• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging: Kajian Posisi Tawar dan Pendapatan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging: Kajian Posisi Tawar dan Pendapatan."

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Guna Mencapai Gelar Magister

PROGRAM STUDI

MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS

Diajukan oleh :

ARIF ARIA HERTANTO

NPM. 0864020008

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN ”

JAWA TIMUR

(2)

yang telah melimpahkan rahmad, nikmat dan hidayahnNya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging : Kajian Posisi Tawar dan Pendapatan.

Sehubungan dengan hal tersebut Penulis, mengucapkan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Dr. Ir. Sumartono, MS sebagai pembimbing utama yang telah memberikan bantuan dan masukan guna penyelesaian penulisan ini. 2. Ir. Sri Tjondro Winarno, MM sebagai pembimbing pendamping yang

telah banyak memberikan pendampingan yang penuh kesabaran dan perhatian guna penyelesaian penulisan ini.

3. Prof. Dr. Djohan Mashudi, MS selaku Direktur Pascasarjana UPN ”Veteran” Jawa Timur beserta staf yang telah banyak memberikan semangat dan arahan hingga selesai penulisan

4. Dr.Ir. Sudiyarto, MM selaku Ketua Program Studi Magister Manajemen Agribisnis yang telah banyak memberikan semangat dan arahan hingga selesai penulisan ini.

(3)

Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penulisan ini oleh karena itu kritik dan saran untuk kebaikan tulisan ini sangat diharapkan agar menjadi lebih baik dan berguna bagi semua pihak, Amin.

Surabaya, Agustus 2009

(4)

DAFTAR ISI ... vii

2.1. Telaah Penelitian Terdahulu ... 9

2.2. Tinjauan Teoritis Tentang Konsep Kemitraan ... 10

2.3. Model-model Kemitraan di Usaha Pertanian ... 13

2.4. Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging Sebagai Solusi Pengembangan Industri Perunggasan Rakyat ... 20

2.5. Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging dan Posisi Tawar Peternak ... 21

2.6. Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging dan Pendapatan Peternak ... 24

3.4.4. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 33

(5)

4.2.3 Jumlah Tanggungan Keluarga ... 42

4.2.4 Lama Usaha ... 42

4.3. Diskripsi Usaha Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan Dan Non Kemitraan ... 43

4.3.1 Proses Sebagai Peternak Ayam Ras Pedaging ... 43

4.3.2 Pola Usaha ... 45

4.3.3 Skala Usaha ... 47

4.3.4 Mortalitas ... 48

4.3.5 Masa Pemeliharaan ... 49

4.3.6. Bobot Hidup ... 50

4.3.7. Tingkat Konversi Pakan. ... 51

4.4 Analisis Posisi Tawar Peternak Kemitraan dan Perusahaan Inti... ... 53

4.5. Analisis Titik Impas Dan Pendapatan Peternak Kemitraan dan Non Kemitraan... 56

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

5.1. Kesimpulan ... 64

5.2. Saran... ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(6)

1 Populasi Ayam Ras Pedaging Di Kabupaten Gresik ... 29

2 Populasi dan Sampel Peternak Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan Non Kemitraan Di Kabupaten Gresik ... 30

3 Tolok ukur ukur Posisi Tawar Peternak Kemitraan ... 32

4 Distribusi Keadaan Penduduk Kabupaten Gresik berdasarkan kelompok Umur ... 37

5 Sebaran Populasi Ternak di Kabupaten Gresik ... 38

6 Konsumsi Hasil Ternak di Kabupaten Gresik Tahun 2007-2008 (Kg/Kapita / tahun)... 39

7 Perkembangan Pendapatan Rumah Tangga Peternak di Kabupaten Gresik Tahun 2007-2008 (Kg/Kapita / tahun) ... 40

8 Keadaan Umur Responden ... 40

9 Tingkat Pendidikan Responden... 41

10 Jumlah Tanggungan Responden ... 42

11 Lama Usaha Responden ... 43

12 Skala Usaha Ayam Ras Pedaging di Daerah Penelitian ... 47

13 Masa Pemeliharan Ayam Ras Pedaging ... 49

14 Perkembangan Ayam Ras Pedaging ... 52

15 Analisis Posisi Tawar Peternak dan Perusahaan Inti di Daerah Penelitian... 53 16 Analisis Titik Impas Usaha Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan Non

Kemitraan Selama 1 Periode Produksi di Daerah Penelitian (Rp./1000 ekor) 56 17 Analisis Pendapatan Usaha Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan Non

(7)

Nomor Halaman

(8)

1. Daftar Pertanyaan ... 72

2. Daftar Pertanyaan Untuk Menentukan Posisi Tawar Peternak ... 74

3. Data Responden Peternak Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan ... 77

4. Data Responden Peternak Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri ... 78

5. Data Analisis Titik Impas dan Pendapatan Usaha Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan Selama Satu Periode Produksi di Daerah Penelitian ... 79

6. Data Analisis Titik Impas dan Pendapatan Usaha Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri Selama Satu Periode Produksi di Daerah Penelitian ... 80

7. Data Skor Jawaban Pertanyaan Untuk Menentukan Posisi Tawar Peternak Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan ... 81

8. Data Skor Jawaban Pertanyaan Untuk Menentukan Posisi Tawar Peternak Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri ... 82

9. Data Pendapatan Responden Usaha Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan Selama Satu Periode Produksi di Daerah Penelitian ... 83

10.Data Pendapatan Responden Usaha Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri Selama Satu Periode Produksi di Daerah Penelitian ... 84

(9)

Ras Pedaging: Kajian Posisi Tawar dan Pendapatan ; Pembimbing Utama : Sumartono dan Pembimbing Pendamping Sri Tjondro Winarno

Kemitraan adalah pola kerjasama antara perusahaan peternakan selaku mitra usaha inti (PT. Surya Gemilang Pratama) dengan peternak rakyat selaku mitra usaha plasma, yang dituangkan dalam bentuk ikatan kerjasama. Melalui kemitraan diharapkan terjadi kesetaraan hubungan antara peternak dengan mitra usaha inti sehingga memperkuat posisi tawar peternak, berkurangnya resiko usaha dan terjaminnya pasar yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan peternak.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendiskripsikan usaha ayam ras pedaging pola kemitraan dan non kemitraan; (2) Menganalisis posisis tawar peternak ayam ras pedaging pola kemitraan dan non kemitraaan; (3) menganalisis pendapatan peternak ayam ras pedaging pola kemitraan dan non kemitraaan. Penelitian dilaksanakan di wilayah sentra produksi ayam ras pedaging Kabupaten Gresik meliputi kecamatan Panceng, Dukun dan Ujung Pangkah, dengan mengambil sampel 30 peternak pola kemitraan dan 30 peternak pola non kemitraan secara acak. Data yang diperoleh dianalisis secara diskriptif, skoring, pendapatan dan titik impas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha ayam ras pedaging pola kemitraan dilaksanakan dengan cara kerjasama antara PT. Surya Gemilang Pratama selaku mitra usaha inti dengan peternak selaku mitra usaha plasma.

(10)

1.1. Latar Belakang

Kemitraan merupakan hubungan kerjasama secara aktif yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk memenuhi kebutuhan bersama. Fokus kemitraan adalah pemecahan persoalan secara bersama untuk mencapai tujuan bersama berdasar nilai-nilai luhur dan saling bergantung (Anonimous, 2008). Pentingnya kemitraan adalah karena keterbatasan sumberdaya di semua pihak, pergeseran posisi pelaku utama dari pemerintah dan swasta kepada masyarakat dan persoalan yang kompleks dan kronis.

Modal utama untuk membangun kemitraan adalah kepercayaan. Pihak-pihak luar komunitas (kelompok) akan memberikan dukungan, bantuan dan kerjasama kepada kelompok apabila kelompok tersebut bisa dipercaya. Kepercayaan itu sendiri akan terjadi apabila dilandasi oleh kejujuran, keadilan, keterbukaan, saling peduli, saling menghargai, saling menolong di antara kelompok.

Kemitraan yang baik adalah yang mampu memberi keuntungan atau nilai lebih bagi masing-masing pihak yang bermitra, dengan kata lain yang bisa memberi win-win solution. Nilai lebih ini tidak harus berupa materi, namun bisa pula dalam bentuk peningkatan kapasitas, bertambahnya akses dan lain sebagianya.

(11)

menentukan posisi tawar ketika berhadapan dengan pihak yang akan diajak bermitra: semakin besar atau banyak kekuatan yang dimiliki, semakin tinggi pula posisi tawar. Sementara kebutuhan perlu diidentifikasi secara jelas, agar bisa fokus dalam menentukan pihak yang akan diajak bermitra dan fokus pula dalam negosiasi untuk menentukan apa yang diminta dari pihak yang diajak bermitra.

Lahirnya konsep kerjasama usaha atau kemitraan usaha antara perusahaan pertanian (BUMN,swasta,koperasi) dengan pertanian rakyat (Petani kecil) didasarkan atas dua argumen. Pertama,adanya perbedaan dalam penguasaan sumberdaya (lahan dan kapital) antara masyarakat industrial di perkotaan (pengusaha) dengan masyarakat pertanian di pedesaan (petani). Orang kota dikategorikan mempunyai modal dan pengetahuan,namun kurang dalam sumberdaya lahan dan tenaga kerja,disisi lain orang desa mempunyai lahan dan tenaga kerja namun kurang modal dan kemampuan (ketrampilan).

Kedua, adanya perbedaan sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha pada masing–masing subsistem dari sistem agribisnis. Didalam subsistem usahatani, skala usaha kecil lebih efisien atau sama efisiennya dengan skala usaha besar, karena sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha bersifat meningkat atau tetap (increasing atau constant cost to scale).

Dalam subsistem pemasaran,pengolahan dan pengadaan saprodi,skala usaha besar lebih efisien dari pada skala kecil, karena sifat biaya per satuan output dengan skala usaha bersifat menurun (decreasing cost to scale) (Prawirokusumo, 1990).

(12)

Surono (1997) mengemukakan bahwa tidak berkembangnya pertenakan ayam ras skala kecil disebabkan oleh stuktur pasar input dan output yang kurang kompetitif.Harga input yang diterima peternak skala kecil lebih mahal 20-30 persen dibandingkan harga yang diterima peternak skala besar. Kedua argumen diatas merupakan faktor pendorong pentingnya kemitraan usaha yang diwujudkan melalui konsep Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dimana pada subsektor peternakan dibentuklah PIR perunggasan (PIR-GAS). Dalam operasionalnya,PIR perunggasan dikenal dalam tiga bentuk,yaitu: (1) pola PIR dengan plasma kesepakatan,yaitu jaminan penyediaan sapronak dan pemasaran hasil;(2) pola PIR dengan plasma rasio,yaitu kerjasama inti plasma dengan sistem rasio harga,antara harga pakan,doc dan obat-obatan dengan harga jual hasil;dan(3) pola PIR dengan plasma mandiri (tanpa kesepakatan dan rasio harga).

Peternak adalah orang atau badan hukum dan atau buruh peternakan, yang mata pencahariannya sebagian atau seluruhnya bersumber kepada peternakan. Sedangkan perusahaan peternakan adalah peternakan yang diselenggarakan dalam bentuk suatu perusahaan secara komersiil. ( anonimous , 1997),

Kemitraan bidang peternakan adalah pola kerjasama antara pengusaha peternakan dengan peternak rakyat dalam pengelolaan usaha peternakan. Dalam sub sektor peternakan, model kemitraan banyak dikembangkan termasuk kemitraan di bidang usaha ayam ras pedaging.

(13)

mitra usaha plasma, melalui kemitraan menimbulkan suatu siklus tertutup dimana antara erusahaaan peternakan dan peternak tercipta saling ketergantungan (Suharno,1995). Sejalan dengan konsep kemitraan tersebut Menteri Pertanian menerbitkan Surat Keputusan No. 474/ Kpts/TN.306/6/1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras, selanjutnya dikeluarkan Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 1997 tentang Kemitraan dan Surat keputusan Menteri Pertanian No. 940/Kpts/ OT.210/10/97 tentang Pedoman kemitraan Usaha Pertanian. Bagi perusahaan peternakan dan perusahaaan di bidang peternakan yang melakukan usaha budidaya ayam ras wajib melaksanakan kemitraan dengan peternakan rakyat.

Seiring dengan mulai membaiknya perekonomian nasional dan meningkatnya daya beli masyarakat yang mengakibatkan meningkatnya permintaan daging ayam ras pedaging sehingga mengakibatkan naiknya harga daging ayam ras pedaging. Kondisi ini merangsang peternak mandiri untuk kembali mengusahakan ayam ras pedaging. Namun karena terbatasnya modal, peluang tersebut umumnya sulit diraih oleh peternak mandiri, kecuali bila merubah pola usaha ayam ras pedaging dari pola mandiri ke pola kemitraan.

(14)

mencapai 2.557.900 ekor.Dalam program kemitraan ayam ras pedaging, nampaknya pola kemitraan dianggap sebagai suatu konsep yang tepat dalam memecahkan masalah keberlangsungan usaha peternakan rakyat. Melalui kemitraan diharapkan dapat secara cepat bersimbiosis mutualistik sehingga kekurangan dan keterbatasan peternak dapat teratasi. Beralihnya peternak ayam ras pedaging dari usaha pola mandiri ke pola kemitraan berarti mengubah struktur industri perunggasan broiler rakyat. Hal ini berdampak pada posisi tawar dan pendapatan peternak.

Posisi tawar peternak merupakan hal yang sangat penting dalam proses pengambilan keputusan usaha. Kemitraan usaha yang didasarkan atas keseimbangan daya tawar antar mitra usaha menghasilkan keputusan usaha yang mengarah kepada win-win solution, Masing- masing pihak memperoleh pendapatan secara proporsional sesuai dengan besarnya input yang dikorbankan. Hal ini sesuai dengan pendapat Agus, et al (2005), yang menyatakan bahwa pola kemitraan inti plasma dimasa mendatang perlu dilakukan untuk meningkatkan posisi dan ruang gerak peternak sehingga tercipta iklim usaha win-win solution yang lebih kondusif dan tidak exploatif. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kemampuan posisi tawar dan pendapatan peternak merupakan indikator keberhasilan usaha ayam ras pedaging dalam pola kemitraan.

(15)

kemitraan dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan peternak rakyat yang berfungsi sebagai plasma, sedangkan PT.Surya Gemilang Pratama sebagai inti. Pola kemitraan ayam ras pedaging dengan PT.Surya Gemilang Pratama di kabupaten Gresik dilakukan sejak tahun 1998. Pada awalnya program ini hanya bermaksud membantu peternak rakyat yang kandang ayamnya kosong akibat krisis ekonomi. Oleh karena itu sejauhmana pola kemitraan dapat meningkatkan posisi tawar dan pendapatan peternak usaha ayam ras pedaging dirasa perlu diteliti.

1.2. Perumusan Masalah

Asumsi yang digunakan dalam program kemitraan pada agribisnis perunggasan ayam ras pedaging di Kabupaten Gresik adalah :

- Modal dapat mengalir dari inti ke plasma

- Plasma (peternak) dapat menangkap peluang pasar dan memperoleh

harga output yang lebih baik.

(16)

kondisi peternak plasma berada dalam posisi lemah terutama dalam posisi tawar terhadap harga day old chicken (doc), pakan ternak dan harga ayam yang dihasilkan. Dengan posisi tawar yang lemah ini yang lebih ditentukan oleh perusahaan inti maka pendapatan peternak kemitraan menjadi lebih rendah.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas permasalahan dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah perbedaan usaha antara peternak ayam ras pedaging yang mengikuti kemitraan dan non kemitraan (mandiri) yang meliputi pola usaha (proses untuk melakukan usaha), skala usaha, penyakit dan mortalitas, tingkat produksi dan konversi pakan?

2. Apakah kemitraan usaha ayam ras pedaging dapat memperkuat posisi tawar peternak?

3. Apakah kemitraan usaha ayam ras pedaging dapat meningkatkan pendapatan peternak?

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menjawab permasalahan diatas tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Mendiskripsikan usaha ayam ras pedaging pola kemitraan dan non kemitraan. 2. Menganalisis posisi tawar peternak ayam ras pedaging kemitraan dan Inti

(Perusahaan peternakan).

(17)

1.4. Kegunaan Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk menghasilkan suatu konsep kemitraan yang dapat meningkatkan posisi tawar dan pendapatan.

2. Sebagai referensi bagi penelitian serupa dengan berbagai komoditas pertanian lainnya.

(18)

2.1 Telaah Penelitian Terdahulu

Dari hasil-hasil penelitian kemitraan usaha pertanian yang mengkaji pendapatan petani diperoleh kesimpulan bahwa tidak semua kemitraan usaha pertanian dapat meningkatkan pendapatan petani. Sebagian besar menyatakan justru menurunkan mendapatan petani.

Penelitian kemitraan usaha pertanian yang berdampak pada meningkatnya pendapatan petani adalah sebagaimana dilaporkan Rustiani (1994) pada usaha pertanian kontrak antara petani dengan eksportir sayuran di Kabupaten Bandung Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan pola kemitraan ini lebih menguntungkan petani dibanding model bukan kemitraan (dengan model PIR kelapa sawit di Cimerak dan TRI di Cirebon). Pada lahan seluas 250 tambak, pendapatan petani meningkat 70% bila dibanding bila mengelola sendiri.

Penelitian kemitraan usaha pertanian yang berdampak pada menurunnya pendapatan petani adalah sebagaimana dilaporkan Bachriadi 1995 yaitu usaha pertanian kontrak pada lima kasus yaitu TRI di Jawa, TIR di Indramayu, PIR nanas di Subang, PIR susu di Jawa Tengah dan PIR teh lokal di Tasikmalaya, diperoleh hasil sebagai berikut:

(19)

menikmati pertumbuhan produksi gula tersebut. Keuntungan produksi lebih banyak dinikmati oleh pabrik gula, meskipun pabrik gula tetap tidak bisa menyentuh pengembangan sistem dari program TRI.

2. Pada kasus PIR nanas. Pendapatan yang diperoleh petani tidaklah menggembirakan dibanding dengan masa sebelum adanya PIR nanas.

3. Kasus PIR susu di Jawa Tengah, pada, kenyataannya inti menyalurkan bibit sapi perah bermutu jelek dan menetapkan harga jual susu yang lebih rendah bila dibanding dengan harga di KUD Pengalengan dan KUD lainnya, sehingga upaya peningkatan kesejahteraan peternak melalui PIR. Susu ini tidak terwujud.

4. Kasus PIR lokal teh di Tasikmalaya, dilaporkan rendahnya harga beli pucuk teh dari perusahaan inti menjadi penyebab suramnya pelaksanaan PIR lokal teh di Tasikmalaya. Petani dengan berbagai cara, menjual pucuk-pucuk teh tidak kepada inti melainkan ke penampung-penampung teh, karena harga tawar penampung lebih tinggi dibanding dengan harga yang ditentukan inti.

Hasil penetapan harga input dan output secara sepihak oleh inti serta skala pemeliharaan broiler merupakan hal penting yang menjadi sumber ketidakpuasan peternak plasma. Keadaan ini mengakibatkan peternak hanya memperoleh keuntungan marginal atas kebaikan inti(Rusastra. et al, 2006).

2.2 Tinjauan Teoritis Tentang Konsep Kemitraan

(20)

(NES-System). NES-System ini kemudian diterapkan pada berbagai proyek pembangunan perkebunan. Uji cobanya dilaksanakan di Malaysia melalui proyek

Federal Land Development Authority (FELDA). Pemerintah Indonesia menerapkan sistem NES dan pola-pola hubungan produksi yang terkandung didalamnya dalam berbagai proyek Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dan beberapa proyek intiensifikas/ekstensifikasi pertanian lainnya dengan beragam istilah. Dalam proyek-proyek PIR muncul beberapa istilah dan konsepsi seperti PIR-Bun, PIR-TRans, PIR-Lokal, PIR-Unggas, PIR-Susu dan sebagainya. Dalam proyek-proyek intensifikasi pertanian dikenal beragam istilah, sesuai dengan komoditasnya, seperti Tambak Inti Rakyat, Tebu Rakyat Intensifikasi, Intensifikasi Tembakau Rakyat, Intensifikasi Karet Rakyat, dan sebagainya.

(21)

karena terjaminnya sarana, produksi peternakan dan pemasaran oleh perusahaan peternakan selaku mitra usaha inti.

Rusastra, et al (2006) menyatakan ada enam dasar etika berbisnis pada kemitraan usaha yaitu (a) karakter, integritas dan kejujuran, (b) kepercayaan, (c) komunikasi yang terbuka, (d) adil, (e) keinginan pribadi pihak yang bermitra, dan (f) keseimbangan insentif dan resiko.

Filosofi hakiki dari kemitraan adalah kebersamaan dan pemerataan. Melalui kemitraan antara perusahaan besar dengan perusahaan kecil dapat meningkatkan produktivitas, meningkatkan pangsa pasar, meningkatkan keuntungan, sama-sama menanggung resiko, menjamin pasokan bahan baku dan menjamin distribusi pemasaran (Rusastra,et al,2006).

Namun demikian menurut Kuncoro (2000) kemitraan tidaklah selalu menguntungkan pengusaha kecil. Pada kemitraan pola bapak angkat-anak angkat, mitra usaha plasma atau pihak anak- angkat yaitu produsen-produsen kecil di daerah pedesaan tetap menjadi obyek penindasan. Nilai tambah akan terus mengalir dalam jumlah yang semakin besar dan produsen-produsen kecil ke bapak angkat.

(22)

2.3 Model-model Kemitraan di Usaha Pertanian

Pada kawasan industri peternakan dapat dikembangkan beberapa model kemitraan ayam ras yaitu (i) Kawasan Industri Peternakan-Peternakan Rakyat Agribisnis (KINAK-PRA), model ini peternak sebagai plasma menjalin kemitraan dengan perusahaan yang betindak sebagai penghela yang menjamin plasma untuk suplai sarana produksi dan pemasaran hasil. Kemitraan model ini belum begitu sempurna karena belum ada keterkaitan antara hulu-hilir, (ii) Kawasan Industri Peternakan-Perusahan Inti Rakyat (KINAK-PIR), model kemitraan ini lebih maju dari model KINAK-PRA karena telah ada keterkaitan antara hulu dan hilir. Peternak sebagai plasma melaksanakan budidaya dalam satu kawasan tertentu sedangkan perusahaan inti membantu plasma dalam hal sarana produksi budidaya, pemasaran hasil, bimbingan teknis dan permodalan, dan (iii) Kawasan Industri Peternakan - Sentra Usaha Peternakan Ekspor (KINAK-SUPER), kemitraan dalam model ini mengkhususkan menjual produknya ke luar negeri. Pada model ini perusahaan inti dapat melakukan budidaya untuk keperluan ekspor namun sebagian besar produksinya dikerjasamakan dengan peternak plasma. Peternak dalam kemitraan ini merupakan peternak binaan terutama dalam hal teknologi khusus untuk ekspor. (Anonimous, 1997).

(23)

memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati sehingga hasil yang diciptakan harus mempunyai daya kompetitif dan nilai jual yang tinggi, (ii) Subkontrak, merupakan model kemitraan dimana kelompok mitra usaha memproduksi sebagian komponen produksi dari perusahaan mitra. Kemitraan model ini mempunyai keuntungan yang dapat mendorong terciptanya alih teknologi, modal, (iii) Dagang umum, pada model ini terjadi hubungan kemitraan usaha antara perusahaan yang memasarkan hasil dengan kelompok usaha yang mensuplai kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan pemasar hasil. Model ini memerlukan struktur pendanaan yang cukup kuat dari pihak yang bermitra, baik mitra usaha besar maupun mitra usaha kecil, membiayai sendiri-sendiri dari kegiatan usahanya karena sifat dari kemitraan ini adalah hubungan membeli dan menjual terhadap produk yang dimitrakan, (iv) Keagenan, pada model ini usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa dari usaha menengah atau usaha besar sebagai mitranya, dan (v) Waralaba, pada model ini kelompok mitra diberi hak lisensi dan bimbingan manajemen oleh perusahaan mitra usaha. Perusahaan mitra usaha sebagai pemilik waralaba, bertanggung jawab terhadap sistem operasi, pelatihan, program pemasaran, merek dagang, dan lainnya terhadap mitra usahanya sebagai pemegang usaha yang diwaralabakan. Sedangkan pemegang usaha waralaba, hanya mengikuti pola yang telah ditetapkan oleh pemilik waralaba serta memberikan sebagian dari pendapatannya berupa royalti dan biaya lainnya yang terkait dari kegiatan usaha tersebut.

(24)

sampai hilir berada dalam satu keputusan manajemen. Lebih lanjut dinyatakan pula bahwa tiga bentuk integrasi vertikal agribisnis ayam ras yang dapat dilakukan, yaitu (i) integrasi vertikal dengan pemilikan tunggal/grup. Bentuk ini mulai dari hulu sampai hillr dimiliki oleh satu perusahaan/grup perusahaan, (ii) integrasi vertikal agribisnis ayam ras dengan pemilikan saham bersama/usaha patungan. Pada bentuk ini industri pembibit, industri pakan, industri obat-obatan, usaha budidaya, pengusaha rumah potong, dan lainnya yang terpisah selama ini membentuk perusahaan vertikal milik bersama dan dikelola secara profesional. Pembagian keuntungan didasarkan pada share cost masing-masing unsur agribisnis integrasi vertikal tersebut, dan (iii) bentuk integrasi vertikal agribisnis ayam ras dengan koperasi agribisnis ayam ras. Dalam bentuk ini para peternak rakyat yang melakukan budidaya ayam ras membentuk koperasi agribisnis. Selanjutnya koperasi agribisnis akan mengembangkan perusahaan pakan, pembibitan, obat-obatan, pemotongan ayam dan pemasaran ayam.

(25)

Koperasi menyisihkan SHU-nya untuk kedua kegiatan tersebut. Skala budidaya

Final Stock melalui kemitraan tetap dipertahankan, dan (iii) jika budidaya Parent Stock dan pembuatan pakan sudah beroperasi, maka inti mulai menarik sebagian alokasi in natura-nya dan membina koperasi plasma yang baru. Akumulasi SHU digunakan untuk mengembangkan budidaya Parent Stock dan unit usaha feedmill -nya. Lembaga keuangan ikut mempercepat perkembangan ini, dan (iv) koperasi mulai merintis kerjasama dengan koperasi pertanian, perikanan dan koperasi pemasaran. Sedangkan alternatif model kemitraan kedua diperlukan pemikiran-pemikiran sebagai berikut yaitu (i) dana dari lembaga keuangan langsung diterima koperasi. Ditahap awal, akan lebih baik jika koperasi menggunakan dana tersebut untuk budidaya Parent Stock dan pabrik pakan mini. Sebagian dana untuk budidaya Final Stock, dan sementara bibit (DOC) masih bergantung pada perusahaan pembibit, (5) koperasi harus secepat mungkin melakukan kerjasama dengan koperasi pertanian, perikanan dan koperasi pemasaran bahan baku dan produk untuk membentuk jaringan agribisnis, (iii) jika dana dari lembaga keuangan tidak cukup, koperasi harus menguangkan aset yang tidak liquid.

(26)

Selanjutnya Bachriadi (1995) melaporkan pada kasus Tebu Rakyat lntensifikasi (TRI) di Jawa, bahwa model kemitman adalah kontrak produksi, dimana perusahaan yang mendapat hak sebagai inti adalah perusahaan-perusahaan negara perkebunan. Model ini sccara eksplisit memiliki karakteristik yaitu pabrik gula milik pemerintah bertindak sebagai pimpinan kerja para petani, melakukan penyuluhan dan bimbingan teknis pengusahaan tebu rakyat, menyediakan bibit unggul, memberikan petunjuk dan pelayanan dalam pemberian kredit, serta melindungi petani tebu rakyat dari kemungkinan ijon. Sedangkan petani tebu rakyat adalah sebagai pembudidaya. Struktur pasar agro input adalah monopoli, sedangkan pasar output monopsoni.

Dilaporkan pula oleh Bachriadi (1995) bahwa model kemitraan PIR-susu di Jawa Tengah adalah integrasi vertikal, dimana inti menyediakan bantuan kredit sapi perah, penyedia pakan, penjamin pasar susu, dan penyedia bimbingan teknis. Sedangkan peternak selaku pembudidaya. Struktur pasar agro input adah monopoli, dan pasar output adalah monopsoni.

Menurut Hafzah (1999) beberapa model kemitraan yang telah diaplikasikan yaitu :

(27)

mulai tanam sampai dengan panen, (iii) membeli produksi sesuai dengan kontrak kerjasama, dengan harga pasar dan ditambah 20 - 80 % apabila dinyatakan lulus lapangan oleh Balai Sertifikasi Benih, dan (iv) membayar hasil produksi sesuai kesepakatan yaitu satu hari setelah panen. Sedangkan petani (i) menyediakan dan mengolah lahan dengan baik dan menggunakan sarana produksi yang telah diberikan sesuai dengan paket teknologi anjuran, (ii) melakukan pemeliharaan dengan baik mulai saat tanam sampai dengan panen di bawah bimbingan tenaga teknis, (iii) menyerahkan hasil seluruhnya pada waktu panen, berdasarkan harga yang disepakati, dan (iv) menerima uang pembelian di pabrik atau ditransfer ke rekening petani, satu hari setelah panen. Pasar agroinput adalah monopoli, sedangkan pasar output adalah monopsomi.

2. Kemitraan jagung hibrida antara Perusahaan Makanan Ternak dengan petani. Model kemitraan ini adalah kontrak produksi. Perusahaan makanan ternak selaku inti memberikan bantuan pinjaman benih jagung hibrida dan pupuk kepada petani, dan membeli semua hasil produksi usaha jagung hibrida dari petani dengan harga yong disepakati dalam perjanjian. Sedangkan petani adalah pembudidaya. Struktur pasar agroinput yang terbentuk adalah monopoli, dan pasar output adalah monopsoni.

Zainuddin (2002) menyatakan keberlangsungan kemitraan ayam broiler di Amerika Serikat tidak terlepas dari model yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan perunggasan yaitu integrasi vertikal yang diwujudkan melalui

(28)
(29)

2.4 Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging Sebagai Solusi Pengembangan Industri Perunggasan Rakyat

Tolak ukur keberhasilan pembangunan sub sektor peternakan bidang perunggasan khususnya ayam ras pedaging adalah kesejahteraan yang merata bagi setiap pelaku, usaha peternakan ayam ras pedaging serta berkurangnya ketimpangan dalam pelaku usaha peternakan ayam ras pedaging tingkat pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat akibat adanya proses pembangungan sub sektor peternakan, memberikan konsekuensi logis terdapat sejumlah pelaku usaha peternakan terutama peternak ayam ras pedaging yang belum merasakan kemajuan pembangunan peternakan yang dicapai, sehingga menimbulkan ketimpangan dalam pemerataan hasil pembangunan.

Ketimpangan tersebut muncul sebagai akibat kemudahan fasilitas yang diberikan pemerintah kepada pengusaha peternakan besar. Bantuan dan berbagai fasilitas kemudahan yang diberikan merupakan keputusan politik pemerintah pada masa lalu yang terbukti kurang menguntungkan kondisi perekonomian secara nasional.

(30)

pembinaan dalam bidang manajemen maupun peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Menurut Hafzah (1999) pemecahan permasalahan tersebut tidak semata-mata menggantungkan pada peranan pemerintah melalui kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang diproduksikan, tetapi diperlukan peran serta usaha besar dan menengah yang selama ini memiliki kelebihan dalam penguasaan permodalan, teknologi dan sumber daya manusia. Usaha besar melakukan alih teknologi, kemampuan manajerial usaha dan aliran permodalan, sehingga berdampak pada perbaikan dan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia usaha keeil sehingga lebih profesional. Kesemuanya itu dapat dilakukan melalui mekanisme kerjasama yang saling menguntungkan dengan melaksanakan kemitraan usaha.

Yusdja dan Pasandaran (1998) menyatakan pemerintah mempercayai bahwa kemitraan perunggasan merupakan media yang tepat untuk membangun usaha, peternakan rakyat yang tangguh dan mandiri. Kemitraan usaha besar dan kecil merupakan media alternatif tintuk melindungi usaha rakyat. Komitmen ini akan tetap dipertahankan sekalipun Indonesia menghadapi ekonomi global.

2.5 Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging dan Posisi Tawar Peternak

(31)

Situasi peternak yang berlangsung dewasa ini mengalami pergeseran ke suasana yang sangat berbeda. Usaha perunggasan rakyat tidak lagi bercorak susbsisten, melainkan diwarnai dengan pembentukan usaha tani modern yang ditandai dengan Penerapan-penerapan inovasi-inovasi baru termasuk mulai masuknya ayam ras pedaging dalam teknologi perunggasan, munculnya sistem agribisnis ketat yang pada gilirannya peternak dipaksa untuk masuk ke dalam jaringan jual beli yang demikian kompleks. Banyak dari perkembangan ini yang telah memberikan dampak positif bagi peternak, tetapi bagi peternak kecil modernisasi ini membuat semakin terpuruk. Hal ini dijelaskan oleh Rasyaf (1995) bahwa periode tahun 1970 hingga 1980 merupakan kebangkitan peternakan ayam ras. Peternakan ayam broiler meledak hingga tahun 1980 dan puncaknya terjadi tahun 1981 bersamaan dengan semakin tergencetnya peternak-peternak kecil oleh peternak-peternak besar.Usaha perunggasan modern telah membuka babak baru dimana pemasaran produksi unggas berada di bawah hukum permintaan dan penawaran pasar. Pemasaran menjadi persoalan besar karena harga pasar tetaplah berada di bawah bayang-bayang kuasa yang berada jauh di luar kendali peternak. Fluktuasi harga selalu berada di bawah pengaruh berbagai faktor sosial, ekonomi, politik yang saling berinteraksi satu sama lain dan bahkan seringkali masih dengan faktor iklim yang menjadi variabel fluktuatif.

(32)

pihak-pihak yang mengikat diri melalui pemberian usul-usul dan sejenisnya sehingga diperoleh suatu kesepakatan (Anonimous 2009). Surono (1997) menyatakan lemahnya daya tawar memicu petani menghadapi kesulitan yang tidak berujung pangkal yang membawa pada situasi ketidakberdayaan yang melembaga dan mengarah kepada sebuah keadaan budaya kemiskinan petani. Lebih lanjut Surono (1997) menyatakan persoalan ketidakberdayaan petani merupakan persoalan struktural yaitu (i) petani kecil merupakan kelompok marjinal karena ketidakikutsertanya dalam sistem sosial telah meletakan mereka ke dalam elemen yang dibuat bergantung tak berdaya sepenuhnya., (ii) pilihan-pilihan petani ditentukan oleh pihak-pihak di luar petani, dan (iii) petani terasing dari jaringan-jaringan informasi aktual mengingat keterbatasan kemampuan kognitif mereka, perbedaan kultur dan posisi inferior dalam interaksi pasar.

(33)

usaha menengah dan besar sangat dominan dan cenderung mengeksploitasi yang kecil.

2.6 Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging dan Pendapatan Peternak

Burhanudin (2005) menyatakan tujuan dilakukannya kemitraan ayam ras antara lain untuk memperkecil resiko usaha terutama peternak rakyat sebagai mitra usaha plasma karena dijaminnya sarana produksi, pemasaran hasil dan jaminan pendapatan oleh perusahaan peternakan selaku mitra usaha inti.

Rasyaf (1995) menyatakan pendapatan usaha ayam ras pedaging diperoleh dari hasil penjualan ayam ras pedaging saat panen yang merupakan penerimaan dikurangi biaya produksinya. Penerimaan total dalam suatu usaha peternakan ayam ras pedaging terdiri dari hasil produksi utama berupa penjualan ayam ras pedaging, baik hidup maupun dalam bentuk karkas dan hasil penjualan tinja atau litter yang laku dijual.

(34)

Biaya variabel adalah biaya yang selalu berubah tergantung besar-kecilnya produksi. Pada usaha ayam ras pedaging, meliputi biaya pakan, obat-obatan, bibit, biaya litter, bahan bakar dan lain-lain (Prawirokusumo, 1990). Biaya pakan dapat mencapai 60 - 70 % dari total biaya produksi, biaya pembelian bibit mencapai 24% dari total biaya produksi. Total biaya variabel dalam usaha peternakan ayam pedaging dapat mencapai 90 - 95% dari total biaya produksi (Rasyaf, 1995).

Semakin besar skala usahatani maka semakin kecil biaya tetap per unit output sehingga semakin besar pendapatan yang diperoleh (Prawirokusumo, 1990). Namun pada umumnya menurut Moerad(2000) sebagian besar pertanian diselenggarakan oleh petani kecil yang sulit berkembang secara sendiri-sendiri. Kondisi ini memberi dampak pada sulitnya menerapkan efisiensi di setiap kegiatan agribisnis, pada gilirannya biaya produksi tinggi, produktivitasnya rendah, daya saing rendah dan pendapatan kecil. Dengan demikian petani kecil perlu mitra usaha guna memperoleh pendapatan yang lebih layak dari usaha taninya.

(35)

2.7 Kerangka Pemikiran

Pergeseran struktur industri perunggasan ras pedaging rakyat dari usaha non kemitraan ke kemitraan berdampak pada perubahan posisi tawar peternak dalam proses pengambilan keputusan terhadap manajemen produksi yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat pendapatan peternak usaha ayam ras pedaging non kemitraan menjadikan peternak dengan segala keterbatasannya mengatasi sendiri berbagai permasalahan usaha yang dihadapi dan peternak cenderung dalam situasi termarjinalisasikan oleh pihak di luar peternak. Termarjinalisasinya peternak menunjukkan bahwa posisi tawar peternak dalam proses pengambilan keputusan usaha mendapat tekanan dari pihak di luar peternak. Hal ini menjadikan kendala dalam pencapaian peningkatan pendapatan.

Usaha ayam ras pedaging pola kemitraan dilandasi filosofi yang mencakup tiga hal (i) keadilan yang membuat kedudukan setam antara inti dengan peternak, (ii) keuntungan, keselamatan, ketahanan dan kesejahteraan yang menuntut adanya keahlian dan penguasaan teknologi, dan (iii) etika sebagai sikap dan niat baik inti dan peternak.

Mendasari filosofi kemitraan tersebut jelaslah bahwa (i) kemitraan usaha ayam ras pedaging memberikan peluang terbukanya akses daya tawar peternak dalam proses pengambilan keputusan-keputusan pada majanemen usaha, dan (ii) kemitraan usaha ayam ras pedaging menjamin kepastian pendapatan peternak.

(36)

mengikuti program kemitraan. Dengan demikian posisi tawar dan pendapatan peternak merupakan hal yang saling berkaitan.

Kerangka pemikiran tersebut di atas digambarkan sebagaimana disajikan pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1 : Kerangka Pemikiran Dampak Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging Terhadap Posisi Tawar dan Pendapatan Peternak

2.8 Hipotesis

Dari latar belakang, masalah, tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran, dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

1. Pola usaha ayam ras pedaging kemitraan berbeda dengan pola non kemitraan. 2. Pada skala usaha yang sama, pendapatan peternak kemitraan lebih tinggi

dibanding pendapatan peternak non kemitraan.

Inti Peternak Kemitraan Usaha

Ayam Ras pedaging

Posisi Tawar

Proses Produksi Usaha Ayam ras Pedaging Pola Kemitraan

Produk Ayam ras

pedagingPola Kemitraan

(37)
(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Penentuan Daerah Penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode survei. Penentuan daerah penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa daerah penelitian merupakan daerah sentra produksi ayam ras pedaging, seperti terlihat pada Tabel I. Daerah penelitian meliputi Kecamatan Dukun, Panceng dan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik.

Tabel 1 Populasi Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Gresik

(39)

3.2 Penentuan Responden

Populasi dalam penelitian ini dikelompokan menjadi dua yaitu peternak pola kemitraan dan non kemitraan pada masing-masing kecamatan.

Besarnya masing-masing sampel ditentukan berdasarkan pendapat Singarimbun dan Effendi (1998) bahwa penentuan jumlah sebagai sampel tergantung pada teknik analisis yang akan digunakan. Bilamana teknis analisis data yang dipakai adalah membandingkan antar kelompok maka jumlah sampel setiap kelompok dalam rancangan analisa minimal 30 kasus. Mendasari ketentuan tersebut, responden dalam penelitian ini sejumlah 60 orang, terdiri 30 responden peternak non kemitraan dan 30 responden peternak pola kemitraan.

Guna memenuhi besarnya sampel peternak pola kemitraan sejumlah 30 responden, maka dilakukan secara proporsional sesuai dengan jumlah pupulasi pada masing-masing kecamatan. Selanjutnya penentuan sampel dilakukan dengan acak sederhana (simple random sampling) menurut Sarantakos (1995).

Tabel 2 Populasi dan Sampel Peternak Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan Non Kemitraan di Kabupaten Gresik

Kecamatan Populasi Peternak Pola Kemitraan

Sumber : Data Primer Diolah, 2009

(40)

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dan data primer dari sekunder. Pcngumpulan data primer dilakukan dengan wawancara kepada peternak plasma dan mandiri menggunakan daftar pertanyaan. Sedangkan data sekunder dengan cara mencatat data dari instansi yang terkait.

3.4 Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan analisis diskriptif, analisis skoring, analisis pendapatan, analisis titik impas.

3.4.1 Analisis Diskriptif

Analisis diskriptif mengacu pendapat Sarantakos (1995), digunakan untuk memperoleh tujuan penelitian pertanian yaitu mendiskripsikan usaha ayam ras pedaging pola kemitraan dan non kemitraan, meliputi pola usaha, skala usaha, penyakit dan morialitas, tingkat produksi, dan konversi pakan. Data dikumpulkan ditabulasi untuk mencari rataan dan standar deviasi serta dianalisis dengan secara diskriptif. Untuk mencari standar deviasi (Sd), dengan rumus yakni :

Sd = 1/n ({n.∑ x ² - (.∑ x ) ² } / {n – 1} )½

3.4.2 Analisis Skoring

(41)

Tabel 3 : Tolok Ukur Posisi Tawar Peternak Kemitraan No Penentuan Keputusan

Peternak

Jenis bibit, pakan dan obat-obatan

Pemasok bibit, pakan dan obat obatan

Harga bibit, pakan dan obat obatan

Hasil perolehan skor tersebut kemudian dilakukan katagori posisi tawar meliputi lemah, sedang dan kuat. Penentuan katagori posisi tawar ditetapkan sebagai berikut :

1. Perolehan skor tertinggi = 10 x 3 = 30 2. Perolehan skor terendah = 10 x 1 =10 3. Jumlah katagori = 3

Range setiap katagori= (skor tertinggi– kor terendah)/jumlah katagori = (30 - 10)/3

= 6,7

(42)

3.4.3 Analisis Pendapatan dan Titik Impas

Analisis pendapatan mengacu pendapat Rasvaf (1995), digunakan untuk memperoleh tujuan penelitian ketiga yaitu menganalisis pendapatan peternak kemitraan dan non kemitraan. Sedangkan analisis titik impas mengacu pendapat Praswirokusumo (1990) dan Salam (2006) digunakan untuk mengetahui batas aman usaha, meliputi titik impas hasil dan harga, dihitung dengan rumus :

BEP (Unit) = VC = Biaya Variable (Variable Cost)

P = Harga jual per unit (volume penjualan).

3.4.4 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

1. Peternak kemitraan adalah peternak yang melakukan pembudidayaan ayam ras pedaging dalam bentuk kontrak usaha dengan salah satu perusahaan peternakan terbesar di Kabupaten Gresik Peternak non kemitraan dalam penelitian ini adalah peternak yang melakukan pembudidayaan usaha ayam ras pedaging secara mandiri dalam arti tidak melalui kontrak usaha dengan perusahaan peternakan.

(43)

ayam ras pedaging secara legal dengan peternak rakyat. Perusahan peternakan tersebut sebagai mitra usaha inti.

3. Posisi tawar peternak dalam hal ini adalah kemampuan peternak dalam proses pengambilan keputusan-keputusan usaha ayam ras pedaging. Definisi posisi tawar (bargaining position): the ability of somebody to achieve a disired end in a negotiation,as determined by

his or her relatif strengths or weakneses (Anonimous, 2009).

4. Produksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah bobot hidup ayam ras pedaging saat di panen dari hasil pemeliharaan dalam satu periode produksi pada bulan Maret s.d. Mei 2009 diukur dengan satuan kilogram (kg).

5. Penerimaan (Total Revenue) dalam penelitian ini diformulasikan sebagai berikut:

TR = P, Y

P = Harga ayam ras pedaging hidup di tingkat peternak pada bulan Maret s/d Mei 2009 dalam satuan Rp/kg.

Y =Total produksi ayam ras pedaging dalam satu periode produksi pada bulan Maret s/d. Mei 2009, diukur dalam satuan kilogram. 6. Biaya dalam penelitian ini adalah seluruh biaya yang dikeluarkan

(44)

(1) Bibit, biaya yang dikeluarkan peternak untuk pembelian anak ayam (DOC).

(2) Pakan, biaya yang dikeluarkan peternak untuk pembelian pakan selama pemeliharaan.

(3) Tenaga kerja, biaya yang dikeluarkan peternak menggaji karyawan/tenaga kerja luar peternak.

(4) Bahan bakar, biaya yang dikeluarkan peternak untuk pembelian minyak tanah alau LPG pada saat ayam dalam fase starter.

(5) Sekam, biaya yang dikeluarkan peternak untuk pembelian sekam sebagai alas kandang/litter pada saat ayam fase starter.

(6) Obat-obatan, biaya yang dikeluarkan peternak untuk pembellian obat-obatan dalam upaya menjaga agar ayam tetap sehat.

(7) Vaksin, biaya yang dikeluarkan peternak untuk pembelian vaksin dalam upaya

Sedangkan biaya tetap terdiri dari :

(8) Pajak, biaya yang dikeluarkan peternak untuk membayar pajak tanah lokasi kandang.

(9) Keamanan, biaya yang dikeluarkan peternak untuk petugas keamanan kandang.

(10)Kandang dan peralatan, yaitu biaya penyusutan kandang dan peralatan.

(45)

(11) Sewa lahan, biaya yang dikeluarkan peternak untuk menyewa lahan lokasi kandang.

(46)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Diskripsi Umum Daerah Penelitian

4.1.1. Kondisi Geografis

Kabupaten Gresik merupakan salah satu daerah kabupaten di Jawa Timur, dengan luas wilayah 6.965,05 km2 yang terdiri dari luas laut 5.773,80 km2 dan luas darat 1.191,25 km2, dengan batas-batas wilayah : sebelah utara laut Jawa, sebelah timur selat Madura dan kota Surabaya, sebelah selatan kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kota Surabaya dan sebelah barat kabupaten Lamongan. Peta lokasi penelitian disajikan pada lampiran 11.

4.1.2 Keadaan Penduduk

Distribusi penduduk Kabupaten Gresik berdasarkan tingkatan umur disajikan pada Tabel 4

Tabel 4. Distribusi keadaan penduduk kabupaten Gresik berdasarkan kelompok umur.

Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah

1 2 3 4

(47)

1 2 3 4

Sumber : Kantor Statistik Kabupaten Gresik, 2008

Tabel 4 menunjukkan bahwa penduduk kelompok umur 20 s.d 35 tahun di Kabupaten Gresik merupakan kelompok umur yang terbesar dan produktif. Hal ini dapat dijadikan sebagai aset untuk mengembangkan usaha ayam ayam ras pedaging di kabupaten Gresik.

4.1.3. Keadaan Populasi Ternak

Jenis ternak yang diusahakan para peternak di kabupaten Gresik , dengan sebaran populasi disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran populasi ternak di kabupaten Gresik.

(48)

Tabel 5 terlihat bahwa populasi ayam ras pedaging menempati urutan pertama, dengan jumlah populasi paling banyak. Hal ini menunjukkan ayam ras pedaging di kabupaten Gresik merupakan salah satu ternak unggulan yang dipelihara peternak. Berdasarkan data dari Kantor Statistik Kabupaten Gresik tahun 2008 disebutkan bahwa tiga kecamatan sebagai sentra populasi ayam ras pedaging yaitu kecamatan Dukun, dengan populasi 985.000 ekor, kecamatan Panceng dengan populasi 495.000 ekor dan kecamatan Ujung Pangkah dengan populasi 575.100 ekor.

4.1.4. Konsumsi Hasil Ternak

Kemampuan masyarakat kabupaten Gresik dalam mengkonsumsi hasil ternak, disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Konsumsi hasil ternak di kabupaten Gresik Tahun 2007-2008 (kg/kapita/tahun)

Konsumsi 2007 2008 % Kenaikan Daging 7,61 8,31 9,19

Telur 5,5 6,9 25,45

Susu 5,5 10,3 87,27

Sumber : Kantor Statistik Kabupaten Gresik, 2008

(49)

konsumsi hasil ternak di kabupaten Gresik merupakan sasaran pasar yang potensial dalam pengembangan usaha peternakan.

4.1.5. Perkembangan Pendapatan Rumah Tangga Peternak

Perkembangan pendapatan rumah tangga peternak di kabupaten Gresik tahun 2007-2008 disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Perkembangan pendapatan rumah tangga peternak di kabupaten Gresik tahun 2007-2008. (Rp/kapita/tahun).

Jenis ternak yang

diusahakan 2007 2008 % Kenaikan Sapi Potong 444.648 740.125 66,45 Sapi Perah 1.295.085 1.648.995 27.33 Unggas 1.570.020 2.334.020 48.66 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Gresik, 2008

Tabel 7 menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga peternak unggas pada tahun 2008 menempati urutan tertinggi dengan kenaikan 48,66%. Hal ini berarti usaha unggas potensial dalam rangka meningkatkan pendapatan peternak.

4.2. Karakteristik Responden

4.2.1. Umur

Hasil penelitian menunjukkan kisaran umur responden antara 20 s/d 66 tahun dengan rataan 37 tahun. Stratifikasi dan sebaran umur responden disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Keadaan Umur Responden.

No. Umur (Tahun) Kemitraan

(50)

Tabel 8 menunjukkan bahwa responden usaha ayam ras pedaging dengan pola kemitraan sebagian besar berumur 20-35 tahun, sedangkan responden usaha ayam ras pedaging non kemitraan sebagian besar berumur 36-50 tahun, namun secara agregat umumnya responden berumur 20-35 tahun hingga mencapai 61,7 persen. Kondisi umur tersebut tergolong kelompok umur produktif dan hal ini merupakan aset dalam rangka pengembangan usaha ayamras pedaging.

4.2.2. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan responden adalah jenjang pendidikan terakhir yang ditempuh responden. Tingkat pendidikan responden disajikan pada Tabel 9

Tabel 9. Tingkat Pendidikan Responden

No. Tingkat

Sumber : Data Primer diolah, 2009

(51)

et al (2005) yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani pada pola kemitraan lebih tinggi dibandingkan pola mandiri.

4.2.3. Jumlah Tanggungan Keluarga

Jumlah tanggungan keluarga berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan keluarga. Jumlah tanggungan keluarga menjadi salah satu pertimbangan responden dalam menentukan suatu usaha produktif termasuk usaha ayam ras pedaging. Sebaran tanggungan keluarga responden di daerah penelitian disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Jumlah Tanggungan Keluarga Responden.

No

Sumber : Data Primer diolah, 2009

Tabel 10 menunjukkan umumnya tanggungan keluarga responden 4-6 orang atau mencapai 62 persen, sedangkan responden dengan tanggungan keluarga 1-3 orang mencapai 35 persen dan 7-9 orang hanya 3 persen.

4.2.4. Lama Usaha

(52)

Tabel 11. Lama Usaha Responden.

Sumber : Data Primer diolah, 2009

Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar lama usaha responden 1-5 tahun atau mencapai 63,3 persen. Hal ini berarti responden pada umumnya sebagai pengusaha ayam ras pedaging tingkat pemula.

4.3 Diskripsi Usaha Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan NonKemitraan.

Diskripsi usaha ayam ras pedaging pola kemitraan dan non kemitraan di daerah penelitian dapat dilakukan dengan mendeskripsikan usaha ayam pedaging pola kemitraan dan non kemitraan dari sampel (responden terpilih). Hal ini didasarkan pendapat Singarimbun, M(1987) bahwa sampel adalah bagian dari populasi dan sampel dipergunakan untuk menentukan sifat-sifat dari populasi.

Adapun diskripsi usaha ayam ras pedaging pola kemitraan dan non kemitraan dari responden terpilih (sampel), sebagaimana diuraikan berikut ini:

4.3.1. Proses Sebagai Peternak Ayam Ras Pedaging

(53)

1. Calon peternak didatangi petugas dari mitra usaha inti, dengan maksud menawarkan program kemitraan usaha ayam ras pedaging. Penawaran program kemitraan tersebut langsung kepada peternak tanpa melalui instansi dinas yang terkait maupun assosiasi peternak. Penawaran tersebut hanya menyangkut program kemitraan khususnya menitikberatkan pada aspek budidaya dan pasar.

2. Apabila calon peternak menyetujui penawaran tersebut, selanjutnya mitra usaha inti melalui petugasnya menindaklanjuti dengan cara melakukan survei ke lokasi kandang ayam ras pedaging calon peternak. Survei menekankan pada kelayakan teknis kandang beserta kelengkapan lainnya dan aspek sosial khususnya keamanan berusaha ayam ras pedaging.

3. Apabila hasil survei dianggap layak, maka mitra usaha ini mendatangi calon peternak untuk menandatangani naskah perjanjian usaha. Naskah perjanjian usaha tersebut dibuat oleh mitra usaha inti, sedangkan calon peternak tinggal menandatangani tanpa diberi kesempatan untuk mempelajari naskah perjanjian usaha tersebut.

4. Dengan ditandatanganinya naskah perjanjian usaha oleh kedua belah pihak, maka status calon peternak menjadi peternak usaha ayam ras pedaging pola kemitraan

Kronologis sebagai peternak mandiri adalah sebagai berikut :

(54)

2. Informasi dianggap cukup, selanjutnya calon peternak membuat kandang beserta kelengkapannya.

3. Calon peternak mengadakan transaksi dengan poultry shop, meliputi bibit, pakan dan obat-obatan

4. Selanjutnya poultry shop mengirim bibit, pakan dan obat-obatan kepada peternak.

4.3.2. Pola Usaha

Pola usaha peternak kemitraan dilaksanakan dengan pola pengelola, dimana perusahaan peternakan selaku mitra usaha inti mensuplai sarana produksi peternakan (bibit, pakan dan obat-obatan), memberikan bimbingan teknis dan manajemen dan menampung serta memasarkan hasil produksi. Sedangkan peternak selaku mitra usaha plasma menyediakan lahan, kandang beserta perlengkapannya, tenaga kerja dan melakukan budidaya. Suplai sarana produksi peternakan tersebut merupakan kredit dan sebagai agunan kredit berupa sertifkat tanah, diperhitungkan setelah panen. Besarnya kredit yang diterima peternak, diperhitungkan setelah panen.

(55)

produksinya. Perusahaan monopoli tidak hanya menentukan harga tetapi juga menentukan berapa harga jual yang menghasilkan keuntungan maksimum bagi dirinya. Akibatnya ada unsur eksploitasi oleh perusahaan monopoli terhadap konsumen dengan ditetapkannya harga jual diatas marginan cost, dengan demikian harga yang ditetapkan oleh perusahaan monopoli lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar persaingan Perusahaan monopoli dengan sengaja membatasi output-nya untuk memaksimumkan laba. Volume produksi yang dihasilkan lebih kecil dari volume optimum. Oleh karena itu dari sudut pandang sosial, output yang dihasilkan terlalu rendah. Selanjutnya Boediono (1997) menegaskan pemusatan pasar dalam bentuk monopoli dapat menimbulkan kerugian sosial berupa inefisiensi, ketidakadilan pendapatan dan menurunnya kesejahteraan masyarakat.

(56)

4.3.3. Skala Usaha

Skala usaha peternak pola kemitraan dan non kemitraan di daerah penelitian, disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Skala Usaha Ayam Ras Pedaging Di Daerah Penelitian

No. Pola Usaha Ayam Ras Pedaging

Skala Usaha Ayam Ras

Pedaging (ekor) Rataan (ekor) 1 Kemitraan 2.500 s/d 10.000 5.650 ± 1.498 2 Non Kemitraan 500 s/d 8.000 1.750 + 1.576 Sumber : Data Primer diolah, 2009

(57)

Skala usaha ayam ras pedaging peternak pola kemitraan dan non kemitraan sebagaimana disajikan pada tabel 12, menurut Yusdja dan Pasandaran (1998) skala usaha ayam ras pedaging peternak pola kemitraan di daerah penelitian termasuk skala menengah karena rataan skala usaha ayam ras pedaging yang dibudidayakan termasuk pada kisaran 5.000 s/d 10.000 ekor, sedangkan usaha ayam ras pedaging peternak non kemitraan termasuk skala kecil karena rataan skala usaha ayam yang dibudidayakan kurang dari 5.000 ekor.

4.3.4. Mortalitas

(58)

Tingkat mortalitas dari hasil penelitian pada usaha ayam ras pedaging dengan pola kemitraan dan non kemitraan di kabupaten Gresik mencapaii 4 - 5 %. Tingkat mortalitas sebesar 4,8 % tersebut tergolong rendah karena dibawah ambang batas mortalitas normal maksimum yaitu 5%.

4.3.5. Masa Pemeliharaan

Hasil penelitian menunjukkan, secara agregat masa pemeliharaan ayam ras pedaging dalam satu periode produksi berkisar antara 35 s/d 42 hari, dengan rataan pemeliharaan 39 hari. Sebaran masa pemeliharaan ayam ras pedaging dalam satu periode produksi pada daerah penelitian disajikan pada Tabel 13

Tabel 13. Masa pemeliharaan ayam ras pedaging

No. Pola Usaha Ayam ras pedaging

Masa Pemeliharaan (hari)

Rataan masa pemeliharaan (hari) 1 Kemitraan 35 - 37 36 + 0,59 2 Non Kemitraan 36 - 42 42 + 1,58 Sumber : Data Primer diolah, 2009

(59)

masa pemeliharaan. Perilaku inti tersebut diindikasikan sebagai strategi untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi, didasarkan pada dua hal yang dijadikan pertimbangan. (i) umur panen lebih dari 36 mengakibatkan bobot ayam akan lebih meningkat, sehingga pengeluaran biaya pembelian ayam kepada peternak akan semakin besar, walaupun ada tambahan penerimaan hasil penjualan sapronak, namun dalam hal ini dipandang secara ekonomis tidak efisien karena pengeluaran biaya pembelian ayam tidak sebanding dengan penerimaan hasil penjualan sapronak kepada peternak plasma dan (ii) semakin cepat panen akan semakin cepat pengembalian biaya sapronak yang disalurkan pada peternak dan semakin cepat pula sapronak yang disalurkan pada peternak pada periode pemeliharaan berikutnya, sehingga mempercepat perputaran modal yang diinvestasikan.

4.3.6. Bobot Hidup

(60)

4.3.7. Tingkat Konversi Pakan

Tingkat konversi pakan merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang dihabiskan dalam satu periode pemeliharaan dengan tingkat produksi yang dicapai. Tingkat konversi pakan merupakan salah satu indikator teknis untuk mengevaluasi usaha ayam ras pedaging. Tingkat konversi pakan dijadikan indikator teknis usaha ayam ras pedaging, disebabkan dalam pembudidayaan ayam ras pedaging, pakan merupakan faktor produksi yang dapat mencapai 66% dari biaya produksi dalam satu periode produksi. Dengan demikian semakin rendah nilai konversi pakan, semakin baik usaha pembudidayaan ayam ras pedaging, karena semakin efisien penggunaan pakan.

(61)

ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Wahyono (2007) yang menyatakan bahwa dengan perkembangan evolusi gen pada tahun 2007 sudah dapat mencapai umur panen 35 hari dengan berat hidup 2,01 kg dengan konversi pakan 1,65. Menurut Sudin,(2009) bahwa dari hasil pengamatan perkembangan genetik dari ayam ras pedaging sejak tahun1950 ditunjukkan pada Tabel 14 berikut :

Tabel 14. Perkembangan Ayam Ras Pedaging

Tahun Umur pada Berat Badan 1800 gr/hr

FCR

Dari Tabel 14 terlihat perkembangan genetik dari ayam ras pedaging. Kalau pada tahun 1950 untuk mencapai berat badan 1800 gr dibutuhkan waktu 84 hari dengan Feed Convertion Ratio (FCR) 3,25, maka pada tahun 2000, waktu yang dibutuhkan 35 hari dengan Feed Convertion Ratio (FCR) 1,65 dan pada tahun 2010 diperlukan hanya dalam waktu 28 hari telah mencapai 1800 gr dengan

Convertion Ratio (FCR) 1,5.

(62)

4.4. Analisis Posisi Tawar Peternak Kemitraan dan Perusahaan Inti

Kemampuan posisi tawar peternak dalam proses pengambilan keputusan usaha ayam ras pedaging, memiliki kedudukan strategis. Hasil keputusan usaha tersebut menjadi acuan dalam manajemen produksi ayam ras pedaging

Pada kemitraan usaha ayam ras pedaging, hasil proses pengambilan keputusan ditindaklanjuti dalam bentuk naskah perjanjian usaha yang mengikat peternak dan inti serta menjadi landasan operasional pelaksanaan kemitraan tersebut.

Sejauh mana posisi tawar peternak (bargaining position) pola usaha yang berbeda dapat dilihat dari hasil analisis posisi tawar sebagaimana disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Analisis Posisi Tawar Peternak Kemitraan dan Perusahaan Inti di Daerah Penelitian.

Kategori Skor

Peternak Kemitraan Perusahaan Inti Orang % Skor Rata

an Orang % Skor Rataan

≤ 16,7 30 100 310 10,3 - - - - 16,8 - 23,5 - - - - 23,6 - 30 - - - - 30 10 889 29,6

Jumlah 30 100 310 10,3 30 10 889 29,6 Sumber : Data Primer diolah, 2009

(63)

tawar peternak,yang dapat menurunkan pendapatan peternak.Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nurhadi, et al , 2007 yang menyimpulkan bahwa posisi

tawar petani berdampak posistif terhadap pendapatan bersih usahatani.Lemahnya posisi tawar peternak dapat dilihat dari kenyataan sebagai berikut :

1. Penentu sebagai peternak kemitraan adalah hak sepenuhnya inti. Tidak semua calon peternak dapat diikursertakan dalam program kemitraan.

2. Penentuan skala usaha menjadi hak sepenuhnya inti.

3. Peternak berkewajiban menggunakan jenis dan seluruh sarana produksi peternakan yang ditentukan dan dikirim oleh inti meliputi bibit (DOC), pakan, obat-obatan dan vaksin, dengan tanpa memberikan kesempatan peternak untuk melakukan pemilihan dan seleksi terhadap sarana produksi peternakan tersebut.

4. Harga bibit, pakan, obat-obatan dan vaksin ditentukan sepihak oleh inti dan dibayarkan setelah panen.

5. Guna mencegah resiko kegagalan usaha, inti melakukan intervensi pada setiap pengambilan keputusan manajemen usaha ayam ras pedaging, saat awal budidaya, teknis budidaya dan saat panen.

6. Harga output merupakan harga kontrak dan ditentukan sepihak oleh inti. 7. Lama pemeliharaan ditentukan sepihak oleh inti dan hasil produksi dijual

(64)

tersebut, membawa dua akibat bagi peternak. Pertama, bertambahnya jumlah pakan yang dikonsumsi ayam, hal ini memperbesar jumlah hutang peternak kepada inti. Kedua, penundaan saat panen menjadikan ayam ras pedaging mengalami kelebihan berat badan dan berdampak pada penurunan harga jual. Seiring dengan penundaan panen, nampak jelas bahwa inti tidak ingin dirugikan dengan cara mempertinggi beban hutang pakan pada peternak.

8. Waktu pembayaran hasil usaha ternak ditentukan inti, dan seringkali mengalami keterlambatan bahkan hingga periode pemeliharaan berikutnya kadangkala hasil usaha peternak tersebut belum dibayarkan.

(65)

menjadi peternak plasma, penetapan harga sapronak dan hasil panen, pengaturan pola produksi, serta pengawasan, pemberian bonus atau sangsi). Sementara peternak plasma berkewajiban untuk menyediakan kandang dan peralatan produksi serta melakukan pemeliharaan sebaik-baiknya.

4.5. Analisis Titik Impas dan Pendapatan

Analisis titik impas usaha ayam ras pedaging pola kemitraan dan non kemitraan dalam satu periode produksi disajikan dalam Tabel 16.

Tabel 16. Analisis Titik Impas (BEP) usaha ayam ras pedaging pola kemitraan dan non kemitraan selama satu periode produksi di daerah penelitian (rupiah/1000 ekor)

Uraian Pola Kemitraan Non Kemitraan

Biaya :

Bibit 3.200.000 *) 3.944.762

Pakan 12.720748 *) 18.932.638

Obat dan vaksin 355.500 *) 366.004

Karyawan 280.000 280.000

Sanitasi 250.000 297.034

Sekam 24.000 33.752

Bahan bakar 231.258 284.154

Listrik 26.497 31.089

Penyusutan kandang dan alat 92.223 112.267

Keamanan dan Pajak 67.792 86.541

Sewa Lahan 50.000 50.000

Total Biaya 17.049.484 23.878.242

Produksi (kg/1000 ekor) 1.811 2.704

Harga Jual (Rp/kg) 11.200 12.750

Harga BEP (Rp/kg) 9.420 9.161

Hasil BEP (kg/1000 ekor) 1.526 1.864

(66)

Tabel 16 menunjukkan bahwa pada usaha ayam ras pedaging pola kemitraan, total biaya produksi usaha ayam ras pedaging pola kemitraan lebih rendah dibandingkan non kemitraan. Hal ini disebabkan lama pemeliharaan usaha ayam ras pedaging non kemitraan lebih lama dibandingkan pola kemitraan. Lama pemeliharaan usaha ayam ras pedaging pola kemitraan 36 hari sedangkan non kemitraan 42 hari. Pemeliharaan yang lebih lama membawa konsekuensi naiknya kebutuhan agroinput khususnya pakan.

Tabel 16 menunjukkan pula bahwa harga jual yang merupakan harga kontrak, ternyata masih diatas harga titik impas dan demikian juga hasilnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa usaha ayam ras pedaging pola kemitraan dapat memberikan keuntungan, namun keuntungan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan keuntungan usaha ayam ras pedaging non kemitraan sebagaimana disajikan tabel 17

Tabel 17. Analisis Pendapatan Usaha Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan Non Kemitraan selama satu periode produksi di daerah peneliian (rupiah/1000 ekor)

Uraian Pola Kemitraan Non Kemitraan Biaya 17.049.484 23.878.242 Penerimaan 20.284.442 34.665.452 Pendapatan 3.234.939 10.787.210

Sumber : Data Primer diolah, 2009

(67)

harga jual (harga kontrak) dibanding harga yang berlaku di pasar yaitu Rp 11.200,00 /kg, sedangkan pada peternak non kemitraan atau harga yang berlaku di pasar sebesar Rp. 12.750,00 /kg (ii) Tingginya biaya pakan per kilogram yang dikeluarkan peternak pola kemitraan dibanding non kemitraan, dan (iii) lama pemeliharaan, sebab semakin lama pemeliharaan maka semakin tinggi bobot ayam.

Meskipun pada skala pemeliharaan 1000 ekor per periode produksi, pendapatan peternak kemitraan jauh lebih rendah dibandingkan dengan peternak non kemitraan, disaat krisis ekonomi peternak di daerah penelitian cenderung berusaha ayam ras pedaging dengan pola kemitraan. Hal ini disebabkan:

1. Dengan pola kemitraan skala usaha dapat lebih besar dari kemampuan yang dimiliki petani non kemitraan. Skala usaha peternak kemitraan rata-rata 5650 ekor per periode produksi. Sedangkan skala usaha peternak kemitraan 1.750 ekor per periode produksi. Dengan skala yang lebih besar diharapkan keuntungan per unit out put akan lebih besar.

2. Peternak mendapatkan kredit sarana produksi meliputi bibit, pakan dan obat-obatan dari mitra usaha inti. Kredit tersebut mencapai 95,47 % dari total biaya produksi atau sebesar Rp. 16.276.248,00 dan pengembalian kredit baru dilakukan setelah peternak memanen hasilnya.

3. Adanya jaminan pasar, karena semua hasil produksinya dibeli oleh mitra usaha inti.

(68)

Dengan rataan pemeliharaan 5650 ekor per periode produksi, peternak memperoleh pendapatan bersih sebesar Rp. 18.277.513,00,- dalam kurun waktu 36 hari.

5. Kegagalan usaha ditanggung mitra usaha inti, hal ini menguntungkan peternak karena ayam ras pedaging merupakan jenis ayam ras yang rentan terhadap penyakit, sehingga diperlukan penanganan khusus.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa usaha ayam ras pedaging dengan pola kemitraan merupakan solusi untuk keberlanjutan industri perunggasan rakyat khususnya disaat peternak kesulitan memperoleh modal sebagaimana yang terjadi disaat krisis ekonomi.

Namun demikian peternak dengan pola kemitraan akan menghadapi situasi yang kurang menguntungkan, karena hal-hal sebagai berikut :

1. Harga per unit output (harga kontrak) lebih rendah dari harga yang berlaku dipasar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga jual (harga kontrak) per unit output sebesar Rp 11.200,-/kg, sedangkan harga yang berlaku di pasar Rp 12.750,00/kg. Kondisi ini berdampak pada lebih rendahnya pendapatan peternak pola kemitran.

2. Harga pakan per kilogram lebih tinggi dibanding harga pakan yang berlaku di pasar.

(69)

ayam ras pedaging pola kemitraan dibanding pada usaha ayam ras pedaging non kemitraan, berdampak pada lebih tingginya pengeluaran biaya pakan, sehingga menurunkan pendapatan.

3. Peternak dihadapkan pada eksploitasi pasar yaitu monopoli agroinput dan monopsoni output. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peternak pola kemitraan dihadapkan pada pasar monopoli agroinput dan monopsoni output. Adanya monopoli pasar agroinput, produsen monopolis dalam hal ini adalah mitra usaha inti, menetapkan harga agroinput sepihak dan cenderung lebih rendah dibanding harga yang berlaku di pasar. Disamping dihadapkan pasar monopoli agroinput, peternak kemitraan dihadapkan pula dengan pasar monopsoni output. Adanya monopsoni output cenderung lebih rendah dibanding dengan harga output yang berlaku di pasar.

Berdasarkan kondisi yang kurang menguntungkan tersebut, dirasa perlu dicarikan solusi sebagai strategi untuk meningkatkan pendapatan peternak kemitraan tidak dalam keadaan loss situation.

(70)

kurang kepberpihakan inti terhadap peternak, pendapatan peternak pola kemitraan lebih rendah dibanding non kemitraan.

Oleh karenanya dalam upaya meningkatan pendapatan peternak kemitraan dapat dilakukan melalui pengoptimalan peran lembaga kemitraan, yaitu sebagai berikut :

1.Asosiasi Peternak Pola Kemitraan.

Tugas lembaga ini meliputi :

1) Memperkuat rasa kebersamaan sebagai peternak pola kemitraan.

2) Mengundang lembaga pendidikan tinggi/dinas terkait untuk memberikan pemasukan usaha kemitraan yang lebih mengedepankan kesetaraan hubungan anatara peternak dengan inti. Masukan tersebut khususnya dari aspek hukum dan ekonomi pertanian, hal ini penting karena berkaitan dengan naskah perjanjian usaha.

3) Mengundang para perusahaan peternakan sebagai calon mitra usaha memaparkan program kemitraan dan atas dasar paparan tersebut selanjutnya asosiasi merekomendasikan perusahaan sebagai mitra usaha dalam kemitraan usaha ayam ras pedaging.

4) Merekomendasikan ke lembaga keuangan daerah otonom/Bank perihal peternak yang mengikuti program kemitraan.

2. Lembaga keuangan daerah otonom/Bank.

Tugas lembaga ini meliputi :

(71)

2) Menerima penerimaan peternak dari mitra usaha inti.

3) Membayar pendapatan peternak setelah terkurangi kredit sarana produksi dan bunga bank.

3. Mitra Usaha inti.

Tugas lembaga ini meliputi :

1) Menyalurkan sarana produksi ke peternak meliputi bibit, pakan dan obat-obatan dengan kualitas standar dan harga per unit sesuai dengan harga pabrik.

2) Menerima uang dari lembaga keuangan daerah otonom/Bank atas tersalurkannya sarana produksi peternakan kepada peternak.

3) Memberikan bimbingan teknis budidaya kepada peternak.

4) Menerima hasil produksi usaha ayam ras pedaging dari peternak.

5) Mentransfer penerimaan peternak kepada lembaga keuangan daerah otonom/Bank.

4.Pemerintah/Instansi Terkait/Lembaga Pendidikan Tinggi.

Tugas lembaga ini :

1) Memberikan masukan kepada asosiasi peternak kemitraan perihal kemitraan usaha yang mengedepankan kesetaraan hubungan antara peternak dengan mitra usaha inti, khususnya dari aspek hukum dalam rangka penyusunan naskah perjanjian usaha dan aspek ekonomi pertanian dalam upaya meningkatkan pendapatan peternak.

(72)

tersebut dapat berinteraksi secara proporsional dan tidak terjadi eksploitasi yang bersifat kontradiktif.

Mekanisme pengoptimalan peran lembaga kemitraan, dapat dilihat pada Gambar2.

Gambar 2. Pengoptimalan Peran Lembaga Kemitraan. Perguruan Tinggi/

Instansi terkait Asosiasi Peternak Kemitraan

Lembaga Keuangan Daerah Otonom/Bank

Mitra Usaha Inti

Peternak Kemitraan

Proses Produksi Ayam Ras Pedaging

(73)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan Hasil penelitian dan pembahasan , maka dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut :

5.1. Kesimpulan

1. Usaha ayam ras pedaging pola kemitraan di daerah penelitian tidak selalu menguntungkan peternak bila dibanding dengan non kemitraan, hal ini nampak dari tingkat kematian ayam yang masih tinggi dan bobot panen yang lebih rendah. Namun demikian ada beberapa hal yang menguntungkan bagi peternak yaitu skala usaha yang lebih besar dan penggunaan pakan yang lebih efisien. Secara rinci, diskripsi usaha ayam ras pedaging pola kemitraan dan non kemitraan disimpulkan sebagai berikut:

1) Usaha ayam ras pedaging pola kemitraan di daerah penelitian dilaksanakan dengan cara kerjasama antara PT. Surya Gemilang Pratama selaku mitra usaha inti dengan peternak selaku mitra usaha plasma. Sedangkan usaha ayam ras pedaging non kemitraan dilaksanakan secara mandiri oleh peternak tanpa kerjasama dengan pihak manapun.

2) Skala usaha ayam ras pedaging pola kemitraan lebih besar dibanding non kemitraan

Gambar

Gambar 1  : Kerangka Pemikiran Dampak Kemitraan Usaha Ayam Ras Pedaging Terhadap Posisi Tawar dan Pendapatan Peternak
Tabel 1  Populasi Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Gresik
Tabel 2  Populasi dan Sampel Peternak Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan Non Kemitraan di Kabupaten Gresik
Tabel 3 : Tolok Ukur Posisi Tawar Peternak Kemitraan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode Drill yaitu sebagai berikut :.. 1) Tujuan harus dijelaskan kepada siswa sehingga latihan mereka dapat. mengerjakan dengan tepat sesuai yang diharpkan. 2) Tentukan

Belajar dari perkembangan penguasaan bahasa nasional dan daerah di Indonesia, penciptaan lingkungan yang kondusif menjadi alternatif dalam pembelajaran bahasa Arab

Para penderita kanker di Indonesia dapat memiliki harapan hidup yang lebih lama dengan ditemukannya tanaman "keladi tikus" (Typhonium Flagelliforme/Rodent Tuber)

Revolusi Industri ditandai dengan penggunaan mesin (melipat gandakan kekuatan fisik manusia).. Manusia menggunakan energi: minyak, batu bara

Beberapa landasan yuridis pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Kubu Raya Nomor 5 Tahun 2011 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Kubu Raya telah mengalami

Menurut Edhy Sutanta (2003 : 9-10) Informasi merupakan hasil pengolahan data sehingga menjadi bentuk yang penting bagi penerimanya dan mempunyai kegunaan sebagai

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir yang berjudul

Penelitian dilaksanakan dengan menganalisis kandungan karbohidrat, protein dan lemak pada batang atas yang akan digunakan untuk grafting, serta mengamati dan mengukur