BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5.2 Diskusi
Berdasarkan kesimpulan di atas, secara teoritis diketahui bahwa hasil penelitian
menyatakan bahwa intensi dipengaruhi oleh sikap, norma subjektif dan perceived behavioral control. Sedangkan menurut penelitian ini, hanya satu variabel yang mempengaruhi intensi berselingkuh yaitu norma subjektif, sedangkan dua variabel
lainnya tidak berpengaruh yaitu sikap dan perceived behavioral control.
Dalam teori reason action disebutkan bahwa untuk beberapa intensi, sikap merupakan hal yang lebih penting dari pada norma subjektif, sedangkan untuk
intensi yang lainnya norma subjektif lebih penting. Intensi berselingkuh dalam
penelitian ini sesuai dengan penyataan yang kedua, yang mana norma subjektif
lebih berperan penting dari pada sikap. Beberapa studi juga menunjukkan hasil
yang sama bahwa norma subjektif lebih berperan penting dari pada sikap, yaitu
penelitian Smetana dan Adler tentang intensi melakukan aborsi pada wanita dan
penelitian Vinokur dan Kaplan tentang keputusan pasangan untuk memiliki anak
lagi (dalam Ajzen, 1991)
Demikian halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mutiah
(2007) yang bertujuan untuk melihat hubungan sikap, norma subjektif, dan
perceived behavioral control terhadap intensi berpoligami menunjukkan norma subjektif sebagai prediktor terkuat.
Menurut Ajzen (1991) ketidakhadiran kesempatan yang sesuai pada
seseorang dapat merubah intensi mereka. Kurangnya kesempatan dapat
mengurangi usaha untuk mewujudkan suatu perilaku. Dengan demikian seseorang
berusaha untuk mewujudkan intensi namun gagal karena lingkungan sekitar
menghalanginya. Lingkungan sekitar dapat berupa orang-orang yang berada di
Ketidaksignifikanan perceived behavioral control terhadap intensi berselingkuh diduga karena PBC yang merupakan persepsi terhadap kemudahan
dan kesulitan akses menampilkan perilaku tidak sesuai dengan kontrol aktual yang
terjadi pada responden. Seperti yang disebutkan dalam teori planned behavior, yang mana hubungan antara perceived behavioral control dengan perilaku muncul hanya ketika terdapat kesesuaian antara persepsi terhadap kontrol dan kontrol
aktual individu terhadap perilaku. Disamping itu, peneliti menduga
ketidaksignifikanan ini terjadi dikarenakan meskipun individu mempersepsikan
dirinya memiliki kontrol untuk memunculkan perilaku, tetapi tekanan sosial
memiliki pengaruh yang kuat sehingga menekan intensi berselingkuh tersebut.
Dalam teori planned behavior juga disebutkan bahwa terdapat faktor-faktor yang melatar belakangi sikap, norma subjektif dan PBC yang membentuk
intensi dan akhirnya memunculkan perilaku. Faktor-faktor tersebut mencakup
faktor personal, sosial, dan informasi. Data sekunder dalam penelitian ini hanya
mencakup faktor sosial, yaitu jenis kelamin, usia, dan pendidikan responden.
Jika dilihat dari analisis deskriptif, persebaran skor intensi berselingkuh
berdasarkan jenis kelamin untuk jenis kelamin laki-laki, 60% intensi berselingkuh
pada kategori tinggi dan 40% pada kategori rendah. Sedangkan untuk jenis
kelamin perempuan, 54% pada kategori tinggi dan 46% pada kategori rendah.
Setelah dilakukan uji t untuk melihat perbedaan keduanya, maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan intensi berselingkuh
antara laki-laki dan perempuan. Hal ini bertentangan dengan standar ganda yang
perselingkuhan dibandingkan perempuan, atau dengan kata lain perempuan akan
lebih dipersalahkan jika melakukan perselingkuhan.
Bahkan di tradisi Inggris terdapat istilah “cuckold’ untuk suami yang istrinya berselingkuh, sedangkan tidak ada istilah bagi istri yang suaminya
berselingkuh. Hal ini didukung dengan hasil polling yang dilakukan di Amerika dan Denmark (Christensen, dalam Collins 1987) menunjukkan bahwa laki-laki
lebih menerima perselingkuhan dibandingkan perempuan, dan baik laki-laki
maupun perempuan membatasi atau tidak penerima perselingkuhan yang
dilakukan oleh perempuan.
Namun ketiadaan perbedaan yang signifikan intensi berselingkuh laki-laki
dan perempuan ini diduga disebabkan oleh tingkat pendidikan dan pekerjaan
responden tersebut yang mana 40% telah menyelesaikan jenjang sarjana, 38%
pada jenjang akademi (D3), dan 22% pada jenjang SMA. Menurut Thompson
(1983), salah satu prediktor dari sikap permisif terhadap perselingkuhan adalah
sikap permisif terhadap hubungan seks pranikah. Dalam penelitian yang dilakukan
Faturochman (1995) mengenai prediktor sikap permisif terhadap hubungan seks
sebelum menikah menyebutkan tingkat pendidikan mempengaruhi sikap permisif
ini dan diasumsikan hal ini memiliki kedudukan yang sama terhadap
perselingkuhan, yang mana orang-orang terdidik lebih mempertimbangkan
konsekuensi yang akan mereka dapat jika melakukan perselingkuhan dan tentunya
hal ini mempengaruhi intensi berselingkuhnya.
rumah tangga. Hal ini tidak mengherankan karena wanita karir memiliki
kesempatan berselingkuh yang lebih besar, selain itu telah ada perubahan sikap
yang mana wanita karir dapat memilih melakukan hal yang dulu hanya dapat
dilakukan laki-laki.
Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Conner dan
Flesch (dalam Ajzen, 2005) tentang pengaruh jenis kelamin terhadap perilaku
seksual menunjukkan bahwa laki-laki memiliki intensi yang tinggi terhadap
perilaku seks, namun setelah dikontrol dengan prediktor dari teori planned behavior, yaitu sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control, efek dari jenis kelamin tidak terlalu signifikan.
Dalam proses penyusunan item, peneliti melakukan elisitasi kepada 10
orang untuk mendapatkan salient belief atau keyakinan yang menonjol, dari hasil elisitasi tersebut hanya terdapat beberapa pernyataan yang favorable. Dari 28 item yang ada hanya 9 item yang favorable, 19 item lainnya unfavorable. Hal ini diduga disebabkan karena perselingkuhan masih dianggap perbuatan yang tidak
bermoral apalagi di Indonesia yang bernotabene memeluk agama Islam yang
secara jelas melarang perselingkuhan. Hal ini didukung dari hasil skala intensi,
yang mana banyak dari responden yang merasa sulit untuk melakukan
perselingkuhan disebabkan oleh larangan agama.
Polling yang dilakukan oleh Nasional Opinion Research Center (dalam Collin, 1987) menunjukkan hasil yang sama, walaupun beberapa kelompok telah
merubah standarnya, yaitu mentolerir laki-laki yang melakukan perselingkuhan,
merupakan hal yang salah. Polling ini dilakukan terhadap penduduk Amerika,
70% memiliki keyakinan perselingkuhan selalu salah dan 15% hampir selalu
salah. Meskipun Denmark memiliki kebebasan dalam berbagai urusan seks,
seperti hubungan seks sebelum menikah, hamil di luar nikah, pornografi, dan
cenderung melakukan perselingkuhan, tetapi hampir setengah dari laki-laki dan
perempuan Denmark yang tidak dapat menerima perselingkuhan.
Sedangkan untuk responden yang merasa mudah dan mungkin untuk
melakukan perselingkuhan menjawab alasan terkuatnya adalah ketidakharmonisan
di dalam keluarga dan banyak menghabiskan waktu di kantor sehingga sering
bertemu dengan lawan jenis yang menarik. Hasil penelitian Suciptawati dan
Susilawati menunjukkan dari 50 responden, hanya 8% responden yang setuju
ketidakharmonisan dalam rumah tangga menjadi penyebab perselingkuhan,
sedangkan faktor-faktor yang lain antara lain kurang komunikasi, kurang
komunikasi, dan faktor ekonomi.
Sadarjoen (2005) menyebutkan curhat dengan lawan jenis merupakan awal
dari perselingkuhan karena dalam hubungan perselingkuhan ini kedua belah pihak
merasa saling dipahami oleh pasangan selingkuh dan posisi pasangan di rumah
menjadi tidak menarik, membosankan dan tidak membangkitkan gairah.