• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Kemitraan Pada Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Kemitraan Pada Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN KEMITRAAN PADA USAHA TERNAK

AYAM RAS PEDAGING

ALYSA NOVIANA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peranan Kemitraan pada Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2015

Alysa Noviana

(4)
(5)

ABSTRAK

ALYSA NOVIANA. Peranan Kemitraan pada Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging. Dibimbing oleh DWI RACHMINA.

Usaha ayam ras pedaging merupakan salah satu usaha yang potensial dan dapat diusahakan peternak dengan skala yang bervariasi. Usaha ini umumnya dikelola secara kemitraan karena berisiko tinggi dan membutuhkan modal besar. Tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan pelaksanaan kemitraan ayam ras pedaging dan menganalisis peranan pelaksanaan kemitraan terhadap keuntungan usaha peternak mitra pada dua skala usaha yang berbeda. Responden penelitian sebanyak 30 peternak bermitra yang terdiri dari 19 peternak skala kecil (≤ 5 000 ekor ayam) dan 11 peternak mitra skala besar (> 5 000 ekor ayam). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan kemitraan, kedudukan perusahaan inti lebih tinggi dari peternak mitra sehingga peternak tidak memiliki kekuatan tawar terhadap perusahaan. Selain itu, dalam pelaksanaan kemitraan juga masih terdapat kondisi yang dapat merugikan peternak mitra. Meskipun demikian, kemitraan berperan dalam menyediakan sarana produksi, melakukan pembinaan dalam pemeliharaan, dan jaminan pemasaran hasil. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa keuntungan, produksi, dan rasio R/C peternak mitra skala usaha besar lebih tinggi dibandingkan dengan peternak mitra skala usaha kecil.

Kata kunci: analisis keuntungan usahatani, ayam ras pedaging, kemitraan ABSTRACT

ALYSA NOVIANA. The Role of Partnership in the Broiler Farm. Supervised by DWI RACHMINA

Broiler farm is one of the potential businesses and can be operated in various farm scales. This business is usually managed by a partnership because it has high risk and requires substantial capital. The objectives of this study are to describe the partnership and to compare the farm performance between two different scales of farms. The samples are 30 breeder partners that consist of 19 breeder partners in the smaller farm (≤ 5 000 chickens) and 11 breeder partners in bigger farm (> 5 000 chickens). The results showed that in the implementation of partnership, the position of company is higher than that of the breeders. Besides, in the implementation of partnership, there are also many conditions that can be detrimental to breeders. However, partnership of broiler farm gives a lot of advantages to farmers such as providing production inputs, technical guidance on broiler farming and products purchase. The results also showed that income, production, and R/C ratio of breeder partners in the bigger farm are higher than those of breeder partners in the smaller farm.

(6)
(7)

PERANAN KEMITRAAN PADA USAHA TERNAK AYAM RAS PEDAGING

ALYSA NOVIANA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2015 ini adalah usahatani, dengan judul Peranan Kemitraan pada Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Dwi Rachmina MSi selaku dosen pembimbing. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Harianto MS selaku dosen penguji utama dan Ibu Eva Yolynda Aviny SP MSi selaku dosen penguji komisi pendidikan Departemen Agribisnis. Selanjutnya, terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Ratna Winandi MS selaku dosen pembimbing akademik selama menjalani perkuliahan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada para peternak ayam ras pedaging baik yang bermitra maupun yang tidak bermitra atas bantuan dan arahannya selama penulis mengumpulkan data di lokasi penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, adik, serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Terakhir penulis sampaikan salam semangat dan terima kasih kepada temen-teman Agribisnis 48 dan sahabat-sahabat yang selalu memberi dukungan dan bantuan dalam pembuatan skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR ii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 5

Pola Kemitraan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging 5

Pelaksanaan Kemitraan 6

Pengaruh Pelaksanaan Kemitraan terhadap Keuntungan Peternak 7

KERANGKA PEMIKIRAN 8

Kerangka Pemikiran Teoritis 8

Kerangka Pemikiran Operasional 13

METODE PENELITIAN 15

GAMBARAN UMUM PENELITIAN 18

Karakteristik Wilayah 18

Karakteristik Responden 20

Karakteristik Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging 22

Budidaya Ayam Ras Pedaging 23

HASIL DAN PEMBAHASAN 26

Kemitraan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging 26

Penggunaan Input Produksi Ayam Ras Pedaging 36

Biaya Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging 43

Penerimaan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging 49

Keuntungan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging 51

KESIMPULAN DAN SARAN 52

Kesimpulan 52

Saran 52

DAFTAR PUSTAKA 53

LAMPIRAN 55

(14)

DAFTAR TABEL

1 Konsumsi rata-rata daging sapi dan ayam ras, 2010-2013 2 2 Selisih ketersediaan dengan konsumsi daging ayam ras, 2010-2013 2

3 Perhitungan keuntungan usahatani 17

4 Kelompok usia responden 20

5 Tingkat pendidikan formal responden 21

6 Jenis kelamin responden 21

7 Pekerjaan di luar beternak ayam 22

8 Lama usaha ayam ras pedaging 22

9 Alasan beternak ayam ras pedaging 23

10 Kapasitas usaha ayam ras pedaging 23

11 Rata-rata penggunaan input produksi pada usaha ayam ras pedaging 37 12 Rata-rata penggunaan input produksi pada usaha ayam ras pedaging

(per 1 000 ekor ayam) 38

13 Feed Convertion Ratio (FCR) dan mortalitas pada usaha ayam ras

pedaging (per 1 000 ekor) 38

14 Rata-rata curahan tenaga kerja pada usaha ayam ras pedaging (per 1

000 ekor) 41

15 Status kepemilikan kandang dan luas kandang pada usaha ayam ras

pedaging (per 1 000 ekor) 42

16 Status kepemilikan lahan dan luas lahan pada usaha ayam ras pedaging

(per 1 000 ekor) 43

17 Rata-rata biaya input produksi pada usaha ternak ayam ras pedaging

(per 1 000 ekor) 44

18 Rata-rata harga input produksi pada usaha ayam ras pedaging 44 19 Rata-rata biaya listrik, sewa kandang dan perbaikan kandang (per 1 000

ekor) 45

20 Rata-rata biaya sewa lahan, penyusutan kandang dan penyusutan peralatan pada usaha ternak ayam ras pedaging (per 1 000 ekor) 47 21 Struktur biaya pada usaha ternak ayam ras pedaging mitra skala I dan

skala II (per 1 000 ekor) 48

22 Produksi pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000 ekor) 49 23 Harga kontrak dan harga jual ayam peternak mitra per kilogram 50 24 Rata-rata total penerimaan pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000

ekor) 51

25 Keuntungan dan R/C rasio pada usaha ayam ras pedaging (per 1 000

ekor) 51

DAFTAR GAMBAR

1 Pola kemitraan inti-plasma 9

2 Pola kemitraan subkontrak 10

3 Pola kemitraan kerjasama operasional agribisnis 10

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Lampiran 1 Standar performa harian ayam broiler perusahaan inti 55 2 Lampiran 2 Rata-rata penerimaan usaha ternak ayam ras pedaging

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebijakan pembangunan pertanian nasional berorientasi pada pembangunan sistem agribisnis. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa kegiatan agribisnis dapat mengatasi permasalahan ekonomi nasional, mulai dari kelangkaan pangan sampai masalah kesempatan kerja. Agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem hulu, subsistem budidaya, subsistem hilir dan subsistem pendukung yang saling berkaitan. Pada pembangunan sistem agribisnis, salah satu kendala yang dihadapi adalah kenyataan bahwa sebagian besar pelaku usaha di sistem agribisnis merupakan petani budidaya yang cenderung masih terkendala keterbatasan permodalan dan penggunaan teknologi produksi. Sedangkan, pelaku usaha di subsistem yang lain, merupakan perusahaan dengan kapasitas usaha yang relatif besar dan memiliki akses permodalan. (Murdiyanto dan Kundarto, 2002)

Untuk dapat meningkatkan kinerja para pelaku sektor agribisnis, khususnya para petani, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah yaitu dengan mendorong terjalinnya hubungan kerjasama dalam bentuk kemitraan usaha antara petani dan perusahaan. Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 9 tahun 1995 menyebutkan bahwa kemitraan usaha adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Oleh karena itu, secara konseptual, kemitraan dipandang sebagai salah satu strategi yang cocok untuk diterapkan dalam pembangunan temasuk pada pembangunan sistem agribisnis pertanian.

Perkembangan kemitraan di sektor pertanian tidak terlepas dari peran pemerintah yang memperkenalkan model ini dengan macam-macam istilah antara lain pola inti plasma dan pola kemitraan. Sebenarnya, secara tradisional kemitraan usaha antara petani dan pengusaha di bidang pertanian telah banyak dilaksanakan dengan bentuk gaduhan ternak, sewa-sakap lahan, sistem ”yarnen” dan telah banyak diterapkan dalam bentuk usaha pertanian kontrak (contract farming). Pola kemitraan inti plasma pertama kali diterapkan pada usaha komoditas perkebunan yang dikenal dengan istilah Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan atau PIR-bun (Rustiani et al., 1997). Selanjutnya hubungan kerjasama kemitraan juga diterapkan tidak hanya pada komoditas-komoditas subsektor perkebunan tetapi juga diterapkan pada komoditas di subsektor lain termasuk subsektor peternakan terutama dalam usaha peternakan ayam ras pedaging.

(18)

2

Tabel 1 Konsumsi rata-rata daging sapi dan ayam ras di Indonesia, 2010-2013

Uraian Konsumsi (kg/kapita/tahun) Laju

2010 2011 2012 2013 per tahun (%)

Daging sapi 0.37 0.42 0.37 0.26 -17.71

Daging ayam ras 3.55 3.65 3.49 3.65 1.04

Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2014 (diolah)

Adanya peningkatan laju konsumsi daging ayam membuat ketersediaan daging ayam ras harus selalu dapat tercukupi. Tetapi berdasarkan data pada Tabel 2, ketersediaan daging ayam belum mencukupi kebutuhan konsumsi yang ditunjukkan oleh adanya selisih antara ketersediaan daging ayam dengan konsumsinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat peluang pasar bagi masyarakat untuk mengusahakan ayam ras pedaging.

Tabel 2 Selisih ketersediaan dengan konsumsi daging ayam ras di Indonesia 2010-2013

Variabel Tahun (kg/kapita/tahun) Laju

2010 2011 2012 2013 per tahun (%)

Ketersediaan 2.64 3.01 3.00 3.28 7.67

Konsumsi 3.54 3.65 3.49 3.65 1.10

Selisih -0.90 -0.64 -0.49 -0.37 -25.61

Sumber: Pusat data dan informasi, 2013 (diolah)

Perputaran modal yang cepat dan peluang usaha yang besar menjadi daya tarik usaha ternak ayam ras pedaging bagi tidak hanya masyarakat tetapi juga para pemiliki modal untuk mendirikan perusahaan peternakan. Perusahaan peternakan didefinisikan peternakan yang di selenggarakan dalam bentuk suatu perusahaan secara komersial dan mempunyai izin usaha dengan skala usaha yang besar (Surat Keputusan Menteri Pertanian No.472/Kpts/TN.330/6/96). Berbeda dengan usaha ternak ayam ras pedaging masyarakat yang umumnya merupakan usaha skala kecil yang disebut usaha peternakan rakyat. Dibandingkan dengan perusahaan peternakan, usaha peternakan rakyat umumnya memiliki keterbatasan modal, adopsi teknologi yang rendah, akses pasar sulit dan terbatas, dan kemampuan manajerial peternak yang rendah. Perbedaan tersebut membuat perusahaan dapat lebih efesien dalam berproduksi dibandingkan dengan peternak rakyat. Kondisi ini memicu terjadinya persaingan pasar yang berakibat pada tidak sedikit dari peternak rakyat yang gulung tikar.

(19)

3 Walaupun program kemitraan usaha ayam ras pedaging telah lama diluncurkan tetapi kemitraan usaha ayam ras pedaging ini mulai berkembang dan dikenal masyarakat saat terjadinya krisis ekonomi tahun 1998. Krisis yang berdampak pada naiknya harga-harga sarana produksi peternakan sementara harga jual hasil produksi mengalami penurunan membuat tidak sedikit dari peternak yang melakukan usaha secara mandiri mulai bergabung dalam kemitraan yang dilakukan perusahaan agar dapat bertahan selama krisis.1

Rumusan Masalah

Dalam kemitraan ayam ras pedaging, peternak rakyat berperan sebagai plasma yang berkewajiban untuk melaksanakan produksi. Sedangkan, perusahaan berperan sebagai inti yang berkewajiban untuk mensuplai sarana produksi secara kredit, memberi pembinaan budidaya, dan membeli hasil produksi. Dengan kata lain, peternak rakyat tidak hanya menerima manfaat berupa permodalan dan pembinaan tetapi juga jaminan pemasaran. Adanya manfaat-manfaat tersebut menjadi daya tarik bagi peternak lain untuk bergabung dalam program kemitraan agar terhindar dari risiko kerugian akibat tingginya risiko produksi dan fluktuasi harga sarana produksi maupun harga hasil produksi.

Dalam kondisi yang ideal, tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kemitraan adalah peningkatan keuntungan kedua belah pihak yang bermitra. Peningkatan keuntungan dapat tercapai apabila pelaksanaan kemitraan berjalan dengan baik sesuai dengan prinsip-prinsip kemitraan karena kemitraan yang baik mampu memberikan nilai lebih bagi kedua pihak yang bermitra. Peningkatan keuntungan ini diperoleh dari adanya peningkatan volume produksi dan jaminan harga beli yang diperoleh peternak mitra. Hal tersebut tentunya tidak didapatkan peternak apabila melakukan usahanya secara mandiri. Apabila dibandingkan, keuntungan yang diperoleh peternak bermitra menjadi lebih tinggi dari keuntungan yang diperoleh peternak mandiri (Pribadi, 2013; Febridinia, 2010; Bahari et al., 2012), walaupun tidak semua peternak bermitra memperoleh keuntungan yang lebih baik dari peternak mandiri (Deshinta, 2006; Rachmatia, 2010).

Salah satu faktor yang mempengaruhi keuntungan yang diperoleh adalah volume produksi yang dihasilkan oleh peternak. Besar kecilnya hasil yang diperoleh umumnya dipengaruhi oleh besarnya skala usaha yang dimiliki peternak. Skala usaha yang dimiliki akan berpengaruh pada besar kecilnya biaya produksi dan manajemen usaha yang dijalankan. Peternak dengan skala usaha lebih besar umumnya memperoleh keuntungan usaha yang lebih besar jika dibandingkan dengan peternak yang mengusahakan usahanya dengan skala kecil (Rachmatia, 2010; Maulana 2008). Hal tersebut membuat pemilihan skala usaha yang tepat menjadi penting agar usaha yang dijalankan dapat memberikan keuntungan bagi peternak.

1

(20)

4

Kecamatan Pamijahan merupakan sentra produksi ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor dengan jumlah produksi tertinggi. Populasi ayam ras di Kecamatan Pamijahan dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan dengan laju sebesar 18.98% per tahun (BPS Kabupaten Bogor, 2015) yang menandakan semakin berkembangnya usaha ternak ayam ras pedaging. Mayoritas kegiatan usaha ternak ayam ras pedaging di Kecamatan Pamijahan dilakukan dengan pola kemitraan dan diusahakan dengan skala usaha yang berbeda-beda.

Berdasarkan hasil penelitian Deshinta (2006) dan Rachmatia (2010) dapat dikatakan bahwa tidak selamanya kemitraan memberikan keuntungan bagi peternak. Jika konsep kemitraan merupakan konsep yang saling menguntungkan, maka pelaksanaan konsep kemitraan tersebut seharusnya benar-benar dilakukan dengan prinsip saling menguntungkan. Selain itu, apabila skala usaha yang lebih besar lebih menguntungkan dibandingkan dengan skala kecil seharusnya peternak mitra yang melakukan usaha dengan skala besar dapat memperoleh keuntungan yang lebih tinggi. Maka dari itu perlu dilakukan kajian mengenai pelaksanaan kemitraan dan pengaruhnya terhadap keuntungan yang diperoleh peternak berdasarkan skala usahanya. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pelaksanaan kerjasama kemitraan yang dilakukan oleh peternak dan perusahaan inti di Kecamatan Pamijahan?

2. Bagaimana peranan kemitraan terhadap usaha yang dijalankan peternak mitra pada skala usaha yang berbeda di Kecamatan Pamijahan?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan pelaksanaan kemitraan ayam ras pedaging di Kecamatan

Pamijahan.

2. Menganalisis peranan kemitraan terhadap usaha ternak ayam ras pedaging yang dijalankan peternak mitra pada skala usaha yang berbeda.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pihak pihak terkait, yaitu:

1. Bagi Peternak

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi peternak ayam ras pedaging yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pelaksanaan usaha.

2. Bagi Penulis

Kegiatan penelitian ini menjadi proses pembelajaran dalam menganalisa permasalahan dalam pelaksanaan kemitraan berdasarkan data dan fakta yang diperoleh dan disesuaikan dengan konsep yang diterima.

3. Bagi Pihak Lain

(21)

5

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan kemitraan dan menganalisis pengaruh kemitraan dengan menitikberatkan pada perolehan keuntungan peternak mitra. Peternak mitra yaitu peternak yang bekerjasama dengan perusahaan inti yang pelaksanaannya diatur dalam kontrak kerjasama. Berdasarkan kapasitas usahanya maka peternak mitra dalam penelitian ini terbagi menjadi dua skala. Skala I yaitu peternak dengan kapasitas usaha ≤ 5 000 ekor setiap siklusnya dan skala II yaitu peternak dengan kapasitas usaha > 5 000 ekor setiap siklusnya.

TINJAUAN PUSTAKA

Pola Kemitraan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging

Kemitraan usaha peternakan telah dikembangkan sejak tahun 1984 dengan pola kemitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) (Sumardjo et al. 2004). Pada pola PIR, perusahaan berperan sebagai inti dan peternak rakyat berperan sebagai plasma. Kerjasama kemitraan pada usaha ayam ras banyak dilakukan dalam tiga bentuk kerjasama yaitu kerjasama dengan harga kontrak, kerjasama bagi hasil, dan maklon.

Bentuk kerjasama kemitraan yang pertama yaitu kerjasama dengan harga kontrak. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, kerjasama kemitraan pada usaha ayam ras pedaging dengan harga kontrak ini umumnya dilakukan dengan pola kemitraan inti-plasma (Febridinia, 2010; Pribadi, 2013; Fitriza et al.,

2012; Sinollah, 2011; Suwarta et al., 2010; Subkhie et al., 2012; dan Istanto et al.

2010), tetapi tidak semua kemitraan ayam ras pedaging dengan harga kontrak dilakukan dengan pola inti-plasma, seperti pada penelitian Deshinta (2006) kemitraan dilakukan dengan pola kerjasama operasional agribisnis (KOA). Berdasarkan hasil penelitian, pada kerjasama harga kontrak terdapat kesepakatan harga sapronak dan kesepakatan harga sehingga peternak dapat memperkecil risiko kerugian yang diperoleh akibat dari adanya fluktuasi harga baik harga sapronak atau harga ayam di pasar. Artinya, terdapat pembagian risiko kerugian (risk sharing) antara perusahaan dan peternak dimana saat harga ayam di pasar lebih rendah dari harga kontrak maka risiko kerugian menjadi tanggung jawab inti, begitu pula apabila terdapat kenaikan harga sapronak maka peternak tetap harus membayar sesuai dengan harga kontrak. Tetapi, apabila harga ayam di pasar lebih tinggi dari harga kontrak maka inti akan membagi keuntungan dengan plasma berdasarkan persentase yang telah di sepakati bersama.

(22)

6

input dan pihak peternak berkewajiban untuk menyediakan kandang dan peralatan budidaya, biaya operasional dan melakukan proses produksi. Kerugian penjualan output ditanggung oleh pihak inti tetapi kerugian ini dapat tertutupi dengan penjualan input produksi ke pihak peternak sedangkan kerugian akibat teknis produksi dibebankan pada peternak sehingga terjadi pembagian risiko (risk sharing).

Lebih lanjut Kesuma (2006) menyatakan bahwa dibandingkan dengan pola kemitraan inti plasma, pada pola kemitraan KOA tidak terdapat kontrak tertulis, sehingga tidak terdapat perjanjian harga yang membuat penentuan harga sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Pihak inti berkewajiban untuk menyediakan pemasaran, input, dan biaya operasional selain biaya tenaga kerja karena biaya tenaga kerja menjadi kewajiban dari peternak. Selain biaya tenaga kerja, pihak peternak juga berkewajiban untuk menyediakan kandang dan menangani proses produksi. Untuk kewajiban pihak pihak yang bekerja sama tidak berbeda antara kemitraan inti plasma maupun KOA. Tidak seperti pada pola inti plasma yang menerapkan kebijakan risk sharing, risiko kerugian dari fluktuasi harga dan kegiatan produksi ditanggung oleh kedua belah pihak.

Bentuk kerjasama yang kedua yaitu pola kerjasama bagi hasil. Pada kerjasama bagi hasil, harga sapronak dan harga ayam ditentukan berdasarkan mekanisme pasar. Keuntungan atau kerugian yang diperoleh dibagi atau ditanggung oleh kedua belah pihak sesuai dengan persentase pembagian 50:50 atau persentase lain yang disepakati bersama yakni 60:40 seperti pada penelitian Nurfadillah (2014). Bentuk kerjasama yang terakhir yaitu pola maklon, pada pola ini yan disepakati yaitu biaya operasional pemeliharaan yang akan diperoleh peternak plasma dengan perhitungan per ekor atau per kilogram ayam. Kerjasama maklon ini disebut juga dengan kerjasama biaya operasional atau BOP. Hubungan kerjasama bagi hasil dan maklon terdapat pada pola kemitraan subkontrak seperti yang terdapat pada penelitian Cepriadi et al. (2010). Pola hubungan subkontrak pada penelitian Cepriadi et al. (2010) merupakan hubungan kerjasama yang terdiri dari dua sistem bagi hasil yaitu sistem pembagian hasil yang berupa upah pemeliharaan dan sistem pembagian hasil yang berupa insentif yang sudah disepakati di awal kerjasama.

Pelaksanaan Kemitraan

Dalam pelaksanaan kemitraan, peternak memiliki posisi tawar yang rendah dbandingkan dengan perusahaan inti. Hal ini tercermin dalam pelaksanaan hak dan kewajiban yaitu belum terpenuhinya hak-hak plasma yang tercantum dalam perjanjian dan pelaksanaan kemitraan yang tidak sesuai dengan tujuan dari perjanjian kemitraan (Wibowo, 2013). Kedudukan pihak plasma juga menjadi sangat rentan dikarenakan belum adanya petunjuk atau pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kemitraan (Wibowo, 2013) padahal kelancaran pelaksanaan kemitraan akan berpengaruh terhadap manfaat yang akan diterima kedua belah pihak.

(23)

7 teknis, peternak mitra menerima pembinaan mengenai pemeliharaan sehingga berpengaruh pada hasil produksi. Hasil penelitian Nurfadillah (2004) menyatakan bahwa peternak mandapatkan manfaat dalam hal peningkatan produksi dan efesiensi karena adanya pembinaan dalam penggunaan input dan pemantauan saat proses produksi. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Suwarta et al. (2010) bahwa kemitraan berpengaruh positif terhadap peningkatan produktivitas usaha ternak. Peternak mitra juga mendapatkan jaminan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas untuk sarana produksi ternak. Tetapi, peternak mitra tidak mendapatkan perlindungan risiko terutama risiko harga karena tidak terdapat kontrak harga di awal perjanjian.

Perjanjian di awal kerjasama umumnya tidak hanya menyangkut kontrak harga tetapi juga kontrak kerjasama berupa perjanjian terikat secara tertulis mengenai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak (Cepriadi et al., 2010; Deshinta, 2006). Pola kerjasama dalam kontrak menuntut peternak untuk memenuhi persyaratan yang biasanya terkait dengan sarana dan prasarana, agunan berupa sertifikat tanah, identitas peternak, dan lain-lain (Masdar dan Yunasaf 2010). Akan tetapi di beberapa kasus kemitraan, terdapat pula kerjasama yang tidak memiliki kontrak secara tertulis (Nurfadillah, 2014; Kesuma, 2006). Padahal perjanjian secara tertulis diperlukan agar dapat lebih memperjelas hak dan kewajiban serta meningkatkan transparansi dalam kemitraan.

Secara keseluruhan dari penelitian mengenai kemitraan ayam ras, baik perusahaan inti dan peternak mitra mendapatkan manfaat dari adanya kerjasama kemitraan. Walaupun dalam evaluasi pelaksanaan kemitraan terdapat berbagai persoalan seperti kredit macet dan kecurangan peternak mitra seperti menjual pakan yang telah dipasok dari perusahaan inti dan menggantinya dengan pakan kualitas rendah. Sedangkan pelanggaran perusahaan inti biasanya terkait perusahaan yang tidak mengambil seluruh hasil panen saat perusahaan over supply, kemunduran waktu panen, serta terlambatnya pembayaran keuntungan dan bonus.

Pengaruh Kemitraan terhadap Keuntungan Peternak

Amenuri et al (2006) menyatakan bahwa melalui kemitraan, peternak mitra menerima pembinaan mengenai pemeliharaan sehingga berpengaruh pada hasil produksi. Lebih lanjut Amenuri et al. (2006) menyatakan bahwa peternak mitra mengeluarkan modal dan biaya operasional yang relatif lebih sedikit karena mendapat bantuan modal dari perusahaan inti. Pengaruh kemitraan terhadap produksi dan keuntungan peternak mitra seringkali dilihat dengan membandingkan antara peternak mitra dan peternak mandiri (Deshinta, 2006; Pribadi, 2013; Rachmatia, 2010; Febridinia, 2010; Wulandari et al., 2014; Bahari

et al., 2012). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa keuntungan yang diperoleh peternak mitra lebih besar dari keuntungan yang diperoleh peternak mandiri (Pribadi, 2013; Febridinia, 2010; Wulandari et al. 2014) walaupun tidak semua peternak bermitra memperoleh keuntungan yang lebih baik dibandingkan peternak mandiri (Deshinta, 2006; Rachmatia, 2010).

(24)

8

yang bermitra juga dapat dipengaruhi beberapa faktor salah satunya yaitu skala usaha (Saleh, 2006; Miharja, 2012). Pada penelitian Rachmatia (2010) dan Maulana (2008) peternak mitra dengan skala usaha yang lebih besar memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan peternak mitra yang lebih kecil. Akan tetapi, penelitian Nurfadillah (2014) menyatakan hal yang berbeda. Hasilnya menyatakan bahwa peternak mitra skala terkecil yakni skala I memperoleh keuntungan terbesar dibandingkan dengan peternak mitra dengan skala usaha yang lebih besar. Rachmatia (2010) hanya membandingkan dua skala usaha yakni skala kecil dengan kapasitas usaha 0 – 5 000 ekor per siklus produksi dan skala besar dengan kapasitas usaha lebih dari 5 000 ekor per siklus produksi. Sedangkan Nurfadillah (2014) dan Maulana (2008) membagi peternak mitra kedalam tiga skala usaha yakni skala I, skala II, dan skala III.

Berdasarkan uraian diatas, kemitraan ayam ras pedaging pada umumnya dilakukan dengan pola inti-plasma. Hak, kewajiban, pembagian hasil, dan ketentuan lainnya tercantum dalam dokumen perjanjian kemitraan atau kontrak yang disepakati kedua belah pihak. Penelitian mengenai pengaruh kemitraan terhadap usaha ternak ayam ras pedaging terlihat dari jumlah produksi, tingkat mortalitas, biaya, dan penerimaan peternak mitra yang berdampak pada keuntungan dan nilai R/C rasio yang diperoleh peternak mitra. Peternak mitra skala besar memperoleh produksi, keuntungan, dan nilai R/C rasio yang lebih tinggi dibandingkan peternak mitra skala kecil.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Konsep Kemitraan

Undang–Undang No. 9 Tahun 1995 dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 menyatakan bahwa kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan usaha besar dengan memperlihatkan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat, saling memerlukan. Hafsah (2000) mendefinisikan kemitraan sebagai suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan.

Pelaksanaan kemitraan diupayakan untuk terwujudnya keterkaitan usaha sehingga dapat meningkatkan keuntungan, kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumberdaya usaha, meningkatkan skala usaha, serta meningkatkan kemampuan usaha kedua belah pihak terutama kelompok mitra (Sumardjo et al. 2004). Kemitraan dilaksanakan dengan ketentuan bahwa usaha besar wajib melakukan pembinaan dan pengembangan dalam bidang produksi, pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi.

(25)

9 yang artinya perusahaan mendapatkan manfaat untuk menghemat penggunaan input. Sedangkan pada perusahaan kecil, peningkatan produktivitas terjadi karena memperoleh tambahan kualitas input, bantuan kredit, teknologi, dan pembinaan budidaya. Penggunaan teknologi juga akan menghemat waktu produksi perusahaan kecil. Penghematan penggunaan input dan waktu produksi menunjukkan adanya peningkatan efesiensi. Manfaat kemitraan lainnya yaitu jaminan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas pasokan bahan baku bagi usaha besar yang diproduksi oleh usaha mitranya. Bagi usaha kecil hal tersebut merupakan jaminan penyerapan hasil yang diproduksi yang dapat memperkecil tingkat risiko kerugian sehingga terjadi risk sharing antara perusahaan dan usaha kecil. Bagi usaha kecil, risk sharing betul-betul terlaksana apabila mitra usaha betul-betul mampu menjamin penyerapan jasil produksi sehingga risiko kerugian akibat kelebihan hasil produksi atau penurunan harga dapat dihindari. Agar tujuan kemitraan dapat tercapai maka pelaksanaan kemitraan harus diatur dan ditentukan dalam kontrak atau perjanjian berdasarkan pola kemitraan yang dilaksanakan. Pola kemitraan adalah bentuk-bentuk kemitraan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 yang terdiri dari pola inti-plasma, pola subkontrak, pola dagang umum, pola waralaba, pola keagenan, dan bentuk-bentuk lain. Pola bentuk lain yaitu pola kerjasama operasional agribisnis (KOA) (Sumardjo et al. 2004). Dalam usaha kemitraan ayam ras pedaging, pola kemitraan yang umumnya diterapkan meliputi:

a. Pola inti plasma

Pada pola kemitraan inti plasma, perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan kelompok mitra bertindak sebagai plasma. Kelompok mitra berperan sebagai plasma yang mengelola seluruh usaha bisnisnya sampai panen dan wajib untuk menjual hasil produksi kepada perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati sedangkan perusahaan berperan sebagai perusahaan inti yang akan menampung dan membeli hasil produksi petani plasma, serta memberikan bimbingan teknis dan pembinaan manajemen kepada petani plasma. Perusahaan inti umumnya menyediakan bantuan permodalan atau kredit, sarana produksi, dan teknologi. Hal ini memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara perusahaan dan petani sehingga dapat digambarkan dengan panah dua arah seperti pada Gambar 1.

Gambar 1 Pola kemitraan inti-plasma Sumber: Sumardjo et al. 2004

Perusahaan Inti Plasma

Plasma Plasma

(26)

10

b. Pola subkontrak

Pada hubungan kemitraan pola subkontrak, kelompok mitra memproduksi kebutuhan yang dibutuhkan oleh perusahaan mitra sebagai komponen produksinya. Kelompok mitra menyediakan tenaga kerja dan membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga, dan waktu. Sedangkan perusahaan mitra menampung dan membeli komponen produksi yang dihasilkan oleh kelompok mitra, menyediakan bahan baku, dan melakukan kontrol kualitas serta pembinaan produksi secara intensif. Hubungan kemitraan pola subkontrak dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.

Gambar 2 Pola kemitraan subkontrak Sumber: Sumardjo et al. 2004 a. Pola Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA)

Pola kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA) merupakan pola hubungan bisnis yang dijalankan oleh kelompok mitra dan perusahaan mitra. Kelompok mitra menyediakan lahan dan tenaga kerja, sedangkan pihak perusahaan mitra menyediakan modal, manajemen, dan sarana produksi. Perusahaan juga menjamin pasar produk, melakukan pengolahan dan pengemasan. Hal ini menunjukan bahwa perusahaan dan kelompok mitra menjalankan seluruh kegiatan agribisnis secara bersama-sama. Dalam pelaksanaannya, terdapat kesepakatan mengenai pembagian hasil dan risiko usaha. Bentuk kemitraan pola KOA dapat digambarkan sepeti pada Gambar 3.

Gambar 3 Pola kemitraan kerjasama operasional agribisnis Sumber: Sumardjo et al. 2004

Perusahaan Inti

Plasma Plasma

Plasma Plasma

Kelompok Mitra

Perusahaan Mitra

Lahan Sarana Tenaga Kerja

(27)

11

Konsep Usahatani

Soekartawi et al (1986) menyatakan bahwa ilmu usahatani pada dasarnya memperhatikan cara petani dalam memadukan sumberdaya yang terbatas untuk mencapai tujuannya. Definisi ilmu usahatani tersebut diperinci bahwa usahatani suatu organisasi produksi di lapangan pertanian yang terdiri dari lahan yang mewakili alam, kerja keluarga tani, modal, dan pengelolaan atau manajemen oleh petani (Suratiyah, 2009). Berdasarkan definisi usahatani Suratiyah (2009) maka unsur-unsur usahatani terdiri dari lahan, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan. Unsur lahan merupakan tempat menyelenggarakan kegiatan produksi. Unsur tenaga kerja yang sering digunakan dalam kegiatan usahatani diklasifikasikan menjadi tenaga kerja manusia yang dibedakan dalam tenaga kerja dari keluarga dan tenaga kerja dari luar keluarga serta tenaga kerja ternak. Unsur modal berupa lahan, bangunan, alat pertanian, uang tunai, dan barang atau jasa untuk kegiatan operasional. Modal tersebut dapat bersumber dari milik sendiri, pinjaman atau kredit, dan sewa. Sedangkan, unsur pengelolaan terkait dengan kemampuan petani dalam memanajemen atau mengelola kegiatan usahataninya agar efektif dan efesien.

Menurut Soekartawi (2006), kegiatan usahatani dapat dikatakan efektif apabila dapat mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya dengan baik, sedangkan dikatakan efesien apabila hasil yang dicapai petani lebih banyak dari sumberdaya input yang digunakan. Kegiatan usahatani yang efektif dan efesien akan berpengaruh terhadap keuntungan usahatani yang diperoleh. Pendapatan usahatani didefinisikan sebagai balas jasa dari kerja sama faktor-faktor produksi lahan, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang merupakan selisih antara penerimaan dan biaya yang dikeluarkan.

Penerimaan usahatani yaitu hasil perkalian antara hasil produksi dengan harga jual. Dalam menghitung penerimaan usahatani terdapat hal yang harus diperhatikan seperti perhitungan produksi (hasil panen), frekuensi pemanenan, frekuensi penjualan, dan harga jual pada masing-masing penjualan tersebut (Soekartawi 2006). Penerimaan usahatani terbagi menjadi penerimaan tunai dan penerimaan total. Penerimaan tunai usahatani adalah nilai uang yang diterima dari hasil penjualan produk usahatani. Sedangkan penerimaan total usahatani (total farm revenue) didefinisikan sebagai nilai uang dari total produk usahatani. Total produk usahatani ini mencakup semua produk yang dijual, dikonsumsi sendiri, digunakan dalam kegiatan usahatani untuk bibit atau makanan ternak, digunakan untuk pembayaran, dan disimpan. Harga yang digunakan dalam perhitungan penerimaan untuk produk yang dijual petani yaitu harga jual yang diterima petani, sedangkan untuk menghitung penerimaan yang diperoleh dari produk yang tidak dijual digunakan harga pasar (Soekartawi et al.1986).

(28)

12

Penggolongan biaya produksi berdasarkan sifatnya terdiri dari biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Jumlah biaya tidak tetap (variable cost) dipengaruhi oleh produksi, besar biaya tidak tetap dapat berubah-ubah sesuai dengan seberapa banyak hasil poduksi yang diinginkan. Contoh biaya tidak tetap yaitu biaya untuk bahan baku produksi, upah tenaga kerja. Sedangkan biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang jumlahnya relatif tetap, biaya tetap tidak tergantung pada besar-kecilnya produksi yang diinginkan contohnya biaya pajak, biaya sewa lahan (Soekartawi 2006). Penyusutan termasuk dalam biaya tetap (fixed cost).

Untuk mengukur keberhasilan usahatani dapat dilakukan dengan melakukan analisis keuntungan usahatani. Analisis ini bertujuan untuk menggambarkan keadaan usahatani saat ini sehingga dapat melakukan evaluasi untuk perencanaan kegiatan usahatani pada masa yang akan datang. Keuntungan usahatani digunakan untuk melihat apakah usahatani yang dilakukan menguntungkan atau merugikan dan seberapa besar keuntungan dan kerugian tersebut. Besar keuntungan yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh luas usaha atau skala usaha yakni besarnya areal tanam atau jumlah ternak setiap siklusnya, pilihan dan kombinasi cabang usaha, intensitas pengusahaan , dan efesiensi tenaga kerja (Hernanto, 1989). Ukuran efesiensi keuntungan dalam usahatani salah satunya adalah rasio R/C (Revenue Cost Ratio) yang bertujuan untuk mengukur efisiensi input dan output, dengan menghitung perbandingan antara penerimaan total dengan biaya produksi total. Analisis R/C ini juga bertujuan untuk melihat keuntungan relatif suatu usaha dengan usaha lainnya berdasarkan perhitungan finansial.

Hernanto (1989) berpendapat bahwa keberhasilan usahatani dipengaruhi oleh faktor internal yakni modal, tanah, tenaga kerja, dan teknologi serta faktor eksternal yakni sarana transportasi dan komunikasi, harga input dan output. Akan tetapi, Hernanto (1989) juga menyebutkan komponen faktor eksternal lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan usahatani yakni fasilitas kredit dan sarana penyuluhan bagi petani. Adanya pelaksanaan kemitraan membuat peternak atau petani dapat memperoleh permodalan, peningkatan kemampuan teknologi, jaminan pemasaran dan harga output, serta fasilitas kredit dan penyuluhan dengan adanya pembinaan dari perusahaan inti. Manfaat-manfaat tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani seperti yang dinyatakan oleh Suratiyah (2009) dan Hernanto (1989).

Konsep Skala Usaha

(29)

13 Lebih lanjut Salvatore (2011) menjelaskan apabila perubahan input yang menyebabkan adanya perubahan output dilakukan dengan harga input yang konstan, maka diperoleh tiga jenis skala hasil, yaitu: (1) Skala usaha dengan kenaikan hasil meningkat (increasing return to scale) yaitu kenaikan satu unit input menyebabkan kenaikan output yang semakin bertambah yang dapat membuat biaya per unit output menjadi lebih rendah; (2) Skala usaha dengan kenaikan hasil menurun (decreasing return to scale) yaitu apabila pertambahan satu unit input menyebabkan kenaikan output yang semakin berkurang yang dapat menbuat biaya per unit output menjadi lebih tinggi; dan (3) Skala usaha dengan kenaikan hasil tetap (constant return to scale), yaitu penambahan satu unit input menyebabkan kenaikan output dengan proporsi yang sama.

Salvatore (2011) menyatakan bahwa skala hasil meningkat ini timbul karena adanya peningkatan skala operasi yang disebabkan peningkatan teknologi, spesialisasi tenaga kerja, dan peningkatan modal usaha. Peningkatan dalam permodalan membuat perusahaan mendapatkan kemudahan untuk memperoleh pinjaman dari bank atau pembelian input dalam jumlah besar sehingga harganya menjadi lebih murah. Ketiga hal ini dapat membuat perusahaan dapat menurunkan biaya per unit produk.

Kerangka Pemikiran Operasional

Usaha ternak ayam ras pedaging sangat rentan terhadap risiko dan memerlukan modal yang besar sehingga untuk mendapatkan hasil yang maksimal, peternak dituntut untuk dapat berproduksi dengan efesien agar dapat memperoleh keuntungan. Berbeda dengan perusahaan peternakan yang memiliki modal yang lebih besar, teknologi modern, dan manajemen yang teratur, peternak rakyat tidak dapat berproduksi secara maksimal karena umumnya memiliki modal yang terbatas, teknologi sederhana, dan kemampuan manajerial yang rendah. Untuk membantu peternak rakyat dalam mengatasi masalah tersebut, pemerintah menganjurkan peternak untuk berkerjasama dengan pihak lain salah satunya dengan pengembangan kemitraan.

Kerjasama kemitraan antara peternak rakyat dan perusahaan umumnya diatur dalam perjanjian hak dan kewajiban agar kemitraan dapat berjalan dengan baik dan saling menguntungkan. Namun, kerjasama kemitraan ini memiliki beberapa kekurangan atau kelemahan dalam pelaksanaannya yang menyebabkan prinsip saling menguntungkan tidak dapat terpenuhi. Untuk mengetahui adanya penerapan prinsip saling menguntungkan pada pelaksanaan kemitraan maka perjanjian dan mekanisme dalam pelaksanaan kemitraan dideskripsikan dan dievaluasi dengan menganalisis manfaat yang diterima kedua belah pihak.

(30)

14

perusahaan inti dapat meningkatkan penerimaan yang diperoleh. Hal ini akan berpengaruh pada keuntungan dan nilai imbangan penerimaan dan biaya (R/C) yang diperoleh.

Keuntungan usaha ternak diperoleh melalui selisih antara penerimaan dengan biaya-biaya usaha ternak yang dikeluarkan, baik biaya tunai maupun biaya non-tunai. Setelah itu akan dilakukan perbandingan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C) untuk mengetahui keuntungan relatif yang diperoleh. Keuntungan usaha peternak mitra merupakan salah satu indikator keberhasilan kemitraan yang dipengaruhi juga oleh skala usaha yang dijalankan peternak. Peternak dengan skala usaha yang lebih besar umumnya akan mengeluarkan biaya yang lebih rendah dan memproduksi output dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan peternak dengan skala usaha kecil. Oleh karena itu, pengaruh kemitraan terhadap keuntungan peternak akan dilakukan dengan membandingkan keuntungan yang diperoleh peternak mitra skala kecil dan skala besar. Kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini secara lebih singkat dijelaskan pada Gambar 4.

Gambar 4. Kerangka pemikiran operasional - Keuntungan

- Analisis R/C Pengeluaran

usaha ternak

Penerimaan usaha ternak Kemitraan usaha ternak ayan ras pedaging: - Deskripsi mekanisme kemitraan

- Evaluasi pelaksanaan hak dan kewajiban kedua belah pihak yang bermitra

Harga Output Input

Harga input Output

(31)

15

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) karena Kecamatan Pamijahan merupakan sentra produksi ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor. Kecamatan Pamijahan merupakan salah satu daerah produsen daging ayam ras dengan produksi di atas produksi rata-rata per kecamatan, yakni sebesar 16 198.116 ton sehingga menempati posisi pertama sebagai kecamatan dengan jumlah produksi terbanyak atau memproduksi sekitar 16.99 persen dari total produksi ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor pada tahun 2013 (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, 2014).

Usaha ternak ayam ras pedaging di Kecamatan Pamijahan banyak diusahakan dengan pola kemitraan. Kemitraan yang banyak terjalin dilakukan antara peternak dengan perusahaan inti yang merupakan perusahaan peternakan skala besar. Perusahaan peternakan ini menerapkan dua sistem kerjasama yakni inti plasma dan maklon. Perbedaan pola inti plasma dan pola maklon yakni pada pola inti plasma terdapat kontrak kerjasama dan jaminan harga kontrak sedangkan pada pola maklon tidak terdapat perjanjian kerjasama dan peternak hanya menerima upah pemeliharaan untuk setiap kilogram ayam yang diproduksi. Sebagian besar peternak di Kecamatan Pamijahan bermitra dengan pola inti plasma. Responden pada penelitian ini adalah hanya peternak ayam ras pedaging yang bermitra dengan perusahaan inti dengan sistem inti plasma. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi informasi kontrak kerjasama, pelaksanaan kemitraan, penggunaan input, dan harga. Data primer diperoleh dari peternak bermitra maupun perusahaan inti.

Data sekunder meliputi monografi, data populasi, data produksi, dan data konsumsi daging ayam. Data sekunder diperoleh dari informasi tertulis yang berasal dari literatur-literatur yang relevan seperti buku, hasil penelitian terdahulu, dan informasi dari berbagai intansi seperti Dinas Peternakan, Badan Pusat Statistik, Perpustakaan IPB, Unit Pelaksana Teknis, dan intansi lain yang dapat membantu ketersediaan data.

Metode Pengumpulan Data

(32)

16

Metode Penetuan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah peternak ayam ras pedaging yang menjalin kemitraan dengan pola inti-plasma yang terersebar di tiga desa di Kecamata Pamijahan. Desa-desa tersebut yaitu Desa Gunung Bunder, Desa Gunung Picung, dan Desa Cibitung. Jumlah peternak bermitra berdasarkan data yang diperoleh sebanyak 56 peternak. Dari populasi tersebut dipilih sampel sebanyak 30 orang peternak bermitra. Metode penarikan sampel menggunakan

probability sampling dimana penarikan sampel dilakukan dengan simple random sampling yakni memberi peluang yang sama bagi setiap anggota populasi untuk terpilih menjadi sampel.

Sampel yang telah terpilih diklasifikasikan dalam skala usaha yang ditentukan berdasarkan kapasitas usaha. Penentuan batas distribusi frekuensi diperoleh dengan menentukan rentang yaitu kepemilikan terbesar dikurangi kepemilikan terkecil, kemudian dibagi panjang kelas yang diinginkan. Kriteria penentuan skala usaha adalah berdasarkan Keppres 22 Mei 1990 yang menyatakan bahwa usaha ternak ayam ras rakyat yang tidak lebih dari 15 000 ekor ayam untuk setiap siklusnya. Berdasarkan hal tersebut maka apabila usaha ternak ayam ras rakyat dibagi dalam tiga kelas/skala maka, skala I merupakan peternak dengan kapasitas usaha < 5 000 ekor ayam setiap siklusnya, skala II merupakan peternak dengan kapasitas usaha 5 000 – 10 000 ekor orang setiap siklusnya dan skala III merupakan peternak dengan kapasitas usaha >10 000 ekor. Akan tetapi, hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa dari 30 responden hanya terdapat dua orang peternak yang mengusahakan usaha ternak ayam ras pedaging pada skala III. Oleh karena itu, dalam penelitian ini responden penelitian diklasifikasikan dalam dua skala usaha yakni skala I yang merupakan peternak dengan kapasitas usaha ≤ 5 000 ekor per siklusnya dan skala II yang merupakan peternak yang mengusahakan > 5 000 ekor per siklusnya.

Metode Analisis Data

Data yang diolah dan dianalisis pada penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Sedangkan untuk data kuantitatif menggunakan analisis keuntungan usahatani dan analisis R/C rasio untuk melihat adakah perbedaan antara rata-rata keuntungan peternak mitra skala I dan peternak mitra skala II dalam usaha ternak ayam ras pedaging.

Analisis Deskriptif

(33)

17

Analisis Keuntungan Usahatani

Analisis keuntungan usahatani bertujuan untuk mengetahui besar keuntungan yang diperoleh dari usahatani yang dilakukan oleh peternak. Keuntungan usahatani dapat dihitung dengan:

Keuntungan = Total Penerimaan (TR) – Total Biaya (TC)

= (P x Q) – (biaya tunai + biaya yang diperhitungkan) Keterangan:

P = Harga produksi (Rp/kg) Q = Jumlah produksi (kg)

Biaya usahatani dapat dibedakan menjadi dua yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai adalah semua biaya yang dibayarkan dengan uang seperti biaya pembelian sarana produksi (benih, pupuk) dan biaya untuk membayar tenaga kerja luar keluarga. Biaya yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya keuntungan kerja petani jika penyusutan alat dan nilai tenaga kerja dalam keluarga di perhitungkan. Dalam usaha ternak ini terdapat kandang dan peralatan. Oleh karena itu perlu diperhitungkan biaya penyusutan. Biaya penyusutan alat–alat pertanian diperhitungkan dengan membagi selisih antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang ditafsirkan dengan lamanya modal dipakai (Metode Garis Lurus), dengan rumus sebagai berikut:

Biaya Penyusutan = �� − ��

Keterangan:

Nb = Nilai pembelian (Rp) Ns = Tafsiran nilai sisa (Rp) N = Umur ekonomis (tahun)

Secara sistematis, keuntungan usahatani dapat dihitung dengan menggunakan tabel seperti pada Tabel 3.

Tabel 3 Perhitungan keuntungan usahatani

Uraian Keterangan

Penerimaan tunai A

Penerimaan yang diperhitungkan B

Total penerimaan C = A + B

Biaya tunai D

Biaya yang diperhitungkan E

Total biaya F = D + E

Total Keuntungan G = C – F

Keuntungan atas biaya tunai H = C – D

Keuntungan atas biaya total G = C – F

(34)

18

Analisis Rasio R/C

Rasio R/C digunakan untuk menganalisis imbangan antara penerimaan dengan biaya. Analisis ini bertujuan untuk mengukur efisiensi input-output, dengan menghitung perbandingan antara penerimaan total dengan biaya produksi total. Analisis R/C rasio dibedakan menjadi R/C atas biaya total dengan rumus sebagai berikut:

Rasio R/C atas biaya total = � � �� ��� �� �� � � ���� �

dan analisis R/C rasio atas biaya tunai, dengan rumus:

Rasio R/C atas biaya tunai = � � �� ��� �� �� � � ���� � ��

Suatu usaha dikatakan berhasil bila nilai R/C rasio lebih besar dari satu. Nilai tersebut mengartikan bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan untuk usaha akan memberikan tambahan penerimaan lebih besar dari satu rupiah. Sebaliknya, bila nilai R/C kecil dari satu maka setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan memberikan tambahan penerimaan kurang dari satu rupiah, sehingga petani menderita kerugian. Jika nilai R/C ratio = 1 berarti kegiatan usahatani berada pada kondisi keuntungan normal.

GAMBARAN UMUM PENELITIAN

Karakteristik Wilayah

Letak dan Luas Wilayah

Kecamatan Pamijahan adalah salah satu dari 40 kecamatan yang berada di Kabupaten Bogor. Kecamatan Pamijahan terletak di Kabupaten Bogor bagian barat dengan luas 8 088 hektar atau 3 persen dari luasan total wilayah Kabupaten Bogor. Batas-batas wilayah Kecamatan Pamijahan sebagai berikut:

Sebelah utara : Kecamatan Cibungbulang dan Kecamatan Ciampea Sebelah selatan : Kabupaten Sukabumi

Sebelah barat : Kecamatan Leuwiliang Sebelah timur : Kecamatan Tenjolaya

Wilayah Kecamatan Pamijahan memiliki luas hamparan yang terbentang mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi karena berada pada 500 – 1 000 meter di atas permukaan laut.

Kondisi Alam dan Potensi Agribisnis

(35)

19 palawija yang banyak dibudidayakan seperti jagung manis, ubi kayu, dan ubi jalar. Sedangkan jenis tanaman hortikultura yang banyak dibudidayakan merupakan tanaman semusim seperti mentimun, buncis, terong, tomat, cabai, kacang panjang, dan sawi hijau. Dibandingkan dengan jenis sayuran lainnya sawi hijau merupakan tanaman paling banyak diusahakan. Komoditas hortikultura lainnya yang dibudidayakan adalah tanaman buah. Tanaman buah yang diusahakan di Kecamatan Pamijahan antara lain alpukat, jambu biji, papaya dan pisang.

Selain komoditas pangan, palawija, dan hortikultura, komoditas peternakan dan perikanan juga banyak diusahakan di Kecamatan Pamijahan. Populasi hewan ternak yang paling besar yaitu ayam ras pedaging diikuti domba dan sapi perah. Pada sektor perikanan, mayoritas budidaya perikanan di Kecamatan Pamijahan dilakukan di kolam air tenang. Komoditas ikan konsumsi yang paling banyak dibudidayakan adalah ikan lele dan ikan mas. Selain itu beberapa peternak juga membudidayakan ikan hias seperti corydoras, cupang, koi, dan koki.

Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk

Pada tahun 2014, jumlah penduduk wilayah Pamijahan adalah 146 190 orang dimana jumlah laki- laki 74 807 orang dan perempuan 71 130 orang. Penduduk di Kecamatan Pamijahan terdistribusi secara merata dari usia 0 hingga usia lebih dari 60 tahun dengan distribusi jumlah penduduk terbesar berada pada kisaran umur 51 – 60 tahun yaitu sebanyak 219 958 penduduk atau 13.65 persen dari keseluruhan penduduk. Kecamatan Pamijahan adalah masyarakat campuran penduduk asli dan WNI keturunan. Bahasa dominan yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa sunda. Agama yang dipeluk penduduk Kecamatan Pamijahan adalah Agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha.

(36)

20

Karakteristik Responden

Karakteristik peternak merupakan aspek yang penting dalam menilai keberhasilan usahanya. Karakteristik-karakteristik tersebut penting diketahui karena mempengaruhi pengambilan keputusan peternak dalam mengelola usahanya. Petani yang memiliki kemampuan pendidikan yang baik, kemampuan teknis yang baik dan lebih banyak pengalaman akan mendapatkan hasil pada posisi yang terbaik (Setianingsih et al dalam Nurfadillah 2014). Responden dalam penelitian ini adalah peternak yang melakukan usaha ayam ras pedaging di Kecamatan Pamijahan. Responden penelitian yaitu peternak ayam ras pedaging yang bermitra sebanyak 30 peternak yang terbagi menjadi dua kelompok yakni peternak skala I dan peternak skala II. Peternak skala I sebanyak 19 peternak mitra dengan rata-rata kapasitas usaha sebanyak 3 657.89 ekor. Peternak skala II sebanyak 11 peternak mitra dengan rata-rata kapasitas usaha sebanyak 7 909.09 ekor ayam. Karakteristik responden terbagi menjadi dua hal, yaitu karakteristik peternak yang mencakup usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan diluar usaha ternak dan karakteristik usaha ternak yang mencakup lama usaha, kapasitas usaha, dan alasan beternak ayam ras pedaging.

Usia

Usia peternak merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja usaha ternak ayam yang dan memiliki keterkaitan dengan pengambilan risiko. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa peternak responden memiliki usia yang beragam mulai dari 28 – 60 tahun. Sebagian besar peternak mitra skala I berusia antara 31 – 40 tahun sedangkan peternak mitra skala II berusia 41-50 tahun. Hal ini membuktikan bahwa tidak selalu peternak yang berusia muda lebih berani dalam mengambil risiko. Walaupun secara fisik, maka semakin tua tenaga kerja akan semakin turun prestasinya namun semakin tua usia tenaga kerja akan semakin banyak pengalamannya dalam berusaha sehingga dapat meningkatkan prestasi kerja. Sebaran responden berdasarkan kelompok usia dapat terlihat pada Tabel 4.

(37)

21 SMP dengan persentasi sebesar 45.45 persen. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan formal terdapat pada Tabel 5.

Tabel 5 Tingkat pendidikan formal responden

Pendidikan non-formal didapatkan dalam bentuk pelatihan atau pembinaan. Seluruh peternak mitra pernah mendapatkan pembinaan pada awal mereka bergabung dengan perusahaan inti mengenai proses budidaya yang sesuai dengan prosedur perusahaan inti.

Jenis Kelamin

Mayoritas peternak responden berjenis kelamin laki laki, yaitu sebesar lebih besar dari 90 persen pada peternak mitra. Terdapat dua peternak mitra yang berjenis kelamin perempuan. Kedua peternak tersebut merupakan ibu rumah tangga yang memutuskan untuk beternak sebagai kegiatan untuk mengisi waktu luang yang dapat menambah penghasilan keluarga. Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 6.

(38)

22

Tabel 7 Pekerjaan di luar beternak ayam

Pekejaan lain

Usaha ternak ayam ras pedaging yang diusahakan oleh responden memiliki lama usaha yang bervariasi antara 1 - 15 tahun. Mayoritas peternak mitra skala I telah mengusahakan usaha ternak ayam ras pedaging dalam rentang waktu 1 – 5 tahun, sedangkan peternak mitra skala II mayoritas telah mengusahakan usahanya selama 10 – 15 tahun. Sebaran responden berdasarkan lama usaha dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Lama usaha ayam ras pedaging

Lama usaha (tahun)

Terdapat beberapa alasan yang mendasari peternak memilih usaha ayam ras pedaging. Alasan terbanyak peternak mitra skala I memilih usaha ini adalah karena peternak telah memiliki pengalaman budidaya dengan persentase sebesar lebih dari 40 persen dari keseluruhan peternak mitra skala I. Walaupun sebagian besar peternak menjalankan usahanya selama 1 – 5 tahun, tetapi peternak telah memiliki pengalaman dalam pemeliharaan ayam ras pedaging karena telah lama bekerja sebagai anak kandang atau ikut mengurus ternak milik keluarga.

(39)

23 Tabel 9 Alasan beternak ayam ras pedaging

Alasan

Memiliki pengalaman budidaya 9 47.36 3 27.27

Alasan lainnya 1 5.27 4 36.36

Jumlah 19 100.00 11 100.00

Kapasitas Usaha Ayam Ras Pedaging

Usaha ternak ayam ras pedaging yang diusahakan 30 responden memiliki kapasitas usaha yang berbeda, berkisar antara 2 000 ekor hingga 14 000 ekor. Berdasarkan kapasitas usahanya, peternak mitra dikategorikan sebagai peternak rakyat karena kapasitas usaha per siklusnya tidak melebihi 15 000 ekor (SK Mentan No. 362/Kpts/TN.120/5/1990). Peternak mitra skala I paling banyak diusahakan dengan kapasitas 2 501 - 5000 ekor dan paternak skala II paling banyak mengusahakan usahanya dengan kapasitas 5 500 – 6 000 ekor. Sebaran responden berdasarkan kapasitas usahanya dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Kapasitas usaha ayam ras pedaging

Kapasitas (ekor) membentuk siklus produksi yang dimulai dari persiapan kandang hingga panen. Untuk setiap satu siklus produksi membutuhkan waktu sekitar 50 – 60 hari sehingga dalam satu tahun peternak biasanya maksimal memiliki enam siklus produksi.

Persiapan Kandang

Sebelum kegiatan pemeliharaan ayam berlangsung, terlebih dahulu kandang dan peralatan yang akan digunakan harus dipersiapkan dengan baik. Tujuan dari persiapan kandang ini sendiri yaitu untuk memberikan rasa nyaman pada ayam ketika ayam mulai masuk, serta supaya terhindar dari gangguan penyakit.

(40)

24

Setelah siklus produksi sebelumnya selesai dilakukan, maka kandang harus segera dibersihkan dan disterilisasi. Pertama-tama kandang dibersihkan dari sekam dan sisa kotoran. Apabila terdapat bagian kandang yang harus diperbaiki, biasanya peternak akan melakukan perbaikan terlebih dulu sebelum kemudian kandang dicuci dengan cara menyemprotkan air bersih. Selanjutnya lantai dan dinding kandang dibasahi dengan larutan detergen kemudian didiamkan selama kurang lebih satu jam supaya mudah dicuci. Seluruh bagian kandang disikat, kemudian dibilas sampai benar-benar bersih. Setelah kandang benar-benar bersih, kandang didiamkan dan barulah disemprot dengan desinfektan secara merata ke setiap sudut kandang dan lingkungan sekitar kandang. Kemudian kandang ditutup dan didiamkan kembali selama satu minggu. Peralatan kandang seperti tempat pakan dan tempat minum juga dicuci dengan air bersih dan detergen untuk mencegah adanya penyakit dan sisa sisa kotoran yang masih tertinggal.

2. Penebaran litter dan pengaturan peralatan

Litter atau alas kandang yang digunakan peternak adalah sekam. Sekam ditebar di lantai kandang dengan ketebalan 5 – 7 cm. Sekam yang digunakan harus bersih, kering, dan ditebar merata. Penggunaan sekam sebagai alas bertujuan untuk menghangatkan, mencegah luka pada ayam, dan menyerap air yang berasal dari kotoran mapun tumpahan minum sehingga lantai tetap kering. Peralatan kandang seperti tempat pakan dan tempat minum ayam disusun di dalam kandang sesuai dengan kebutuhan ayam. Tempat pakan dan tempat minum dipasang secara berselang-seling.

3. Persiapan masa brooding

Indukan atau brooder berfungsi untuk menghangatkan anak ayam. Brooder

digunakan sampai ayam berumur 14 – 15 hari. Jenis bahan bakar pemanas yang digunakan oleh peternak berbeda-beda. Terdapat berbagai macam pilihan pemanas yang dapat digunakan untuk menciptakan suhu stabil dalam kandang. Berdasarkan hasil wawancara, jenis pemanas yang digunakan peternak mitra yakni kayu bakar, serbuk gergaji, batu bara, dan gas. Hal ini membuat alat pembakaran yang digunakan peternak pun berbeda-beda sesuai dengan jenis pemanas yang digunakan.

Ukuran dan jumlah brooder tergantung dari jumlah dan umur ayam. Semakin besar dan umur semakin bertambah, maka brooder diperluas. Setiap kandang umumnya cukup dengan satu pemanas jika pemanasan dilakukan dengan kayu bakar yang dibakar dalam tong karena biasanya hanya sebagian ruang kandang yang digunakan untuk memanaskan ayam. Tetapi apabila peternak menggunakan gas, batu bara ataupun serbuk kayu maka peternak memerlukan lebih dari satu alat pemanas. Kandang disekat dengan tirai maupun papan triplek atau pagar bambu (chick guard) untuk memperkecil ruangan dan meminimalisir panas yang keluar. Usahakan udara di dalam kandang tidak terlalu pengap, artinya tetap harus memperhatikan kepentingan ventilasi udara bagi ayam. Tata cara dalam tahap brooding antara peternak mitra dan peternak mandiri memiliki sedikit perbedaan. Walaupun peternak mitra rata-rata memiliki kapasitas produksi yang lebih besar dan jumlah kandang yang lebih dari satu, tetapi selama masa brooding

(41)

25

Pemeliharaan

Peternak harus memperhatikan masa pemeliharaan ayam ras pedaging dari DOC sampai umur panen. Semakin baik masa pemeliharaan maka hasil produksi akan baik. Periode pemeliharaan broiler yang umum dilakukan peternak terdiri dari dua fase yaitu fase starter dan fase finisher.

Pemeliharaan fase starter dimulai pada umur 1 hari sampai dengan 21 hari atau minggu pertama hingga minggu ketiga. Pada minggu pertama dimulai saat

chick in, DOC dipindahkan ke brooder dan segera diberi minum larutan gula dan air hangat untuk mengganti energi yang hilang selama transportasi. Pada minggu pertama ini pemanas dinyalakan sepanjang hari. Pakan dan air minum diberikan sehari tiga kali yaitu saat pagi, siang dan sore. Pemberian pakan dilakukan dengan cara ditabur pada feed tray ataupun tutup boks. Pada minggu pertama juga dilakukan vaksinansi ND killed (tetelo) dan IB (gumboro) saat umur DOC 4 hari dengan cara suntik dan tetes. Penyuntikan dilakukan oleh petugas perusahaan, sedangkan vaksin tetes diberikan oleh peternak. Umumnya sebagian peternak menggunakan koran atau karung yang diletakkan diatas sekam agar DOC tidak memakan sekam, kemudian setelah minggu pertama lapisan koran atau karung sudah mulai dibuka. Pelaksanaan masa pemeliharaan pada minggu kedua dan minggu ketiga tidak berbeda dengan minggu pertama. Tetapi peternak dapat menggurangi penggunaan pemanas dengan hanya menyalakan pemanas pada saat malam hari atau jika cuaca dingin. Pemberian pakan dan minum pada minggu kedua sudah mulai diberikan di tempat makan dan minum yang diletakkan diatas sekam sedangkan pada minggu ketiga pemberian pakan diletakkan di tempat makan yang digantung setinggi jangkauan ayam.

Pada minggu kedua atau saat DOC telah berumur 12 – 15 hari, dilakukan vaksinasi IBD (gumboro) dengan cara diminumkan. Pada minggu kedua atau saat ayam telah berumur 14 hari, alas sekam sudah dapat diangkat. Beberapa peternak melakukan vaksinasi ND lasota kembali pada umur 18 – 21 hari dengan cara diminumkan. Apabila peternak melakukan pemberian vaksin dengan cara diminumkan, ayam tidak diberi air minum untuk beberapa saat lebih dahulu agar ayam benar-benar merasa haus sehingga akan meminum air mengandung vaksin sebanyak-banyaknya.

Fase finisher dimulai dari umur 21 hari minggu hingga panen. Minggu keempat merupakan masa pemeliharaan menjelang panen. Masa pemeliharaan pada minggu ini tidak berbeda dengan minggu sebelumnya. Pada minggu keempat hingga panen, penggunaan pemanas sudah tidak diperlukan dan pemberian obat sudah berkurang. Obat-obatan yang banyak digunakan adalah obat-obatan yang ditujukan untuk mengobati penyakit cocci (berak darah), gumboro, CRD (ngorok), dan coryza (snot).

Selama masa pemeliharaan ayam baik pada fase starter ataupun fase

(42)

26

Selain itu juga dilakukan seleksi untuk mengetahui kondisi kesehatan ayam. Setiap harinya dilakukan screening untuk mencari ayam yang pertumbuhannya lambat, cacat, kerdil, maupun sakit. Ayam yang sakit juga harus segera dipisahkan supaya tidak menularkan penyakit kepada ayam sehat. Biasanya saat ditemukan beberapa ayam sakit, peternak langsung melakukan tindakan pengobatan untuk seluruh ayam.

Pemanenan

Masa panen ayam dapat mulai dilakukan ketika ayam berbobot 0.80 – 0.90 kg atau disebut dengan panen kecil. Sedangkan apabila ayam dipanen saat telah berbobot 1.30 kg atau lebih maka disebuf dengan panen besar. Peternak responden umumnya melakukan panen besar. Pemanenan dilakukan saat pagi atau sore hari. Proses panen dilakukan dengan cara ayam digiring dan disekat terlebih dahulu untuk memudahkan penangkapan dan mengurangi tingkat stres pada ayam. Ayam yang ditangkap lalu diikat dengan menggunakan tali raffia. Setiap satu ikatan terdiri dari 5 ekor ayam lalu kemudian ayam ditimbang. Pada sekali penimbangan terdiri dari 4 ikatan atau 20 ekor ayam. Hasil penimbangan akan dicatat dan dijumlahkan pada akhir panen. Selanjutnya ayam-ayam yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam keranjang pembeli. Setelah itu keranjang ayam disusun ke dalam pick-up/ truk dan diangkut ke tempat tujuan. Pada peternak mitra, pihak pemanen adalah perusahaan inti dan pembayaran hasil ditujukan pada inti. Waktu panen peternak mitra ditentukan oleh inti. Peternak mitra harus mencatat hasil penimbangan pada surat daftar penimbangan dan harga yang diterima peternak mitra merupakan harga kontrak.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kemitraan Usaha ternak Ayam Ras Pedaging

Perjanjian Kemitraan

Sistem kemitraan pada usaha ternak ayam ras pedaging dapat diartikan sebagai kerjasama dalam proses pemerliharaan yang dilakukan antara dua pihak, yaitu perusahaan dan peternak. Kerjasama kemitraan di Kecamatan pamijahan dilakukan peternak dengan perusahaan peternakan. Pola kemitraan yang umum dilakukan peternak mitra di Kecamatan Pamijahan yaitu pola inti plasma karena perusahaan peternakan berperan dalam menyediakan sarana produksi, melakukan pembinaan, dan memberikan jaminan pemasaran dengan harga kontrak. Sedangkan peternak berperan melakukan usaha ternak untuk inti dan tidak diperbolehkan menggunakan sapronak dari pihak lain serta menjual hasil panen ke pihak lain selain perusahaan peternakan.

Gambar

GAMBARAN UMUM PENELITIAN
Gambar 1 Pola kemitraan inti-plasma
Gambar 2 Pola kemitraan subkontrak
Gambar 4.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kata kunci : kawat gigi, titanium TNTZ, wire drawing , kekuatan tarik,. kekerasan, mikro

Selain dari pada itu Strategi belajar OUT DOOR juga memperkenalkan alam secara natural dan sangat banyak menfaat yang dirasakan peserta didik, kemudian dengan

Siswa dapat mempraktikkan kombinasi pola gerak dasar lokomotor yang dilandasi konsep gerak dalam berbagai bentuk permainan sederhana dengan memperhatikan tanggung jawab

Belajar dari perkembangan penguasaan bahasa nasional dan daerah di Indonesia, penciptaan lingkungan yang kondusif menjadi alternatif dalam pembelajaran bahasa Arab

Penelitian yang dilakukan peneliti sekarang adalah “Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Treffinger Berbantuan LKS dan Motivasi Belajar Terhadap Hasil Belajar

Program / Kegiatan Anggaran (Rp.) 1 2 3 4 5 6 DINAS PERTANIAN, PERKEBUNAN, DAN PETERNAKAN 1 Meningkatnya Penerapan Teknologi Pertanian/ Perkebunan

Berdasarkan hasil evaluasi administrasi, teknis , evaluasi harga serta evaluasi penilaian kualifikasi penawaran oleh Pokja Pengadaan Barang/Jasa Bidang Cipta Karya

Metode Drill yaitu sebagai berikut :.. 1) Tujuan harus dijelaskan kepada siswa sehingga latihan mereka dapat. mengerjakan dengan tepat sesuai yang diharpkan. 2) Tentukan