• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ................................... 94-102

5.2 Diskusi

Berdasarkan hasil penelitian di atas, baik dalam keseluruhan kekuatan karakter maupun antara aspek kekuatan karakter, mengungkapkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara narapidana kriminal dan narkotika. Hal ini berarti, bahwa diantara narapidana tersebut tidak memiliki perbedaan kekuatan karakter, meskipun terdapat perbedaan latar belakang tindak pidana.

Namun, Reckles (1940, dalam Indiyah 2004) mengungkapkan bahwa terdapat faktor lingkungan yang menyebabkan munculnya perilaku pelanggar hukum, tetapi penyebab utamanya adalah integrasi kepribadian dari perilaku pelanggar hukum tersebut. Pelanggar hukum adalah mereka yang mengalami kegagalan perkembangan psikologis, mengalami ketidakmatangan emosi, cenderung egosentris, serta tidak mampu mengatasi kondisi kehidupan yang kompetitif dengan cara efektif.

Hal ini berarti, memungkinkan bahwa seorang narapidana yang memiliki perbedaan latar belakang pidana belum tentu memiliki perbedaan kekuatan karakter yang berbeda pula. Mungkin saja, karena pengaruh faktor fasilitas lapas yang menggabungkan narapidana kriminal dan narkotika dalam satu blok dan dan kamar, sehingga memungkinkan para narapidana tersebut membaur dan saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini, sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan salah satu petugas Lapas (27 Januari 2011) yang mengatakan bahwa kondisi Lapas yang menggabungkan segala fasilitas, pembinaan, dan perlakuan baik pada narapidana kriminal maupun narapidana narkotika membuat para narapidana tidak terlihat perbedaan karakternya secara kasat mata.

Padahal, idealnya pembinaan narapidana di Lapas harus didasarkan pada empat hal, yakni usia, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, dan jenis kejahatan, hal ini sesuai sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-undang No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Pasal 12 ayat (1). Dalam artian, bahwa seharusnya narapidana narkotika dan narapidana kriminal diperlakukan secara berbeda. Namun, dengan kondisi keterbatasan fasilitas Lapas, meningkatnya jumlah narapidana, dan minimnya sumber daya manusia, membuat penerapan pembinaan sulit diterapkan dengan benar, sehingga perbedaan kekuatan karakter antara kedua narapidana tersebut tidak ditemukan pada Lapas Pemuda Kelas II A Pemuda Tangerang.

Selanjutnya, dalam Peterson & Seligman (2004) menjelaskan bahwa kekuatan karakter dan virtues muncul disebabkan oleh lingkungan, yakni dengan adanya situational themes yang merupakan kebiasaan-kebiasaan spesifik pada individu pada kondisi tertentu. Dalam kondisi Lapas, tentunyasituational themes

merupakan awal dari berkembangnya kekuatan karakter kemudian virtues. Mungkin inilah salah satu yang menyebabkan kurangnya muncul perbedaan kekuatan karakter pada kedua narapidana tersebut karena kurangnya digali kebiasaan spesifik positif pada kondisi Lapas. Dengan keterbatasan kondisi Lapas, memungkinkan pihak Lapas dan narapidana tidak optimal dan fokus dalam pembenahan diri. Penggabungan kedua narapidana, kurang pembinaan yang tepat sasaran, dan kurangnya kebiasaan-kebiasaan spesifik yang positif pada kondisi Lapas (situational themes) merupakan sebagian faktor penyebab tidak adanya perbedaan pada kedua jenis narapidana tersebut.

Meskipun tidak ada perbedaan kekuatan karakter antara narapidana kriminal dan narkotika, dari hasil penelitian ini didapatkan informasi tambahan berkaitan dengan kekuatan karakter pada narapidana. Berdasarkan hasil uji kategori skor kekuatan karakter pada kedua narapidana tersebut memiliki perbedaan. Pada narapidana kriminal, diperoleh mayoritas atau sebesar 57,5% responden berada pada kategori kekuatan karakter sedang, dan pada narapidana narkotika diperoleh sebesar 40% berada pada kategori sedang, dimana dapat dikatakan pula bahwa sebagian besar atau kurang lebih 50% narapidana kriminal memiliki kekuatan karakter cukup di dalam dirinya, kemudian pada narapidana kriminal sebesar 27,5 % lainnya sedangkan narapidana narkotika sebesar 35% berada pada kategori tinggi dan sisanya 15% pada narapidana kriminal dan 25% berada pada kategori rendah. Tampak bahwa pada narapidana kriminal dan narkotika memiliki sedikit perbedaan, narapidana narkotika memiliki lebih banyak responden pada kategori rendah dan tinggi. Hal ini cukup sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Firanti (2010) pada residen di BNN yang mengungkapkan 38,06% residen memiliki kekuatan karakter pada kategori rendah. Jadi dapat dilihat bahwa sebagian responden sudah memiliki kekuatan karakter yang tinggi di dalam dirinya, dan untuk kategori rendah diperlukan lagi pembinaan moral pada narapidana melalui program-program di Lapas tersebut.

Selanjutnya, berdasarkan hasil kategorisasi aspek kekuatan karakter pada narapidana kriminal dan narapiadana narkotika ditemukan aspek transcendence

yang memiliki kategori tertinggi sebesar sedangkan pada narapidana narkotika

perbedaan, yakni humanity berada pada kategori rendah, 25% pada narapidana kriminal dan 22,5% pada narapidana narkotika.

Berdasarkan hasil kategorisasi pada klasifikasi kekuatan karakter, diperoleh tujuh kekuatan karakter tertinggi pada kedua narapidana tersebut, yakni

kindness 60%, hope 55%, spirituality 52,5%, love of learning 47,5%, gratitude

45%, curiosity, bravery,dan fogivesness and mercy sebanyak 42,5%, citizenship,

dan appreciation of beauty sebesar 40% pada narapidana kriminal, sedangkan

spirituality 90%, creativity 55%, open-mindedness 52,5%, love of learning 50%, kindness47,5%, curiositydan bravery sebesar 42,5%,dan perspective 40% pada narapidana narkotika. Tampak bahwa pada kedua jenis narapidana tersebut

spirituality memiliki persentase paling banyak lebih dari 50%. Hal ini sesuai dengan yang dijabarkan oleh B. Johnson, Larson, Li, & Jang (2000) bahwa

spirituality atau religiousness berkaitan dengan kecenderungan individu untuk menghindari dan menjauhi berbagai kegiatan anti sosial mencakup penyalahgunaan narkoba, penjualan obat-obatan terlarang, serta kegiatan terlarang lainnya (dalam Peterson & Seligman, 2004).

Enam kekuatan karakter terendah pada narapidana kriminal yaknifairness

42,5%, persistence 40%, self-regulation 27,5%, leadership 22,5%, appreciation of beauty 20%, creativity dan vitality 17,5%. Sedangkan pada narapidana narkotika enam kekuatan karakter terendah adalah humor 45%, integrity 35%,

gratitude dan hope 30%, persistence 25%, citizenship dan leadership 22,5%,

humility and modesty 20%. Tampak bahwa persistence merupakan kekuatan karakter rendah pada kedua jenis narapidana tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Indiyah (2004) yang menyatakan bahwa ada kecenderungan

seorang narapidana merasa takut dalam mengalami peristiwa menyedihkan dan sulit sebesar 60%, dimana seorang yang persistence cenderung untuk tetap konsisten walaupun menghadapi rintangan.

Kemudian leadership pun juga dimiliki pada kedua narapidana tersebut. Hal ini tidak mengherankan karena menurut Staub (1978), individu yang memiliki

social responsibility serta citizenship yang baik terlibat dalam urusan komunitas mereka dan memiliki tingkat kepercayaan sosial (social trust) yang lebih tinggi dan memiliki pandangan yang lebih positif terhadap perikemanusiaan (human nature) (dalam Peterson & Seligman, 2004). Seorang individu yang memiliki karakter leadership yang tinggi ia akan mudah membaur dengan kelompoknya dan tentunya memilikicitizenshipyang tinggi pula.

Selanjutnya berdasarkan gambaran umum usia responden, menunjukkan bahwa pada narapidana kriminal lebih banyak pada usia 21 – 25 tahun, sedangkan pada narapidana narkotika lebih banyak pada usia 26 – 30 tahun. Dan berdasarkan tingkat pendidikan responden, menunjukkan kedua narapidana tersebut pada pendidikan terakhir SMA. Ini berkaitan pada usia dan tingkat pendidikan tersebut, individu sedang pada masa peralihan yakni dari masa remaja akhir kepada masa dewasa awal, sebagaimana dijelaskan bahwa pada usia tersebut individu memiliki kecenderungan yang kuat untuk mengembangkan sense of personal identity (Hendriati, 2006). Erikson (1963 dalam Monks, 2002) memaparkan bahwa pada masa ini individu sedang pada tahap integritas diri, dimana individu sedang mencari gaya hidup yang akan dipilihnya dalam menjalani jalan hidupnya, dimana ketika individu tidak berhasil menemukannya maka individu akan putus asa. Maka memungkinkan ketika individu tidak dapat

melewati masa tersebut dengan benar, maka individu tersebut dapat melakukan pelanggaran hukum. Hal tersebut sangat disayangkan, karena pada masa tersebut menurut Schaie (dalam, Santrock 2002), individu berada pada fase mencapai prestasi (achieving stage) yakni fase di masa dewasa awal yang melibatkan penerapan intelektualitas pada situasi yang memiliki konsekuensi besar dalam mencapai tujuan jangka panjang, seperti pencapaian karir dan pengetahuan.

Berdasarkan suku bangsa, tampak ada perbedaan responden. Pada narapidana kriminal responden terbanyak berasal dari suku sunda yaitu sebesar 18,75%, sedangkan pada narapidana narkotika responden terbanyak berasal dari suku betawi yaitu sebesar 17,5%. Dalam penelitian sebelumnya, suku bangsa tertentu memiliki hubungan dengan kekuatan karakter tertentu. Peterson & Seligman (2004) juga menjelaskan bahwa suku bangsa (culture), pendidikan, usia dan jenis kelamin akan mempengaruhi kekuatan karakter individu. Namun, dalam penelitian ini, tidak ditemukan bahwa faktor-faktor tersebut mempengaruhi kekuatan karakter seseorang ataupun kelompok, dikarenakan lokasi Lapas ini merupakan kependudukan suku bangsa ini.

Oleh karena itu, peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih terdapat beberapa kekurangan, diantaranya kecilnya ruang lingkup dan jumlah responden pada masing-masing kelompok, yaitu hanya di Lapas Kelas IIA Pemuda Tangerang, sehingga kurang diperoleh perbedaan kekuatan karakter antara narapidana tersebut. Selain itu, karena perbedaan kebijakan dan fasilitas serta perlakuan pada narapidana di Lapas lain ada kemungkinan dapat mempengaruhi kekuatan karakter narapidana. Dengan demikian, penelitian ini tidak dapat

digeneralisasikan pada seluruh narapidana, namun hanya terbatas pada responden penelitian ini saja.

Dokumen terkait