• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Dinamika Psikologis Strategi Coping

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

D. Pembahasan Penelitian

1. Gambaran Dinamika Psikologis Strategi Coping

Berikut ini adalah gambaran dinamika psikologis strategi coping

yang dilakukan oleh masing-masing subjek penelitian : a. Subjek I (Ayah)

Subjek memiliki anak retardasi mental berat dengan IQ 39. Anak subjek tersebut tidak mengalami masalah yang serius dengan kesehatannya, namun dalam segi komunikasinya agak kurang dapat dimengerti oleh orang lain. Selain itu, anak retardasi mental tersebut juga belum mampu untuk mengurus kebutuhannya sehari-hari, misalnya untuk memakai baju sendiri, anak tersebut belum bisa melakukannya sendiri. Hal ini disebabkan karena kondisi tangan anak tersebut agak lemah. Perkembangan pendidikan anak retardasi mental tersebut juga sedikit lamban karena anak tersebut saat ini hanya mampu menulis angka-angka sederhana. Peristiwa-peristiwa tersebut membuat subjek merasa tertekan namun subjek terus berusaha untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan yang dihadapinya berkaitan dengan memiliki anak retardasi mental tersebut.

Subjek menggunakan berbagai bentuk strategi coping yang berbeda untuk menghadapi, mengatasi dan mengurangi stres yang ditimbulkan dengan adanya anak retardasi mental. Dalam menghadapi stres yang dialami, subjek melakukan strategi coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) antara lain active coping,

planning, dan restraint coping. Dalam pelaksanaannya, subjek melakukan active coping dengan menyekolahkan anaknya di sekolah khusus yaitu di YPAC atau Yayasan Pendidikan Anak Cacat dan membimbing serta mendidik anak secara terus-menerus untuk melakukan aktivitas sehari-harinya di rumah supaya anak menjadi tidak tergantung dengan orang lain.1 Subjek melakukan tindakan secara aktif dengan menyekolahkan anak di YPAC karena menurut subjek, anak yang menderita retardasi mental membutuhkan pendidikan dan tenaga pengajar yang khusus.2 Subjek juga berharap anak yang menderita retardasi mental tersebut nantinya mampu untuk membaca dan menulis dengan sekolah di YPAC karena subjek ingin mempersiapkan kehidupan masa depan anaknya dan tidak ingin anak tersebut menjadi lebih tertinggal dari orang lain.3 Keinginan subjek ini cenderung dipengaruhi dengan oleh tingkat pendidikan yang dimiliki subjek cukup tinggi sehingga subjek berpendapat bahwa pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan masa depan anaknya. Usaha subjek menyekolahkan anaknya di YPAC didukung dengan usaha planning yang subjek lakukan, yaitu berupa rencana akan terus membina anak dengan segala cara supaya anak tersebut tidak ketinggalan, antara lain memberitahu anak tentang yang baik dan yang buruk, mengajari untuk melakukan hal-hal kecil, mendidik dalam

1

. Lamp. S1-bpk., w1 no. 1, 3b & 4 hal. 160 ; w2 no.1b & 2c hal. 164.

2

. Lamp. S1-bpk., w1 no. 1. hal 160.

3

pergaulan dan sopan santun serta mengajari membaca dan menulis.4 Selain kedua usaha tersebut, subjek juga melakukan restraint coping

dengan berencana bahwa suatu saat nanti subjek akan membukakan usaha dagang untuk anaknya jika memang anak tersebut tidak memiliki kemampuan yang lain lagi.5

Dalam menghadapi stres yang dihadapi, subjek juga menggunakan strategi coping yang berfokus pada respon emosional

(emotion-fosused coping) yaitu turning to religion, positive

reinterpretation and growth, acceptance, mental disengagement,

behavioral disengagement, dan humor. Subjek merasa khawatir

terhadap kehidupan masa depan anaknya, namun subjek berusaha untuk bersikap pasrah dan menyerahkan semua keadaan tersebut kepada Tuhan melalui doa.6 Kehadiran anak yang menderita retardasi mental ini membawa perubahan dalam kehidupan iman subjek. Subjek merasakan adanya peningkatan dalam hal keimanan dan kepercayaannya kepada Tuhan sehingga subjek mampu menyadari akan kehadiran dan keadaan anak retardasi mental yang merupakan pemberian dari Tuhan yang harus ia terima.7

Hal tersebut mempengaruhi pola pikir subjek terhadap keadaan memiliki anak retardasi mental yang dihadapinya. Subjek memiliki keyakinan diri yang positif dimana ia tidak pernah

4

. Lamp. S1-bpk., w1 no. 3a hal. 160.

5

. Lamp. S1-bpk., w1 no. 11a hal. 162.

6

. Lamp. S1-bpk., w1 no. 5a hal. 160 & w1 no. 10a hal. 162.

7

menganggap masalah yang ditimbulkan oleh anak retardasi mental tersebut sebagai suatu kesulitan. Oleh karena itu, subjek mampu mengambil hikmah atau sisi positif dari situasi tersebut dan merasakan adanya perubahan positif yang dialami dengan memiliki anak retardasi mental. Kehadiran anak yang menderita retardasi mental membuat subjek untuk berpikir positif bahwa ada kelebihan yang dimiliki anak tersebut di balik kekurangan anaknya.8 Selain itu, subjek juga mampu mensyukuri setiap keadaan yang dialaminya karena subjek dapat mempelajari banyak hal positif dalam hidupnya seperti belajar untuk dapat lebih menghargai waktu dan belajar bersabar dalam menghadapi setiap keadaan yang dialami.9 Usaha yang subjek lakukan ini disebut dengan positive reinterpretation and growth.

Kemampuan subjek untuk dapat berpikir positif dan mengambil hikmah dari setiap masalah ini membantu subjek dalam menerima kehadiran anak yang menderita retardasi mental dalam keluarganya. Subjek menyadari keadaan anaknya yang menderita retardasi mental dan berusaha mengatasi semua masalah yang ditimbulkan oleh keadaan ini sesuai dengan kemampuannya sehingga subjek tidak merasa minder ataupun tertekan dengan kehadiran anak tersebut.10 Hal ini didukung dengan hasil observasi dimana subjek terlihat percaya diri dan tidak terbeban dengan kehadiran anak. Subjek terlihat akrab dan tidak malu dengan keadaan anak. Tindakan subjek

8

. Lamp. S1-bpk., w1 no. 5b hal. 161 & w1 no. 10b hal. 162.

9

. Lamp. S1-bpk., w1 no. 8a hal. 161, w1 no. 12b & 13b hal. 162; w2 no. 7a hal. 165.

10

ini merupakan suatu usaha penerimaan (acceptance) dan sikap pasrah subjek terhadap keadaan dan kenyataan akan kehadiran anak retardasi mental tersebut. Oleh karena itu, walaupun subjek merasa prihatin terhadap keadaan anaknya, subjek mampu menerima kehadiran anak tersebut apa adanya di dalam keluarga.11

Selain itu, subjek juga melakukan tindakan mental

disengagement dengan tidak menjadikan kehadiran anak retardasi

mental sebagai beban dalam keluarga. Subjek tidak memfokuskan diri dan tidak terlalu memikirkan masalah-masalah yang terkait dengan anak retardasi mental tersebut, namun subjek menghadapi dan mengatasinya dengan bersikap santai.12 Hal ini menyebabkan subjek menjadi merasa tidak terbeban dan tidak menjadikan kehadiran anak tersebut sebagai suatu masalah sehingga subjek merasa tidak ada keluhan yang muncul terkait dengan keadaan anak itu, apalagi sampai menimbulkan penyakit serius kepada subjek.13 Hasil observasi menunjukkan bahwa subjek terlihat sehat dan tidak memiliki keluhan khusus terhadap kesehatan. Kondisi kesehatan subjek yang cukup baik ini menjadi salah satu sumberdaya yang subjek manfaatkan untuk mengatasi stres.

Selain melakukan tindakan mental disengagement subjek juga melakukan tindakan behavioral disengagement, yaitu berhenti atau menyerah untuk tidak melakukan usaha-usaha yang dapat

11

. Lamp. S1-bpk., w2 no. 1a & 2b hal. 164.

12

. Lamp. S1-bpk., w1 no. 17a hal. 163.

13

membantu perkembangan anaknya lebih lanjut lagi, yaitu menyerah untuk membawa anak ke dokter ataupun untuk melakukan terapi jalan lagi. Hal ini dilakukan karena subjek merasa anak tersebut sudah mampu untuk berjalan sendiri dan juga tidak adanya keinginan dari anak sendiri untuk menjalani terapi tersebut.14 Selain itu juga dipengaruhi karena adanya kendala keuangan yang dialami subjek. Berdasarkan hasil observasi, kondisi lingkungan fisik tempat tinggal subjek cenderung menunjukkan bahwa subjek termasuk ke dalam status ekonomi menengah ke bawah.

Tingkah laku anak yang sering mengikuti atau memperagakan kelakuan orang lain terkesan lucu bagi keluarga subjek. Oleh karena itu, tingkah laku-tingkah laku anak yang lucu dan aneh tersebut sering digunakan subjek untuk menghibur keluarga atau dijadikan humor dalam keluarga. Anak subjek sering memperagakan cara seorang bayi yang nangis dengan tingkahnya yang lucu, sehingga subjek sering menggunakan tingkah tersebut untuk mengganggu anak dan membuat keluarga menjadi terhibur.15

Selain berfokus pada masalah dan respon emosi, subjek juga melakukan usaha seeking social support dengan mencari atau meminta dukungan sosial yang berupa dukungan emosional dari orang lain. Ketika subjek sedang menghadapi suatu masalah yang berkaitan dengan anak tersebut, subjek memilih untuk berbagi cerita atau

14

. Lamp. S1-bpk., w2 no. 3 & 4 hal. 164.

15

sharing dengan sang istri.16 Hal ini dilakukan karena subjek berpendapat bahwa masyarakat di sekitarnya kurang memiliki pengetahuan mengenai anak yang menderita retardasi mental.17 Berikut ini adalah skema gambaran dinamika psikologis strategi

coping subjek :

16

. Lamp. S1-bpk., w1 no. 14a hal. 163.

17

Kehadiran anak retardasi mental berat sebagai stressor

1. IQ anak 39

2. Anak mengalami kesulitan membaca dan menulis

3. Anak mengalami gangguan perkembangan motorik yang menyebabkan kondisi

tangan dan kakinya lemah serta lamban dalam berjalan

4. Anak mengalami gangguan dalam komunikasi sehari-hari

5. Anak belum bisa mengurus kebutuhannya sendiri

Sumberdaya coping

1. Kesehatan dan energi yang kuat

untuk melakukan semua aktivitas dan tanggung jawabnya

2. Keyakinan dan sikap positif subjek

dengan tidak menganggap masalah sebagai suatu kesulitan

3. Kemampuan yang cukup baik dalam

mengekspresikan diri terhadap anak di masyarakat

4. Dukungan sosial, yaitu kehadiran

istri yang selalu mendampinginya

5. Usia subjek yang masih tergolong

usia produktif

6. Tingkat pendidikan STM yang

dimiliki subjek

Stres yang dialami oleh orangtua

1. Muncul perasaan prihatin dan khawatir terhadap keadaan fisik dan mental anak

2. Adanya tuntutan dan perhatian khusus dalam hal pendidikan anak

3. Kekhawatiran terhadap masa depan anak

Strategi coping 1. Problem-focused coping

a. active coping (menyekolahkan anak di YPAC)

b. planning (merencanakan pembinaan anak secara intensif) c. restraint coping (menunda untuk membukakan usaha warung) 2. Emotion-focused coping

a. turning to religion (berdoa dan pasrah kepada Tuhan)

b. positive reinterpretation and growth (yakin akan adanya kelebihan di balik kekurangan anak) c. acceptance (menghadapi dan menerima keadaan anak sesuai kemampuan dan tanpa perasaan minder) d. mental disengagement (bersikap santai, tidak terlalu fokus dan terbeban dengan masalah ini) e. behavioral disengagement (tidak membawa anak untuk melakukan terapi lagi kepada dokter) f. humor (menggunakan tingkah laku anak yang lucu sebagai hiburan)

3. Seeking social support

a. seeking emotional social support (berbagi cerita dengan istri)

b. Subjek I (Ibu)

IQ anak retardasi mental berat yang dimiliki subjek adalah 39 dan anak tersebut mengalami keterlambatan perkembangan dalam berjalan serta berkomunikasi. Selain itu, kondisi tangan anak tersebut juga lemah sehingga anak tersebut tidak memiliki kemampuan dalam mengurus diri sendiri. Dalam hal berkomunikasi, anak tersebut agak cadel atau kurang jelas dan kurang tegas dalam berbicara sehingga sulit untuk dimengerti oleh orang lain. Keadaan tersebut membuat subjek terkadang merasa kesal, apalagi ketika mengikuti perkembangan pendidikan anak subjek yang sangat lamban karena anak tersebut sangat sulit diberi tahu tentang pelajaran, seperti menulis dan membaca.

Dalam menghadapi stres yang dihadapinya tersebut, subjek melakukan problem-focused coping yang berupa melakukan tindakan secara aktif (active coping) dan restraint coping. Tindakan secara aktif yang subjek lakukan adalah dengan berusaha menyekolahkan anak yang menderita retardasi mental di YPAC supaya pendidikannya tidak tertinggal dari anak-anaknya yang lain.18 Subjek berusaha untuk tidak membedakan anak retardasi mental tersebut dengan anak-anaknya yang lain sehingga subjek tetap berusaha menyekolahkan anak tersebut seperti anak-anaknya yang lain. Subjek juga tidak hanya memperhatikan perkembangan anaknya dalam bidang pendidikan,

18

tetapi juga berusaha untuk membina dan membimbing perkembangan anak di rumah karena subjek banyak menghabiskan waktu bersama anak tersebut sehari-harinya. Usaha yang subjek lakukan adalah berupa usaha mengajarkan hal-hal yang baik dan tidak baik untuk dilakukan, mengajarkan cara berbicara supaya bisa lebih jelas dan juga mengajarkan cara bersosialisasi dengan orang lain.19 Selain tindakan secara aktif, subjek juga melakukan restraint coping atau menunda untuk melakukan coping sampai adanya waktu dan kesempatan yang tepat. Dalam hal ini, subjek menunda untuk mewujudkan rencananya membuka usaha warung kecil-kecilan untuk anaknya hingga sang anak nantinya memiliki kemampuan untuk membaca dan menulis.20

Subjek juga menggunakan strategi coping yang berfokus pada respon-respon emosional atau emotion-fosused coping, yaitu berupa tindakan turning to religion, positive reinterpretation and

growth, acceptance, focus on and venting of emotions, mental

disengagement, behavioral disengagement, dan humor. Dalam

menghadapi keadaan anak yang menderita retardasi mental, subjek hanya bisa berserah, pasrah dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan ketika ia sedang merasa sedih atau kesal. Ia tidak pernah mencari pelarian atau melakukan tindakan-tindakan yang negatif dalam menghadapi situasi stres yang diakibatkan kehadiran anak tersebut.21 Hal ini juga didukung dengan keyakinan dan sikap positif subjek

19

. Lamp. S1-ibu, w1 no. 14b hal. 187 ; w2 no. 4b & 5 hal. 188.

20

. Lamp. S1-ibu, w1 no. 14a hal. 187 ; w2 no. 3 hal. 188.

21

terhadap suatu masalah. Subjek berpendapat bahwa Tuhan masih adil karena keadaan anaknya tersebut masih lebih baik daripada anak-anak lain yang keadaannya lebih parah sehingga subjek bisa menerima keadaan anak tersebut sebagai anugerah atau pemberian dari Tuhan.22 Selain meningkatkan keimanan kepada Tuhan, subjek berusaha untuk bersikap positif dalam menghadapi masalah, terutama ketika menghadapi kesulitan dalam keuangan. Hal ini mendukung subjek

untuk mampu mengambil hikmah atau sisi positif (positive

reinterpretation and growth) di balik masalah yang ditimbulkan anak retardasi mental tersebut. Sisi positif yang bisa subjek dapatkan adalah subjek merasa lebih bisa bersyukur kepada Tuhan atas situasi yang dialaminya sekarang karena dengan kehadiran anak tersebut Tuhan memberikan rejeki dan kemudahan-kemudahan kepadanya dalam setiap kesulitan-kesulitan yang dihadapinya, khususnya kesulitan keuangan.23 Berdasarkan hasil observasi, keadaan subjek menunjukkan bahwa subjek termasuk dalam keluarga yang tidak cukup mampu sehingga subjek harus bekerja keras untuk mengatur dan mengelola urusan keuangan.

Kepercayaan kepada Tuhan dan kemampuan untuk berpikir positif membantu subjek dalam proses penerimaan (acceptance) terhadap kehadiran anak retardasi mental tersebut. Subjek berusaha untuk tidak menjadikan kehadiran anak tersebut sebagai beban

22

. Lamp. S1-ibu, w1 no. 1b & 6b hal. 185 & w1 no. 12b hal. 187.

23

sehingga subjek bersikap pasrah menerima keadaan anak pemberian Tuhan sepenuhnya sesuai dengan keadaan dan kemampuan anak.24 Subjek berusaha untuk menerima dan memaklumi keadaan anaknya yang tidak normal tersebut ketika anak sulit untuk mengikuti pelajaran yang diberikan dan hanya mau memaksakan keinginannya sendiri. Subjek mengerti dan memahami serta berusaha menjalani keadaan sekarang dengan pasrah walaupun subjek masih sering merasa kesal atau pusing.25

Ketika subjek mengalami situasi stres akibat kehadiran anak retardasi mental tersebut, subjek juga sering bersikap diam atau mengerjakan aktivitas lain atau bahkan mencubit anak tersebut untuk melampiaskan emosi atau perasaan-perasaan negatifnya.26 Usaha subjek ini disebut sebagai katarsis emosi atau focus on and venting of

emotions. Selain itu, subjek juga melakukan tindakan mental

disengagement dengan tidak pernah merasa terbeban dan memiliki

keluhan khusus yang membebani keluarga walaupun keadaan anak tersebut sering menimbulkan perasaan-perasaan negatif. Hal tersebut tidak menghambat usaha atau kegiatan subjek dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Subjek juga lebih memilih untuk melakukan pengalihan seperti tidur untuk mengurangi perasaan kesalnya.27 Saat ini subjek juga melakukan behavioral disengagement

24

. Lamp. S1-ibu, w1 no. 4b hal. 185, w1 no. 7, 9a & 11b hal. 186 & w1 no.12a hal. 187.

25

. Lamp. S1-ibu, w1 no. 1a & 3 hal. 185, w1 no. 12c hal. 187.

26

. Lamp. S1-ibu, w1 no. 2 hal. 185 & w1 no. 6c hal. 186 ; w2 no. 2b hal. 188.

27

atau menghentikan usaha-usaha untuk mengatasi situasi stres yang dihadapi, yaitu dengan tidak melanjutkan pengobatan lagi bagi anak retardasi mental tersebut. Hal ini disebabkan karena subjek merasa kesulitan dalam hal biaya pengobatan.28 Selain tindakan-tindakan tersebut di atas, subjek juga sering menggunakan tingkah laku-tingkah laku anak yang lucu sebagai bahan hiburan dalam keluarga.29 Tindakan subjek yang seperti ini disebut sebagai humor dimana subjek berusaha untuk membuat lelucon tentang stressor.

Dalam menghadapi situasi stres akibat anak retardasi mental tersebut, subjek juga melakukan usaha seeking social support yang berupa meminta dukungan emosional dari orang lain atau disebut dengan seeking emotional social support. Subjek sering berbagi cerita atau lebih dikenal dengan istilah curhat kepada adik-adik subjek atau kepada ibu-ibu di sekolah (YPAC) yang sama-sama sedang mengantar dan menunggui anak mereka di sekolah. Hal ini dilakukan subjek semata-mata untuk mengurangi beban atau perasaan negatif yang dialaminya.30 Berikut ini adalah skema gambaran dinamika psikologis strategi coping subjek :

28

. Lamp. S1-ibu, w2 no. 4a & 4c hal. 188.

29

. Lamp. S1-ibu, w1 no. 13 hal. 187.

30

Kehadiran anak retardasi mental berat sebagai stressor

1. IQ anak 39

2. Anak mengalami keterlambatan perkembangan motorik yaitu berjalan dan

kondisi serta koordinasi tangan anak tersebut lemah

3. Anak mengalami gangguan perkembangan dalam berbicara atau

berkomunikasi

4. Anak mengalami kesulitan dalam belajar, membaca, dan menulis

5. Anak belum bisa mandiri sepenuhnya dalam melakukan kegiatan sehari-hari

Sumberdaya coping

1. Kondisi fisik subjek yang sehat

dan kuat

2. Keyakinan dan sikap positif

subjek dalam menghadapi masalah keuangan

3. Kemampuan yang cukup baik

dalam menempatkan diri di masyarakat

4. Dukungan sosial dari teman dan

keluarga

Stres yang dialami oleh orangtua

1. Muncul emosi negatif, yaitu perasaan sedih dan kesal

2. Adanya tuntutan ekstra dalam hal perhatian dan pendidikan anak sehari-hari

3. Kekhawatiran terhadap pendidikan dan masa depan anak

Strategi coping 1. Problem-focused coping

a. active coping (menyekolahkan di YPAC)

b. restraint coping (menunda untuk membuka usaha dagang, yaitu warung kecil-kecilan) 2. Emotion-focused coping

a. turning to religion (berserah dan mendekatkan diri kepada Tuhan)

b. positive reinterpretation and growth (mensyukuri keadaan, berkeyakinan akan adanya kemudahan dalam keadaan yang sulit)

c. acceptance (menerima dan memaklumi keadaan anak, menjalani keadaan dengan pasrah) d. focus on and venting of emotions (mencubit anak sebagai katarsis emosi)

e. mental disengagemnet (melakukan pengalihan seperti tidur atau mendiamkan anak) f. behavioral disengagement (menghentikan pengobatan untuk anak)

g. humor (memanfaatkan tingkah laku yang lucu sebagai bahan hiburan) 3. Seeking social support

a. seeking emotional social support (berbagi cerita atau curhat dengan ibu-ibu di YPAC atau saudara)

c. Subjek II (Ayah)

Subjek memiliki anak yang menderita retardasi mental berat dengan IQ 36 sehingga anak tersebut mengalami hambatan perkembangan dalam pendidikannya sehingga ia hanya bisa meniru tulisan dan tidak mampu membaca. Keadaan anak subjek yang menderita retardasi mental tersebut cukup sehat dan normal, hanya saja ada sedikit gangguan dalam sistem pernapasannya. Selain itu, anak tersebut juga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi karena cara bicara anak tersebut agak cadel dan sulit dimengerti oleh orang lain. Hal-hal tersebut menyebabkan subjek terkadang merasa putus asa dan ingin menyerah terhadap keadaan, namun subjek tetap berusaha untuk mengatasi setiap masalah dan kesulitan yang dihadapinya.

Subjek menggunakan berbagai bentuk strategi coping yang berbeda untuk menghadapi, mengatasi dan mengurangi stres yang dialaminya. Strategi coping yang digunakan oleh subjek adalah

problem-focused coping, emotion-fosused coping dan seeking social support. Active coping dan restraint coping merupakan usaha yang dilakukan subjek yang berfokus pada masalah. Dalam emotion-fosused

coping, subjek melakukan tindakan turning to religion, positive

reinterpretation and growth, acceptance, mental disengagement, behavioral disengagement dan humor, sedangkan usaha seeking social

mendapatkan dukungan sosial yang berupa dukungan emosional (seeking emotional social support).

Dalam kenyataannya, subjek menggunakan active coping

dengan cara memilih untuk melanjutkan pendidikan anak retardasi mental tersebut di rumah walaupun hal tersebut baru bisa dilakukannya pada sore hari setelah ia pulang kerja. Hal ini dilakukan subjek karena subjek merasa tidak adanya perubahan dan perkembangan dalam pendidikan anaknya di sekolah luar biasa. Selain itu, subjek juga berusaha untuk mendidik anak tersebut untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga supaya anak tersebut nantinya bisa melakukan pekerjaan atau kegiatan hariannya sendiri.31 Tindakan restraint coping

yang digunakan subjek berupa menahan atau menunda rencana untuk membawa anak ke pengobatan medis guna mengobati pernapasan maupun menunda untuk membawa anak ke pengobatan alternatif lainnya lagi. Subjek menahan untuk belum melaksanakan rencana tersebut karena subjek masih menunggu adanya kesempatan yang tepat untuk melakukannya hingga suatu saat nanti subjek mendapatkan informasi yang cukup tentang adanya pengobatan alternatif lain.32 Selain itu, hal ini juga dikarenakan subjek sedang mengalami kesulitan biaya pengobatan walaupun subjek terbilang cukup mampu.

Untuk mengatasi stres yang berfokus pada respon emosional, subjek menggunakan usaha turning to religion dengan menganggap

31

. Lamp. S2-bpk., w1 no. 6a & 6c hal. 199-200.

32

bahwa keadaan yang dialaminya sekarang tersebut merupakan cobaan dari Tuhan yang harus dihadapinya.33 Subjek mempercayai bahwa anak retardasi mental tersebut adalah anugerah Tuhan yang harus disyukurinya sehingga subjek tidak menyesali kehadiran anak retardasi mental tersebut dan hanya berserah kepada Tuhan.34 Dalam hal ini, subjek memanfaatkan keyakinan positif yang dimilikinya terhadap setiap keadaan anak retardasi mental tersebut sehingga subjek mampu mengambil hikmah dengan lebih banyak mensyukuri setiap keadaan yang dihadapinya sekarang.35 Subjek mengambil sisi positif dari keadaan anaknya bahwa anak tersebut masih memiliki kemampuan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari sendiri dibandingkan anak-anak lain yang keadaannya lebih parah.36 Usaha subjek ini termasuk

positive reinterpretation and growth. Dalam proses menghadapi dan

mengatasi situasi stres, subjek menggunakan usaha acceptance yaitu dengan menerima keadaan dengan ikhlas dan tidak mengeluh terhadap kenyataan yang dihadapinya karena memang sudah merupakan takdir.37 Subjek berusaha untuk memaklumi keadaan anaknya yang kurang mampu dan menerima cobaan yang diberi dalam keadaan apapun sehingga subjek mampu untuk bersikap pasrah dalam

Dokumen terkait