Desa Inklusif
UNSUR DAN LANGKAH-LANGKAH ANALISIS SOSIAL
2. Dinamika Respons Para-pihak
Nomenklatur desa adat pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya menyelesaikan permasalahan hubungan negara dan masyarakat (hukum) adat yang memang sangat beragam itu.ix Keberagaman itu tidak hanya berdasarkan hal-hal yang bersifat turunan, seperti kategori ras, kelompok etnik, dan agama, melainkan juga berbeda dari hal-hal yang bersifat capaian, seperti kemampuan adaptasi lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya, yang berpangkal pada sistem teknologi dan sistem mata pencahian hidup yang
dikembangkannya. Pengakuan negara akan keberagaman ini telah tergambarkan ke dalam
semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang kemudian dilanjutkan ke dalam pengaturan dalam
konstitusi seperti yang telah disebutkan di atas.x
Disamping sebagai upaya untuk mewujudkan amanat konstitusi, secara praktis kehadiran nomenkatur ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai titik awal bagi penyelesaian sengketa dan/atau konflik terkait penguasaan dan pengusahaan sumberdaya
agraria yang jumlahnya terus meningkat dan konflik tata batas desa dan kawasan hutan (negara).xi
Belakangan, nomenklatur desa adat ini relevan pula dengan program Nawacita yang dicanangkan Joko Widodo pada masa kampenye pemilihan Presiden yang terakhir,
yang kemudian dijadikan program kerja Presiden. Disebutkan bahwa dalam lima tahun ke
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi I 51 depan akan dilakukan percepatan redistribusi aset (berupa kawasan hutan) seluas lebihkurang
12,7 juta hektar sebagai bagian dari upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat (adat) dan perdesaan pada umumnya.xii
Meski begitu, sepertinya momentum perubahan yang terbuka itu tidak – atau belum --termanfaatkan secara optimal. Padahal penerapan pelaksanaan nomenklatur desa
adat memerlukan persiapan sedemikian rupa agar distorsi dari penerapan politik desentralisasi – dan juga otonomi pada tingkat komunitas --yang telah dimulai sejak reformasi bergulir tidak terulang dan/atau justru semakin parah dari yang pernah ada sebelum ini. Sebagaimana banyak dilaporkan para pengamat politik desentralisasi dan otonomi komunitas, distorsi dimaksud terwujud ke dalam sejumlah fenomena ‘patologi sosial’ semacam elite capture, diskriminasi antar etnik dan/atau diskriminasi antar penduduk asli dan pendatang, kekerasan berbasis kelompok etnik, dan kembalinya ‘rajaraja
kecil’, misalnya.xiii
Terkait kemungkinan terjadinya sejumlah distorsi itu, Undang-Undang Desa sendiri telah melengkapi dirinya dengan sejumlah norma hukum yang diharapkan dapat
mengatasi persolan-persolan itu. Misalnya, meski desa adat dapat melakukan pengaturan
dan pelaksanaan pemerintahan berdasaran struktur yang ada pada susunan asli, untuk menjamin terlaksananya asas-asas pengaturan desa yang lain (lihat Pasal 3),
Pemerintahan Desa Adat tetap harus bisa menyelenggarakan “fungsi permusyawaratan dan Musywarah Desa Adat sesuai dengan susunan asli Desa Adat atau dibentuk baru dengan prakarsa masyarakat Desa Adat”, sebagaimana yang diatur pada Pasal 108.xiv
Demikian pula, pada Pasal 104, pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asalusul
harus memperhatikan prinsip keberagaman. Bahkan, untuk memastikan
pemerintahan Desa Adat dapat berjalan sebagaimana mestinya, pada Pasal 98 ayat (2), diatur pula bahwa “Pembentukan Desa Adat setelah penetapan Desa Adat sebagaimana
dimaksudkan pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan faktor penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, serta pemberdayaan masyarakat Desa dan sarana prasarana pendukung”.xv
Pada akhirnya, sejauh tidak diatur khusus pada Bab XIII tentang ‘Ketentuan Khusus Desa Adat’, sebagaimana yang diatur pada Pasal 111 ayat (2), ketentuan tentang
Desa berlaku juga untuk Desa Adat. Itu artinya pengakuan terhadap nomenklatur desa adat tidaklah tanpa merujuk pada asas pengaturan desa (Pasal 3) dan asas
penyelenggaraan Pemerintahan Desa, sebagaimana diatur pada Pasal 24.xvi
Meski begitu, sejauh data yang tersedia, respons Pemerintah Daerah, baik pada tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota dalam memanfaatkan peluang penerapan
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi I 52 nomenklatur desa adat ini dapatlah dikatakan rendah. Hingga waktu belakangan ini hanya
ada 2 (dua) inisiatif yang berarti di tingkat Propinsi. Masing-masing adalah di Propinsi Sumatera Barat dan Propinsi Bali. Meski begitu, hingga tulisan ini disusun, ‘Peraturan Daerah Propinsi tentang Pengaturan Desa Adat’ sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 109 di kedua Propinsi ini belum lagi ada yang sudah ditetapkan sebagai peraturan daerah.
Dalam situasi yang demikian maka wajar saja bila penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 98 di kedua propinsi itu belum lagi dilakukan.
Tidak diketahui secara pasti mengapa keadaannya menjadi sedemikian rupa. Dalam satu kesempatan jumpa dengan Gubernur Kalimantan Barat, misalnya, hal itu dpat
terjadi karena belum ada Peraturan Pemerintah yang menjelaskan lebih lanjut tentang keberadaan desa adat itu. Padahal, ironisnya, UU Desa sendiri tidak mengamanatkan perlunya menyusun Peraturan Pemerintah tentang Desa Adat ini. Sebagaimana yang diatur pada Pasal 109, pengaturan lebih lanjut tentang desa adat ini, khususnya menyangkut “susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan kepala desa adat berdasarkan hukum adat ditetapkan dalam peraturan daerah Propinsi”.xvii
Baru-baru ini terdengar pula ada inisiatif baru dari Kalimantan Timur. Namun inisitif itu terwujud dalam langkah studi banding ke Bali. Padahal, sejauh yang dapat ketahui, upaya untuk mempromosikan peluang desa adat sebagaimana yang diatur dalam
UU Desa kepada berbagai stakeholder di Kalimantan Timur sudah dilakukan oleh pihak organisasi masyarakat sipil sejak awal tahun 2014 dilakukan. Tidak diketahui mengapa inisiatif DPRD setempat baru muncul di pertengahan tahun 2015 ini.xviii
Meski begitu, hal yang di luar pengaturan normal yang ada dalam UU Desa justru
terjadi di Propinsi Riau. Semula, tanpa merasa harus memiliki ‘Peraturan Daerah Propinsi
tentang Pengaturan Desa Adat’ sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 109, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Pedesaan (BPM – Bangdes), Propinsi Riau mengumumkan bahwa setidaknya akan ada 281 desa di propinsi ini yang akan diusulkan untuk ditetapkan menjadi desa adat. Desa-desa itu tersebar di berbagai kabupaten di propinsi itu, antara lain, di Kabupaten Palalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Rokan Hilir, dan lainnya. Meski begitu, seperti akan dibahas lebih lanjut dalam bagian lain, hingga hari ini belum ada kabupaten yang telah definitif menetapkan status desa adat di wilayahnya.xix