• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.3 Ekstraksi DNA Bakteri ... 8 3.4 Analisa DNA Vibrio dengan Elektroforesis ... 9 3.5 Uji Kemurnian dan Penghitungan Konsentrasi DNA ... 9 3.6 Desain Primer Awal Gen Hemolisin V. harveyi ... 10 3.7 PCR Menggunakan Primer Awal Gen Hemolisin V. harveyi ... 10 3.8 Elusi Sekuen Gen Hemolisin V. harveyi dan Pengurutan Sekuen

Gen Hemolisin ... 11 3.9 Disain Primer Nested PCR ... 11 3.10 Nested PCR ... 11 3.11 Uji Sensitivitas Primer Nested PCR ... 12 3.12 Uji Spesifisitas Primer Nested PCR ... 12 3.13 Surveillance Test ... 12 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14

4.1 PCR Menggunakan Primer Awal Gen Hemolisin V. harveyi MR5339 dan Pengurutan Sekuen Gen Hemolisin ... 14 4.2 Disain Primer Nested PCR ... 16

4.3 Uji Sensitivitas Primer Nested PCR ... 16 4.4 Uji Spesifisitas Primer Nested PCR ... 19 4.5 Surveillance Test ... 22 5 SIMPULAN DAN SARAN 25 5.1 Simpulan ... 25 5.2 Saran ... 25 DAFTAR PUSTAKA 26 LAMPIRAN 29 RIWAYAT HIDUP 34

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Hasil uji aktivitas hemolisin isolat V. harveyi, V. parahaemolyticus,

Salmonella sp., Edwardsiella tarda, Aeromonas hydrophila, dan

Streptococcus iniae pada medium agar darah ... 4 2 Visualisasi hasil PCR dengan primer awal ... 15 3 Uji sensitivitas primer nested PCR menggunakan DNA V. harveyi

MR5339 ... 17 4 Uji sensitivitas primer nested PCR menggunakan DNA V. harveyi 275 ... 18 5 Hasil uji spesifisitas pada kepadatan bakteri 105 cfu/ml s.d 100 cfu/ml ... 19 6 Hasil uji spesifisitas pada ekstrak DNA konsentrasi 102 ng/µ l s.d 101 fg/µ l ... 21 7 Visualisasi hasil PCR dengan nested PCR bagi surveillance test ... 22 8 Visualisasi hasil PCR dengan nested PCR bagi surveillance test

sampel ke-7 ... 23

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Komposisi pereaksi PCR ... 10 2 Program awal pada alat thermocycler ... 10 3 Hasil penghitungan uji kemurnian dan konsentrasi DNA isolat bakteri ... 14

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Similaritas sekuen gen hemolisin V harveyi MR5339 ... 29 2 Similaritas sekuen gen hemolisin V harveyi 275 ... 31 3 Daerah amplifikasi primer nested PCR hasil disain ... 33

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Litopenaeus vannamei atau udang putih merupakan salah satu komoditas unggulan dalam budidaya perikanan di Indonesia dimana produksinya pada tahun 2014 ditargetkan sebesar 511 ribu ton (KKP 2010). Spesies ini memiliki beberapa keunggulan dibanding spesies udang lainnya, antara lain produktivitasnya yang tinggi dapat mencapai lebih dari 13.600 kg/ha, masa panennya lebih cepat, serta lebih resisten terhadap penyakit (Boyd dan Clay 2002). Meskipun lebih resisten, penyakit bakterial Vibrio berpendar masih menjadi kendala dalam usaha pembenihan udang putih di Indonesia (Felix et al. 2011). Spesies bakteri Vibrio yang sering menyebabkan kematian massal terutama pada larva udang di Indonesia adalah Vibrio harveyi (Teo et al. 2000). Serangan bakteri Vibrio yang mengakibatkan kematian udang dalam waktu yang cepat dan dalam jumlah yang besar. Bakteri ini merupakan jenis patogen yang menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada saat kondisi udang lemah dan faktor lingkungan yang ekstrim (Austin dan Zhang 2006).

Lightner (1996) menyatakan bahwa pemeriksaan Vibriosis pada udang saat ini masih dilakukan secara konvensional yaitu dengan melihat gejala klinis pada tubuh udang, mengisolasi bakteri penyebab penyakit, melakukan uji fisiologi dan biokimia, yang kesemuanya membutuhkan waktu hingga beberapa hari. Jika hasil pemeriksaan tersebut sudah positif menunjukkan Vibriosis, inipun sudah terlambat karena biasanya populasi Vibrio sudah dalam kepadatan yang tinggi, lebih dari 109 cfu/ml sehingga lebih sukar dikendalikan.

Aplikasi teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) memungkinkan untuk melakukan deteksi dini suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri, termasuk Vibriosis pada udang. PCR merupakan teknik yang digunakan untuk mengamplifikasi sekuen asam nukleat menggunakan polimerisasi berulang dari sekuen DNA (Kolmodin dan Birch. 2002). Nested PCR merupakan variasi dari reaksi PCR biasa. Pada nested PCR, dilakukan 2 kali reaksi PCR dimana hasil dari PCR pertama menjadi DNA cetakan bagi PCR kedua. Keuntungan dari nested PCR adalah meminimalkan kesalahan amplifikasi gen dengan menggunakan 2 pasang primer yang sekaligus juga dapat meningkatkan sensitivitas PCR (Siebert et al. 1995).

Hemolisin merupakan eksotoksin yang diproduksi oleh bakteri Vibrio berpendar yang menyerang membran sel darah inang dan menyebabkan sel darah pecah (Zhang dan Austin 2005). Pada sebagian besar kasus, bukti epidemiologi dan eksperimental menunjukkan bahwa hemolisin terlibat dalam patogenesis penyakit Vibriosis (Shinoda 1999). Hemolisin disandikan oleh gen hemolisin dimana urutan gennya telah banyak diketahui dan dapat diakses di GeneBank. Kadriah et al. (2013) menjelaskan bahwa gen hemolisin mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang lebih baik dibanding gen toxR dan gen gyrB sebagai penanda molekuler dalam mendeteksi V. harveyi. Primer yang didisain dari penelitian tersebut menunjukkan sensitivitas untuk mendeteksi V. harveyi pada kepadatan 100 cfu/ml dan konsentrasi DNA sebanyak 101 pg.

2

Sambrook dan Russel (2001) menerangkan bahwa teknik PCR memungkinkan untuk mengamplifikasi 1 kopi cetakan DNA. Oleh karena itu, dengan menggunakan teknik nested PCR diharapkan dapat ditemukan primer nested PCR yang lebih spesifik dan sensitif bagi gen penyandi hemolisin V. harveyi sehingga keberadaan bakteri Vibrio berpendar patogenik strain lokal pada budidaya udang putih dapat dideteksi lebih dini.

1.2Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendisain nested primer gen hemolisin untuk mendeteksi bakteri V. harveyi patogenik pada udang penaeid melalui PCR.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Vibriosis pada Udang Putih

Udang putih dengan nama ilmiah Litopennaeus vannamei merupakan salah satu komoditas unggulan dalam budidaya perikanan di Indonesia. Selama periode tahun 2003 s.d 2007 ekspor udang cenderung meningkat, yaitu dari 137.636 ton menjadi 160.797 ton (Poernomo 2008). Produksi udang nasional mengalami kenaikan sebesar 2,6% dari 338.060 ton tahun 2009 menjadi 352.600 ton pada tahun 2010. Pemerintah melalui Kementrian Kelautan dan Perikanan menargetkan produksi udang putih pada tahun 2014 sebesar 511 ribu ton (KKP 2010).

Udang putih memiliki beberapa keunggulan dibanding beberapa spesies udang lainnya, diantaranya masa panennya yang lebih cepat, produktifitasnya yang tinggi yang dapat mencapai lebih dari 13.600 kg/ha, dan lebih resisten terhadap penyakit (Boyd dan Clay 2002). Walaupun udang putih lebih resisten terhadap penyakit, penyakit bakterial Vibrio berpendar masih menjadi kendala dalam usaha pembenihan udang putih di Indonesia (Felix et al. 2011).

Penyakit berpendar pada larva udang merupakan penyakit yang berbahaya karena dapat menyebabkan kematian massal. Bakteri Vibrio berpendar sering dilaporkan sebagai penyebab kematian massal pada berbagai ikan laut dan udang di berbagai belahan dunia (Austin dan Zhang 2006). Bakteri Vibrio berpendar juga dilaporkan sebagai agen penyebab utama penyakit Vibriosis pada udang budidaya di wilayah Asia Tenggara yang menyebabkan kerugian yang besar (Lavilla-Pitogo et al. 1998; Liu et al. 1996). Vibriosis telah menyebabkan mortalitas pada berbagai stadia larva, pasca larva, juvenil, dan dewasa (Lightner 1996). Spesies bakteri Vibrio yang sering menyebabkan kematian massal terutama pada larva udang di Indonesia adalah Vibrio harveyi (Teo et al. 2000).

Pada sebagian besar kasus, bukti epidemiologi dan eksperimental menunjukkan bahwa hemolisin terlibat dalam patogenesis penyakit Vibriosis (Shinoda 1999). Hemolisin merupakan enzim yang bertanggung jawab terhadap kerusakan membran sel darah (hemolisis) dan dilaporkan bahwa gen hemolisin terdapat pada beberapa genus Vibrio termasuk V. harveyi (Zhang dan Austin 2005). Kadriah (2013) menerangkan bahwa selain V. harveyi, bakteri V. parahaemolyticus, Salmonella sp., Edwardsiella tarda, Aeromonas hydrophila, dan Streptococcus iniae diketahui mempunyai aktivitas α hemolisin setelah ditumbuhkan di medium agar darah. Hasil uji aktivitas hemolisin disajikan pada gambar 1.

Lebih lanjut menurut Zhang dan Austin (2005), sekuen gen hemolisin bervariasi pada spesies bakteri yang berbeda sehingga gen ini dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan bakteri Vibrio sampai pada tingkat spesifik spesies, antara lain spesies V. harveyi. Hemolisin merupakan jenis toksin yang terdistribusi paling banyak pada bakteri Vibrio patogen. Berbagai jenis hemolisin yang diproduksi oleh bakteri genus Vibrio mempunyai kemiripan satu sama lain, tetapi tidak identik. Gen hemolisin yang dimiliki V. harveyi termasuk dalam kategori α hemolisin yang melisis sel darah secara tidak sempurna. Hemolisin V. harveyi dinamai Vhh yang termasuk dalam famili thermolable haemolysin/TLH.

4

Gambar 1 Hasil uji aktivitas hemolisin isolat V. harveyi, V. parahaemolyticus, Salmonella sp., Edwardsiella tarda, Aeromonas hydrophila, dan Streptococcus iniae pada medium agar darah. (A) P-275 = V. harveyi, AH: A. hydrophila, SM = Salmonella sp., Si = S. iniae. (B) P-275 = V. harveyi, Si = S. iniae, ES = E. tarda, AH = A. hydrophila. (C) Vp = V. parahaemolyticus, Vh = V. harveyi. (D) Vh = V. harveyi, Vp = V. parahaemolyticus (Kadriah 2013).

Kadriah (2013) menjelaskan bahwa spesifisitas dan sensitivitas gen hemolisin lebih baik dibanding gen toxR dan gen gyrB sebagai penanda molekuler dalam mendeteksi V. harveyi. Ketiga gen tersebut merupakan gen-gen yang aktif dalam mekanisme patogenitas bakteri genus Vibrio (Pang et al. 2005; Conejero dan Hedreyda 2004; Thaithongnum et al. 2006). Gen-gen yang bertanggung jawab dalam mekanisme patogenitas V. harveyi diekspresikan setelah kondisi kuorum bakteri ini tercapai (Madigan et al. 2012). Dengan kata lain, gen-gen tersebut termasuk dalam gen-gen yang sifat ekspresinya inducible yang terekspresi melalui pengaturan tertentu (Weaver 2012).Primer gen hemolisin hasil disain Kadriah mampu mendeteksi V. harveyi sampai kepadatan 100 cfu/ml dan konsentrasi DNA sebanyak 101 pg.

Conejero dan Hedreyda (2004) juga sudah pernah menggunakan gen hemolisin V. harveyi sebagai penanda untuk deteksi vibrioisis. Primer tersebut mempunyai spesifisitas yang tinggi karena hanya mendeteksi V. harveyi, namun dalam penelitiannya tidak disajikan data yang menjelaskan sensitivitasnya. Deteksi patogen V. harveyi melalui PCR juga dilakukan oleh Thaitongnum et al.

5

(2006) yang menghasilkan sensitivitas sebesar 1,5 x 101 cfu/ml. Primer hasil disain Thongkao et al. (2013) hanya mampu mendeteksi V. harveyi sampai kepadatan 1,1 x 102 cfu/ml.

Robertson et al. (1998a) pernah mendeteksi V. harveyi menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA), namun tingkat sensitivitasnya hanya sebesar 105 cfu/ml. Buchatip et al. (2010) mendeteksi V. harveyi menggunakan imunosensor berbasis quartz crystal microbalance (QCM) dimana tingkat sensitivitasnya hanya sampai kepadatan 103 cfu/ml, walaupun spesifisitasnya tinggi.

2.2 Nested PCR

PCR merupakan teknik yang digunakan untuk mengamplifikasi sekuen asam nukleat menggunakan polimerisasi berulang dari sekuen DNA. Teknik ini disusun dan dipraktikkan oleh Kary B. Mullis pada pertengahan tahun 1985. Kesederhanaan dan tingginya tingkat kesuksesan amplifikasi sekuen DNA yang diperoleh menyebabkan teknik ini semakin luas penggunaannya (Saiki et al. 1988). Dalam melakukan PCR, ekstrak DNA, enzim DNA polimerase, dan primer direaksikan dalam larutan buffer yang sesuai. Reaksi PCR dilakukan dengan bantuan alat thermocycle (Saiki et al. 1988).

Ekstrak DNA yang digunakan harus murni. Kemurnian ekstrak DNA mempengaruhi hasil PCR dimana jika pada ekstrak DNA banyak pengotornya, maka akan mengganggu proses PCR yang mengakibatkan kesalahan dalam menganalisa. DNA dikatakan murni jika rasio OD260/OD280 berkisar antara 1,8 sampai 2,0 (Sambrook dan Russel 2001). Enzim DNA polimerase saat ini sudah banyak diproduksi oleh perusahaan yang bergerak di bidang molekuler sehingga lebih memudahkan pengguna dalam melakukan PCR (Apte dan Singh 2007).

Reaksi PCR merupakan sebuah siklus yang berlangsung dalam tiga tahapan. Siklus diawali dengan tahap denaturasi pada suhu tinggi (90-95°C) yang mengakibatkan untai ganda DNA mengalami pemisahan menjadi untai tunggal. Tahap selanjutnya adalah penempelan primer (annealing) yang biasanya terjadi pada suhu 45-55°C, primer akan melekat pada DNA cetakan sesuai dengan komplementasi basa nukleotidanya. Tahap yang terakhir yaitu pemanjangan nukleotida (elongation), pembentukan molekul DNA menggunakan molekul-molekul dNTP yang merupakan komponen dari cetakan pada suhu 70-75°C (Kolmodin dan Birch. 2002).

Nested PCR adalah suatu teknik perbanyakan (replikasi) sampel DNA menggunakan bantuan enzim DNA polymerase yang menggunakan 2 pasang primer untuk mengamplifikasi fragmen. Pasangan primer yang pertama akan mengamplifikasi sekuen yang cara kerjanya mirip dengan PCR pada umumnya. Pasangan primer yang kedua biasanya disebut nested primer yang berikatan di dalam sekuen produk PCR yang pertama untuk memungkinkan terjadinya amplifikasi produk PCR yang kedua dimana hasilnya lebih pendek dari yang pertama. Waktu yang diperlukan dalam reaksi nested PCR lebih lama daripada PCR biasa karena pada nested PCR dilakukan 2 kali reaksi PCR sedangkan pada PCR biasa hanya 1 kali reaksi PCR (Siebert et al. 1995).

6

Dengan menggunakan nested PCR, jika ada sekuen yang salah diamplifikasi maka kemungkinan bagian tersebut diamplifikasi untuk kedua kalinya oleh primer yang kedua sangat rendah. Dengan demikian, nested PCR sangat spesifik dalam melakukan amplifikasi karena meminimalkan kesalahan amplifikasi gen dengan menggunakan 2 pasang primer (Siebert et al. 1995). Lebih lanjut Nandagopal et al. (2010) melaporkan bahwa nested PCR dengan target sekuen IS6110 pada Mycobacterium tuberculosis mempunyai tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan PCR biasa untuk mendeteksi bakteri tersebut dari fraksi leukosit sampel darah.

2.3 Disain Primer

Primer adalah oligonukleotida spesifik yang komplemen dengan daerah yang ditentukan pada DNA target sebagai tempat dimulainya sintesis DNA baru dengan PCR. Untuk mendapatkan daerah tertentu pada DNA target diperlukan disain primer forward dan reverse dari daerah tersebut. Khusus untuk primer reverse diperoleh dari sekuen antisensenya. Jadi nukleotida yang didapat dari sekuen ujung 3 daerah DNA target tadi dicari komplemennya baru kemudian dibalik (Glick dan Pasternak 2003).

Disain primer spesifik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan amplifikasi DNA dengan PCR. Keakuratan sekuen yang dijadikan acuan dalam pembuatan primer PCR mampu meminimalisir kesalahan amplifikasi yang berupa positif palsu maupun negatif palsu yang akan mengurangi sensitivitas dan atau spesifisitas primer (Apte dan Singh 2007). Ukuran, komposisi, dan homologi primer terhadap DNA target harus ditentukan dengan baik agar diperoleh produk amplifikasi yang diinginkan saat melakukan PCR (Glick dan Pasternak 2003).

Kolmodin dan Birch (2002) menyatakan bahwa primer yang digunakan bisa berukuran antara 20 sampai 30 nukleotida. Sambrook dan Russel (2001) menyatakan bahwa sebaiknya kandungan basa G+C adalah sekitar 50%. Apabila basa G dan C terdapat dalam jumlah banyak pada ujung 3’ akan memungkinkan

terjadinya kesalahan, misalnya terbentuk struktur “jepit rambut” (hair pin). Dalam

penentuan primer, diusahakan agar tidak terjadi perpasangan sendiri (self priming) dan dimer-duplex. Primer yang rendah kandungan basa G dan C nya masih memungkinkan untuk dipilih asalkan primernya berukuran lebih panjang untuk menghindari temperatur melting (Tm) yang terlalu rendah.

Sambrook dan Russel (2001) lebih jauh menerangkan bahwa Tm

berhubungan dengan suhu annealing atau suhu dimana dimulainya hibridisasi/penempelan primer dengan komplemennya pada template. Suhu annealing biasanya lebih rendah 5oC dari Tm. Sesuai dengan peraturan Wallace, temperatur melting (Tm) dapat ditentukan dengan rumus:

Tm = 4°C (G+C) + 2°C (A+T), dimana

G+C merupakan banyaknya basa G dan C dalam primer yang didisain, sedangkan A+T merupakan banyaknya basa A dan T.

Penentuan homologi primer dapat dilakukan melalui penelusuran data sekuen di Genebank seperti website NCBI (http://www.ncbi.nlm.nih.gov), EBI http://www.ebi.ac.uk, maupun DDBJ http://www.ddbj.nig.ac.jp (Claverie dan

7

Notredame 2003). Sekuen gen dari organisme target dijadikan sebagai acuan dalam mendisain primer untuk memperoleh akurasi yang maksimal (Apte dan Singh 2007).

Setelah sekuen gen target didapatkan, selanjutnya sekuen tersebut dibandingkan dengan sekuen lainnya yang telah tersedia di Genebank. Pembandingan ini dapat dilakukan melalui website NCBI. Pada website NCBI dapat diakses program BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) yang merupakan program untuk menganalisa kesamaan yang didisain dalam mengekplorasi semua database sekuen yang diminta, baik berupa DNA maupun protein (Claverie dan Notredame 2003). Setelah sekuen-sekuen hasil BLAST didapatkan, selanjutnya dapat dianalisis penjajaran dengan metode clustalW menggunakan software BIOEDIT (Hall 1999). Berdasarkan hasil clustalW dapat terlihat daerah sekuen yang conserved maupun yang tidak conserved. Menurut Apte dan Singh (2007), area conserved merupakan daerah spesifik gen dan area yang tidak conserved merupakan daerah spesifik spesies. Dalam mendisain primer, terlebih bagi pendeteksian patogen, spesifisitas maupun sensitivitas primer merupakan hal yang sangat penting untuk meminimalisir hasil positif palsu dan negatif palsu.

8

3 BAHAN DAN METODE

3.1 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi isolat V. harveyi MR5339 dari koleksi Laboratorium Kesehatan Ikan (LKI) Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan IPB dan isolat V. harveyi 275, V. parahaemolyticus, V. campbelli, Salmonella sp., Edwardsiella tarda, Aeromonas hydrophila, dan Streptococcus iniae dari Laboratorium Karantina Ikan Makassar. Semua isolat bakteri yang digunakan telah diverifikasi (Kadriah 2013). Isolat-isolat V. harveyi dan V. parahaemolyticus diremajakan menggunakan medium Sea Water Complete. Isolat V. campbelli, Salmonella sp., Edwardsiella tarda, Aeromonas hydrophila, dan Streptococcus iniae masing-masing ditumbuhkan dalam medium Luria Bertani.

Sebelum dilakukan disain primer nested PCR, sekuen gen hemolisin V. harveyi sampel dideteksi menggunakan primer awal yang didisain dari gen lengkap hemolisin V. harveyi strain VIB 391 (nomor akses: DQ640264) mulai dari urutan ke-133 sampai urutan ke-756. Primer nested PCR didisain dari sekuen gen hemolisin isolat V. harveyi MR5339 yang berhasil teramplifikasi oleh primer awal. Primer I nested PCR didisain untuk mengamplifikasi urutan ke-52 sampai urutan ke-405 dan primer II nested PCR didisain untuk mengamplifikasi urutan ke-204 sampai urutan ke-405.

Dokumen terkait