• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskripsi Usaha Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3. Diskripsi Usaha Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan

Diskripsi usaha ayam ras pedaging pola kemitraan dan non kemitraan di daerah penelitian dapat dilakukan dengan mendeskripsikan usaha ayam pedaging pola kemitraan dan non kemitraan dari sampel (responden terpilih). Hal ini didasarkan pendapat Singarimbun, M(1987) bahwa sampel adalah bagian dari populasi dan sampel dipergunakan untuk menentukan sifat-sifat dari populasi.

Adapun diskripsi usaha ayam ras pedaging pola kemitraan dan non kemitraan dari responden terpilih (sampel), sebagaimana diuraikan berikut ini:

4.3.1. Proses Sebagai Peternak Ayam Ras Pedaging

Penelitian menunjukkan bahwa proses sebagai peternak usaha ayam ras pedaging pola kemitraan adalah sebagai berikut :

1. Calon peternak didatangi petugas dari mitra usaha inti, dengan maksud menawarkan program kemitraan usaha ayam ras pedaging. Penawaran program kemitraan tersebut langsung kepada peternak tanpa melalui instansi dinas yang terkait maupun assosiasi peternak. Penawaran tersebut hanya menyangkut program kemitraan khususnya menitikberatkan pada aspek budidaya dan pasar.

2. Apabila calon peternak menyetujui penawaran tersebut, selanjutnya mitra usaha inti melalui petugasnya menindaklanjuti dengan cara melakukan survei ke lokasi kandang ayam ras pedaging calon peternak. Survei menekankan pada kelayakan teknis kandang beserta kelengkapan lainnya dan aspek sosial khususnya keamanan berusaha ayam ras pedaging.

3. Apabila hasil survei dianggap layak, maka mitra usaha ini mendatangi calon peternak untuk menandatangani naskah perjanjian usaha. Naskah perjanjian usaha tersebut dibuat oleh mitra usaha inti, sedangkan calon peternak tinggal menandatangani tanpa diberi kesempatan untuk mempelajari naskah perjanjian usaha tersebut.

4. Dengan ditandatanganinya naskah perjanjian usaha oleh kedua belah pihak, maka status calon peternak menjadi peternak usaha ayam ras pedaging pola kemitraan

Kronologis sebagai peternak mandiri adalah sebagai berikut :

1. Calon peternak mendatangi peternak lain yang telah berusaha ayam ras pedaging secara mandiri. Disamping itu, calon peternak mencari informasi dari sumber lainnya.

2. Informasi dianggap cukup, selanjutnya calon peternak membuat kandang beserta kelengkapannya.

3. Calon peternak mengadakan transaksi dengan poultry shop, meliputi bibit, pakan dan obat-obatan

4. Selanjutnya poultry shop mengirim bibit, pakan dan obat-obatan kepada peternak.

4.3.2. Pola Usaha

Pola usaha peternak kemitraan dilaksanakan dengan pola pengelola, dimana perusahaan peternakan selaku mitra usaha inti mensuplai sarana produksi peternakan (bibit, pakan dan obat-obatan), memberikan bimbingan teknis dan manajemen dan menampung serta memasarkan hasil produksi. Sedangkan peternak selaku mitra usaha plasma menyediakan lahan, kandang beserta perlengkapannya, tenaga kerja dan melakukan budidaya. Suplai sarana produksi peternakan tersebut merupakan kredit dan sebagai agunan kredit berupa sertifkat tanah, diperhitungkan setelah panen. Besarnya kredit yang diterima peternak, diperhitungkan setelah panen.

Dilihat dari posisi peternak terhadap pasar faktor produksi meliputi pakan, bibit dan obat-obatan. Peternak kemitraan menghadapi pasar monopoli. Sebab perusahaan peternakan selaku mitra usaha inti adalah pensuplai tunggal faktor produksi tersebut yang berarti mitra usaha inti bertindak sebagai perusahaan/produsen monopoli. Menurut Boediono (1997) kurve permintaan yang dihadapi produsen monopoli adalah kurve permintaan pasar, sehingga produsen dapat mempengaruhi harga pasar dengan jalan menjual sedikit atau lebih banyak

produksinya. Perusahaan monopoli tidak hanya menentukan harga tetapi juga menentukan berapa harga jual yang menghasilkan keuntungan maksimum bagi dirinya. Akibatnya ada unsur eksploitasi oleh perusahaan monopoli terhadap konsumen dengan ditetapkannya harga jual diatas marginan cost, dengan demikian harga yang ditetapkan oleh perusahaan monopoli lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar persaingan Perusahaan monopoli dengan sengaja membatasi output-nya untuk memaksimumkan laba. Volume produksi yang dihasilkan lebih kecil dari volume optimum. Oleh karena itu dari sudut pandang sosial, output yang dihasilkan terlalu rendah. Selanjutnya Boediono (1997) menegaskan pemusatan pasar dalam bentuk monopoli dapat menimbulkan kerugian sosial berupa inefisiensi, ketidakadilan pendapatan dan menurunnya kesejahteraan masyarakat.

Dilihat dari posisi peternak dalam pasar output, peternak kemitraan menghadapi pasar monopsoni karena perusahaan peternakan selaku mitra inti sebagai pembeli tunggal. Hal ini berarti melakukan praktek monopsoni atas produk peternak kemitraan. Menurut Satia (2006) implikasi adanya monopsoni, monopsonist (pembeli tunggal) melakukan eksploitasi pasar input, sehingga untuk mencapai posisi keseimbangan di pasar input maka akan membayar input tersebut lebih rendah dibanding harga yang berlaku di pasar persaingan. Usaha ayam ras pedaging non kemitraan dilaksanakan dengan pola mandiri, penyediaan sarana produksi peternakan dan pembudidayaan dilakukan oleh peternak sendiri, sedangkan pemasaran hasil umumnya dijual kepada bakul.

4.3.3. Skala Usaha

Skala usaha peternak pola kemitraan dan non kemitraan di daerah penelitian, disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Skala Usaha Ayam Ras Pedaging Di Daerah Penelitian

No. Pola Usaha Ayam Ras Pedaging

Skala Usaha Ayam Ras

Pedaging (ekor) Rataan (ekor) 1 Kemitraan 2.500 s/d 10.000 5.650 ± 1.498 2 Non Kemitraan 500 s/d 8.000 1.750 + 1.576 Sumber : Data Primer diolah, 2009

Tabel 10 menunjukkan skala usaha ayam ras pedaging pola kemitraan lebih besar dibandingkan dengan skala usaha ayam ras pedaging non kemitraan. Keadaan ini sebagai dampak naiknya harga sarana produksi peternakan seperti bibit, pakan, obat-obatan dan vaksin sehingga menyebabkan naiknya biaya produksi dan menurunnya marjin keuntungan dan peternak mengalami kekurangan modal kerja yang pada akhirnya untuk dapat berusaha ayam ras pedaging dengan skala usaha yang lebih besar, peternak cenderung berusaha ayam ras pedaging dengan pola kemitraan, sehingga dengan terpaksa mengubah struktur usahanya dari peternak mandiri menjadi peternak pola kemitraan. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Shane (2000), krisis ekonomi mengakibatkan perubahan besar pada struktur industri pengunggasan, yaitu pada tahun 1997 sebanyak 70% produksi ayam pedaging dilakukan oleh peternak mandiri, namun pada saat ini 80% kemitraan dan 20% mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa kemitraan usaha ayam ras pedaging merupakan solusi akibat adanya krisis ekonomi di bidang perunggasan.

Skala usaha ayam ras pedaging peternak pola kemitraan dan non kemitraan sebagaimana disajikan pada tabel 12, menurut Yusdja dan Pasandaran (1998) skala usaha ayam ras pedaging peternak pola kemitraan di daerah penelitian termasuk skala menengah karena rataan skala usaha ayam ras pedaging yang dibudidayakan termasuk pada kisaran 5.000 s/d 10.000 ekor, sedangkan usaha ayam ras pedaging peternak non kemitraan termasuk skala kecil karena rataan skala usaha ayam yang dibudidayakan kurang dari 5.000 ekor.

4.3.4. Mortalitas

Mortalitas atau tingkat kematian ayam merupakan kendala dalam usaha ayam ras pedaging. Serangan penyakit dapat mengakibatkan naiknya angka mortalitas, hal ini berdampak pada menurunnya bobot panen secara agregat, sehingga produksi menurun. Hasil penelitian menunjukkan tingkat mortalitas usaha ayam ras pedaging pola kemitraan mencapai 4,8 % ,sementara itu, mortalitas usaha ayam ras pedaging non kemitraan mencapai 4,1 %. Namun menurut Rasyaf (1992), tingkat kematian tersebut masih dibawah batas normal karena kurang dari 5 %. Perbedaan tingkat mortalitas disinyalir karena adanya bibit ayam ras pedaging yang berbeda, bibit ayam ras pedaging dengan pola kemitraan berasal dari mitra inti tanpa adanya kesempatan bagi peternak untuk memilih bibit yang dikehendaki. Hal ini didukung dari hasil evaluasi assosiasi peternak usaha ayam ras pedaging pola kemitraan pada tahun 2009, bahwa mutu bibit dari inti tidak memenuhi standar. Sedangkan bibit yang diperoleh peternak usaha ayam ras pedaging pola mandiri berasal dari pasar bebas, merupakan bibit pilihan sehingga kualitas bibit lebih terjamin.

Tingkat mortalitas dari hasil penelitian pada usaha ayam ras pedaging dengan pola kemitraan dan non kemitraan di kabupaten Gresik mencapaii 4 - 5 %. Tingkat mortalitas sebesar 4,8 % tersebut tergolong rendah karena dibawah ambang batas mortalitas normal maksimum yaitu 5%.

4.3.5. Masa Pemeliharaan

Hasil penelitian menunjukkan, secara agregat masa pemeliharaan ayam ras pedaging dalam satu periode produksi berkisar antara 35 s/d 42 hari, dengan rataan pemeliharaan 39 hari. Sebaran masa pemeliharaan ayam ras pedaging dalam satu periode produksi pada daerah penelitian disajikan pada Tabel 13

Tabel 13. Masa pemeliharaan ayam ras pedaging

No. Pola Usaha Ayam ras pedaging Masa Pemeliharaan (hari) Rataan masa pemeliharaan (hari) 1 Kemitraan 35 - 37 36 + 0,59 2 Non Kemitraan 36 - 42 42 + 1,58 Sumber : Data Primer diolah, 2009

Tabel 13 menunjukkan bahwa masa pemeliharaan usaha ayam ras pedaging pola mandiri lebih lama dibandingkan masa pemeliharaan usaha ayam ras pedaging pola kemitraan, hal ini berkaitan dengan harga jual ayam dan kepastian pasar. Pada saat penelitian harga per kilogram ayam hidup merupakan harga yang sangat menguntungkan bagi peternak, sehingga peternak usaha ayam ras pedaging pola mandiri cenderung untuk memperpanjang masa pemeliharaan walaupun dengan konsekuensi meningkatnya biaya produksi khususnya pakan. Sedangkan usaha ayam ras pedaging pola kemitraan, waktu panen ditentukan sepihak oleh inti, harga yang menguntungkan ini menjadikan inti cenderung mempercepat

masa pemeliharaan. Perilaku inti tersebut diindikasikan sebagai strategi untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi, didasarkan pada dua hal yang dijadikan pertimbangan. (i) umur panen lebih dari 36 mengakibatkan bobot ayam akan lebih meningkat, sehingga pengeluaran biaya pembelian ayam kepada peternak akan semakin besar, walaupun ada tambahan penerimaan hasil penjualan sapronak, namun dalam hal ini dipandang secara ekonomis tidak efisien karena pengeluaran biaya pembelian ayam tidak sebanding dengan penerimaan hasil penjualan sapronak kepada peternak plasma dan (ii) semakin cepat panen akan semakin cepat pengembalian biaya sapronak yang disalurkan pada peternak dan semakin cepat pula sapronak yang disalurkan pada peternak pada periode pemeliharaan berikutnya, sehingga mempercepat perputaran modal yang diinvestasikan.

4.3.6. Bobot Hidup

Rataan bobot hidup saat panen pada usaha ayam ras pedaging pola kemitraan mencapai 1,9 kg/ekor sedangkan pada usaha ayam ras pedaging non kemitraan mencapai 2,28 kg/ekor. Perbedaan bobot hidup tersebut dimungkinkan akibat lama pemeliharaan yang berbeda. Semakin lama ayam ras pedaging dipelihara, semakin tinggi bobot akhir yang dicapai sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasyaf (1995) dengan masa pemeliharaan yang berbeda akan menghasilkan bobot ayam yang berbeda. Ayam ras pedaging dipanen pada usia 5 minggu memiliki bobot sekitar 1,8 kg sedangkan ayam ras pedaging pada umur 6 minggu memiliki bobot sekitar 2,28 kg.

4.3.7. Tingkat Konversi Pakan

Tingkat konversi pakan merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang dihabiskan dalam satu periode pemeliharaan dengan tingkat produksi yang dicapai. Tingkat konversi pakan merupakan salah satu indikator teknis untuk mengevaluasi usaha ayam ras pedaging. Tingkat konversi pakan dijadikan indikator teknis usaha ayam ras pedaging, disebabkan dalam pembudidayaan ayam ras pedaging, pakan merupakan faktor produksi yang dapat mencapai 66% dari biaya produksi dalam satu periode produksi. Dengan demikian semakin rendah nilai konversi pakan, semakin baik usaha pembudidayaan ayam ras pedaging, karena semakin efisien penggunaan pakan.

Pengamatan terhadap konversi pakan selama penelitian diperoleh hasil bahwa konversi pakan pada usaha ayam ras pedaging pola kemitraan 1,44. Tingkat konversi pakan ini tidak jauh berbeda dengan data Dinas Peternakan kabupaten Gresik pada tahun 2008 bahwa tingkat konversi pakan usaha ayam ras pedaging pola kemitraan sebesar 1,44 sedangkan pada usaha ayam ras pedaging non kemitraan 1,48. Hasil tersebut menunjukkan konversi pakan usaha ayam ras poedaging pola kemitraan lebih rendah dibandingkan konversi pakan usaha ayam ras pedaging pola non kemitraan. Secara teknis dapat dinyatakan bahwa usaha ayam ras pedaging pola kemitraan lebih efisien dalam penggunaan pakan dibanding usaha ayam ras pedaging non kemitraan. Sebab pencapaian bobot ayam 1 kg pada usaha ayam ras pedaging dengan pola kemitraan diperlukan pakan sebanyak 1,44 kg, sedangkan pada pola usaha mandiri untuk memperoleh 1 kg bobot hidup ayam ras pedaging dibutuhkan pakan sebanyak 1,48 kg pakan. Hal

ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Wahyono (2007) yang menyatakan bahwa dengan perkembangan evolusi gen pada tahun 2007 sudah dapat mencapai umur panen 35 hari dengan berat hidup 2,01 kg dengan konversi pakan 1,65. Menurut Sudin,(2009) bahwa dari hasil pengamatan perkembangan genetik dari ayam ras pedaging sejak tahun1950 ditunjukkan pada Tabel 14 berikut :

Tabel 14. Perkembangan Ayam Ras Pedaging

Tahun Umur pada Berat Badan 1800 gr/hr FCR 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010 84 70 59 51 43 35 28 3,25 2,50 2,20 2,10 1,9 1,65 1,5

Dari Tabel 14 terlihat perkembangan genetik dari ayam ras pedaging. Kalau pada tahun 1950 untuk mencapai berat badan 1800 gr dibutuhkan waktu 84 hari dengan Feed Convertion Ratio (FCR) 3,25, maka pada tahun 2000, waktu yang dibutuhkan 35 hari dengan Feed Convertion Ratio (FCR) 1,65 dan pada tahun 2010 diperlukan hanya dalam waktu 28 hari telah mencapai 1800 gr dengan

Convertion Ratio (FCR) 1,5.

Lebih rendahnya tingkat konversi pakan usaha ayam ras pedaging pola kemitraan menunjukkan bahwa pola kemitraan usaha ayam ras pedaging terjadi transfer teknologi dari perusahaan peternakan ke peternak kemitraan yaitu meningkatnya efisiensi penggunaan faktor produksi pakan, sebagaimana dinyatakan Hafzah (1999) manfaat usaha tani dengan pola kemitraan usaha adalah efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi.

Dokumen terkait