• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISAGREGASI INFLASI2.3

Dalam dokumen Kajian Ekonomi Regional Jawa Tengah (Halaman 47-51)

Inflasi volatile foods menurun signifikan di triwulan laporan. Dibandingkan triwulan sebelumnya, inflasi

kelompok ini menurun dari 13,76% (yoy) menjadi 7,38% (yoy). Sementara inflasi di kelompok ini pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 13,07% (yoy). Adapun inflasi triwulanan kelompok ini sebesar 2,51% (qtq), dimana terjadi peningkatan dibanding triwulan sebelumnya.

Tercukupinya pasokan menopang rendahnya inflasi di kelompok ini. Pasokan bahan pangan terutama

produk hortikultura dan beras yang memadai menjadi pendorong turunnya inflasi. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pasokan beras cukup memadai di triwulan laporan. Namun beras sempat mengalami inflasi dikarenakan pengaruh banjir yang mengganggu kelancaran distribusi. Kecukupan beras di triwulan laporan terlihat dari stok beras yang dikelola Bulog Jawa Tengah yang mencukupi. Sementara itu hambatan impor yang sempat menjadi kendala kecukupan pasokan hortikultura di tahun sebelumnya, relatif tidak terjadi di tahun ini. Sehingga kestabilan pasokan dapat lebih terjamin dan dapat meminimalkan inflasi di kelompok volatile foods.

Beberapa subkelompok pada kelompok volatile foods masih mengalami inflasi. Selain subkelompok

padi-padian, tercatat dua subkelompok lainnya yang mengalami inflasi di triwulan laporan yaitu subkelompok ikan segar serta subkelompok telur, susu dan hasilnya. Inflasi di subkelompok ikan segar meningkat dari 12,78% (yoy) di triwulan IV 2013 menjadi 17,12% (yoy) di triwulan laporan, begitu juga bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Kenaikan inflasi ini disebabkan cuaca yang kurang baik di bulan Februari 2014 sehingga nelayan tidak dapat melaut. Musim hujan yang berintensitas tinggi juga mendorong kenaikan harga telur karena produksi umumnya berkurang saat musim tersebut. Inflasi di subkelompok telur, susu dan hasilnya sebesar 7,22% (yoy), meningkat baik dibandingkan triwulan sebelumnya maupun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

DISAGREGASI INFLASI

2.3

Bab 2. Perkembangan inflasi jawa tengah

24

Stabilisasi pasokan menjadi kunci pengendalian inflasi. Pasokan pangan yang mencukupi di triwulan laporan

merupakan poin penting rendahnya inflasi daerah. Kondisi ini dapat menjadi pembelajaran penting (lesson learned) bahwa ketersediaan pasokan antar waktu (kontinuitas) menjadi kunci menjaga stabilitas inflasi khususnya di kelompok ini. Pemantauan musim panen dan tanam sangat penting dilakukan. Di saat musim panen, pemerintah perlu menahan impor barang dan melakukan upaya penyimpanan stok dengan melengkapi peralatan yang dibutuhkan seperti cold storage. Di sisi lain, saat petani memasuki musim tanam, pencukupan kebutuhan masyarakat melalui impor barang menjadi jawaban. Melalui pemantauan ini maka inflasi diharapkan dapat lebih terjaga.

Penguatan manajemen bencana perlu terus dilakukan. Triwulan I 2014 diwarnai dengan terjadinya berbagai

bencana alam yang memengaruhi inflasi daerah. Bencana tersebut adalah banjir yang terjadi di bulan Februari serta letusan Gunung Kelud pada bulan Maret. Dampak dari banjir cukup memengaruhi pencapaian inflasi di Kota Kudus. Kudus sebagai kota yang baru ditetapkan sebagai sampel perhitungan inflasi triwulan I 2014 mengalami inflasi yang cukup tinggi yaitu sebesar 10,50% (yoy) dan menjadi kota dengan inflasi tertinggi di Provinsi Jawa Tengah. Tingginya inflasi di daerah tersebut tidak terlepas dari tidak lancarnya distribusi pasokan terutama beras dan BBM ke daerah tersebut. Sehingga inflasi komoditas tersebut meningkat cukup tinggi. Ke depan diperlukan adanya cadangan pangan di beberapa daerah untuk mengantisipasi bila terjadi gangguan akibat bencana di suatu daerah. Harapannya, cadangan pangan yang mencukupi dapat memitigasi inflasi bila terjadi bencana.

2.3.2. Kelompok Administered Prices

Tekanan inflasi dari faktor non-fundamental lainnya, yaitu inflasi kelompok administered prices, tercatat meningkat cukup tinggi. Pada triwulan I 2014, inflasi kelompok administered prices meningkat menjadi sebesar

14,99% (yoy) dari triwulan sebelumnya yang sebesar 12,57% (yoy). Sumbangan inflasi kelompok ini juga tercatat cukup tinggi di triwulan ini, namun inflasi triwulanan relatif stabil.

Inflasi pada kelompok administered prices didorong oleh kenaikan elpiji 12 kg. Kenaikan harga elpiji 12 kg sebesar Rp1.000/kg yang diputuskan Pertamina pada awal Januari 2014 mendorong kenaikan inflasi kelompok ini. Sumbangan inflasi atas kenaikan harga ini diperkirakan sebesar 0,12%. Kondisi ini terlihat dari sumbangan inflasi pada bulan Januari 2014 dimana komoditas bahan bakar rumah memberi sumbangan sebesar 0,12%. Selain itu, adanya penetapan pajak atas cukai rokok oleh pemerintah daerah serta surcharge tarif pesawat udara turut memberi tekanan pada inflasi daerah.

2.3.3. Kelompok Inti

Inflasi dari kelompok inti yang menggambarkan tekanan inflasi yang bersifat fundamental meningkat meski masih terkendali. Pada triwulan I 2014, inflasi kelompok inti sedikit meningkat dari 4,51% (yoy) di triwulan

sebelumnya menjadi 4,83% (yoy) di triwulan laporan. Inflasi di triwulan tersebut juga meningkat dibandingkan triwulan I 2013 yang sebesar 4,03% (yoy). Meski demikian, inflasi inti masih cukup terkendali dan berada di bawah 5% (yoy). Hal ini menggambarkan bahwa permintaan secara agregat mulai meningkat namun terindikasi masih dapat direspons dengan baik oleh para pelaku usaha. Ekspektasi inflasi relatif masih dapat terjaga dan mampu meredam lonjakan inflasi inti. Hasil survei menunjukkan indeks ekspektasi harga yang relatif stabil baik dari sisi konsumen maupun dunia usaha (Grafik 2.9).

Sementara itu, dampak depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat diperkirakan terbatas.

Sumbangan inflasi inti terhadap inflasi triwulanan meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya.

Sumbangan atau andil kelompok core (inti) pada inflasi triwulanan per triwulan I 2014 sebesar 3,05% (yoy), meningkat dari 2,85% (yoy) di triwulan sebelumnya. Sumbangan inflasi kelompok core terhadap inflasi umum pada triwulan laporan tertinggi dibandingkan sumbangan inflasi dari kelompok administered prices maupun volatile foods yang masing–masing tercatat sebesar 2,70% (yoy) dan 1,38% (yoy). Adapun dilihat dari inflasi triwulanan, inflasi inti juga memberikan andil yang cukup besar yaitu sebesar 0,80% (qtq) diikuti kelompok volatile foods dan administered prices.

Faktor Eksternal : Nilai Tukar dan Imported Inflation

Tekanan inflasi dari faktor eksternal mulai mempengaruhi inflasi di triwulan laporan meski dampaknya tidak signifikan. Tekanan imported inflation diperkirakan masih minimal sejalan dengan masih stabilnya

perkembangan harga komoditas internasional. Namun demikian, kenaikan harga CPO mempengaruhi harga komoditas minyak goreng. Sementara itu, harga mobil mengalami kenaikan di triwulan ini sejalan dengan depresiasi Rupiah di tahun sebelumnya. Secara rata-rata, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS melemah 1,08%, sementara secara point-to-point melemah 4,83%. Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS (kurs tengah Bank Indonesia) pada akhir bulan Maret 2014 relatif stabil. Nilai tukar Rupiah pada akhir triwulan I 2014 sebesar Rp11.671,00, sementara triwulan sebelumnya berada di kisaran Rp11.461,00. Depresiasi nilai tukar Rupiah akan direspons dengan kenaikan inflasi pada kelompok inti, melalui jalur impor barang/bahan baku/bahan penolong.

Disagregasi Inflasi Tahunan

Grafik 2.5 Grafik 2.6 Disagregasi Inflasi Bulanan

0,16 0,14 0,12 0,10 0,08 0,06 0,04 0,02 0 I II III 2011 2012 2013 IV I II III IV I II III IV

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, diolah

PERSEN YOY

Core VF Adm Price

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, diolah

Core VF Adm Price

2014 I 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0 -2.0 -4.0 (0,02) (0,04) 12 1 2 3 4 5 6 2012 2013 7 8 9 10 11 12 PERSEN MTM 1 2 3 Sumber : Bloomberg

Perkembangan Harga Komoditas Internasional dan Emas Grafik 2.7 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 2011 2012 7 8 9 1800 1700 1600 1500 1400 1300 1200 10 11 12 1 2 3 4 5 6 2013 7 8 9 10 11 12 US$/MT TON

Beras ($/mt) CPO ($/Metric Ton) Emas ($/oz) - RHS

1 2 3 2014

Bab 2. Perkembangan inflasi jawa tengah

26

Output Gap

Tekanan inflasi dari sisi permintaan diperkirakan tidak terlalu besar. Tekanan permintaan di triwulan laporan

secara umum masih dapat direspon dari sisi penawaran.

Sementara dari sisi penawaran, permintaan tersebut diindikasikan masih dapat dipenuhi sejalan dengan cukup lancarnya distribusi barang. Kondisi ini terlihat dari relatif stabilnya data arus barang yang tercatat di Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, utilitas kapasitas masih belum optimal sehingga masih mampu untuk merespons kenaikan permintaan musiman tersebut. Dengan perkembangan tersebut, tekanan dari output gap dapat dinyatakan relatif minimal.

Ekspektasi Inflasi

Ekspektasi inflasi cenderung stabil di triwulan laporan. Kondisi pasokan yang cepat pulih paska bencana banjir

dan kenaikan harga elpiji mendorong stabilnya ekspektasi masyarakat hingga akhir triwulan. Membaiknya pasokan dan distribusi bahan pokok yang relatif stabil mendorong pembentukan ekspektasi di triwulan laporan. Kondisi tersebut tercermin dari hasil survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia.

Ekspektasi kenaikan harga konsumen relatif stabil. Konsumen berpendapat bahwa harga secara umum dalam

3 dan 6 bulan mendatang relatif stabil. Kondisi tersebut terkonfirmasi dari hasil Survei Konsumen di Provinsi Jawa Tengah. Rata-rata indeks ekpektasi harga 3 bulan yang akan datang di triwulan laporan sebesar 180,8. Sementara nilai rata-rata indeks ekspektasi harga 6 bulan yang akan datang sebesar 185,4. Adapun secara spasial, indeks di Kota Tegal dan Purwokerto terlihat mengalami tren meningkat (grafik 2.8).

Sementara itu dari sisi pedagang, terlihat bahwa ekspektasi inflasi menurun di triwulan laporan.

Kalangan pedagang retail memperkirakan harga akan mengalami penurunan paska bulan Desember. Relatif kurangnya tekanan dari faktor musiman diperkirakan sebagai pendorong adanya penurunan harga (Grafik 2.9).

Sumber : Survei Konsumen, Bank Indonesia

Indeks Ekspektasi Konsumen terhadap Kenaikan Harga Grafik 2.8

SEMARANG PURWOKERTO SOLO TEGAL

Sumber : Survei Pedagang Eceran, Bank Indonesia

Indeks Ekspektasi Pedagang Eceran Grafik 2.9

Ekspektasi Harga 6 bulan yad Ekspektasi Harga 3 bulan yad

185,00 175,00 165,00 155,00 145,00 200,0 190,0 180,0 170,0 160,0 150,0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 121 2012 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 2013 INDEKS 1 2 3 2014 10 11 12 1 2 3 4 5 6 2013 7 8 9 INDEKS 1 2 3 2014

Tren penurunan inflasi terjadi di sebagian besar kota yang disurvei oleh BPS di Jawa Tengah. Penurunan

terbesar terjadi di Kota Semarang, yaitu dari 8,19% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 6,43% (yoy) pada triwulan I 2014. Dari seluruh kota yang disurvei BPS, hanya Tegal yang mengalami kenaikan inflasi yaitu dari 5,80% (yoy) menjadi 6,07% (yoy). Mulai tahun 2013, BPS menambah jumlah kota yang disurvei dari 4 menjadi 6 kota dengan menambah kota Cilacap dan Kudus. Inflasi di kedua kota tersebut pada triwulan I 2014 masing-masing sebesar 9,69% (yoy) dan 10,50% (yoy)(Grafik 2.10).

Berdasarkan kelompok barang dan jasa, kelompok transportasi mengalami inflasi tertinggi di seluruh kota perhitungan inflasi di Jawa Tengah. Inflasi kelompok ini yang tertinggi terjadi di Cilacap dan Kudus

masing-masing sebesar 15,38% (yoy) dan 14,35% (yoy). Inflasi di kedua kota tersebut berada di atas inflasi kelompok transpor Jawa Tengah yang sebesar 13,04% (yoy). Inflasi di kedua kota tersebut tercatat mengalami inflasi yang lebih tinggi dari inflasi Jawa Tengah di hampir seluruh kelompok (Grafik 2.11).

Dengan perkembangan tersebut, inflasi tahunan tertinggi terjadi di Kota Kudus. Inflasi di Kota Kudus

mencapai 10,50% (yoy) disusul oleh inflasi Kota Cilacap sebesar 9,69% (yoy). Adapun kota lainnya yang mengalami inflasi di atas Jawa Tengah adalah Purwokerto dengan inflasi sebesar 7,30% (yoy).

INFLASI KOTA-KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH

Dalam dokumen Kajian Ekonomi Regional Jawa Tengah (Halaman 47-51)

Dokumen terkait