• Tidak ada hasil yang ditemukan

B20 Diospyros macrophylla, Ficus hispida Keterangan: Nama lokal disajikan dalam Tabel

DAFTAR GAMBAR

BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

18 B20 Diospyros macrophylla, Ficus hispida Keterangan: Nama lokal disajikan dalam Tabel

Jenis-jenis tumbuhan yang memiliki palatabilitas tinggi memiliki kadar lemak yang rendah (1.49-4.45%) dan energi yang memadai antara 3,521 – 4,151 kkal/kg. Kadar lemak yang rendah merupakan faktor yang perlu diperhatikan mengingat lemak adalah bahan baku dalam sintesa hormon steroid yang berperan penting dalam siklus reproduksi badak jantan maupun betina (Koolman & Röhm 2001).

Kualitas dan Kuantitas Asupan Nutrien

Analisis proksimat menunjukkan kandungan air, nutrien (protein dan lemak), serta energi dari masing-masing tumbuhan pakan dengan palatabilitas tinggi seperti yang ditampilkan pada Tabel 5. Untuk melakukan penghitungan konsumsi bahan kering (KBK) yang besarnya 1% BB dari setiap ekor badak.

Tabel 5. Komposisi nutrien dan energi dari tumbuhan pakan yang disukai badak jawa (palatabilitas tinggi).

Tumbuhan pakan Rataan Konsumsi segar (g/hr) Air (%) Protein (%) Lemak (%) Energi (kkal/kg) Nama Ilmiah Nama lokal

Leea sambucina Sulangkar 1,232.86 8.93 5.60 3.07 3,607

Dracontomelon p Dahu 66.09 10.51 9.84 1.49 3,906

Amomum megalocheilos

Tepus 845.50 9.58 10.24 1.63 4,151

Spondias pinnata Kedondong 257.73 9.42 9.16 2,62 3,005

Zanthoxylum rhetsa Kitanah 164.31 16.33 17.11 1.94 3,667 Diospyros macrophylla Kicalung 70.71 9.85 10.96 1.96 4,098

Ficus hispida Bisoro 1,217.55 13.11 11.84 1.97 2,721

Lantana camara Cente 344.85 8.37 7.67 4.11 4,004

Keterangan: Kadar air merupakan kadar yang diukur setelah sampel tumbuhan dikeringkan. Kadar air dalam tumbuhan segar memiliki angka 60-80% lebih tinggi dibanding angka dalam tabel ini.

Identifikasi Tumbuhan Pakan dengan Kualitas Nutrisi Tinggi

Identifikasi tumbuhan pakan dengan kualitas nutrisi yang tinggi dilakukan dengan memilih jenis-jenis tumbuhan pakan dengan kandungan nutrien dan energi yang paling tinggi berdasarkan data dari analisis proksimat. Jenis-jenis tumbuhan pakan ini ditampilkan dalam Tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6. Daftar tumbuhan pakan dengan kandungan air, nutrien dan energi tertinggi Nama Ilmiah Nama Lokal Air

g/100g Protein g/100g Lemak g/100g Energi kkal/kg

Moringa citrifolia Cangkudu 7.38 23.39 6.30 4,460

Callicarpa longifolia Areuy

Katumpang 8.76 23.61 6.69 4,110

Chisocheton microcarphus

Kilangir

8.65 20.64 6.00 4,656

Alstonia angustiloba Lame Peucang 8.26 17.11 8.61 4,358

Callicarpa longifolia Areuy

katumpang 8.76 23.61 6.69 4,110

Macaranga spp Mara 13.38 10.78 6.78 3,901

Derris thyorsifolia Areuy Kawao 7.12 15.22 2.83 4,718

Pterospermum javanicum

Bayur

6.94 12.36 2.06 4,678

Percampyulus glances Geureung 8.56 16.37 2.49 4,702

Paederia scandens Areuy kipuak 55.17 4.97 0.95 1,951

Alstonia scholaris Lame koneng 61.08 3.83 2.18 2,090

Costus speciosus Pacing 45.86 5.30 0.57 2,247

Keterangan: Kadar air merupakan kadar yang diukur setelah sampel tumbuhan dikeringkan. Kadar air dalam tumbuhan segar memiliki angka 60-80% lebih tinggi dibanding angka dalam tabel ini.

Bila informasi pada Tabel 4 (palatabilitas pakan) dan informasi pada Tabel 6 (pakan dengan kualitas nutrisi tinggi) dibandingkan, maka dapat dilihat bahwa hanya jenis tumbuhan pakan Zanthoxylum rhetsa (kitanah) yang merupakan tumbuhan pakan dengan palatabilitas tinggi sekaligus juga tumbuhan dengan kandungan protein tinggi setara dengan kandungan protein pada Alstonia angustiloba (lame peucang). Fakta ini menunjukkan bahwa tumbuhan dengan kualitas yang paling baik belum tentu merupakan makanan yang paling banyak dimakan oleh badak jawa. Hal tersebut tergantung pada struktur vegetasi dengan ketersediaan pakan (kepadatan tumbuhan pakn) dengan kualitas nutrisi yang baik ini. Dengan mengacu pada kerapatan tumbuhan pakan yang disukai oleh badak jawa berdasarkan Rahmat et al.

(2007), maka kerapatan masing-masing tumbuhan pakan berkualitas baik dalam Tabel 6 idealnya tersedia dalam kerapatan: 5,406 individu/ha (jenis tumbuhan bawah); 2,222 individu/ha untuk jenis semai ; 268 individu/ha untuk jenis pancang ; 32 individu/ha untuk jenis tiang ; dan 15 individu per hektar untuk jenis pohon.

Konsumsi bahan kering berbanding lurus dengan asupan air, nutrien (lemak dan protein), serta energi. Data asupan harian dari komponen-komponen yang terdiri dari air, nutrien (protein & lemak), serta energi disajikan dalam Tabel 7. Data dari Tabel ini menunjukkan bahwa ada fluktuasi asupan harian yang menyebabkan asupan air, nutrient, dan energi tidak selalu tersedia dalam jumlah yang besar sepanjang tahun.

Asupan air dari pakan berada pada tingkat yang rendah pada bulan November (setelah musim kering di bulan Oktober); asupan protein menunjukkan titik terendah di bulan Oktober (musim kering); asupan lemak menunjukkan titik terendah pada bulan-bulan Oktober, November, Februari, Maret; dan asupan energi dapat dilihat ada pada tingkat terendah pada bulan Desember. Fakta ini menunjukkan bahwa populasi badak jawa menghadapi waktu-waktu tertentu saat terjadi keterbatasan air, nutrien, dan energi.

Kompilasi perhitungan total konsumsi air, nutrien, serta energi dari setiap badak sampel penelitian ini disajikan dalam Tabel 8. Analisis deskriptif pada rataan asupan bahan kering harian pada ketiga ekor badak menunjukkan adanya perbedaan antara badak 18 dengan kedua ekor badak lainnya (badak 12 dan 13). Hal ini disebabkan karena perbedaan bobot tubuh antara badak dewasa (badak 12 dan badak 13) dengan badak muda (badak 18) yang memiliki bobot badan lebih kecil.

Tabel 7. Data asupan nutrisi harian badak jawa

Individu Bulan

Asupan Harian (g/ek/h)

Air Protein Lemak (Kal/ek/h)Energi

BADAK 12 Oktober 6,817.47 803.37 249.00 36,698.43 November 6,782.38 1,132.47 238.38 38,123.76 Desember 3,271.27 1,061.48 277.83 38,065.81 Januari 3,843.73 1,333.57 288.78 37,306.61 Februari 6,214.17 1,257.08 246.22 39,878.90 Maret 3,271.98 1,169.00 280.77 40,064.76 April 4,910.03 1,124.94 287.25 33,491.94 BADAK 13 Oktober 5,220.71 1,161.44 297.52 37,160.07 November 3,067.49 1,215.83 353.37 38,026.67 Desember 19,869.04 1,099.87 290.81 35,909.84 Januari 31,633.70 966.16 266.54 37,338.69 Februari 18,155.98 1,045.49 273.25 35,470.19 Maret 3,537.91 1,052.38 255.36 35,800.96 April 7,470.35 1,243.47 351.06 36,922.17 BADAK 18 Oktober 3,535.39 754.34 166.89 25,669.98 November 1,173.19 764.45 186.49 25,266.01 Desember 12,813.47 767.19 175.48 11,096.92 Januari 7,023.90 796.14 179.01 22,607.03 Februari 8,394.51 792.38 181.89 22,716.09 Maret 3,741.64 696.49 170.48 23,755.24 April 1,209.83 695.29 214.81 26,226.10

Keterangan: data diambil pada tahun 2009-2010

Pada bulan-bulan dengan jumlah kejadian hujan yang rendah (Oktober- Desember dan Maret-April) nampak jumlah konsumsi air asal pakan yang rendah, kecuali pada badak no 12 yang menunjukkan konsumsi air yang tetap rendah di bulan Desember dan Januari. Analisis regresi pada data di atas menunjukkan adanya korelasi (koefisien Pearson = 0.87) dan hubungan linear positif (R2 = 0.76) antara rata-rata kejadian hujan per bulan dengan kadar air pada tumbuhan pakan. Hasil analisis ini menunjukkan adanya kecenderungan jumlah kandungan air asal pakan yang dipengaruhi oleh curah hujan.

Tabel 8. Rataan asupan air, protein, lemak, dan energi per ekor per hari pada tiga ekor badak yang diamati dalam penelitian.

Kode Badak Air (g/ek/h) Protein (g/ek/h) Lemak (g/ek/h) Energi (kkal/ek/h) 12 5,015.86 1,125.99 266.89 37,661.46 13 12,707.88 1,112.09 298.27 36,661.23 18 5,413.13 752.33 182.15 22,476.77 Kecernaan

Perhitungan kecernaan berat kering (BK) menggunakan metode Van Keulen (1977) menunjukkan bahwa tingkat kecernaan pada sistem digesti badak yang diamati dalam penelitian ini berada pada rentang 77% sampai 91% dengan rata-rata 83%dan rentang kecernaan terkoreksi pada 69.3%-81.9% sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 8. Rentang ini cukup besar bila dibandingkan dengan rentang kecernaan pada badak lain berdasarkan literatur. Perbedaan kecernaan ini menunjukkan adanya suatu implikasi yang terjadi akibatperbedaan kondisi ketersediaan pakan yang dihadapi oleh badak di habitat alaminya. Pagan et al. (1998) menunjukkan adanya perubahan persen kecernaan akibat perbedaan diet dan tingkat aktifitas pada kuda, hewan yang memiliki anatomi dan sistem pencernaan yang sama dengan badak. Perbedaan pakan yang tersedia bagi badak serta perbedaan tingkat aktifitas yang dilakukan masing- masing badak dapat menyebabkan perbedaan dan rentang kecernaan seperti ini. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecernaan pakan terdiri dari: umur, kualitas pakan, status hewan, jumlah konsumsi dan laju pakan (McDonald, 2002).

Tabel 9. Persen kecernaan berat kering dari tiga ekor badak dengan koreksi 10% menurut Mainka et al.(1989)

Kode Badak AIA Pakan AIA Feses % kecernaan %

kecernaan terkoreksi

12 18.68 216.92 91% 81.9%

13 201.11 881.48 77% 69.3%

18 216.19 1,007.22 79% 71.1%

Tabel 9 menunjukkan bahwa individu badak nomor 12 tersebut memiliki tingkat kecernaan pakan yang paling tinggi disertai dengan jumlah palatabilitas pakan terbanyak berdasarkan informasi dari Tabel 4. Badak 12 yang merupakan badak

dewasa tua dengan ruang jelajah terkecil memiliki palatabilitas jenis pakan yang lebih beragam dibandingkan dengan badak 13 dan badak 18. Selain faktor kondisi habitat, kecernaan juga dipengaruhi faktor usia, fisiologi, dan juga genetika dari hewan yang diamati.

Kecernaan terkoreksi yang dihitung dengan metode AIA dalam penelitian ini (69.3%-81.9%) dapat dibandingkan dengan kecernaan pada badak sumatra (Koleksi total): 57.49% - 80.45% (Mundiany et al. 2005), dan perbandingan ini menunjukkan bahwa ada kemiripan dalam hal kecernaan berdasarkan kedua metode ini yaitu pada pada rentang kecernaan berat kering 69.3%-80.45%. Informasi ini menunjukkan kemungkinan adanya kompatibilitas antara kedua metode (AIA dan koleksi total) dalam menghitung kecernaan pada badak. Kecernaan pada badak jawa berada pada rentang yang sebanding dengan perhitungan kecernaan pada badak Sumatra menggunakan koleksi total. Fakta ini menunjukkan bahwa perhitungan kecernaan menggunakan metode AIA adalah kompatibel dengan perhitungan kecernaan menggunakan metode koleksi total.Pengukuran dengan metode AIA biasanya mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan dengan metode koleksi total, hal ini disebabkan saat pengambilan sampel feses secara kualitatif.

Kajian RisikoToksisitas Lantaden

Berdasarkan jumlah asupan Lantana camara yang tercatat di lapangan, estimasi asupan lantaden perhari pada ketiga ekor badak dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 10 di bawah ini. Rataan asupan Lantana camara dari Tabel 10 ini menunjukkan bahwa badak mengkonsumsi lantana kering: 122.43 g/ekor/hari atau setara dengan asupan lantaden sebesar rataan 23.63 g/ek/hari. McSweeney & Pass (1983) menunjukkan bahwa jumlah asupan Lantana camara dengan dosis 4g/kg berat badan yang setara dengan konsumsi Lantana kering sebanyak 4,000 g/ek/hari pada badak berbobot 1 ton (dosis lantanden 772.16 g/ek/hari) akan menyebabkan kerusakan pada hati yang ditunjukkan dengan gejala klinis berupa ruminal stasis seperti yang terjadi pada domba. Asupan yang terjadi pada badak masih lebih kecil dibandingkan dengan dosis ini.

Tabel 10. Estimasi penghitungan asupan antinutrisi lantaden harian melalui konsumsi tumbuhan Lantana camara pada badak jawa (g/ek/h)

Badak no Rataan konsumsi

Lantana harian(g/ek/h) Konsumsi Lantaden harian(g/ek/h) 12 28.00 5.41 13 286.27 55.26 18 53.02 10.23

Tabel 10 menunjukkan bahwa badak jawa juga nampaknya menghadapi risiko dari konsumsi toksin lantaden di daerah-daerah tertentu di mana tumbuhan pakan badak banyak didominasi oleh jenis Lantana camara. Badak nomor 13 menunjukkan jumlah asupan tumbuhan Lantana sp dan juga toksin lantaden yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua ekor badak lainnya dalam penelitian ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa individu badak nomor 13 tersebut memiliki ruang jelajah dengan dominasi tumbuhan Lantana sp yang tumbuh di areal pakan yang dikunjunginya. McFadyen (1998) menunjukkan bahwa pengendalian tumbuhan Lantana sp dapat dilakukan secara mekanis dan biologis, dan dapat menjadi bagian dari pengelolaan habitat badak berbasis nutrisi dan kesehatan.

Ketersediaan Garam dan Air di Lokasi Kubangan

Analisis kandungan NaCl dalam tanah disajikan dalam box plot pada Gambar 13. Diagram ini menunjukkan bahwa lokasi 1 dan 2 (blok Cikeusik dan Cigenter) tempat individu 12 dan 18 masing-masing berada memiliki kadar NaCl yang tinggi dan kemungkinan besar menarik bagi badak sebagaimana dijelaskan oleh Rahmat et al. (2007). Nilai tengah kandungan NaCl berada dalam kisaran 5-60 ppm dengan beberapa pengecualian lokasi di muara cigenter (lokasi 2) yang memiliki outlier kandungan NaCl yang sangat tinggi. Tingginya kadar garam ini dapat disebabkan oleh lokasi daerah tersebut yang berada di daerah pasang surut yang terkadang terendam oleh air laut saat pasang. Air laut yang menggenangi lokasi ini menyebabkan kadar garam di daerah ini menjadi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi ataupun daerah lainnya. Ketersediaan garam seperti ini akan membantu proses absorpsi nutrien (termasuk glukosa) dari saluran cerna ke dalam darah. Efisiensi absorpsi seperti ini akan membantu proses penyediaan energi dalam kondisi cekaman ataupun meningkatkan kemampuan badak dalam mempertahankan homeostasis.

Gambar 13.Rentang kandungan NaCl dalam tanah di empat lokasi kubangan yang berada dalam lingkup ruang jelajah tiga ekor badak jawa yang diamati dalam penelitian.

Simpulan dan Saran

Simpulan

1. Metode penyusuran lintasan (trajektori) merupakan suatu cara yang memiliki peluang keberhasilan tinggi dan berpotensi untuk diterapkan sebagai prosedur pemantauan kualitas nutrisi yang dapat diterapkan untuk pemantauan kecukupan nutrisi badak di habitat alaminya.

2. Hasil analisis komposisi pakan di lapangan menunjukkan bahwa pakan yang memiliki palatabilitas tinggi terdiri dari: Leea sambucina (Sulangkar), Dracontomelon puberulum (Dahu), Amomum megalocheilos (Tepus), Spondias pinnata (Tepus), Zanthoxylum rhetsa (Kitanah), Diospyros macrophylla (Kicalung), dan Ficus hispida (Bisoro).

3. Badak 12 menghuni daerah dengan keragaman pakan yang cukup tinggi dengan kualitas pakan yang relatif tinggi protein dan energi. Hal ini menunjukkan struktur vegetasi yang memadai di ruang jelajah badak 12, sehingga hewan ini tidak memerlukan ruang jelajah yang besar.

4. Jenis pakan ideal yang kaya nutrisi (protein dan lemak) serta energi bagi badak jawa terdiri dari tumbuhan: Moringa citrifolia, Callicarpa longifolia, Chisocheton microcarphus, (protein tinggi); Alstonia angustiloba, Callicarpa longifolia, Macaranga spp, (lemak tinggi); Derris thyorsifolia, Pterospermum javanicum, Percampyulus glances, (energi tinggi); Paederia scandens, Alstonia scholaris, Costus speciosus (kandungan air tinggi).

5. Ada indikasi kualitas air, nutrien, dan energi yang kurang memadai pada waktu-waktu tertentu (periode kering Oktober-November 2009 dan Februari- Maret 2010), terutama kandungan protein dan lemak yang rendah pada tumbuhan dengan palatabilitas tinggi. Defisit nutrien lemak akan mempengaruhi proses sintesa hormon steroid yang berfungsi dalam siklus reproduksi. Secara keseluruhan konsumsi nutrien badak jawa masih memenuhi kebutuhan untuk bertahan hidup dengan tingkat kecernaan yang tinggi.

6. Perbandingan hasil berdasarkan metode AIA dan koleksi total ini menunjukkan bahwa metode AIA sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan metode koleksi total dan dapat digunakan dalam menghitung kecernaan pada satwa liar dimana metode koleksi total tidak dapat dilakukan.

7. Asupan toksin lantaden melalui konsumsi Lantana camara yang terjadi pada badak jawa tidak akan menimbulkan dampak pada kesehatan karena jumlahnya yang sangat kecil (23.63 mg/ek/hari) atau 2.36 x 10-7% dari berat badan badak.

8. Kebiasaan menjilat lumpur (salt licking) merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan garam, karena ada kandungan garam yang memadai pada lumpur dan tanah di sekitar kubangan.

Saran

1. Perlu pengkajian potensi persemaiantumbuhan pakan bernutrisi tinggi untuk dikembangkan sebagai bagian dari upaya pengkayaan habitat badak jawa. 2. Dengan berpedoman pada hasil analisis vegetasi yang dilakukan oleh Rahmat

et al. (2007), optimalisasi habitat badak di Taman Nasional Ujung Kulon perlu dilakukan dengan memperluas sebaran dan memperbanyak ketersediaan tumbuhan (sebutkan 5 terbaik) dengan formulasi kerapatan: 5,406 individu/ha (jenis tumbuhan bawah) ; 2,222 individu/ha untuk jenis semai ; 268 individu/ha untuk jenis pancang ; 32 individu/ha untuk jenis tiang ; dan 15 individu per hektar untuk jenis pohon.

Daftar Pustaka

Birkett A, Stevens-Wood B,. 2005. Effect of low rainfall and browsing by large herbivores on an enclosed savannah habitat in Kenya. African journal of ecology 43: 123-130

Clauss M, et al. 2005. Studies on digestive physiology and feed digestibilities in captive Indian rhinoceros (Rhinoceros unicornis). Journal of Animal Physiology and Animal Nutrition 89 (2005) 229–237

Dinerstein E, 2003. The return of the unicorns. The natural history and conservation of the greater one-horned rhinoceros. Columbia Universtiy Press, New york Fernando P, Polet G, Foead N. Ng L. Melnick DJM. 2004. Mitochondrial DNA

analysis of the critically endangered Javan Rhinoceros. PHKA-WWF-Columbia University

Hariyadi ARS, et al. 2011. Estimating the population structure of the Javan rhino (Rhinoceros sondaicus) in Ujung Kulon National Park using the mark-recapture method based on camera and video trap identification. Pachyderm no 49: 90-99 Koolman J, Rohm KH, Wanandi SI[ed], Sadikin M [ed]. 2001. Atlas berwarna dan

teks Biokimia. Cetakan I. Penerbit Hipokrates, Jakarta

Mainka SA, Zhao GL, Li M, 1989. Utilization of a bamboo, sugar cane, and gruel diet by two juvenile giant pandas (Ailuropoda melanoleuca). Journal of zoo and wildlife medicine 20:39-44

McFadyen REC,. 1998. Biological control of weeds. Annual review of entomology 43:369-393

McSweeney CS, Pass MA,. 1983. The mechanism of ruminal stasis in Lantana- poisoned sheep. Quarterly journal of experimental physiology 68: 301-313 Mundiany L, Agil M, Astuti DA,. 2005. Studi Kasus: Estimasi Gambaran Nutrien

pada Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) Jantan di Suaka Rhino Sumatera Taman Nasional Way Kambas. [Skripsi] Institut Pertanian Bogor Pagan JD, et al. 1998. Exercise affects digestibility and rate of passage of all-forage

and mixed diets in throroughbred horses. American society for nutritional sciences. J. Nutr. 128: 2704S-2707S

Purchase D,. 2007. Using spoor to determine the age and weight of subadult black rhinoceroses (Diceros bicornis L). South African Journal of Wildlife Research 37(1): 96-100

Rahmat UM, Santosa Y, Kartono AP,. 2007. Analisis Tipologi Habitat Preferensial bagi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. Institut Pertanian Bogor

Sharma OP, Singh A, Sharma S,. 2000. Levels of lantadene, bioactive pentacyclic triterpenoids, in young and mature leaves of Lantana camara var acuelata. Fitoterapia 71(5):487-491

Sims JA, et al. 2007. Determination of bamboo-diet digestibility and fecal output by giant pandas. Ursus 18(1): 38-45

Sriyanto A, et al. 1995. A Current status of the Javan Rhino population in Ujung Kulon National Park. Javan Rhino Colloquium

VanKeulen J, Young, BA. 1977. Evaluation of Acid Insoluble Ash as a Natural Marker in Ruminant digestibility Studies. Journal of Animal Science vol 44 no: 2. 282-287

White AM, Swaisgood RR, Czekala N,. 2007. Ranging patterns in white rhinoceros, Ceratotherium simum simum: implications for mating strategies. Animal behaviour (74): 349-356

Abstrak

Salah satu aspek penting dalam pengelolaan populasi badak jawa (Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon Banten adalah upaya untuk mempelajari dan memantau tingkat cekaman yang dihadapi oleh badak jawa di habitatnya. 3α,11β- dihydroxy-CM dari feses merupakan metabolit glukokortikoid yang diduga dapat digunakan untuk analisis tingkat cekaman pada badak jawa. Kajian cekaman dilakukan pada tiga individu (badak 12, 13, dan 18) dengan tingkat asupan pakan dan nutrien yang berbeda dan juga antar musim untuk mempelajari variasi kadar glukokortikoid di musim kering dan musim hujan. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya fluktuasi pada profil 3α,11β-dihydroxy-CM pada individu badak 12 dan 18 selama musim kering, dan individu 18 (individu muda) memiliki fluktuasi 3α,11β-dihydroxy-CM yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa individu nomor 18 tersebut mengalami cekaman yang fluktuatif yang tidak hanya disebabkan oleh faktor kekeringan, namun mungkin pula disebabkan oleh cekaman akibat rendahnya asupan energi asal pakan per berat badan (%), dan juga disebabkan oleh adanya interaksi sosial dengan badak dewasa. Musim kering yang memiliki jumlah kejadian hujan yang rendah yaitu rataan 0.2 kejadian hujan setiap harinya cenderung menyebabkan cekaman yang tinggi pada badak. Penelitian ini menunjukkan bahwa defisit energi asal pakan dan keterbatasan air merupakan sumber cekaman yang besar bagi badak jawa.

Analysis of 3α,11β-dihydroxy-CM profile for indicator of stress on male javan rhinoceros

Abstract

One of the most important aspects in conservation of javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) in Ujung Kulon National Park, Banten was to study and to monitor the levels of stress that the animals faced in their habitat.There was an indication that 3α,11β-dihydroxy-CM from feces was a glucocorticoid metabolite that could potentially be used for analyzing the levels of stress in javan rhino. Assessment was done to study stress variations among the three rhinos (rhino 12,13 and 18) that had different levels of feed intake, as well as to study variations of glococorticoid levels in dry and rainy seasons. The result from this study showed that there was a fluctuation in 3α,11β-dihydroxy-CM levels in rhino number 18 and 12, while rhino number 18 (a young rhino) showed a large fluctuation in 3α,11β-dihydroxy-CM level. This indicated that this young rhinoexperienced fluctuative stress that may be caused not only by energy intake deficit (energy intake per body weight) and water deficit, but also by social interactions involving adult males in the same home range. Dry season where the daily rain occassion is low (0.2 rain occurrences per day) tend to cause higher stress for the rhinos. This research shows that the deficit in energy intake per body weight (%) and water limitation are among the biggest sources of stress for rhino population.

Pendahuluan

Mekanisme dan Respons Individu terhadap Cekaman

Seperti halnya hewan mamalia lainnya, badak jawa menghadapi berbagai macam kondisi yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat mengganggu fungsi fisiologis tubuh. Kondisi yang mengancam keseimbangan fungsi fisiologis ini didefinisikan sebagai sumber cekaman atau stressor (Morgan & Tromborg 2007). Dengan adanya cekaman ini, badak jawamelakukan proses tanggap cekaman melalui mekanisme yang melibatkan berbagai proses pengiriman sinyal melalui sistem saraf, sistem endokrin, dan juga melibatkan proses adaptasi fisiologis. Proses-proses tersebut merupakan mekanisme tanggap cekaman yang dilakukan oleh hewan untuk mempertahankan keseimbangan metabolisme (homeostasis). Salah satu strategi dalam mempertahankan homeostasis ini adalah dengan produksi hormon-hormon seperti adrenalin dan kortisol yang dapat membantu penyediaan energi secara cepat. Uji coba Induksi cekaman pada hewan model kuda dalam salah satu bagian penelitian disertasi ini telah membuktikan bahwa kadar kortisol dalam darah meningkat secara signifikan.Hal ini menandakan adanya peningkatan aktifitas korteks adrenal melalui mekanisme pengaturanporos hipotalamus-pituitari-adrenal. Sekresi hormon-hormon tersebutkemudian beredar di dalam darah dan mendorong proses glukoneogenesis dan lipolisis (Koolman & Röhm 2001) sebagai upaya untuk menyediakan energi secara cepat sebagai upaya mempertahankan keseimbangan fungsi fisiologis tubuh dalam kondisi cekaman.

Cekaman dari lingkungan yang dirasakan oleh badak diterima langsung oleh berbagai reseptor yang terdapat pada permukaan tubuh yang mengirimkan sinyal ke pusat nyeri yang kemudian mengirimkan sinyal cekaman ke hipotalamus (Baron 2006), adapun cekaman fisiologis akibatperubahan komposisi kimia darah (hipoglisemia, toksin) juga mengirimkan sinyal cekaman kepada hipotalamus ini. Demikian pula dengan perubahan pada nutrisi yang dapat dideteksi di dalam saluran pencernaan serta pusat termoregulasi yang mengirimkan sinyal kepada hipotalamus dalam kondisi adanya cekaman (Coenen 2005). Sinyal cekaman yang diterima oleh hipotalamus ini kemudian dilanjutkan dengan reaksi tanggap cekaman yang dikenal dengan aksis HPA (Hipotalamus-Pituitari-Adrenal) yang berujung pada peningkatan aktifitas korteks adrenal dan adanya peningkatan sekresi hormon cekaman seperti adrenalin dan kortisol tergantung dari sifat cekaman tersebut (akut atau kronis).Reaksi tanggap cekaman juga

dapat menyebabkan adanya perubahan perilaku yang dimediasi oleh proses neuro- endokrin yang melibatkan pengiriman sinyal oleh sistem saraf yang kemudian memicu sekresi hormon. Perubahan ini merupakan mekanisme perilaku stress avoidance yang memungkinkan hewan tersebut untuk mendeteksi dan menghindari sumber cekaman (Dickens et al. 2010).

Gambar 14. Reaksi biokimia yang merupakan proses tanggap terhadap cekaman bagi mamalia (sumber: Coenen 2005).

Definisi Cekaman

Dickens et al. (2010) menjelaskan bahwa badak memiliki mekanisme tanggap cekaman yang bertujuan untuk mempertahankan homeostasis atau keseimbangan