• Tidak ada hasil yang ditemukan

interactive teaching method for children to convey complicated material. The method used in this study is within-subject experiments with one group pretest posttest design. There were 13 early childhoods involved as research subjects in this study, the treatment provided in the form of storytelling in teaching math and data collection tools used in the form of mathematic tests. Wilcoxon calculation results show that p <0.05, which means there are differences in the counting ability at children after being given counting material by storytelling.

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERHITUNG PADA ANAK USIA

DINI DENGAN CARA STORYTELLING

Vella Fitrisia.A

Fakultas Psikologi Universitas Tama Jagakarsa Email :

Kronologi Naskah

Naskah Masuk 28 Juli 2019 Revisi 20 Agustus 2019 Diterima 30 Oktober 2019

fitrisia.a@gmail.com

Keywords: Counting Skill, Early Childhood, Storytelling

Abstrak. Selama ini terjadi banyak silang pendapat mengenai pentingnya mengajarkan berhitung pada anak usia dini,pendapat yang mendukung mengatakan bahwa mengajarkan berhitung berguna bagi anak untuk kesiapannya menghadapi jenjang pendidikan selanjutnya, pendapat yang menolak mengatakan bahwa pemberian materi berhitung tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak, ditakutkan anak akan mengalami kelelahan akademik sehingga anak akan menjadi tertekan di sekolah. Untuk memahami kedua pendapat sebelumnya maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh storytelling terhadap kemampuan berhitung pada anak usia dini. Storytelling dipilih sebagai metode karena dianggap sebagai metode mengajar yang menyenangkan dan interaktif bagi anak-anak untuk menyampaikan materi yang rumit. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen within subject dengan desain one group pretest posttest. Ada 13 anak usia dini yang terlibat sebagai subjek penelitian pada penelitian ini, perlakuan yang diberikan berupa storytelling dalam mengajarkan berhitung dan alat pengumpulan data yang digunakan berupa test berhitung. Hasil perhitungan Wilcoxon menunjukkan bahwa p<0,05 yang artinya ada perbedaan kemampuan berhitung pada anak setelah diberikan materi berhitung dengan cara storytelling.

Kata Kunci: Anak usia dini, Bercerita, Kemampuan berhitung

Pada anak usia dini cara mentransfer ilmu dalam proses belajar mengajar haruslah menyenangkan dan kreatif sehingga anak tidak merasa terbebani ketika di sekolah dan merasa riang gembira dalam belajar. Idealnya proses belajar pada anak usia dini yang dikedepankan memang bersosialisasi dan bermain. Tetapi adanya tuntutan dari beberapa SD yang mensyaratkan agar anak sudah bisa baca, tulis, dan hitung atau disebut juga calistung ketika masuk SD dan ambisi orangtua yang merasa bangga jika anaknya sudah bisa calistung sejak dini membuat calistung masuk dalam kurikulum atau ekstra kurikuler pada pendidikan anak usia dini.

Berbagai kondisi ini membuat sistem pendidikan anak usia dini bergeser mengajarkan calistung, trend mengedepankan calistung sebagai ajang promo TK atau playgroup demi menarik minat orangtua memasukkan anaknya ke TK atau playgroup tersebut

Jurnal

sering kita lihat. Bahkan untuk memenuhi permintaan pasar akan calistung maka buku-buku calistung untuk anak usia dini banyak diterbitkan.

Secara spesifik untuk kemampuan berhitung sebenarnya anak usia dini sudah mempunyai potensi, terdapat prinsip-prinsip kemampuan matematis pada anak yaitu, pertama, kestabilan yang berarti bahwa menggunakan angka secara urut, kedua, setiap angka digunakan untuk suatu objek pada satu set hitungan, ketiga, nilai dari angka yang disebutkan terakhir mewakili jumlah dari objek hitungan (Geary, 2004; Gelman & Meck, 1983). Terdapat perbedaan pendapat mengenai penguasaan anak terhadap prinsip-prinsip ini, beberapa peneliti menyatakan bahwa prinsip ini dikuasai pada usia tiga tahun (Gelman & Meck, 1983). Sebagian lagi menyatakan bahwa untuk mengerti mengenai prinsip ini dimulai pada usia tiga tahun setengah (Wynn, 1992). Lalu ada yang menyatakan bahwa anak tidak dapat menentukan kuantitas atau jumlah sebelum umur empat tahun dan prinsip mengenai nilai suatu objek hitungan akan muncul pada usia lima tahun (Freeman, Antonucci & Lewis, 2000).

Tetapi menurut Piaget anak yang berusia dibawah tujuh tahun tidak disarankan untuk belajar berhitung karena karena pada masa itu anak-anak belum dapat berpikir operasional konkret sehingga ditakutkan pelajaran tersebut akan membebani anak-anak yang belum mampu untuk berpikir secara terstruktur.

Jika anak terbebani maka salah satu efek negatif yang terjadi adalah school refusal dimana anak menolak untuk datang kesekolah. School refusal dapat terjadi pada semua rentang usia sekolah tapi mencapai puncaknya pada tiga tahap, pada saat mulai sekolah, saat beralih atau pindah sekolah, dan pada awal masa remaja. Tidak ada alasan khusus yang menyebabkan anak menolak untuk bersekolah ada beberapa sebab, tetapi pasti ada pemicu spesifik anak menolak untuk datang ke sekolah seperti ketidakmampuan akademik, tantangan yang ada disekolah, konflik keluarga, dan sakit (Wijetunge & Lakmini, 2011).

Sebaliknya ada pendapat yang mendukung pentingnya

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

kemampuan berhitung pada anak usia dini karena menurut pendapat ini skor matematik saat TK akan mampu memprediksi kesuksesan akademik, oleh karena itu diharapkan guru TK fokus untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman anak-anak mengenai angka dan berhitung (Dunphy, 2009). Belajar matematika sejak usia dini sangat penting karena bertindak sebagai dasar untuk anak-anak dalam memahami konsep matematika yang lebih tinggi di masa depan (Bakar, 2017).

Pengetahuan matematika sejak dini yang diperoleh melalui pengalaman langsung dan bermakna dalam lingkungan yang menyenangkan membantu dalam menumbuhkan minat anak dalam belajar matematika (Ginsburg, Lee & Boyd, 2008).

Mengingat hal tersebut maka guru harus mensiasati kondisi ini dengan menggunakan teknik mengajar alternatif , kreatif dan menyenangkan. Storytelling merupakan salah satu cara untuk menarik minat pada anak untuk belajar apalagi jika cerita yang disampaikan menarik dan bersifat interaktif maka anak akan merasa senang saat belajar dan tidak bosan, dengan kondisi mental yang tidak tertekan diharapkan anak dapat menyerap pelajaran dengan baik. Storytelling menjadi media yang efektif dalam proses belajar mengajar pada anak usia dini karena cerita melibatkan kemampuan mendengar, dimana kemampuan mendengar ini merupakan salah satu kemampuan awal yang dikembangkan oleh manusia dan termasuk kemampuan yang sering kali dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari (Roskos, Christie & Richgels, 2003). Dalam bercerita tentu saja melibatkan proses mendengar dan menyimak yang efektif sehingga pendengar mampu mengambil sesuatu dari yang disampaikan oleh yang bercerita, studi mengenai mendengar dilakukan oleh Wolvin dan Coakely (2000) yang menyatakan bahwa 50 sampai 90 persen waktu dalam proses komunikasi pada anak di gunakan untuk mendengar baik itu di dalam kelas atau di luar sekolah.

Penggunaan cerita juga membantu anak untuk memahami dunia karena cerita memberikan pengaruh dan gambaran melalui kata-kata yang dapat mengekspresikan perasaan, kemudian matematika adalah cara untuk mengurutkan suatu pengalaman,

Jurnal

kedua hal itu disatukan terhadap suatu objek atau peristiwa di dunia nyata dan berusaha untuk memahaminya (Leeper, 2015).

Toor dan Mgombelo (2015) menambahkan bahwa matematika akan terasa lebih manusiawi jika dalam penerapannya mampu menerangkan secara matimatis suatu subjek, dimana pada kesempatan ini berpikir secara mendalam digunakan daripada hanya mengadopsi suatu prosedur matematis, dan dengan storytelling matematika mampu melakukan ini.

Berdasarkan pemaparan diatas untuk melihat efektivitas penggunaan teknik storytelling untuk mengajar berhitung maka hipotesis dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh antara storytelling dengan kemampuan berhitung pada anak usia dini.

Storytelling

Storytelling didefinsikan sebagai suatu narasi yang nyata atau imajiner yang terstruktur dengan suatu gaya tertentu dan satu kesatuan karakter. Selain itu cerita juga membangun pengetahuan dan fondasi dalam memori dan proses belajar, cerita juga menghubungkan manusia di masa lampau, saat ini, dan di masa depan (Barzaq, 2009). Menurut Maynard (2005) cerita merupakan cara manusia mengkomunikasikan pengalamannya, memahami pengalaman orang lain, membentuk imajinasi menjadi bebas, cara bagaimana memahami dunia dan memahami posisi diri sendiri di dunia ini, dan cerita merupakan sesuatu yang penting untuk manusia, politik, dan pendidikan. Storytelling merupakan aktivitas linguistik yang edukatif karena pendengar dapat membagikan pengalaman pribadi kepada orang lain dan storytelling merupakan suatu seni yang terus diperbaharui selama bertahun-tahun (McEwan, 1995).

Membawakan suatu cerita mempunyai banyak kelebihan, pertama, dapat lebih dekat kepada anak, kedua, dapat membuat kontak mata dengan anak dan memperhatikan bagaimana mereka merespon, ketiga, mendorong anak untuk terlibat, sebagai contoh dengan mengundang mereka untuk bergabung membuat cerita menggunakan ide anak (Leeper, 2015).

Kemampuan berhitung

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Kemampuan berhitung pada perkembangan anak bermula dari pengalaman mereka yang berhubungan dengan benda nyata atau objek yang mempunyai perbedaan warna, ukuran, bentuk dan jumlah yang berbeda-beda. Menurut Ojose (2008) kemampuan matematis artinya anak mengembangkan kemampuan melalui aktivitas pengalaman nyata, Menurut Jordan dkk (2012) kemampuan berhitung adalah mengerti mengenai angka dan operasionalnya, misalnya mengetahui urutan angka dalam suatu kesatuan hitung, angka mana yang terlebih dahulu atau angka mana yang datang setelahnya. Selanjutnya Charlesworth dan Lind (2009) menekankan pada penggunaan akal sehat pada angka dan peralatan yang digunakan pada kemampuan berhitung, hal tersebut membantu anak untuk mendeteksi kesalahan dan memilih pendekatan logis dan strategis untuk memecahkan masalah matematik.

Pengembangan kemampuan berhitung dan konsep matematis pada anak usia dini dibagi menjadi tiga bagian yaitu posisi relatif, dimana anak mampu mengetahui lokasi suatu objek atau angka, angka ordinal yaitu suatu proses menentukan yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, bilangan pokok adalah saat anak mampu menyebutkan jumlah barang atau benda dalam suatu seting atau pada suatu kesatuan dan mampu menghitungnya sampai akhir (

Metode

Subjek penelitian yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 13 anak-anak berusia empat dan lima tahun yang bersekolah di PAUD Mutiara kota Depok. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan eksperimen within subject karena jumlah subjek sedikit. Adapun desain rancangan eksperimen yang digunakan one group pretest-posttest design dengan simbol desain seperti tertera pada gambar 1.

McGuire, Kinzie, & Berch, 2012).

Jurnal

Gambar 1. One group pretest-posttest design Keterangan :

O1 ::Pengukuran sebelum manipulasi X : Manipulasi

O2 : Pengukuran setelah manipulasi

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel bebas yaitu storytelling dan variabel terikat yaitu kemampuan berhitung. Adapun kontrol yang digunakan dalam penelitian ini adalah konstansi karakteristik subjek dengan teknik blocking, dalam teknik blocking ini peneliti menyetarakan kondisi subjek penelitian yang mempunyai variabel sekunder yang sama (Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2014). Dalam penelitian ini salah satu variabel sekunder yaitu modal kemampuan berhitung yang dimiliki oleh masing-masing anak sebelum mendapat perlakuan diidentifikasi. Diketahui terdapat beberapa anak yang sudah mempunyai kemampuan berhitung sampai dengan 20, kemampuan tersebut akan berpengaruh terhadap hasil walaupun tanpa diberikan perlakuan sehingga dianggap salah satu variabel sekunder. Berdasarkan variabel sekunder tersebut peneliti memilih anak-anak yang mempunyai kemampuan menghitung sampai dengan 20, lalu yang mempunyai kemampuan berhitung kurang atau lebih dari 20 tidak diikut sertakan dalam eksperimen.

Variabel lain yang sekiranya menjadi variabel sekunder dalam penelitian ini adalah metode pengajaran khas yang diterapkan sekolah, seperti diketahui saat ini beberapa sekolah TK atau playgroup memakai metode khusus yang digunakan untuk mengajar di sekolah tersebut dan menganggap metode tersebut sebagai suatu ciri khas atau kelebihan yang dimiliki sekolah. Oleh karena itu dalam penelitian ini dipilih sekolah yang masih menggunakan metode pengajaran secara umum, dengan ini diharapkan metode pengajaran lain tidak mencemari penelitian dan mampu dikontrol.

O1 à X à O2

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Prosedur pelaksanaan eksperimen dilakukan selama empat hari, pada hari pertama sebelum diberikan manipulasi subjek diukur dengan menggunakan tes berhitung yang meliputi mengurutkan angka, mencocokan angka dengan objek, mencari angka yang hilang, menambah dan mengurangi angka dengan kisaran hitung sampai 20. Hari kedua eksperimen dilakukan di ruang kelas dengan menyajikan materi berhitung dengan metode mengajar storytelling yang menggunakan suatu benda atau objek yang disesuaikan dengan tema cerita sebagai alat bantu hitung untuk menambah kekuatan cerita.

Cerita pertama tentang kelinci rakus yang memakan wortel di kebun sehingga sakit perut, dan benda yang digunakan adalah wortel. Hari ketiga masih disajikan cerita di kelas, mengenai seorang anak yang mendapat hadiah permen untuk setiap perbuatan baik yang dilakukan, benda yang digunakan adalah permen lollipop.

Kemudian pada hari keempat anak diukur kembali setelah mendapat perlakuan dengan tes berhitung yang sama seperti sebelum mendapat perlakuan. Penggunaan benda sebagai alat bantu dalam menyampaikan cerita karena menurut penelitian dari Roslin dan Lin (2018) pengalaman yang berhubungan dengan kemampuan berhitung yang diterapkan pada suatu benda atau objek yang mempunyai nilai kualitas dan kuantitas seperti warna, ukuran, bentuk sebelum beralih ke tahap gambar dan simbol akan membantu pemahaman anak tentang berhitung.

H a s i l

Uji normalitas dan uji hipotesis pada penelitian ini dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 16.0 for Windows. Uji normalitas dilakukan menggunakan uji Shapiro-Wilk, adapun hasil uji normalitas menunjukkan bahwa nilai sig 0,015 atau p< 0,05 pada pretest dan nilai sig 0,000 atau p< 0,05 pada posttest, nilai ini menunjukkan bahwa data berdistribusi tidak normal, oleh karena itu akan digunakan uji statistik non parametrik untuk menguji hipotesis.

Jurnal

Pengujian hipotesis menggunakan uji Wilcoxon untuk melihat apakah ada perbedaan nilai antara pretest dan posttest seperti tertera pada tabel 1.

Tabel 1.

Hasil perhitungan statistik dengan Wilcoxon

Negative ranks pada nilai N, Mean Rank, maupun Sum Rank menunjukkan angka 0. Artinya tidak ada penurunan dan pengurangan nilai kemampuan berhitung antara nilai pretest dan posttest. Positive ranks disini terdapat 12 data positif (N) yang artinya ke 12 anak mengalami peningkatan hasil kemampuan berhitung dari nilai pretest ke nilai posttest.

Mean Rank atau rata-rata peningkatan tersebut sebesar 6,50, sedangkan jumlah ranking positif atau sum ranks adalah sebesar 78,00. Ties adalah kesamaan nilai pretest dan posttest, disini nilai ties adalah 1, sehingga dapat dikatakan ada seorang anak yang nilai kemampuan berhitungnya sama antara pretest dan posttest.

Uji hipotesis berdasarkan hasil dari perhitungan Wilcoxon Signed Rank Test, didapatkan nilai Z -3, 084 dengan nilai sig sebesar 0,002 di mana p< 0,05, sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa ada pengaruh storytelling dengan kemampuan berhitung pada anak usia dini diterima.

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Diskusi

Penelitian ini menemukan bahwa ada pengaruh antara storytelling dengan kemampuan berhitung pada anak usia dini, dengan nilai sig 0,002 atau nilai p< 0,05, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Murti & Hastjarjo, 2015) yang menyatakan bahwa permainan imajinatif dapat meningkatkan metakognisi matematika dibanding yang tidak menggunakan permainan imajinatif, lebih lanjut lagi permainan imajinatif berupa dongeng mampu meningkatkan metakognisi dalam matematika dibanding dengan permainan imajinatif berupa permainan pura-pura yang tidak ada perbedaan dengan kelompok yang tidak diberikan permainan imajinatif.

Pernyataan di atas diperkuat oleh pendapat yang mengatakan bahwa storytelling untuk menyampaikan materi matematika membuat belajar lebih mudah, menciptakan lingkungan yang penuh imajinasi, penemuan, emosi, dan proses berpikir yang pada akhirnya membuat matematika menjadi menyenangkan (Modi, 2012). Storytelling juga memberikan kesempatan memecahkan masalah dengan cara yang artistik dimana yang bercerita menciptakan situasi yang disampaikan kepada pendengarnya untuk merasakan kesenangan dan inspirasi yang ada pada matematika (Gadanidis, 2012). Disatu sisi gaya storytelling seperti dongeng , puisi, dan lagu sangat menghibur, di sisi lain informasi utama yang ditransfer membekas di pikiran orang yang mendengarkan (Zazkis & Liljedahl, 2009).

Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan hasil kemampuan berhitung pada anak usia dini setelah diberi perlakuan metode mengajar storytelling. Hasil penelitian diharapkan mampu menjembatani atau memberikan pandangan lain mengenai stereotipe anak usia dini yang tidak boleh diajarkan berhitung, karena berdasarkan penelitian ini berhitung pada anak Ini berarti bahwa dongeng sebagai bentuk permainan imajinatif dapat digunakan sebagai stimulasi dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan metakognisi dalam matematika pada anak.

Jurnal

usia dini jika diajarkan dengan cara yang menyenangkan, interaktif dan kreatif seperti dengan cara storytelling tidak berdasarkan kertas dan pensil saja mampu membangkitkan rasa penasaran anak akan matematika, dan anak merasa tidak tertekan dalam belajar matematika sehingga kemampuan berhitung mereka meningkat.

Saran

Bagi guru diharapkan mampu membuat berbagai macam cerita yang menarik sebagai media untuk mengajarkan berhitung pada anak usia dini, cerita dapat diambil dari pengalaman sehari-hari, dongeng rakyat yang beredar, dan buku cerita, selanjutnya untuk menunjang cerita guru juga dapat menggunakan benda-benda di sekitar sebagai sarana alat peraga dalam berhitung.

Orangtua juga diharapkan mau meluangkan waktunya untuk berbagi cerita pada anak yang isinya bersifat edukatif dan menyenangkan sehingga tanpa anak sadari selain keterikatan emosional terjalin, rasa senang yang di rasakan anak, perkembangan kognitif juga berkembang. Dalam penelitian ini telah menggunakan teknik mengajar storytelling untuk mengajar berhitung, pada penelitian selanjutnya diharapkan peneliti dapat menggunakan teknik mengajar kreatif dan inovatif lain yang sekiranya dapat meningkatkan kemampuan berhitung pada anak.

Peneliti selanjutnya juga dapat menggunakan variabel jenis kelamin untuk melihat efektivitas perlakuan yang diberikan terhadap kemampuan berhitung berdasarkan jenis kelamin, desain eksperimen between subject juga dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya jika memungkinkan jumlah subjek penelitiannya memadai.

DAFTAR PUSTAKA

Bakar, K. A. (2017). Young Children's Representations of Addition in Problem Solving. Creative Education, 8, 2232-2242.

.

Barzaq, M. (2009). Integrating Sequential Thinking Thought Teaching Stories in the Curriculum. Action Research. AlQattan Center for https://doi.org/10.4236/ce.2017.814153

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Educational Research and Development QCERD.Gaza

Charlesworth, R., & Lind, K. K. (2009). Math and science for young children, (7th Ed.). Belmont, CA: Wadsworth/Cengage.

Dunphy, E. (2009). Early childhood mathematics teaching: Challenges, difficulties and priorities of teachers of young children in primary schools in Ireland. International Journal of Early Years Education,17(1), 3-16, doi: 10.1080/09669760802699829.

Freeman, N. H., Antonucci, C., & Lewis, C. (2000). Representation of the cardinality principle: Early conception of error in a counterfactual test. Cognition, 74(1), 71–89.

.

Gadanidis, G. (2012). Mathematics through as Arts lens. A paper presentated at The Fields Institute for Research in Mathematical Sciences – Math Education forms, University of Toronto, Toronto, Canada.

Geary, D. C. (2004). Mathematics and learning disabilities. Journal of Learning Disabilities, 37, 4–15.

Gelman, R., & Meck, E. (1983). Preschooler's counting: Principles before skill. Cognition Psychology, 13, 343–359.

Ginsburg, H. P., Lee, J. S., & Boyd, J. S. (2008). Mathematics Education for Young Child-ren: What It Is and How to Promote It. Social Policy Report: Giving Child and Youth Development Knowledge Away, 22, 1-23.

Hastjarjo, T.D & Murti, H, A,S.(2015). Permainan Imajinatif Berdasarkan Metakognisi dalam Belajar Matematika. Gadjah Mada Journal of Psychology, 1(1), 1-12.

Jordan, N., Glutting, J., Dyson, N., Hassinger-Das, B., Irwin, C., & Graesser, A.C. (2012). Building kindergartners'number sense: A randomized controlled study. Journal of Educational Psychology, 104(3), 647-660.

Leeper, M. (2015). Developing Early Maths through Story: Step-by-step advice for using storytelling as a springboard for Maths activities.

London: Practical Pre-School Books, A Division of MA Education Ltd, St Jude's Church.

Maynard, B. (2005). The Importance of Story. Available in : http://subversiveinfluence.com/2005/01/the-importance-of-story/ [ June 12 2014]

McEwan, H. (1995). Narrative understanding in the study of teaching. In H.

McEwan & K. Egan (Eds.), Narrative in teaching, learning, and research (pp. 166-183). New York: Teachers College Press.

https://doi.org/10.1016/S0010-0277(99)00064-5

Jurnal

McGuire, P., Kinzie, M., & Berch, D. (2012).Developing number sense in pre-k with fiveframes. Early Childhood Education Journal, 40(4), 213-222. doi:10.1007/s10643-011-0479-4.

Modi, K. (2012). Story Telling in Mathematics. Voice of Research, 1 (2), 31-33.

Ojose, B. (2008). Applying Piaget's Theory of Cognitive Development Mathematics In-struction. The Mathematics Educator, 18, 26-30.

Roskos, K.A., Christie,J. F., & Richgels, D.D. (2003). The essentials of early literacy instruction. Young Children, 3, 52-60.

Rosli, R., & Lin, T. W. (2018). Children Early Mathematics Development Based on a Free Play Activity. Creative Education, 9, 1174-1185.

.

Seniati, L., Yulianto, A., & Setiadi, B,N.(2014). Psikologi Eksperimen.

Jakarta: Indeks

Toor, A. & Mgombelo, J.(2015). Teaching mathematics through storytelling: Engaging the 'being' of a student in mathematics.

CERME 9 - Ninth Congress of the European Society for Research in Mathematics Education, Charles University in Prague, Faculty of Education; ERME, Prague, Czech Republic. pp.3276-3282.

Wijetunge, G.S. and Lakmini, W.D. (2011). School refusal in children and adolescents. Sri Lanka Journal of Child Health, 40(3), pp.128–131.

DOI: .

Wolvin, A.D. and Coakely, C.G. (2000). Listening education in the 21st century. International Journal of Listening, 12,143-152.

Wynn, K. (1992). Children's acquisition of the number words and the counting system. Cognitive Psychology, 24(2), 220-251.

Zazkis, R., & Liljedahl, P. (2009). Teaching Mathematics as Storytelling.

Rotterdam, The Netherlands: Sense Publishers.

https://doi.org/10.4236/ce.2018.97087

http://doi.org/10.4038/sljch.v40i3.3511

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Abstract. This study aimed to describe the psychological conflicts of Balinese Hindu women who describe the "Nyerod" caste. An identical wedding with happiness is not fully enjoyed by Balinese Hindu women who visit down castes

"Nyerod. This is due to the existence of various customary rules that must be lowered after caste. The caste affair experienced by every caste woman is not an easy thing, where there will be many changes and disagreements from extended

"Nyerod. This is due to the existence of various customary rules that must be lowered after caste. The caste affair experienced by every caste woman is not an easy thing, where there will be many changes and disagreements from extended