• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

Bagan 2.3 Faktor yang Melatarbelakangi Intensi

Faktor yang Melatarbelakangi Intensi

Faktor-Faktor yang melatarbelakangi intensi Personal Sikap umum Trait kepribadian Nilai Emosi Intelegensi Sosial Umur, gender Ras, suku Pendidikan Penghasilan Agama Informasi Pengalaman Pengetahuan Media Behavioral Beliefs Sikap terhadap perilaku Normative Beliefs Norma

Subjektif Intensi Perilaku

Control Beliefs

Perceived Behavioral

2.2 Intensi Berselingkuh

2.2.1 Definisi Perselingkuhan

Perselingkuhan adalah suatu kondisi dimana satu pasangan yang terikat dalam pernikahan menyalurkan sumber-sumber emosi seperti cinta romantis, waktu, dan perhatian kepada orang lain atau bahkan melakukan aktivitas seksual dengan orang lain selain pasangan sahnya (Buss & Shackelford, 1997, h.1035).

2.2.2 Pengertian intensi berselingkuh

Intensi berselingkuh yaitu kemungkinan subjektif seseorang untuk berselingkuh. Intensi berselingkuh ditentukan oleh tiga faktor, yaitu sikap terhadap tingkah laku (evaluasi positif atau negatif terhadap perilaku berselingkuh), dan norma subjektif (persepsi orang apakah orang lain akan menyetujui atau menolak perilaku berselingkuh) serta kontrol tingkah laku yang dipersepsikan (penilaian terhadap kemampuan sikap untuk berselingkuh) yaitu perceived behavior control.

2.2.3 Tipe-tipe perselingkuhan

Menurut Buss & Shackelford (1997) perselingkuhan dibedakan menjadi dua tipe, yaitu:

1. Perselingkuhan seksual

Perselingkuhan seksual mengacu pada aktivitas seksual yang dilakukan dengan orang lain selain pasangan.

2. Perselingkuhan emosional

Peselingkuhan emosional terjadi saat salah satu pasangan menyalurkan sumber-sumber emosi seperti cinta romantis, waktu, dan perhatian kepada orang lain.

Menurut Glass & Staeheli serta Subtonik & Harris (dalam Ginanjar, 2009) terdapat tiga komponen dari perselingkuhan emosional, yaitu keintiman emosional, kerahasiaan, dan sexual chemistry, walaupun hubungan yang terjalin tidak diwarnai oeh hubungan seks, namun perselingkuhan ini tetap membahayakan keutuhan pernikahan karena hubungan ini dapat menjadi lebih penting dari pada pernikahan itu sendiri.

Perselingkuhan dapat dibagi menjadi beberapa bentuk. Penggolongannya didasarkan derajat keterlibatan emosional dari pasangan yang berselingkuh (Subtonik & Harris, 2005). Beberapa bentuk perselingkuhan antara lain:

1. Serrial Affair

Tipe perselingkuhan ini paling sedikit melibatkan keintiman emosional tetapi terjadi berkali-kali. Hubungan yang terbentuk dapat berupa perselingkuhan semalam atau perselingkuhan yang berlangsung cukup lama. Dalam serial affair tidak terdapat keterlibatan emosional, hubungan yang dijalin hanya untuk memperoleh kenikmatan atau pertualangan sesaat. Inti dari perselingkuhan ini hanya untuk mendapatkan gairah baru dan seks.

2. Flings

Hampir sama dengan serial affair, flings juga ditandai oleh minimnya keterlibatan emosional antar pasangan selingkuh. Hubungan yang terjadi dapat

berupa perselingkuhan satu malam atau hubungan yang terjadi selama beberapa bulan, tetapi hanya terjadi satu kali saja.

3. Romantic Love Affair

Perselingkuhan tipe ini melibatkan hubungan emosional yang mendalam. Hubungan yang terjadi antara pasangan selingkuh menjadi amat penting. Seringkali pasangan selingkuh berpikir untuk melepaskan pernikahannya dan menikahi kekasihnya. Bila perceraian tidak memungkinkan maka perselingkuhan ini dapat berlangsung lama.

4. Long Term Affair

Perselingkuhan ini melibatkan keterlibatan emosional yang paling mendalam. Hubungan dapat bertahan bertahun-tahun atau bahkan berlangsung sepanjang kehidupan pernikahan. Cukup banyak pasangan yang merasa memiliki hubungan yang lebih baik dengan pasangan selingkuh dari pada pasangan sahnya. Karena perseligkuhan telah berlagsung cukup lama, tak jarang perselingkuhan ini diketahui oleh pasangan sah atau keluarga dekat lainnya.

Menurut Clanton (dalam Hyde, 1990) perselingkuhan seksual sendiri memiliki tiga tipe, antara lain:

1. Clandestine extramarital sex

Perselingkuhan ini tersembunyi dari pasangan 2. Consensual extramarital sex

Aktifitas perselingkuhan seksual ini diketahui oleh pasangan, dan pasangan tersebut menyetujuinya.

3. Ambiguous extramarital sex

Yang mana aktivitas perselingkuhan ini diketahui oleh pasangan, tetapi pasangan tersebut pura-pura tidak tahu.

Akhir-akhir ini pun perselingkuhan tidak hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga terjadi di dunia maya, apalagi jejaring sosial dapat di akses dengan mudah. Cyberaffair (perselingkuhan di dunia maya) secara umum di definisikan sebagai hubungan seksual atau romantis dimulai melalui komunikasi secara

online, percakapan melalui elektronik ini terjadi di dalam komunitas seperti chat rooms, game interaktif, dan grup berita (Young, 2000).

2.2.4 Faktor-faktor penyebab perselingkuhan

Menurut Blow (dalam Ginanjar, 2009) penyebab perselingkuhan amat beragam dan biasanya tidak hanya disebabkan oleh satu hal saja. Ketidakpuasan dalam pernikahan merupakan penyebab utama yang dikeluhkan oleh pasangan, tetapi ada pula faktor-faktor lain di luar pernikahan yang mempengaruhi masuknya orang ketiga dalam pernikahan. Berdasarkan beberapa sumber, ada sejumlah alasan terjadinya perselingkuhan antara lain:

1. Kecemasan menghadapi transisi, seperti mendapatkan anak pertama, anak memasuki usia remaja, anak yang telah dewasa meninggalkan rumah, dan memasuki masa pensiun.

2. Pelarian dari pernikahan yang tidak membahagiakan.

3. Tidak tercapainya harapan-harapan dalam pernikahan dan ternyata didapat dari pasangan selingkuh.

4. Perasaan kesepian.

5. Suami atau istri memiliki ide tentang pernikahan atau cinta yang tidak realistis. Ketika pernikahan mulai bermasalah, pasangan menganggap bahwa cinta mereka telah padam.

6. Kebutuhan yang besar akan perhatian.

7. Terbukanya kesempatan untuk melakukan perselingkuhan, yaitu kemudahan bertemu dengan lawan jenis di tempat kerja, tersedianya hotel dan apartemen yang memudahkan untuk melakukan pertemuan rahasia, dan berbagaimacam sarana yang mendukung perselingkuhan.

8. Kebutuhan seks yang tidak terpenuhi dalam perkawinan

9. Ketidakhadiran pasangan baik secara fisik maupun emosional. Misalnya pada pasangan yang bekerja di kota yang berbeda, pasangan yang terlalu sibuk berkarir, dan pasangan yang sering berpergian dalam jangka waktu yang lama. 10.Perselingkuhan sudah sering terjadi di dalam keluarga besar sehingga

memudarkan nilai-nilai kesetiaaan.

Schwartz & Rutter mengidentifikasi tujuh faktor yang terlibat dalam perselingkuhan seksual (dalam Regan, 2003). Ke tujuh faktor tersebut antara lain: 1. Ketidakcocokan emosi antara kedua pasangan

Pasangan bertahan dalam hubungan pernikahan yang kurang kasih sayang demi anak atau demi alasan ekonomi dan sosial mungkin mencari selingkuhan untuk memperoleh gairah, kegembiraan, dan kasih sayang.

2. Kebosanan

Seseorang kadang-kadang terikat dalam perselingkuhan semata-mata karena motif hiburan. Mereka mungkin mencintai pasangan mereka dan memiliki

kehidupan seks yang menyenangkan, tetapi pada saat itu juga mereka merasa membutuhkan pertualangan seks.

3. Ketidakcocokan seksual

Seseorang yang memiliki hasrat seks lebih dari orang lain, atau seseorang yang mengharapkan terikat dalam aktivitas – aktivitas yang orang lain tidak ingin mencobanya memungkinkan untuk mengejar seks di luar suatu hubungan.

4. Kemarahan

Seseorang terikat dalam hubungan seks di luar pernikahan karena kemarahan atau sebagai cara menghukum pasangan. Seperti yang diungkapkan oleh Schwartz dan Rutter, “Kemarahan membuat hubungan seks dengan pasangan menjadi sulit dan juga membuat hubungan seks di luar pernikahan terlihat menyenangkan”. Kemarahan juga mengurangi perasaan perasaan bersalah atau malu, di balik kemarahan juga ketidaksetiaan pasangan bisa dipahami, rasionalisasi, atau pembenaran pelanggaran seks.

5. Rayuan

Tentunya, terkadang seseorang berselingkuh karena mereka bertemu dengan seseorang yang sangat menarik dan menggairahkan, yang mana mereka kalah dengan godaan.

6. Hasrat untuk mengakhiri hubungan

Laki-laki atau perempuan yang menggunakan strategi ini karena ketidakyakinan apakah mereka benar-benar ingin meninggalkan hubungan mereka atau tidak mampu berbicara langsung dengan pasangan mereka

tentang perasaan mereka, dengan berselingkuh mereka menciptakan situasi yang dapat membuat pasangannya marah.

7. Cinta

Beberapa hubungan perselingkuhan berawal dari hubungan persahabatan yang telah lama terjalin atau hubungan sesama pekerja, mereka terlibat dalam kasih sayang dan cinta yang kuat, dan lama kelamaan perasaan mereka mengarah ke hubungan seksual.

Menurut Sadarjoen (2005), perselingkuhan dapat disebabkan berbagai penyebab internal dan penyebab eksternal.

A. Penyebab internal

Perselingkuhan dapat disebabkan berbagai penyebab internal, diantaranya : 1. Konflik dalam perkawinan yang tidak kunjung selesai dan terus menerus

oleh perbedaan latar belakang pendidikan, perkembangan kepribadian, subkultur, serta pola hidup yang menyebabkan ketidakserasian relasi antar pasangan.

2. Kecewaaan oleh berbagai macam sebab seperti sifat yang berbeda, cara berkomunikasi yang kurang terasa pas, dan sebagainya.

3. Ketidakpuasan dalam kehiupan seksual oleh disfungsi seksual atau penyimpangan perilaku seksual lainnya.

4. Problem finansial.

5. Persaingan antar pasangan baik dalam karier dan perolehan penghasilan. 6. Avonturir sebab kejenuhan relasi dengan pasangan perkawinan terasa

B. Penyebab eksternal

Penyebab eksternal perselingkuhan, yaitu:

1. Lingkungan pergaulan yang mendorong seseorang untuk mengambil keputusan mencoba menjalin hubungan perselingkuhan, demi tidak mendapat sebutan STS (Suami Takut Istri) di kalangan rekan sepergaulannya.

2. Kedekatan dengan teman lain jenis ditempat kerja yang berawal dari saling mencurahkan kesusahan dan kekecewaan dalam rumah tangga. Dari curhat, terjalin kedekatan emosional yang berlanjut dengan kontak fisik intim.

3. Godaan erotis-seksual dari berbagai pihak dengan motif untuk memperoleh pekerjaan atau menjadi rekanan/pemasok peralatan atau prasarana dari departeman atau organisasi tertentu.

Macklin (1987) menggambarkan keterlibatan dalam perselingkuhan seksual tergantung pada faktor-faktor di bawah ini, antara lain:

1. Merasa memiliki kesempatan.

Memiliki pasangan selingkuh yang cocok dan tempat bertemu yang bersifat pribadi.

2. Siap untuk mengambil keuntungan dari kesempatan yang ada.

Memiliki kebutuhan yang tidak terpenuhi, seperti ketergantungan, kedekatan emosi, keintiman fisik, dan menganggap akan mendapatkan kepuasan di luar dari pernikahan.

3. Harapan akan kepuasan.

Tertarik pada seseorang, berdasaran pengalaman yang lampau atau dari perkatan orang lain bahwa perselingkuhan itu akan menyenangkan.

4. Harapan konsekuensi negatif yang kecil

Keyakinan bahwa hanya sedikit waktu yang dimiliki dengan pasangan selingkuh untuk keluar bersama, atau pemikiran bahwa keluar bersama orang lain memiliki konsekuensi negatif yang sedikit.

2.2.5 Tahapan dalam perselingkuhan seksual

Aktivitas seksual yang dilakukan dalam hubungan pria-wanita (heteroseksual) umumnya berkembang intensitasnya dari ringan hingga berat dan demikian pula aktivitas seksual yang terjadi dalam perselingkuhan.

Menurut Duvall & Miller (1985) aktivitas seksual pada hubungan heteroseksual biasanya berjalan sebagai berikut:

1. Bersentuhan (touching)

Sentuhan di sini seperti bergandengan tangan dan berpelukkan. 2. Berciuman (kissing)

Ciuman ini berkisar dari ciuman ringan ke ciuman yang lama dan intim yang biasa di sebut “deep kissing”.

3. Bercumbuan (petting)

Mengelus atau membelai daerah erotis dari tubuh pasangan, biasanya berlanjut dari elusan ringan menuju elusan berat.

2.2.6 Cyberaffair

Cyberaffair (perselingkuhan di dunia maya) secara umum di definisikan sebagai hubungan seksual atau romantis dimulai melalui komunikasi secara online, percakapan melalui elektronik ini terjadi di dalam komunitas seperti chat rooms, game interaktif, dan grup berita (Young, 2000).

Tidak seperti pasangan-pasangan yang dapat menangkap suami atau istrinya saat berselingkuh di dunia nyata, pasangan pada awalnya dapat mengevaluasi situasi dari tanda-tanda peringatan sebagai sebuah petunjuk untuk mendeteksi perselingkuhan jenis ini (Young, 2000). Tanda-tanda tersebut antara lain:

1. Perubahan dalam pola tidur

Chat rooms dan tempat-tempat bertemunya perselingkuhan di dunia maya tidak berhenti sampai malam, sehingga pasangan yang berselingkuh cenderung bergadang.

2. Menuntut privasi

Jika seseorang mulai berselingkuh, baik melalui dunia maya atau dunia nyata, mereka seringkali menjaga jarak untuk menutupi kebenaran dari pasangannya. Dalam perselingkuhan di dunia maya, ia akan cenderung memiliki privasi yang lebih besar dalam penggunaan computer, seperti menaruh computer di tempat yang lebih tersembunyi atau bahkan mengganti password.

3. Menolak pekerjaan rumah tangga

Dengan penggunaan internet yang meningkat, tentunya pekerjaan rumah tangga menjadi terbengkalai. Saat pasangan mulai menginvestasikan banyak waktu dan energi pada aktiviats di internet da megabaikan pekerjaan rumah,

4. Menunjukkan kebohongan

Pasangan yang berselingkuh mungkin akan menyembunyikan rekening kartu kredit untuk servis online, rekening telepon, dan berbohong tentang alasan pengunaan internet yang berlebihan.

5. Perubahan kepribadian

Pasangan seringkali terkejut dan bingung melihat banyak perubahan dari mood

pasangan mereka dan tingkah laku tersebut berubah sejak internet elanda mereka. Sebagai contoh, seorang istri yang hangat dan sensitive menjadi dingin dan tertutup. Suami yag tadinya baik hati dan periang menjadi suami yang pendiam dan serius.

6. Kehilangan ketertarikan dalam urusan seks

Beberapa perselingkuhan dalam dunia maya pada akhirnya dapat mengadakan pertemuan atau melakukan seks dalam telepon dan masturbasi dengan arahan dari seseorang di dalam komputer tersebut. Ketika pasangan tiba-tiba menunjukkan kekurangtertarikan dengan seks, itu merupakan indikator bahwa ia telah memiliki penyaluran seks yang lain. Jika hubungan seks tersebut tetap dilanjutkan maka pasangan yang berselingkuh akan terlihat kurang antusias. 7. Penurunan kualitas hubungan

Pasangan yang berselingkuh enggan berlama-lama dalam hubungan pernikahan walaupun ia memiliki waktu luang, ia lebih memilih bersenang-senang dengan pasangan selingkuhnya dari pada pasangan sahnya.

2.2.7 Dampak Perselingkuhan

Menurut Bringle dan Buunk (dalam Regan, 2003) banyak penelitian yang menunjukkan konsekuensi negatif dari perselingkuhan. Perselingkuhan juga memberikan dampak yang negatif terhadap hubungan interpersonal. Pasangan yang terikat dalam aktifitas seksual di luar pernikahan seringkali merasa bersalah dan mengalami konflik karena menipu pasangannya dan melanggar moral atau standar individu tentang kesetiaan, kecemasan dan ketakutan tertular penyakit melalui hubungan seksual, takut akan kehamilan, dan tertangkap basah pasangan yang lain. Sedangkan pasangan yang diselingkuhi akan merasa dikhianati, cemburu, marah, dan kecewa.

Menurut Sadarjoen (2005) dari sepuluh kasus perselingkuhan yang berkonsultasi dengannya, terdeteksi bahwa yang paling menderita secara batin oleh perilaku selingkuh adalah itri dari laki-laki yang berselingkuh. Reaksi emosional yang muncul antara lain:

a. Reaksi depresi terselubung yang ringan hingga moderat dengan penurunan gairah hidup yang ditandai runtuhnya kepercayaan terhadap suami, penurunan keyakinan diri, kecemasan dan rasa cemburu.Reaksi ini biasanya diikuti dengan keinginan kuat untuk mencermati dan mengetahui isi kantung, tas, dan dompet, serta nomor telepon yang sering dihubungi suami melalui telepon seluler. Kecenderungan untuk mengabaikan aspek privasi kehidupan suami pun meningkat dan justru perilaku ini menjadi salah satu sumber pertengkaran hebat yang terjadi antara suami istri.

b. Reaksi depresi terselubung ekstem yang ditandai oleh penyertaan berbagai keluhan psikosomatis, seperti sesak napas, ketidakstabilan tekanan darah yang bersifat fluktuatif, badan menggigil, reaksi histeris yang tidak terkendali, seperti menjerit-jerit, yang terkadang juga disertai amukan tanpa terkendali.

Santrock (2003) mengungkapkan bahwa dampak perselingkuhan tidak hanya di rasakan oleh pasangan yang berselingkuh dan pasangan yang diselingkuhi saja tetapi juga oleh anak. Berawal dari masalah keluarga yang terjadi antara suami-isteri, akhirnya sering menimbulkan keributan dan pertengkaran. Konflik yang terjadi pada kedua orangtua pasti akan berimbas pada anak-anak mereka. Remaja dalam keluarga yang bercerai lebih baik dari pada remaja dalam keluarga yang tidak bercerai tetapi memiliki konflik yang tinggi. Dengan demikian, hidup di lingkungan keluarga yang sering bertengkar, akan menyulitkan bagi remaja untuk mengembangkan kepribadian yang sehat. Hal ini membuka peluang bagi perkembangan rasa kurang percaya diri yang intensi, yang membuat mereka sering mengalami kegagalan dalam meraih prestasi sosial yang optimal.

Hubungan keluarga yang buruk merupakan bahaya psikologis pada setiap usia, terlebih selama masa remaja karena pada saat ini anak laki-laki dan perempuan sangat tidak percaya pada diri sendiri dan bergantung pada keluarga untuk mendapatkan rasa aman. Yang lebih penting lagi, mereka memerlukan bimbingan dan bantuan dalam menghadapi tugas perkembangan masa remaja. Jika hubungan keluarga ditandai dengan pertentangan-pertentangan serta perasaan-perasaan tidak aman yang berlangsung lama, maka remaja akan

memiliki kesempatan yang kurang untuk mengembangkan pola perilaku yang tenang dan matang. Remaja yang hubungan keluarganya kurang baik juga dapat mengembangkan hubungan yang buruk dengan orang-orang di luar rumah (Hurlock, 2002, h. 238).

2.2.8 Proses healing Perselingkuhan

Menurut Subotnik & Harris (dalam Ginanjar, 2009) kesedihan dalam perselingkuhan dapat dijelaskan melalui model “proses berduka” dari Kubler-Ross yang terdiri dari 5 tahapan, antara lain:

1. Tahap penolakan (denial)

Awal tahap ini diwarnai dengan perasaan tidak percaya, penolakan terhadap informasi tentang perseligkuhan yang dilakukan pasangan. Bahkan beberapa pasangan yang merasa mati rasa yang merupakan respon perlindungan terhadap rasa sakit yang berlebihan. Bila tidak berlarut-larut, penolakan ini menjadi mekanisme otomatis yang menghindarkan diri dari luka batin yang mendalam.

2. Tahap kemarahan (anger)

Setelah melewati masa penolakan, pasangan yang diselingkuhi akan mengalami perasaan marah yang amat dahsyat. Mereka biasanya memaki-maki pasangannya atas perbuatan tersebut atau bahkan melakukan kekerasan fisik terhadap pasangan. Kemarahan seringkali di lampiaskan pula kepada pasangan selingkuh suami / istri. Keinginan untuk balas dendam kepada pasangan yang berselingkuh amatlah besar, muncul keinginan untuk melakukan perselingkuhan atau membuat pasangan menderita.

3. Tahap tawar menawar (bargaining)

Ketika perasaan marah sudah mereda, maka pasangan yang diselingkuhi akan memasuki tahap tawar menawar (bargaining). Karena menyadari kondisi pernikahan yang sedang dalam masa krisis maka pasangan yang diselingkuhi mencoba melakukan hal yang positif asalkan pernikahan tidak hancur.

4. Tahap depresi (depression)

Kelelahan fisik, perubahan mood yang terus menerus, dan usaha untuk memperbaiki pernikahan dapat membuat pasangan yang diselingkuhi masuk ke dalam kondisi depresi.

5. Tahap penerimaan (acceptance)

Setelah istri mencapai tahap penerimaan barulah dapat terjadi perkembanagn yang positif. Penerimaan ini terbagi menjadi dua tipe, pertama penerimaan intelektual yang artinya menerima dan memahami apa yang telah terjadi. Kedua, penerimaan emosional yang artinya dapat mendiskusikan perselingkuhan tanpa reaksi-reaksi berlebihan. Proses menuju penerimaan ini tidak sama bagi semua orag dan rentang waktunya juga berbeda.

2.3 Determinan Intensi

2.3.1 Sikap

Menurut Ajzen (1991) sikap adalah penilaian positif atau negatif seseorang terhadap perilaku tertentu yang tampak.

Sedangkan menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah kecenderungan seseorang untuk merespon favorable atau unfavorable terhadap

objek, orang, institusi, atau kejadian. Sikap didefinisikan sebagai posisi seseorang pada suatu dimensi afektif atau bipolar terhadap suatu objek, tindakan atau kejadian.

Menurut Ajzen (1991) dalam pembentukan sikap itu sendiri ada dua hal yang mempengaruhi, antara lain:

a) Behavioral Belief, yaitu salient beliefs (keyakinan yang menonjol) terhadap perilaku yang mana setiap behavioral belief ini menghubungkan perilaku pada hasil tertentu. Dengan kata lain, behavioral belief merupakan keyakinan yang dimiliki seseorang terhadap suatu perilaku.

b) Evaluation to Behavioral Belief, yaitu evaluasi seseorang terhadap perilaku yang dihubungkan dengan kekuatannya. Dengan kata lain, evaluation to behavioral belief merupakan penilaian seseorang terhadap konsekuensi dari perilaku yang akan dmunculkan, penilaian ini dapat berupa penilaian positif atau negatif.

Selain itu, menurut Ajzen (1991) hubungan antara behavioral belief dan

evaluation to behavioral belief dengan sikap dapat dilihat dari symbol di bawah ini: i i n B b e A ∞

AB : Attitude toward behavior (sikap terhadap perilaku)

b : belief (kemungkinan subjektif yang mana menampilkan perilaku B akan menimbulkan hasil i)

ei : evaluasi hasil i

Dengan demikian, seseorang yang yakin bahwa menampilkan perilaku tertentu akan membawa hasil yang positif akan memegang sikap yang favorable

terhadap perilaku, sedangkan seseorang yang yakin bahwa menampilkan perilaku akan membawa hasil yang negatif akan memegang sikap yang unfavorable

terhadap perilaku.

2.3.2 Norma Subjektif

Menurut Ajzen (1991) norma subjektif merupakan penentu kedua terhadap intensi, norma subjektif ini memiliki fungsi yang sama dengan belief , tetapi belief

dalam bentuk yang berbeda, yaitu keyakinan seseorang bahwa orang-orang tertentu atau kelompok tertentu menerima jika perilaku ditampilkan. Untuk kebanyakan perilaku rujukan merupakan hal yang penting, seperti orang tua, pasangan, teman dekat, rekan kerja, psikolog, dan lain-lain.

Norma subjektif adalah persepsi seseorang terhadap tekanan sosial (orang-orang yang penting baginya) untuk menampilkan perilaku atau tidak (Fishbein dan Ajzen, 1975). Ajzen (1991) mengungkapkan bahwa dalam pembentukan norma subjektif itu sendiri ada dua hal yang mempengaruhi, antara lain:

a) Normative Belief, adalah belief (keyakinan) yang mendasari norma subjektif, yaitu keyakinan akan norma-norma yang berlaku. Keyakinan yang berhubungan dengan pendapat orang-orang yang penting bagi individu apakah ia harus melakukan atau tidak suatu perilaku tertentu.

b) Motivation to Comply, yaitu sejauh mana keinginan eseorang untuk mengikuti pendapat tokoh atau orang-orang yang penting tersebut.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jika seseorang yakin bahwa kebanyakan orang-orang yang menjadi rujukan menyetujuinya menampilkan perilaku tertentu, maka ia akan menampilkan perilaku tersebut. Norma subjektif dapat di ukur dengan bertanya kepada responden apakah orang-orang yang penting bagi mereka akan menerima perilaku mereka atau tidak.

Hubungan antara normative belief dengan norma subjektif dapat dilihat dari symbol di bawah ini:

i i nbm

SN

SN adalah norma subjektif, bi adalah normative belief berdasarkan rujukan, ini adalah motivation to comply, n adalah jumlah salient normative beliefs

(Ajzen,1991).

Selain itu, seseorang berintensi untuk menampilkan perilaku ketika mereka menilai perilaku tersebut positif dan mereka yakin bahwa orang-orang penting menginginkan mereka untuk menampilkan perilaku tersebut. Untuk beberapa intensi, sikap merupakan hal yang lebih penting dari pada norma subjektif, sedangkan untuk intensi yang lainnya norma subjektif lebih penting. Dari sepuluh penelitian tentang intensi yang dilakukan, delapan diantaranya menunjukkan bahwa sikap memiliki peranan lebih penting dari pada norma subjektif, dan dua yang lainnya menunjukkan bahwa norma subjektif memiliki peranan lebih penting terhadap intensi. Kedelapan intensi tersebut antara lain intensi menggunakan pil KB, intensi menyusui ASI vs botol, intensi merokok ganja, intensi menghadiri gereja, intensi memilih, intensi membeli bir Miller, intensi bergabung di unit penanganan alkohol, dan intensi bekerja sama. Sedangkan kedua intensi yang

memiliki hasil yang berlawanan, antara lain intensi melakukan aborsi dan intensi

Dokumen terkait