakinan dan sikap positif mereka terhadap setiap masalah yang dihadapi. Mereka berusaha untuk tidak mencari pelarian ke hal-hal yang negatif dalam menghadapi situasi stres. Pasangan orangtua ini mengambil hikmah bahwa adanya kelebihan di balik kekurangan anak sehingga pasangan ini mencoba untuk mensyukuri setiap keadaan yang dialami. Ayah (1) bisa belajar untuk lebih sabar, sedangkan ibu (1) lebih berkeyakinan akan adanya kemudahan di setiap keadaan yang sulit. Berikut pernyataan pasangan subjek 1 :

“ ...tapi aku terima kasih...aku bisa belajar sabar juga ya..terima kasih lah bisa belajar sabar dengan adanya dia...” (Lamp. S1-bpk., w2 no. 7a hal. 165)

“Bersyukur sama Tuhan...terima kasih sama DIA...ya dengan ada Edy ini kan, katakanlah rejeki kita ada di Edy...sesusah-susahnya kita..masih ada aja jalan keluar....” (Lamp. S1-ibu, w1 no. 6a hal. 185)

Kemampuan dan keyakinan positif pasangan ini membantu dalam proses penerimaan terhadap kehadiran anak retardasi mental, walaupun mereka terkadang masih merasa sedih dan kecewa dengan keadaan anak mereka. Pasangan ini menyadari sepenuhnya keadaan anak yang menderita retardasi mental sehingga mereka berusaha untuk memaklumi keadaan anak dan menjalaninya dengan pasrah tanpa adanya perasaan minder. Oleh karena itu, mereka tidak malu untuk membawa anak ke kegiatan masyarakat karena masyarakat bisa menerima kehadiran anak tersebut dengan baik dan anak juga bisa bersikap sopan di tengah-tengah masyarakat. Berikut pernyataannya :

“..saya harus bersyukur...biarpun bagaimana dia tetep anak saya..saya tetep bersyukur...terima kasih saya..sudah dikasih ya...jadi saya gak sama sekali..minder sedikit pun...apalagi perasaan gak menerima kan...saya gak punya perasaan itu..” (Lamp. S1-bpk., w1 no. 6 hal. 161)

Pernyataan ibu (1):

“...kami jalani aja yang sekarang...dia sekolah...kita gak malu sama dia...katakanlah tenang sekarang kalau ngajak dia kemana-mana...kami sekarang sudah mengerti keadaan dia...” (Lamp. S1-ibu, w1 no. 12c hal.187)

Selain itu, ibu (1) juga menggunakan usaha focus on and

venting emotions, yaitu melakukan usaha untuk menyalurkan dan

melampiaskan perasaan-perasaan negatif atau katarsis emosi (Carver, Scheier, & Weintraub dalam MacArthur dan John, 1998). Subjek sering merasa sedih atau kesal ketika melihat perkembangan intelektual anaknya yang menyebabkan anak tersebut sulit untuk mengerti hal-hal yang diajarkan sehingga subjek sering mencubit atau bersikap cuek kepada anak dengan mengerjakan aktivitas lain terlebih dahulu. Namun, sikap subjek yang sering mencubit anaknya tersebut tidak mengganggu hubungannya dengan anak karena anak tersebut sangat dekat dengan subjek. Ibu (1) menyatakan :

“...cuma kita ini mikirin IQnya dia ini kan...rendah dia ini..keselnya ada...kalau kita ngajari dia gak masuk-masuk....kalau sudah gak masuk-masuk kayak itu...berhenti aku ngajari dia ini...daripada dia nanti susah kan...kita walaupun sabar-sabar ya tapi ya kan ada batasnya ya, kita masih gak sabar...suka kucubit dia ini....” (Lamp. S1-ibu, w1 no. 6c hal. 186)

Usaha yang juga digunakan pasangan subjek ini adalah

mental disengagement dimana subjek melakukan pelepasan secara

psikologis terhadap masalah dengan tidak memikirkan masalah itu lagi (Carver, Scheier, & Weintraub dalam MacArthur dan John, 1998). Pasangan subjek ini menganggap bahwa kehadiran anak retardasi mental tersebut bukan merupakan suatu beban dalam keluarga sehingga mereka tidak lagi memfokuskan usaha mereka hanya kepada anak retardasi mental tersebut. Saat ini mereka hanya berusaha

semampunya dan tidak memaksakan keinginan kepada anak atau menyikapi keadaan anak mereka dengan santai dan terkadang melakukan pengalihan emosi ketika sedang merasa kesal, seperti tidur. Sikap mereka yang seperti ini juga tidak membuat anak terbeban dan tetap bisa melakukan keinginannya sendiri. Pasangan subjek ini menyatakan :

“Edy itu memang gak jadi beban kami...pokoknya kami menghadapi dia tuh...ya santai...apa adanya....tidak terlalu kami pikirkan....” (Lamp. S1-bpk., w1 no. 17a hal. 163)

“Ya kalau lagi kesel banget sama dia...didiemin aja...suka kutinggal tidur...dia ini kan suka semau dia sendiri..” (Lamp. S1-ibu, w2 no. 2a hal. 188)

Walaupun pasangan subjek ini bisa menerima keadaan anak dan tidak terbeban dengan kehadirannya, pasangan ini terkadang juga merasa putus asa dan menyerah terhadap keadaan sehingga mereka memilih untuk menghentikan usaha untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan anak retardasi mental tersebut. Tindakan behavioral

disengagement yang dilakukan pasangan ini adalah tidak membawa

anak tersebut untuk melakukan terapi jalan lagi karena tidak adanya keinginan dari anak sendiri untuk melanjutkan terapi itu dan juga subjek merasa anak tersebut sudah mengalami kemajuan dalam cara berjalannya. Selain itu, pasangan subjek ini merasa kesulitan dalam biaya pengobatan karena status ekonomi keluarga subjek termasuk dalam status ekonomi menengah ke bawah. Berikut pernyataannya :

“...nah dari situ kami gak pernah lagi sampai sekarang bawa dia ke sana lagi...ke tempat terapi....ya kan gak ada hasilnya...sama aja...dibawa ke sana...dia gak mau diterapi...” (Lamp. S1-bpk., w2 no. 3 hal. 164)

“..tapi kalau berobat gak lagi...bukannya apa...kita ini mikirin uangnya ya..” (Lamp. S1-ibu, w2 no. 4c hal. 188)

Strategi emotion-focused coping yang terkahir adalah humor

yaitu dengan membuat lelucon tentang stressor (Carver, Scheier, & Weintraub dalam MacArthur dan John, 1998). Anak retardasi mental tersebut sering melakukan tindakan-tindakan yang menurut mereka lucu dan aneh karena anak tersebut sering menirukan tingkah laku orang lain dengan lucu. Tingkah laku tersebut sering digunakan oleh pasangan ini untuk mengganggu anak tersebut ketika sedang merasa sedih dan dijadikan humor dalam keluarga sehingga baik anak maupun anggota keluarga yang lain menjadi terhibur. Berikut pernyataannya :

“...kalau lihat adek nangis....nah itu suka ngikutin dia...diperagainnya...tapi kalau dia nangis...hahaha....gak sadar dia...gimana dia itu...hahaha...suka kugangguin dia...kalau dia nangis...aku suka gangguin dia...meragain cara nangis adek yang suka diikutinnya...gak jadi nangis dia....hahaha....lucu lah pokoknya dia ini..” (Lamp. S1-bpk., w1 no. 16 hal. 163)

“...terus misalnya dia ini sudah diem aja...aku atau kakaknya suka becandain...suka maini dia ini...Dy, Dy...gimana Dy cara adek nangis...terus kakaknya langsung mraktekkin...ya terus Edy ikut mraktekkinnya juga....lucu kan jadinya liat tingkah anak dua itu...” (Lamp. S1-ibu, w1 no. 13 hal. 187)

Selain kedua strategi di atas, pasangan subjek ini juga melakukan strategi seeking social support yang berupa usaha untuk

mendapatkan dukungan moral, pengertian dan simpati dari orang lain atau disebut dengan seeking emotional social support (Carver, Scheier, & Weintraub dalam MacArthur dan John, 1998). Ayah (1) lebih nyaman untuk berbagi cerita kepada sang istri mengenai masalah dan perkembangan yang dialami oleh anak mereka, sedangkan ibu (1) selain berbagi cerita dengan suami, ia juga sering curhat dengan ibu-ibu lain di YPAC yang sedang mengantar anak mereka sekolah ataupun kepada saudara-saudara terdekat. Pasangan ini memilih untuk tidak bercerita dengan masyarakat di sekitar rumah mereka karena mereka berpendapat bahwa masyarakat kurang memiliki pengetahuan mengenai penderita retardasi mental. Pasangan subjek ini menyatakan:

“....palingan ya kalau sekarang ini kadang cerita sama ibunya kalau ada masalah sama Edy... ...bukan berarti kita sombong sama masyarakat sini...ya kita sama-sama tau kalau masyarakat sini juga kurang pendidikan..kurang pergaulan juga...” (Lamp. S1-bpk., w1 no. 15 hal. 163)

“Kalau untuk sekarang ini cuma kadang-kadang aja...suka cerita sama adik-adik.. ...ya juga sekarang itu palingan suka cerita sama ibu-ibu yang di sekolah Edy itu..yang sama-sama waktu nganter anaknya sekolah...” (Lamp. S1-ibu, w1 no. 5 hal. 185)

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa pasangan ini mengalami stres ketika memiliki anak retardasi mental karena anak mengalami hambatan perkembangan motorik, komunikasi dan kognitif serta tidak dapat melakukan kegiatannya sehari-hari secara mandiri. Hal ini menuntut mereka untuk dapat menyesuaikan diri dengan keadaan anak sehingga mereka berusaha mengatasi masalah tersebut

secara langsung, mengatasi respon emosional yang muncul dan mencoba mencari dukungan moral dari orang lain. Dalam menggunakan strategi coping tertentu, pasangan ini memanfaatkan sumberdaya yang mereka miliki seperti kondisi kesehatan yang baik, kemampuan dan sikap possitif terhadap masalah, dukungan dan kemampuan sosial yang cukup baik, tingkat pendidikan yang cukup tinggi, dan status ekonomi. Tiap usaha yang dilakukan oleh orangtua ini bertujuan agar mereka dapat menerima kehadiran anak retardasi mental sehingga tetap terjaga hubungan yang baik di tengah keluarga maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Berikut skema dinamika psikologis strategi coping pasangan subjek 1:

4. Anak mengalami gangguan dalam komunikasi sehari-hari 4. Anak mengalami kesulitan membaca dan menulis 5. Anak belum bisa mengurus kebutuhannya sendiri 5. Anak belum bisa mandiri sepenuhnya

Sumberdaya coping

Ayah :

1. Kesehatan dan energi yang kuat untuk melakukan semua aktivitas dan tanggung jawabnya

2. Keyakinan dan sikap positif subjek dengan tidak menganggap masalah sebagai suatu kesulitan

3. Kemampuan yang cukup baik dalam mengekspresikan diri terhadap anak di masyarakat

4. Dukungan sosial, yaitu kehadiran istri yang selalu mendampinginya 5. Tingkat pendidikan STM

6. Usia yang tergolong usia produktif Ibu:

1. Kondisi fisik subjek yang sehat dan kuat

2. Keyakinan dan sikap positif subjek dalam menghadapi masalah keuangan

3. Kemampuan yang cukup baik dalam menempatkan diri di masyarakat 4. Dukungan sosial dari teman dan keluarga

Stres yang dialami oleh orangtua Ayah : Ibu :

1. Muncul perasaan prihatin dan khawatir 1. Muncul emosi negatif yaitu, perasaan sedih dan kesal 2. Adanya tuntutan dan perhatian khusus dalam pendidikan anak 2. Adanya tuntutan dan perhatian ekstra dalam pendidikan 3. Kekhawatiran terhadap masa depan anak 3. Kekhawatiran terhadap masa depan anak

Strategi coping

Ayah :

1. Problem-focused coping

a. active coping (menyekolahkan anak di YPAC)

b. planning (merencanakan pembinaan anak secara intensif) c. restraint coping (menunda untuk membukakan usaha warung) 2. Emotion-focused coping

a. turning to religion (berdoa dan pasrah kepada Tuhan)

b. positive reinterpretation and growth (yakin akan adanya kelebihan di balik kekurangan anak) c. acceptance (menghadapi, menerima keadaan anak sesuai kemampuan dan tanpa perasaan minder) d. mental disengagement (bersikap santai, tidak terlalu fokus dan terbeban dengan masalah ini)

e. behavioral disengagement (tidak membawa anak untuk melakukan terapi lagi kepada dokter) f. humor (menggunakan tingkah laku anak yang lucu sebagai hiburan)

3. Seeking social support

a. seeking emotional social support (berbagi cerita dengan istri) Ibu :

1. Problem-focused coping

a. active coping (menyekolahkan di YPAC)

b. restraint coping (menunda untuk membuka usaha dagang, yaitu warung kecil-kecilan) 2. Emotion-focused coping

a. turning to religion (berserah dan mendekatkan diri kepada Tuhan)

b. positive reinterpretation and growth (mensyukuri keadaan, berkeyakinan akan adanya kemudahan) c. acceptance (menerima dan memaklumi keadaan anak, menjalani keadaan dengan pasrah)

d. focus on and venting of emotions (mencubit anak sebagai katarsis emosi)

e. mental disengagemnet (melakukan pengalihan seperti tidur atau mendiamkan anak) f. behavioral disengagement (menghentikan pengobatan untuk anak)

g. humor (memanfaatkan tingkah laku yang lucu sebagai bahan hiburan) 3. Seeking social support

a. seeking emotional social support (berbagi cerita atau curhat dengan ibu-ibu di YPAC atau saudara)

b. Pasangan Subjek 2

Pasangan ini memiliki anak retardasi mental berat dengan IQ 36. Ibu (2) mengungkapkan bahwa anak tersebut mengalami gangguan perkembangan motorik, yaitu mengalami keterlambatan dalam berjalan, sedangkan ayah (2) mengatakan bahwa anak tersebut juga mengalami gangguan kesehatan dalam pernapasannya. Selain itu, pasangan ini juga mengatakan bahwa anak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi sehingga sulit dimengerti orang lain. Anak ini juga mengalami kesulitan dalam perkembangan pendidikannya karena anak hanya mampu meniru dan tidak bisa membaca setelah ia lulus dari sekolah dasar luar biasa sehingga membuat orangtua merasa jenuh, putus asa dan terbeban dengan keadaan anak. Selain itu, anak retardasi mental ini juga membutuhkan tuntutan dan perhatian ekstra agar nantinya bisa melakukan aktivitasnya secara mandiri dan ibu (2) juga memiliki kekhawatiran dengan nasib masa depan anak retardasi mental tersebut.

Situasi stres yang dialami orangtua ini mendorong mereka untuk dapat beradaptasi dengan situasi tersebut dengan menggunakan suatu usaha tertentu yang didukung dengaan adanya sumberdaya yang dimiliki orangtua. Pasangan subjek ini sama-sama memilih active coping dan restraint coping untuk mengatasi langsung tuntutan dari situasi stres yang dialami. Active coping yang dilakukan oleh pasangan orangtua ini pada awalnya adalah dengan menyekolahkan anak di

sekolah luar biasa. Namun, usaha tersebut tidak membuahkan hasil yang berarti sehingga mereka lebih memilih mendidik anak tersebut di rumah agar mampu melakukan pekerjaan sehari-hari dan tidak tergantung dengan pertolongan orang lain. Berikut pernyataan pasangan orangtua 2 :

“...Kami tetap didik dia untuk mengerjakan tugas rumah tangga..kayak nyapu...nyuci piring...baju...walaupun itu cuma...ee...baru untuk dirinya sendiri. ..tapi sejak dia lulus kelas enam ya...kami istirahat dulu...gak kami lanjutin lagi...biar kami didik di rumah dulu...” (Lamp. S2-bpk., w1 no. 6a & 6c hal. 199-200)

“Ya paling-paling sekarang itu cuma ngelatih dia supaya dia bisa ngelakuin kebutuhannya sendiri...kayak mandi...makan...pakai baju....cuci baju...membina dia lah supaya dia bisa sendiri...” (Lamp. S2-ibu, w2 no. 1 hal. 216) Walaupun pasangan orangtua ini tidak memfokuskan usaha pada masalah pendidikan formal, namun mereka tetap memperhatikan masalah perkembangan fisik dan kesehatan anak. Hal ini dikarenakan anak tersebut mengalami gangguan dalam sistem pernapasannya sehingga ayah (2) memiliki rencana untuk melakukan pengobatan untuk anak tersebut, sedangkan ibu (2) lebih ingin memeriksakan keadaan otak anaknya tersebut. Mereka menunda rencana tersebut hingga adanya waktu dan kesempatan karena terbentur dengan masalah biaya, walaupun sebenarnya mereka termasuk keluarga yang cukup mampu. Berdasarkan hasil observasi, pasangan ini juga mendapatkan pemasukan keuangan dari usaha kos yang mereka miliki. Penundaan rencana ini dikarenakan mereka juga sedang membutuhkan

biaya kuliah untuk anak pertama mereka Tindakan ini disebut dengan

restraint coping. Berikut permyataan subjek :

“Dia ini kan di pernapasannya itu agak tersumbat...jadi suka bunyi-bunyi krek...krek..gitu...kalau tenggorokannya dipegang...enggak...tapi dia bilang sakit...nah...itu nanti rencana kami bawa ke THT...pengobatan medis... tapi itu nanti...tunggu ada biayanya...” (Lamp. S2-bpk., w2 no. 4 hal.201)

“....terus mau rekam otak juga...mau lihat otaknya gimana...apa ada penyempitan...atau ada apa...tapi belum kami lakukan...ya nanti lah kami usahain lagi...kalau sekarang masih mau mikir biaya kuliah kakaknya dulu...nanti kalau urusan kakaknya sudah selesai...baru mikir dia lagi...” (Lamp. S2-ibu., w2 no. 2 hal. 216)

Selain mengatasi langsung tuntutan dari situasi stres tersebut, pasangan orangtua ini juga berusaha untuk mengatur respon-respon emosional yang muncul akibat situasi stres. Secara umum, baik ayah maupun ibu melakukan tindakan-tindakan yang sama dalam

emotion-focused coping ini. Keduanya sama-sama menyadari bahwa kehadiran

anak retardasi mental dalam keluarga merupakan cobaan dari Tuhan sehingga mereka hanya bisa pasrah dan menyerahkan keadaan anak kepada Tuhan serta tetap menunggu adanya kejaiban atau mukjizat dari Tuhan. Usaha ini disebut dengan turning to religion dimana pasangan ini meningkatkan kepercayaan keagamaan kepada Tuhan untuk mendapatkan kekuatan dan mampu berpikir positif. Pernyataan subjek 2 :

“...kami sebagai orangtua...wajib berdoa...memohon kepada Allah supaya dia diberi

lain..beriman....bertakwa....ya...kami kembali lagi kepada Tuhan...kalau dia ini memang anugerah Tuhan...sudah suratan...takdir..” (Lamp. S2-bpk., w1 no. 8a hal. 200)

“...ah udah...sudahlah...bisa lah Tuhan...itu milik Dia...mungkin kan dia dilindungi Allah....dilindungi

Dokumen terkait