I V. HASI L DAN PEMBAHASAN
3.3. Diseminasi I novasi Pendampingan
Pelaksanaan inovasi diseminasi pengembangan kawasan cabai sudah dilakukan dengan tahapan percontohan teknologi produksi, disamping itu juga dikenalkan
pengolahan kompos atau pupuk organik melalui inovasi fermentasi berbahan baku kotoran sapi (limbah dari ternak sapi).
Diseminasi inovasi melalui pengenalan pengolahan kompos ini diikuti dengan sangat antusias oleh petani cabai, walaupun secara nyata selama ini petani sudah menggunakan pupuk organik berupa pupuk kandang dikeringkan (pukan) dalam waktu lama dengan jalan menumpuknya selama 4 - 6 bulan baru digunakan. Namun melalui implementasi pengenalan cara fermentasi pupuk organik langsung oleh petani, telah dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani terhadap pengolahan limbah pertanian dan kotoran ternak sapi untuk dapat diolah dan dijadikan kompos hanya dalam waktu singkat (3 - 4 minggu).
Melalui pendampingan dan diseminasi inovasi terlihat, timbulnya dorongan minat pengguna terhadap dukungan ketersediaan teknologi tepat guna dan sumberdaya manusia terampil untuk mewujudkan suatu persepsi sistem pertanian berorientasikan agribisnis dan tersedianya informasi teknologi tepat guna spesifik lokasi yang dapat didifusi dan diadopsi petani secara lebih baik. Kecepatan adopsi dan difusi inovasi teknologi terkait dengan persepsi petani terhadap sifat-sifat inovasi itu sendiri, dan faktor lingkungan strategis juga merupakan hal yang perlu menjadi perhatian (Fagi, 2008). Selain itu aspek lokasi pengguna dengan sumber informasi serta sistem dan nilai-nilai norma sosial juga turut memberi pengaruh dalam proses adopsi inovasi oleh pengguna (Subagiyoet al., 2005).
3.3.1. Peningkatan Pengetahuan Petani
Hasil pelaksanaan identifikasi inovasi teknologi dan pengggalian secara terfokus melalui pertemuan dengan petugas lapang, tokoh masyarakat, petani cabai dan kelompoktani di lokasi wilayah pengembangan kawasan dan sentra komoditas cabai. Umumnya petani cabai di Bengkulu sudah memahami tentang budidaya usahatani cabai merah (eksisiting) dan biasa melakukan pertanaman pada musim hujan dengan pola tanam cabai – sayuran (tomat, Kol, sawi, daun bawang dan wortel). Namun dilihat dari penerapan komponen teknologi petani cabai, teridentifikasi belum optimalnya pemahaman dan penggunaan pupuk organik, penggunaan varietas unggul dan pengaturan jarak tanam.
Dilihat dari komponen pemupukan petani sudah memahami pentingnya penggunaan pupuk organik untuk pebaikan lahan dan tanaman, namun dalam penerapannya masih menggunakan bahan organik dari limbah kotoran ternak kering
tanpa proses pengomposan dan sebagian ada melakukan pengomposan dengan cara pengolahan kompos langsung dilahan (KLD) bersamaan pada saat pengolahan lahan.
Begitu juga dengan varietas cabai yang ditanam menggunakan bibit lokal yang dibibitkan sendiri dari seleksi pertanaman sebelumnya dan bibit hibrida komersial yang dijual di toko saprodi, selain itu juga belum memperhatikan apakah benih digunakan berlabel atau tidak berlabel. Sedangkan penerapan sistem tanam sudah menerapkan penggunaan mulsa (MPHP) pada setiap bedengan dengan sistem tanam 1 jalur atau 2 jakur tanam sejaj ar. Untuk pengendalian penyakit dan organisme pengganggu tanaman, umunya sudah dilakukan secara baik, namun masih belum optimal dalam pengendalian terhadap serangan penyakit antraknos dan virus kuning.
Setelah melalui pendampingan dan pengawalan inovasi baik melalui pertemuan, pelatihan, percontohan dan penyebaran bahan informasi berupa folder secara berkala, terlihat adanya perubahan terhadap penerapan inovasi yang semakin optimal. Sekaligus memperlihatkan adanya peningkatan perbaikan pengetahuan petani terhadap komponen teknologi penggunaan pupuk organik, penggunaan varietas unggul dan sisitem tanam 2 baris secara zig-zag dikawasan pengembangan komoditas cabai (Tabel 3).
Tabel 3. Perbaikan pengetahuan petani cabai terhadap komponen teknologi pupuk organik, bibit dan sistem tanam melalui pendampingan pengembangan kawasan komoditas cabai.
No Kompoenen Teknologi Perbaikan Pengetahuan (% ) Bentuk Pendampingan Sebelum Sesudah Meningkat
1. Pupuk organik kompos 39,05 rerata
- pengertian 35,39 76,47 41,08 pertemuan, folder
- pengolahan 23,53 70,59 47,06 pelatihan, folder
- penerapan 47,06 76,47 29,01 percontohan/ display
2. Bibit 29,37 rerata
- berlabel 35,39 58,82 23,43 pertemuan
- minat VUB 29,41 64,71 35,30 percontohan, folder
3. Sistim Tanam
- 2 baris zig-zag 64,71 88,26 23,53 percontohan, folder
Pada Tabel 3. Terlihat adanya perbaikan komponen teknologi pupuk organik kompos terhadap pengertian, pengolahan dan penerapan dari 35,39% ; 23,53; dan 47,06% menjadi 76,47% ; 70,59% ; dan 76,47% atau meningkat sebesar 41,08% ;
berlabel dan unggul baru (VUB) mengalami perbaikan dari 35,39% dan 29,41% menjadi 58,82% dan 64,71% atau meningkat sebesar 23,43% dan 35,30% serta terhadap sistem tanam 2 baris zig-zag 64,71% menjadi 88,24% atau meningkat sebesar 23,53% . Sehingga secara umum terjadi peningkatan pengetahuan petani setelah dilakukan pendampingan inovasi teknologi produksi cabai, rata-rata terhadap komponen teknologi: Pupuk organik kompos sebesar39,05% ; Bibit sebesar 29,36% ; dan Sistim tanam sebesar 23,53% .
Meningkatnya pengetahuan petani terhadap komponen teknologi, memperlihatkan adanya pengaruh positif yang diterima masyarakat melalui kegiatan pendampingan pengembangan kawasan komoditas cabai dalam bentuk kegiatan diseminasi inovasi melalui pengawalan, percontohan, pelatihan dan pertemuan. Balitbangtan (2013), menyebutkan bahwa kegiatan percontohan dibangun atau dilakukan untuk mediasi percepatan dan perluasan penggunaan teknologi di daerah sentra produksi berbasis komoditas unggulan dan adanya sinergi antara program dengan kebutuhan dan pengembangan teknologi. Menurut Sudiman (2006) aktivitas yang dapat dilakukan individu untuk meningkatkan kualitas keahliannya adalah melalui pendidikan dan pelatihan.
3.3.2. Pendampingan peningkatan kinerja kelembagaan tani
Pendampingan kelembagaan tani melalui pembinaan dan pemberdayaan kinerja poktan/ gapoktan dalam hal mengukur aktifitas pada pertemuan (frekuensi; anggpta hadir; jumlah topik dibahas) sinergisme dan padupadan program pada kawasan pengembangan komoditas cabai, untuk meningkatkan kinerja (fungsi dan peran) saluran diseminasi dalam mempercepat transfer teknologi yang dilakukan secara berkala dan sesuai kebutuhan lapangan maupun pengguna teknologi.
Pendampingan dan pembinaan terhadap pemberdayaan poktan/ gapoktan memberikan dampak terhadap peningkatan aktifitas kelompok usahatani cabai yang didampingi, dimana aktifitas peningkatan pada: frekuensi pertemuan kelompok yang sebelumnya rata-rata setiap 3 bulan sekali (bila ada hal penting) menjadi jadwal bulanan; jumlah anggota yang hadir sebelumnya rata-rata 10 – 15 orang/ pertemuan, menjadi 20 – 30 orang/ pertemuan; dan topik bahasan biasanya terfokus pada 1 topik sekarang selalu membahas 2 - 3 topik. Terutama dalam hal pembahasan teknologi biasanya terfokus pada 1 inovasi, sekarang selalu membahas 1 - 3 inovasi sesuai perkembangan teknologi.
Peningkatan kemampuan petani dan aktivitas kelompok juga memberi dampak pada peningkatan kompetensi penyuluh dan petugas lapang, ini terlihat dari intensitas kunjungan petugas pada petani, biasanya rata-rata setiap bulan kelompok dikunjungi petugas 0,82 kali dan sekarang menjadi 2,09 kali. Kondisi ini juga memberikan dorongan pengembangan terhadap implementasi inovasi yang tidak terlepas dan harus selalu dikawal, didampingi dan didiskusikan bersama petugas lapang maupun dinas wilayah terkait untuk mendapakan umpan balik permasalahan dan diseminasi inovasi pengembangan kawasan cabai.
Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk meningkatkan pengetahuan, kreativitas dan keterampilan, serta kemampuan petani (Demitria et., all. 2006). Melalui metode implementasi, diseminasi, aplikasi dan diskusi langsung oleh petani bersama anggota kelompok pendampingan sebagai bentuk pengembangan sumberdaya. Telah memberikan harapan bahwa pelaksanaan percontohan dan penerapan langsung di lahan petani sebagai penguna teknologi, dapat diadopsi langsung dan meningkatkan pengetahuan petani maupun kelompok sasaran sebagai upaya proses diseminasi inovasi teknolopgi pada pelaku utama. Menurut Hendayana (2009) untuk mempercepat adopsi teknologi usahatani perlu didukung langkah peningkatan pengetahuan pengguna teknologi, serta dapat dikompensasi dengan mengintensifkan pengawalan teknologi oleh petugas. Termasuk peneliti maupun penyuluh terkait melalui perbaikan inovasi teknologi sekaligus penumbuhan dan pembinaan terhadap kelembagaan agribisnis atau kelompoktani terkait. Kelembagaan tersebut diantaranya adalah lembaga; sosial masyarakat, agroinput, keuangan, pemasaran, dan lembaga penyuluhan (Rahman dan Subikta dalam Fagiet all., 2009).