• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIPLOMASI ABU BAKAR

Dalam dokumen Dr. Afzal Iqbal- Diplomasi Islam (Halaman 113-134)

* Diplomasi Umar bin Khaththab * Diplomasi Utsman bin Affan * Diplomasi Ali bin Abi Thalib

BAB SATU

DIPLOMASI ABU BAKAR

Abu Bakar Ash-shiddiq

Dia dilahirkan di Mekkah. Anak dari Utsman bin Abu Quhafah dan Salamah, Ummu Al-Khayr, nama aslinya adalah Abdul Ka'bah. Di usia yang sangat muda, yaitu pada usia delapan belas tahun, dia telah melakukan perjalanan bisnis. Dia mengadakan perjalanan ke Syria dan Yaman dengan rombongan yang lain dan berhasil mengokohkan dirinya sebagai pelaku bisnis yang sangat terkenal dan memiliki reputasi dalam bisnis pakaian. Tak lama setelah itu dirinya mencuat menjadi seorang pelaku bisnis yang terkenal di kalangan Quraisy. Abu Bakar memilih bisnis sebagai profesinya, namun dia juga memiliki nilai lebih karena dia berasal dari keturunan Arab terpandang yang memiliki keahlian dalam bidang sajak dan sastra. Dia adalah sosok yang memiliki cakrawala budaya tinggi, di saat bangsa Arab jarang yang memilikinya.

Dia adalah orang pertama yang menyambut dakwah Rasulullah untuk memeluk Islam. Setiap kali Rasulullah menyebut nama Abu Bakar, maka dia akan menyatakan penghormatannya yang tinggi. Rasulullah seringkali mengungkapkan bagaimana Abu Bakar secara spontanitas menerima Islam tanpa ragu-ragu. Rasulullah bersabda,

"Setiap kali saya mengajak seseorang untuk memeluk Islam maka orang itu pasti akan memperlihatkan keragu-raguannya sebelum masuk Islam, kecuali Abu Bakar. Sebab dia menerima dakwahku tanpa terbersit satu keraguan sedikit pun darinya."

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 114 Perubahan yang terjadi pada Abu Bakar demikian sempurna, dan penyerahan

dirinya begitu mutlak. Setelah masuk Islam, nama Abdul Ka'bah, yang berarti hamba Ka'bah, diganti dengan nama Abdullah, hamba Allah, sebagai penampakan sebuah ikatan loyalitas baru. Dia selalu berdiri mendampingi sahabatnya, Rasulullah dalam senang dan susah. Dia kokoh dalam pengabdiannya dan tabah menghadapi semua siksaan dan cobaan yang datang bertubi-tubi dari orang Quraisy, karena dianggap telah mencemarkan peribadatan nenek moyang mereka, berupa penyembahan berhala. Abdullah oleh Rasulullah diberi gelar Abu Bakar, yang berarti Bapak Anak Unta muda, ia juga mendapat gelar `Atiq, yang berarti orang yang paling dermawan, dia menginfakkan semua hartanya untuk kepentingan umat Islam dan mengabdikan semua hidupnya untuk kepentingan Islam. Dia selalu menyelamatkan budak-budak yang masuk Islam dengan cara membayar uang tebusan kepada tuan-tuannya, orang Quraisy yang kafir. Bidal adalah salah seorang budak yang dibebaskan Abu Bakar dari cengkeraman tuannya. Rasulullah selalu mengungkap bahwa tak ada orang yang demikian pemurah melebihi Abu Bakar. Di samping dikenal dengan sebutan `Atiq, orang yang paling dermawan, dia juga dikenal dengan Ash-Shiddiq, orang yang terpercaya. Gelar ini dia peroleh setelah peristiwa Isra' dan Mi'raj, saat semua orang menaruh keraguan terhadap validitas peristiwa tersebut. Hanya Abu Bakarlah yang dengan tegas mendukung dan membenarkan peristiwa tersebut. "Demi Allah," katanya,"saya percaya terhadap semua apa yang diungkapkan Muhammad, yang bergelar Al-Amien jauh sebelum dia menyatakan diri sebagai seorang Rasul."

Selama sepuluh tahun di Mekkah Abu Bakar adalah seorang sahabat yang selalu berada dengan Rasulullah yang setia membagi harap, rasa takut dan inspirasi. Dia memiliki kehormatan tertentu karena dialah yang menemani Rasulullah saat dia berada di Gua Tsur selama tiga hari. Pada saat dia merasakan tekanan yang begitu berat dan rasa takut yang demikian mencekam karena melihat dengan jelas betapa orang-orang Quraisy tepat berada di depan gua. Namun rasa takut itu hilang saat Rasulullah mengatakan, dan diabadikan dalam Al-Quran,

"Janganlah kamu bersedih karena sesungguhnya Allah bersama kita." (QS. At- Taubah 9:40)

Abu Bakar mendapat posisi yang sangat unik, sebagaimana disebutkan Al- Quran bahwasanya dia adalah "orang kedua dari dua orang" saat mereka berada di dalam gua.2) Selama berada dalam gua, Rasulullah mendapatkan semua sarana dari Abu Bakar. Dua unta yang dipergunakan untuk mengadakan perjalanan ke Madinah adalah milik Abu Bakar. Rasulullah dan Abu Bakar menunggangi seekor unta, sedangkan unta yang lain ditunggangi oleh seorang penunjuk jalan, dan ia pun adalah pelayan Abu Bakar. Kain yang dipakai untuk melindungi Rasulullah dari sengatan matahari juga milik Abu Bakar. Abu Bakar membawa seluruh uangnya dan sama sekali tidak meninggalkan se-sen pun untuk keluarganya. Ayahnya yang sudah tua saat itu, yaitu sekitar sembilan puluh tahun tidak sepaham dengannya dan sangat menyesalkan apa yang dia lakukan.

---

1.) S. Muinu Hay. Sirat As-Shiddiq - terjemahan bahasa Urduna oleh Nawab Yar Jung Bahadur, Lahore, halaman 34

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 115 2.) Ibid. At-Taubah: 40

Akhlaknya Saat Berada di Madinah Pada Saat Rasulullah Masih Hidup

Abu Bakar bersama-sama dengan para sahabat terkemuka, membangun sebuah rumah sederhana yang terbuat dari tanah dengan batu bata di dekat mesjid Rasulullah. Dia membangun rumah itu dari uangnya sendiri. Dia tidak pindah dari tempat itu hingga Rasulullah meninggal. Dia hidup di Sunh, sebuah desa di pinggiran kota Madinah. Dia hidup di sebuah kemah kecil, dalam kondisi yang sangat sederhana. Namun demikian, dia selalu meluangkan waktu, energi dan kekayaannya untuk orang-orang yang membutuhkan, orang-orang yang kehilangan, ataupun orang-orang yang sedang menderita kesusahan. Kesederhanaannya, ketidaksukaannya untuk pamer, telah menimbulkan sebuah kesan pada orang banyak bahwa dia adalah sosok manusia yang menghargai integritas dan sangat memuliakan tujuan yang ingin dicapai.

Dia ikut terjun dalam semua peperangan yang diikuti Rasulullah dan selalu berdiri kokoh bersamanya. Dalam sebuah perang, dia menjadi tameng yang melindungi Rasulullah, yakni pada perang Uhud, tatkala terjadi kepanikan dan ketidak-disiplinan yang telah melahirkan krisis. Pada saat Rasulullah berlumuran darah karena dihujani senjata tentara-tentara musuh, Abu Bakar yang mengenalnya segera membawa Rasululullah ke tempat yang aman.1)

Pada saat perang Badar, Abu Bakar berhadapan dengan anaknya sendiri, Abdur Rahman, yang saat itu berperang di pihak kaum musyrikin. Setelah masuk Islam, anaknya mengatakan bahwa pada saat itu ia memiliki kesempatan untuk memukul ayahnya, yang dapat membuat ayahnya tewas, namun tidak ia lakukan. Ketika mendengar hal tersebut Abu Bakar mengatakan, bahwa andaikata dia yang mendapatkan kesempatan itu, maka akan dia tebas kepala anaknya itu. Alangkah kuatnya dorongan keimanan yang ada di dada Abu Bakar sehingga dia tak menganggap jiwa anaknya -yang saat itu masih kafir- sebagai sebuah pengorbanan yang besar.

Pada saat terjadi Perjanjian Hudaibiyah, Abu Bakar adalah salah seorang dari penanda tangan perjanjian tersebut yang ditulis oleh Ali bin Abi Thalib. Dan Umar, adalah orang yang sangat skeptis terhadap isi perjanjian tersebut. Sebab dia menganggap, bahwa perjanjian tersebut merupakan sikap menyerah dan takluk. Namun Abu Bakar memberi nasehat kepada Umar untuk mengikuti apa yang diinginkan Rasulullah. Dalam atmosfer yang penuh dengan ketegangan dan ketidakpastian, depresi dan kepanikan. Keimanan Abu Bakar masih tetap menumbuhkan harapan dan membantu untuk merekatkan ikatan loyalitas, pada saat semua orang dilanda ketegangan yang begitu mengguncang.

Sebelum peristiwa perang Tabuk terjadi (9H), Rasulullah mengumumkan pengumpulan dana untuk biaya perang. Keadaan sangat krisis, banyak tentara yang membutuhkan bantuan demi lancarnya ekspedisi tersebut. Umar ingin mengalahkan Abu Bakar yang terkenal dermawan tersebut dengan menginfakkan separuh hartanya untuk biaya perang tersebut dan dia berpikir bahwa dirinya telah mampu

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 116 mengungguli semua orang. Namun ketika Abu Bakar membawa harta sebagai

sumbangan untuk biaya perang, Rasulullah menanyakan padanya, "Apa yang kamu tinggalkan untuk sanak keluargamu di rumah?." Dengan tegas Abu Bakar menjawab, "Allah dan Rasul-Nya." Jawaban yang demikian singkat dan mengandung makna yang dalam dari seorang sahabat yang menyerahkan semua hartanya termasuk pakaian dan kancing baju yang telah rusak. Maka setelah itu Umar tidak pernah lagi mencoba - coba untuk menandingi Abu Bakar. Iqbal -filosof dan penyair Pakistan, pent- dengan cantik menggambarkan peristiwa ini dalam sebuah sajak yang berjudul Shiddiq. Baris terakhir dari sajak itu menggambarkan bagaimana jawaban spontanitas dan jawaban yang sangat mempesonakan tersebut.

Bagi seekor ngengat, lampu itu sudah cukup, dan bagi burung bulbul sekuntum mawar cukup baginya. Sedangkan untuk Shiddiq, Allah dan Rasul-Nya yang cukup untuk dirinya.2)

Abu Bakar adalah Amirul Hajj pertama dalam sejarah Islam. Dialah yang memimpin delegasi haji ke Mekkah pada tahun 9 Hijrah, ibadah haji yang saat diikuti oleh kaum Muslimin dan non-muslim, untuk terakhir kalinya. Pada tahun berikutnya dia mendapat kesempatan untuk menemani Rasulullah dalam haji terakhirnya. Dan pada saat Rasulullah menderita sakit parah, dialah yang memimpin shalat jamaah sebanyak tujuh belas kali, dan salah satu di antaranya, Rasulullah menjadi makmumnya.

---

1.) Dr. Atta Mohy -ud-Din, Abu Bakar and His Times, halaman 8 2.) Kulliyat-i- Iqbal (Urdu). Lahore, 1973, halaman 223

Wafatnya Rasulullah dan Pemilihan Penggantinya

Rasulullah wafat pada tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 11 H, dan wafatnya telah menimbulkan goncangan keras di kalangan kaum Muslimin. Sebab komando tertinggi, hakim paling tinggi, seorang pemikir, teman sekaligus penunjuk jalan bagi para pengikutnya. Bagi kaum Muslimin saat itu, hidup tanpa Rasulullah merupakan sesuatu yang tak terbayangkan. Sebab saat mereka berada bersamanya, secara tidak sadar mereka telah sangat tergantung kepada petunjuk dan nasehatnya. Dengan demikian tidak mengherankan, jika pada saat wafatnya Nabi kebingungan besar melanda para sahabat, dan chaos demikian menyebar di Madinah. Abu Bakar yang sedang balik ke desanya yang jauh dari kota setelah mendapat izin dari Rasulullah, segera kembali menuju ibu kota. Saat sampai di rumah Aisyah, dia melihat untuk terakhir kalinya jasad pemimpinnya. Abu Bakar mendengar Umar sedang berteriak- teriak di tanah lapang di tengah-tengah orang yang sedang berkumpul. Umar mengatakan, "Orang-orang munafik mengatakan Muhammad telah mati. Saya bersumpah bahwasanya dia tidak mati, dia sedang pergi menemui Allah sebagaimana Musa, lalu kembali setelah empat puluh hari, saat itu orang-orang juga mengatakan Musa telah mati. Hal serupa juga terjadi pada Nabi kita, dia akan kembali dan akan memotong kaki dan tangan orang-orang yang mengatakan bahwa dia telah meninggal."

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 117 Keputusasaan berkembang di kalangan umat, dan spirit menurun dengan

tajam. Umat yang ditinggalkan pemimpinnya saat itu laksana kehilangan sebuah ikatan. Umar, yang tidak menyadari sepenuhnya akan ucapan yang dilontarkannya itu, membutuhkan seseorang yang mampu meyakinkan dirinya bahwa Rasululullah benar-benar meninggal. Dan Abu Bakarlah yang mampu menguak kebenaran yang hakiki. Dengan lantang dia menghentikan ucapan Umar, "Wahai saudara-saudara sekalian, barangsiapa yang menyembah Muhammad maka Muhammad telah mati. Namun barangsiapa yang menyembah Allah maka sesungguhnya Allah itu hidup dan tak pernah mati." Kemudian dia membaca ayat Al-Quran,

"Dan tidaklah Muhammad itu kecuali seorang Rasul, dan telah berlalu rasul-rasul sebelum dia. Apakah jika dia mati atau terbunuh kau berpaling...." (QS. Ali Imraan 3:143)

Pembacaan ayat yang relevan di saat yang tepat sangat mengejutkan orang- orang yang hadir di tempat itu. Umar seakan baru menyadari ucapan-ucapannya, dan dia seakan merasa bahwa ayat itu baru diturunkan pada saat kejadian itu. Kutipan ayat yang dibacakan Abu Bakar telah menempatkan peristiwa tersebut dalam perspektifnya yang benar. Tak ada peluang bagi para pelipur lara yang tidak berbobot, yang dibutuhkan adalah orang yang untuk siap menyatakan kebenaran, yakni bahwa Rasulullah telah meninggal dunia. Kenabian kini telah berakhir. Namun misi Islam telah disampaikan secara lengkap untuk umat manusia. Rasulullah pada saat Haji Wada' dengan jelas menyampaikan risalah yang dibawanya, dan kini merupakan kewajban umat manusia untuk mengamalkan seluruh ajaran Islam itu. Tak ada seorang pun yang berhak menghentikan posisinya sebagai Nabi setelah wafatnya, sebab nubuwah yang dia bawa adalah silsilah terakhir dari silsilah kenabian. Namun fungsi beliau sebagai kepala pemerintahan harus dilanjutkan tanpa ada jeda. Namun siapa yang berhak untuk memikul tugas ini?

Di saat Rasulullah wafat ada empat kelompok penting:

(I). Orang-orang Muhajirin, yakni kaum yang melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah, yang mencari perlindungan di Madinah setelah sepuluh tahun sebelumnya mereka berada di bawah kepemimpinan Rasulullah di tanah Mekkah. Di antara orang - orang yang paling menonjol dari kelompok Muhajirin ini adalah Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah.

(II). Orang-orang Anshar, yakni orang-orang Madinah yang membantu Rasulullah dan kaum Muhajirin Mekkah. Pimpinan mereka adalah Sa'ad bin Ubadah.

(III). Para Pemberi Legitimasi, mereka adalah kelompok yang menyatakan bahwasanya Ali, Zubair dan Abbas adalah wakil-wakil mereka yang sebenarnya. Mereka menyatakan bahwasanya Rasulullah pada saat Haji Wada' telah mewasiatkan di Jabal Arafat, pada tahun 632 H. bahwa Ali adalah teman dan penggantinya.

(IV). Kelompok Muawwiyin. Mereka adalah orang-orang memiliki kekuatan besar di zaman pra Islam. Dan hingga Islam datang, mereka masih merupakan kelompok elit.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 118 Insiden di Tsaqiifah Bani Saidah dan Penyelesaian Yang Tepat dari Abu Bakar

Pada saat penduduk Madinah tenggelam dalam kesusahan yang dalam akibat meninggalnya Rasulullah, pimpinan-pimpinan kaum Anshar mengadakan pertemuan mendadak untuk mengadakan pemilihan pengganti Rasulullah secara temporal. Mereka yang berkumpul saat itu, aklamasi memilih Saad bin Ubadah, yang terbaring karena sakit demam di pojok ruang pertemuan. Mereka menunjukkan rasa simpati pada pimpinan Bani Khazraj tersebut. Kata-kata bersayap segera mereka ucapkan untuk menunjukkan kedudukan kaum Anshar yang membantu Rasulullah dengan tanpa pamrih, satu peristiwa yang memiliki kedudukan yang sangat besar dalam sejarah. Kedatangan Abu Bakar di tempat pertemuan Bani Sa'idah telah mengubah semuanya. Bahkan andaikata Abu Bakar tidak datang di tempat itu pada saat yang tepat, jarum sejarah umat Islam akan lain adanya. Muir saat menggambarkan peristiwa itu, menyatakan:

"Perkumpulan di mesjid itu seketika senyap, ketika seorang utusan dengan lari terengah-engah mengabarkan, bahwa orang-orang Madinah (Anshar), telah berkumpul sesama mereka sendiri untuk memilih pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Keadaannya sangat kritis. Kesatuan iman sedang dipertaruhkan dan kekuatan-kekuatan yang beragam sepertinya akan tercabik-cabik atau mungkin akan hancur total. Kekuasaan yang selama ini berada di tangan Rasulullah kini harus jatuh kepada seorang pengganti, seorang, ya seorang saja. Kekhalifahan dalam Islam menghajatkan satu khilafah dan bukan khilafah yang terpecah-pecah, sedangkan orang Arab waktu itu tak akan mengakui seorang pimpinan kecuali dari suku Quraisy. Mayat rasul seharusnya segera dikuburkan, namun mendengar perkara yang sangat membahayakan kondisi umat itu, dua sahabat utama Rasulullah (Abu Bakar dan Umar) yang disertai dengan Abu Ubaidah segera berangkat menuju tempat berkumpulnya orang-orang Anshar tersebut. Kedatangan mereka yang segera akan mampu menghentikan krisis dari permulaannya. Di tengah perjalanan ada dua orang penduduk yang secara pribadi memperingatkan akan bahaya yang akan menimpa mereka jika mereka masuk sendiri-sendiri, maka mereka mempercepat langkah mereka. Orang-orang Madinah, saat itu, sedang berkumpul di sebuah ruang pertemuan dan membicarakan masalah suksesi. Mereka mengatakan, "Kita telah memberikan kepada orang-orang asing itu tempat tinggal, dan dengan mata pedang kami, mereka mampu menanamkan keimanan. Saat tiga sahabat itu masuk ruangan, mereka (orang-orang Anshar) telah menentukan pilihannya secara pasti, yaitu memilih Sa'ad bin Ubadah, pimpinan Bani Khazraj, yang saat itu menderita sakit demam dan terbaring di pojokan ruang pertemuan. Saat ketiga sahabat itu masuk, mereka baru saja selesai menyatakan pilihannya terhadap Sa'ad bin Ubadah dan menyatakan sumpah setianya, dan tampaknya orang-orang Madinah tidak bisa lagi diajak kompromi.1)

Dengan pembicaraan yang sangat pendek, namun mengandung makna yang sangat kuat, Abu Bakar memperingatkan kaum Anshar untuk mengenali secara jernih realitas sosial dan keterbatasan situasi. Abu Bakar dengan gembira menghargai pengabdian mereka untuk dakwah Islam, pengabdian mereka terhadap tugas- tugasnya, dan dedikasi mereka yang tak terhingga terhadap pimpinan yang telah

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 119 meninggal (Rasulullah), namun dia juga sekaligus menyatakan dengan terus terang

bahwasanya orang-orang Arab tidak akan patuh kepada pimpinan selain orang-orang Quraisy, pelayan Ka'bah sejak zaman dahulu. Kepercayaan yang diberikan kepadanya untuk menjadi juru bicara kaum Muslimin tidaklah meleset. Integritasnya diakui dan tak ada yang mencelanya. Ketulusan hati dan kejujuran yang memancar dari diri Abu Bakar serta kefasihannya dan argumen-argumennya telah merubah pandangan orang-orang Madinah yang hadir saat itu.

Abu Bakar mengakhir ucapannya sebagai berikut, "Wahai saudara-saudaraku kaum Anshar, Tak seorang pun yang mengingkari ketinggian derajat kalian semua dalam bidang agama dan keagungan pengorbanan kalian dalam Islam. Kalianlah yang Allah pilih sebagai pembantu agama dan Rasul-Nya, kepada kalianlah Allah mengutus Rasul-Nya saat dia hijrah, dan dari kalianlah mayoritas sahabat-sahabat Rasulullah dan isteri-isterinya. Jadi, posisi kalian berada setelah sahabat-sahabat yang masuk Islam paling awal. Maka akan sangat adil dan tepat jika kami duduk sebagai Amir dan kalian sebagail Wazir. Kalian tidak terhambat dengan apa yang kalian rencanakan dan kami tidak akan melakukan apa-apa kecuali setelah berkonsultasi dengan kalian.

Abu Bakar mengakhiri ucapannya dengan harapan bahwa kaum Anshar akan memilih satu di antara dua orang yang hadir waktu itu, yaitu Umar bin Khaththab atau Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai khalifah. Dua orang pimpinan kaum Anshar, Zaid bin Tsabit dan Basyir bin Sa'ad, segera tampil menyambut baik ucapan Abu Bakar dan menyatakan kepada yang hadir untuk segera mengakhiri segala perselisihan. Dua calon yang dinominasikan oleh Abu Bakar tidak menerima. Sebaliknya mereka setuju menjadikan Abu Bakar sebagai khalifah. Mereka menyatakan, "Wahai Abu Bakar, engkau adalah orang yang paling baik di antara orang-orang Muhajirin, dan engkau adalah satu-satunya orang yang menemani Nabi pada saat dia berada di dalam gua Tsur, dan engkau jugalah yang pernah memimpin shalat saat Rasulullah masih hidup, lalu masih adakah orang lain yang lebih cocok untuk menggantikannya setelah kematiannya selain engkau sendiri?" 2)

Dua sahabat, Umar dan Abu Ubaidah, segera meminta Abu Bakar untuk memberikan tangannya agar keduanya bisa menyatakan sumpah setia (baiat) kepadanya. Namun sebelum keduanya sempat menyatakan sumpah setia, Basyir bin Sa'ad telah mendahului mereka menyatakan sumpah setianya terlebih dahulu. Kemudian diikuti oleh Umar dan Abu Ubaidah baru disusul oleh seluruh massa yang hadir di dalam ruang pertemuan tersebut.

Krisis pertama yang menimpa umat Islam telah mampu diselesaikan dengan sukses lewat negosiasi. Terpilihnya Abu Bakar telah menenteramkan suasana dan menghentikan semua kontroversi yang demikian mengancam keutuhan umat setelah meninggalnya Rasulullah. Terpilihnya Abu Bakar telah memberikan inspirasi kepercayaan kepada semua kelompok yang ada, berkat integritas dan kearifannya. Suku demi suku setelah itu, datang ke Mesjid Rasulullah untuk menyatakan sumpah setia kepada Abu Bakar. 3)

---

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 120 2.) Tabari, III, halaman 208 (sebagaimana dikutip oleh S. Moinul Haq, pada halaman bukunya 46-47

3.) Tabari, III, halaman 45

Kata Sambutan Sebagai Khalifah Pertama

Pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah pertama menggambarkan sebuah proses pemilihan yang berdasarkan pilihan rakyat. Padahal saat itu penobatan raja- raja berdasarkan keturunan merupakan hal yang sangat lumrah di seantero bumi. Abu Bakar dengan demikian telah meletakkan sebuah dasar hukum yang dilandaskan di atas tanggung jawab kepada Allah dan manusia. Terpilihnya Abu Bakar di Tsaqiifah Bani Sa'idah kembali dikukuhkan di Mesjid Nabawi, tempat semua urusan kenegaraan dilakukan. Abu Bakar yang saat itu meminta partisipasi dan bantuan masyarakat dalam melakukan tugasnya menyatakan, "Wahai saudara-saudara, Saya bersumpah demi Allah bahwasanya saya tidak pernah mendambakan kekuasaan, baik siang maupun malam, saya juga tidak pernah cenderung kepadanya. Saya tidak pernah berdoa kepada Allah, baik secara terang-terangan maupun rahasia agar Dia menganugerahkan kekuasaan itu pada saya. Namun kini sebuah tugas besar telah saya pikul di pundakku dan berada di atas kemampuanku untuk bisa memenuhinya, kecuali dengan adanya pertolongan Allah. Saya ingin melihat orang yang paling kuat

Dalam dokumen Dr. Afzal Iqbal- Diplomasi Islam (Halaman 113-134)

Dokumen terkait