BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
5. Uji Disolusi
Masukkan 900 ml media disolusi pada alat disolusi tipe 2. Setelah itu tablet
dimasukkan dan alat dijalankan dengan kecepatan 50 rpm. Suhu dijaga tetap 37°C.
Ambil 5,0 ml cuplikan pada menit ke-10, 20, dan 30. Setelah mengambil 5,0 ml
cuplikan, tambahkan 5,0 ml larutan dapar fosfat pH 5,8 ke dalam tabung. Ukur
serapan dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 243,1 nm. Kadar
terukur dihitung dengan menggunakan persamaan kurva baku. Dalam waktu 30
menit, parasetamol harus larut tidak kurang dari 80% jumlah yang tertera pada etiket
(Anonim, 1995).
2. Pembuatan larutan
a. Larutan asam trikloroasetat 20%
Sejumlah lebih kurang 20 g asam trikloroasetat dilarutkan dengan aquadest
sampai volume 100,0 ml.
b. Larutan asam klorida 6N
Pipet lebih kurang 59,88 ml asam klorida 10,02N diencerkan dengan
c. Larutan natrium nitrit 10%
Sejumlah lebih kurang 10 g natrium nitrit dilarutkan dengan aquadest
sampai volume 100,0 ml.
d. Larutan asam sulfamat 15%
Sejumlah lebih kurang 15 g asam sulfamat dilarutkan dengan aquadest
sampai volume 100,0 ml.
e. Larutan natrium hidroksida 10%
Sejumlah lebih kurang 10 g natrium hidroksida dilarutkan dengan aquadest
bebas CO2 sampai volume 100,0 ml.
3. Pembuatan larutan parasetamol
a. Pembuatan larutan persediaan parasetamol
Lebih kurang 100 mg parasetamol yang ditimbang seksama dilarutkan
dengan aquadest sampai volume 100,0 ml.
b. Pembuatan seri kadar larutan intermediet parasetamol
Sebanyak 1,0; 2,0; 3,0; 4,0; 5,0; 6,0; 7,0; dan 8,0 ml larutan persediaan
parasetamol dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml kemudian diencerkan dengan
aquadest sampai tanda sehingga diperoleh larutan parasetamol dengan kadar 100,
200, 300, 400, 500, 600, 700, dan 800 μg/ml.
4. Cara perolehan plasma darah
Darah kelinci diambil dari vena marginalis salah satu telinga dan ditampung
disentrifugasi selama 10 menit pada laju 3000 rpm untuk memperoleh plasma darah,
yaitu bagian yang bening.
5. Optimasi metode
a. Penentuan operating time
Larutan intermediet parasetamol dengan kadar 200 μg/ml dan 800 μg/ml diambil 0,5 ml lalu ditambahkan ke dalam tabung sentrifuge yang berisi 0,5 ml
plasma. Pada tabung sentrifuge tersebut ditambahkan 2,0 ml larutan asam
trikloroasetat 20%, kemudian dicampur dan disentrifugasi selama 10 menit pada laju
3000 rpm. Semua supernatan yang bening dipindahkan ke dalam labu ukur 10,0 ml,
lalu secara berturut-turut ditambahkan 0,5 ml HCl 6N; 1,0 ml NaNO2 10% dan
didiamkan selama 15 menit. Selanjutnya, dengan hati-hati ditambahkan 1,0 ml asam
sulfamat (H2NSO3H) 15% lewat dinding tabung, lalu ditambahkan 3,2 ml NaOH
10% dan aquadest sampai tanda. Setelah itu di-degassing selama 10 menit. Serapan
kemudian dibaca dengan spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang
430 nm (panjang gelombang teoritis) sampai diperoleh serapan yang stabil pada
rentang waktu tertentu.
b. Penentuan panjang gelombang maksimum parasetamol
Larutan intermediet parasetamol dengan kadar 200 μg/ml dan 800 μg/ml diambil 0,5 ml lalu ditambahkan ke dalam tabung sentrifuge yang berisi 0,5 ml
plasma. Pada tabung sentrifuge tersebut ditambahkan 2,0 ml larutan asam
trikloroasetat 20%, kemudian dicampur dan disentrifugasi selama 10 menit pada laju
lalu secara berturut-turut ditambahkan 0,5 ml HCl 6N; 1,0 ml NaNO2 10% dan
didiamkan selama 15 menit. Selanjutnya, dengan hati-hati ditambahkan 1,0 ml asam
sulfamat (H2NSO3H) 15% lewat dinding tabung, lalu ditambahkan 3,2 ml NaOH
10% dan aquadest sampai tanda. Setelah itu di-degassing selama 10 menit. Serapan
kemudian dibaca dengan spektrofotometer sinar tampak pada waktu operating time
yang telah diperoleh pada panjang gelombang 380 nm sampai 580 nm.
c. Pembuatan kurva baku
Dari tiap-tiap kadar larutan intermediet parasetamol diambil 0,5 ml lalu
masing-masing ditambahkan ke dalam 8 tabung sentrifuge yang berisi 0,5 ml plasma.
Pada tabung sentrifuge tersebut ditambahkan 2,0 ml larutan asam trikloroasetat 20%,
kemudian dicampur dan disentrifugasi selama 10 menit pada laju 3000 rpm. Semua
supernatan yang bening dipindahkan ke dalam labu ukur 10,0 ml, lalu secara
berturut-turut ditambahkan 0,5 ml HCl 6N; 1,0 ml NaNO2 10% dan didiamkan
selama 15 menit. Selanjutnya, dengan hati-hati ditambahkan 1,0 ml asam sulfamat
(H2NSO3H) 15% lewat dinding tabung, lalu ditambahkan 3,2 ml NaOH 10% dan
aquadest sampai tanda. Setelah itu di-degassing selama 10 menit. Serapan kemudian
dibaca dengan spektrofotometer sinar tampak pada waktu operating time yang telah
diperoleh pada panjang gelombang 433 nm (hasil penentuan panjang gelombang
maksimum). Kemudian dibuat persamaan kurva baku dengan analisis regresi linier
antara kadar dengan serapan.
d. Penentuan nilai perolehan kembali, kesalahan sistematik, dan kesalahan acak
Larutan intermediet parasetamol dengan kadar 200 μg/ml dan 800 μg/ml diambil 0,5 ml lalu ditambahkan ke dalam tabung sentrifuge yang berisi 0,5 ml
plasma. Pada tabung sentrifuge tersebut ditambahkan 2,0 ml larutan asam
trikloroasetat 20%, kemudian dicampur dan disentrifugasi selama 10 menit pada laju
3000 rpm. Semua supernatan yang bening dipindahkan ke dalam labu ukur 10,0 ml,
lalu secara berturut-turut ditambahkan 0,5 ml HCl 6N; 1,0 ml NaNO2 10% dan
didiamkan selama 15 menit. Selanjutnya, dengan hati-hati ditambahkan 1,0 ml asam
sulfamat (H2NSO3H) 15% lewat dinding tabung, lalu ditambahkan 3,2 ml NaOH
10% dan aquadest sampai tanda. Setelah itu didegassing selama 10 menit. Serapan
kemudian dibaca dengan spektrofotometer sinar tampak pada operating time yang
telah diperoleh pada panjang gelombang 433 nm (hasil penentuan panjang
gelombang maksimum). Kadar terukur dihitung dengan menggunakan persamaan
kurva baku.
6. Orientasi dosis dan waktu pengambilan sampel darah a. Pengambilan sampel darah
Darah kelinci diambil dari vena marginalis salah satu telinga sebagai
blangko (menit ke-0). Kemudian kelinci diberi larutan parasetamol dengan dosis
awal sebesar 10% LD50 parasetamol yaitu 625 mg/kgBB secara per oral dengan
bantuan mouth block. Dosis berikutnya adalah dosis awal yang dikalikan dengan
faktor tertentu. Kemudian darah kelinci diambil dari vena marginalis salah satu
telinga pada menit-menit yang telah ditentukan dan ditampung pada tabung effendorf
yang telah diberi 2 tetes heparin. Darah tersebut lalu disentrifugasi selama 10 menit
b. Penetapan kadar parasetamol
Dari tiap-tiap plasma diambil 0,5 ml lalu masing-masing dimasukkan ke
dalam tabung sentrifuge. Lalu ditambahkan 2,0 ml larutan asam trikloroasetat 20%,
kemudian dicampur dan disentrifugasi selama 10 menit pada laju 3000 rpm. Semua
supernatan yang bening dipindahkan ke dalam labu ukur 10,0 ml, lalu secara
berturut-turut ditambahkan 0,5 ml HCl 6N; 1,0 ml NaNO2 10% dan didiamkan
selama 15 menit. Selanjutnya, dengan hati-hati ditambahkan 1,0 ml asam sulfamat
(H2NSO3H) 15% lewat dinding tabung, lalu ditambahkan 3,2 ml NaOH 10% dan
aquadest sampai tanda. Setelah itu di-degassing selama 10 menit. Serapan kemudian
dibaca dengan spektrofotometer sinar tampak pada operating time yang telah
diperoleh pada panjang gelombang 433 nm (hasil penentuan panjang gelombang
maksimum).
7. Perlakuan hewan uji a. Pengelompokan hewan uji
Penelitian ini menggunakan desain cross over sehingga hanya digunakan 1
kelompok hewan uji. Sebelum perlakuan pemberian parasetamol, hewan uji
dipuasakan selama 18 jam dari makanan dan minuman.
Tabel I. Konsep Desain Cross Over
Periode ke- Kelinci A Kelinci B Kelinci C 1 Generik Progesic® Pyrexin® 2 Pyrexin® Generik Progesic® 3 Progesic® Pyrexin® Generik
Setiap selang perlakuan, hewan uji diistirahatkan selama 1 minggu sebelum
b. Pengambilan sampel darah
Darah kelinci diambil dari vena marginalis salah satu telinga sebagai
blangko (menit ke-0). Kemudian kelinci diberi larutan parasetamol dengan dosis
1200 mg/kgBB (hasil orientasi dosis) secara per oral dengan bantuan mouth block.
Kemudian darah kelinci diambil dari vena marginalis telinga pada menit ke-5, 10,
15, 20, 25, 35, 45, 60, 90, 120, 150, 180, 210 dan ditampung pada tabung effendorf
yang telah diberi 2 tetes heparin. Darah tersebut lalu disentrifugasi selama 10 menit
pada laju 3000 rpm untuk mendapatkan plasma darah.
c. Penetapan kadar parasetamol
Dari tiap-tiap plasma diambil 0,5 ml lalu masing-masing dimasukkan ke
dalam tabung sentrifuge. Lalu ditambahkan 2,0 ml larutan asam trikloroasetat 20%,
kemudian dicampur dan disentrifugasi selama 10 menit pada laju 3000 rpm. Semua
supernatan yang bening dipindahkan ke dalam labu ukur 10,0 ml, lalu secara
berturut-turut ditambahkan 0,5 ml HCl 6N; 1,0 ml NaNO2 10% dan didiamkan
selama 15 menit. Selanjutnya, dengan hati-hati ditambahkan 1,0 ml asam sulfamat
(H2NSO3H) 15% lewat dinding tabung, lalu ditambahkan 3,2 ml NaOH 10% dan
aquadest sampai tanda. Setelah itu di-degassing selama 10 menit. Serapan kemudian
dibaca dengan spektrofotometer sinar tampak pada operating time yang telah
diperoleh pada panjang gelombang 433 nm (hasil penentuan panjang gelombang
F. Analisis Hasil 1. Kesahihan metode
a. Nilai perolehan kembali
Nilai perolehan kembali dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
P% 100% x diketahui kadar kur kadar teru kembali perolehan nilai = =
Jika nilai perolehan kembali berada pada rentang 80-120%, maka metode ini
memiliki akurasi yang baik (Mulja dan Suharman, 1995).
b. Kesalahan sistematik
Kesalahan sistematik dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
kesalahan sistematik = 100% - P%
Jika nilai kesalahan sistematik kurang dari 10%, maka metode ini sahih (Mulja dan
Suharman, 1995).
c. Kesalahan acak
Kesalahan acak dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
100% x X SD acak kesalahan = K
eterangan : SD xxxxxxx = simpangan baku
X = kadar rata-rata
Jika kesalahan acak kurang dari 10%, maka metode ini dikatakan sahih (Mulja dan
Suharman, 1995).
Nilai serapan yang terbaca pada spektrofotometer diolah menjadi kadar
parasetamol dalam plasma dengan menggunakan persamaan kurva baku. Kadar-
kadar tersebut lalu diolah menjadi parameter-parameter bioavailabilitas
menggunakan program STRIPE (Johnston and Woolard, 1983, yang telah
dimodifikasi oleh Jung). Selain itu, juga diperoleh parameter-parameter
farmakokinetika lainnya.
Tabel II. Parameter-Parameter Farmakokinetika
Parameter Persamaan Satuan
AUC(0-t) Diolah dengan program STRIPE μg.menit/ml AUC(0-∞) Diolah dengan program STRIPE μg.menit/ml
Cmax Diolah dengan program STRIPE μg/ml tmax Diolah dengan program STRIPE menit t½ Diolah dengan program STRIPE menit ka Diolah dengan program STRIPE menit -1 Cl Diolah dengan program STRIPE ml/menit Vd Diolah dengan program STRIPE liter
kel Diolah dengan program STRIPE menit-1
3. Cara penafsiran dan penyimpulan hasil penelitian
Parameter-parameter bioavailabilitas dibandingkan secara analisis statistik
(metode ANOVA) dengan taraf kepercayaan 90% menggunakan program SPSS 14.0
untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan nilai parameter bioavailabilitas.
Selain itu, tablet parasetamol bermerk dagang dikatakan bioekivalen dengan
tablet parasetamol generik jika (Anonim, 2004b; Chereson, 2000) :
a. 0,800 < generik dagang merk AUC geometrik rata - rata AUC geometrik rata - rata < 1,250
b. 0,800 < generik max dagang merk max C geometrik rata - rata C geometrik rata - rata < 1,250 c. 0,800 < generik max dagang merk max t geometrik rata - rata t geometrik rata - rata <1,250
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Uji Pendahuluan Tablet 1. Uji keseragaman bobot
Uji keseragaman bobot dilakukan untuk mengetahui apakah tablet yang
diuji tersebut memiliki keseragaman kandungan atau tidak. Tablet yang diuji
memiliki zat aktif parasetamol sebagai bagian terbesar dari tablet sehingga uji
keseragaman bobot dianggap cukup mewakili keseragaman kandungan tablet.
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III (1979), tablet dengan bobot lebih
besar dari 300 mg dikatakan memenuhi syarat keseragaman bobot jika tidak lebih
dari 2 tablet yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih besar dari 5%
dan tidak ada 1 tablet pun yang bobotnya menyimpang lebih besar dari 10%. Hasil
penimbangan tablet dapat dilihat pada lampiran 1.
Tabel III. Hasil Uji Keseragaman Bobot Tablet
Penyimpangan 5% Penyimpangan 10% Tablet X±SD (mg) Batas Bawah (mg) Batas Atas (mg) Batas Bawah (mg) Batas Atas (mg) Keterangan Generik 602,515 + 4,875 572,389 632,641 542,263 662,767 Tidak terjadi penyimpangan bobot Î memenuhi syarat FI III Pyrexin® 655,570 + 8,130 622,791 688,349 590,013 721,127 Tidak terjadi penyimpangan bobot Î memenuhi syarat FI III Progesic® 614,165 + 5,670 583,461 644,879 552,753 675,587 Tidak terjadi penyimpangan bobot Î memenuhi syarat FI III
Hasil uji keseragaman bobot terlihat pada tabel III. Tablet parasetamol
generik memiliki bobot rata-rata 602,515 + 4,875 mg, tablet Pyrexin® memiliki bobot
rata-rata 655,570 + 8,130 mg, dan tablet Progesic® memiliki bobot rata-rata
614,165 + 5,670 mg. Dari keduapuluh tablet yang ditimbang dalam masing-masing
jenis tablet, tidak ada satu pun tablet yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-
ratanya lebih besar dari 5% dan lebih besar dari 10%. Dengan demikian ketiga tablet
parasetamol tersebut memenuhi keseragaman bobot menurut Farmakope Indonesia
Edisi III (1979) dan dapat dianggap memiliki keseragaman kandungan zat aktif.
2. Uji kekerasan
Uji kekerasan tablet dilakukan untuk mengetahui stabilitas fisik tablet
terhadap pengaruh luar, misalnya benturan mekanik. Kekerasan tablet dapat
mempengaruhi waktu hancur dan disolusi tablet. Alat yang digunakan untuk menguji
kekerasan tablet adalah hardness tester (Kiya seisakustio, Ltd. Tokyo Japan No.
174886) di mana hasil uji kekerasan akan tampak pada layar alat.
Hasil uji kekerasan tablet dapat dilihat pada tabel IV. Tablet Pyrexin®
memiliki nilai kekerasan terbesar (17,315 + 1,202 KP) yang diikuti dengan tablet
parasetamol generik (16,275 + 1,197 KP), sedangkan tablet Progesic®memiliki nilai
kekerasan terkecil (9,100 + 1,073 KP). Syarat uji kekerasan tablet tidak tercantum
dalam Farmakope Indonesia maupun The United States Pharmacopeia. Menurut
Ansel (1969), tablet dikatakan memenuhi syarat uji kekerasan jika tablet hancur pada
tekanan minimum 4 kg, namun hal itu tidak dapat dijadikan acuan karena tidak
Tabel IV. Hasil Uji Kekerasan Tablet
Tekanan (KP) Tablet
Generik Pyrexin® Progesic®
1 14,6 17,9 10,5 2 15,5 17,1 7,3 3 14,7 18,4 8,5 4 17,2 16,9 9,1 5 15,0 16,0 8,9 6 17,8 15,7 9,9 7 15,3 18,1 11,1 8 15,6 16,6 8,3 9 16,9 16,8 7,8 10 17,1 17,2 7,8 11 18,2 17,6 7,9 12 15,1 17,8 8,9 13 17,0 18,1 8,9 14 15,9 18,1 10,4 15 18,1 18,4 9,8 16 17,7 17,2 8,9 17 17,0 15,3 10,4 18 14,8 14,8 8,0 19 15,8 18,9 9,8 20 16,2 19,4 9,8 SD X± 16,275 +1,197 17,315 +1,202 9,100 +1,073 3. Uji kerapuhan
Tujuan dari uji kerapuhan tablet adalah untuk melihat seberapa besar angka
kerapuhan tablet yang menggambarkan stabilitas fisik tablet terhadap pengaruh
gesekan pada saat pembuatan, pengepakan, distribusi, penyimpanan hingga saat
tablet akan digunakan oleh pasien. Alat yang digunakan dalam uji kerapuhan tablet
adalah atrition tester (ATMI Surakarta).
Tabel V. Hasil Uji Kerapuhan Tablet
Tablet Bobot Awal
(g)
Bobot Akhir (g)
Kerapuhan
(%) Keterangan
Generik 11,99 11,97 0,167 Memenuhi syarat Pyrexin® 13,24 13,23 0,076 Memenuhi syarat Progesic® 12,29 12,25 0,325 Memenuhi syarat
Dari tabel V tersebut dapat dilihat bahwa tablet generik memiliki angka
kerapuhan 0,167%, tablet Pyrexin® memiliki angka kerapuhan 0,076%, dan tablet
Progesic® memiliki angka kerapuhan 0,325%. Menurut The United States
Pharmacopeia 28 (2005), tablet memenuhi syarat uji kerapuhan jika angka
persentase kerapuhan tidak lebih dari 1%. Dengan demikian, tablet parasetamol
(generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic® dinyatakan memenuhi syarat uji
kerapuhan tablet.
4. Uji waktu hancur
Uji waktu hancur tablet dilakukan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan
tablet untuk hancur menjadi partikel-partikel kecil setelah masuk ke dalam tubuh. Uji
waktu hancur penting dilakukan karena merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi absorpsi obat. Alat yang digunakan dalam uji ini adalah
disintegration tester (ATMI Surakarta). Menurut Farmakope Indonesia Edisi III
(1979), tablet tidak bersalut dinyatakan memenuhi syarat waktu hancur jika tablet
hancur dalam waktu tidak lebih dari 15 menit.
Tabel VI. Hasil Uji Waktu Hancur Tablet
Tablet Waktu Hancur
Generik 6 menit 1 detik Pyrexin® 7 menit 26 detik Progesic® 2 menit 23 detik
Dari tabel VI dapat disimpulkan bahwa semua tablet memenuhi syarat uji
waktu hancur tablet. Tablet Progesic® memiliki waktu hancur paling cepat
dibandingkan dengan tablet generik dan tablet Pyrexin®. Hal ini mungkin berkaitan
penghancur yang digunakan dalam tablet Progesic® mungkin lebih besar jumlahnya
sehingga tablet Progesic® dapat hancur dengan cepat. Selain itu, hal ini mungkin juga
dipengaruhi oleh kekerasan tablet. Tablet Progesic® yang memiliki nilai kekerasan
terkecil ternyata waktu hancurnya paling singkat. Demikian pula dengan tablet
Pyrexin® yang memiliki nilai kekerasan terbesar ternyata waktu hancurnya paling
lama.
5. Uji disolusi
Uji disolusi dilakukan untuk mengetahui jumlah zat aktif yang terlepas dari
bentuk sediaan dan tersedia untuk diabsorpsi. Uji disolusi juga penting dilakukan
sebab disolusi menentukan proses absorpsi sehingga dapat mempengaruhi
bioavailabilitas obat. Media disolusi yang digunakan adalah larutan dapar fosfat pH
5,8. Tablet dikatakan memenuhi syarat uji disolusi jika jumlah zat aktif yang terlarut
dalam waktu 30 menit tidak kurang dari 80% jumlah yang tertera pada etiket.
a) Penentuan panjang gelombang maksimum
Penentuan panjang gelombang maksimum merupakan tahap pertama dalam
uji disolusi. Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, pengukuran zat aktif terlarut
dilakukan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 243,0 nm.
Hasil penentuan panjang gelombang maksimum pada larutan parasetamol dalam
dapar fosfat pH 5,8 dengan kadar 6 μg/ml adalah 243,1 nm. Oleh karena itu, pada uji disolusi tablet ini digunakan panjang gelombang maksimum 243,1 nm.
b) Pembuatan kurva baku
Pembuatan kurva baku dilakukan untuk memperoleh persamaan kurva baku
yang dapat berguna dalam perhitungan kadar parasetamol dalam media disolusi.
Persamaan kurva baku ini diperoleh melalui pengukuran serapan seri kadar larutan
baku parasetamol dalam dapar fosfat pH 5,8 pada panjang gelombang 243,1 nm
(hasil penentuan panjang gelombang maksimum), kemudian dibuat persamaan garis
regresi antara kadar parasetamol dalam larutan dapar fosfat pH 5,8 sebagai variabel
bebas dan serapan sebagai variabel tergantung.
Hasil pengukuran serapan larutan parasetamol dan persamaan garis regresi
dapat dilihat pada tabel VII sedangkan kurva baku disajikan pada gambar 9.
Tabel VII. Data Persamaan Kurva Baku Disolusi
Seri Baku Kadar (μg/ml) Serapan 1 3,02 0,288 2 4,03 0,342 3 5,04 0,429 4 6,05 0,500 5 7,06 0,597 6 8,07 0,716 7 9,08 0,768 Slope (B) 0,08331 Intercept (A) 0,01598 Corr.coeff (r) 0,99550 Persamaan garis regresi Y = 0,08331 X + 0,01598
Persamaan kurva baku yang diperoleh, yaitu Y = 0,08331 X + 0,01598
selanjutnya digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol yang terlarut dalam
KURVA BAKU DISOLUSI 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kadar Larutan Parasetamol (μg/ml)
Se ra p a n Y=0,08331 X + 0,01598 r = 0,99550
Gambar 9. Kurva hubungan antara kadar parasetamol dengan serapan pada uji disolusi
c) Hasil uji disolusi
Hasil uji disolusi menunjukkan bahwa ketiga tablet memenuhi syarat uji
disolusi yaitu bahwa dalam waktu 30 menit, jumlah parasetamol yang terlarut dalam
media disolusi tidak kurang dari 80% jumlah yang tertera pada etiket (80% x 500 mg
= 400 mg). Hal ini dapat dilihat pada tabel VIII dan gambar 10. Tablet yang
terdisolusi paling cepat adalah tablet Pyrexin® kemudian tablet Progesic® dan tablet
generik.
Tabel VIII. Data Disolusi Tablet
Qkum (X±SD) (mg) Waktu
Generik Pyrexin® Progesic® 10 378,720 + 13,436 448,680 + 5,856 406,680 + 34,085 20 396,486 + 9,880 457,473 + 5,140 434,140 + 17,424 30 414,277 + 3,674 459,700 + 3,190 448,239 + 3,567
PROFIL DISOLUSI 300 350 400 450 500 0 10 20 30 4 Waktu (menit) Qku m (m g ) 0
Generik Pyrexin Progesic
Gambar 10. Profil disolusi
Profil disolusi ketiga tablet dapat dibandingkan dengan menggunakan faktor
kemiripan f2 yang dapat dihitung dengan persamaan berikut (Anonim, 2004b) :
f2 = 50 log ( ) ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ + ∑ = = n T - R n t 1 t t t 1 100 2 (16) Keterangan :
Rt = persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari produk pembanding
Tt = persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari produk uji
Jika nilai f2 lebih besar atau sama dengan 50, maka hal ini menunjukkan bahwa
terdapat kesamaan atau ekivalensi kedua kurva, yang berarti kedua produk obat
memiliki kemiripan profil disolusi.
Tabel IX. Kemiripan Profil Disolusi Tablet Nilai f2
terhadap Tablet Generik Keterangan
Pyrexin® 46,14 Tidak memiliki kemiripan profil disolusi dengan tablet generik Progesic® 58,56 Memiliki kemiripan profil
Tablet Pyrexin® memiliki nilai f2 46,14 sedangkan tablet Progesic® memiliki
nilai f2 58,56. Hal ini berarti tablet Progesic® memiliki kemiripan profil disolusi
dengan tablet generik sedangkan tablet Pyrexin® tidak memiliki kemiripan profil
disolusi dengan tablet generik. Hal tersebut juga dapat dilihat pada kurva profil
disolusi, di mana kurva profil disolusi tablet generik lebih dekat dengan tablet
Progesic® daripada tablet Pyrexin®.
B. Cara Perolehan Plasma Darah
Dalam penelitian ini digunakan darah kelinci sebab kelinci memiliki volume
darah yang lebih banyak dan darahnya lebih mudah diambil dibandingkan dengan
tikus dan mencit. Darah kelinci diambil melalui bagian vena marginalis salah satu
telinganya. Pengambilan darah dilakukan melalui vena sebab darah yang keluar dari
vena berupa tetesan sehingga mudah ditampung.
Penelitian ini menggunakan plasma sebab parasetamol bersifat asam lemah
dan dapat berikatan dengan protein plasma secara reversibel. Sebagian besar
parasetamol dalam darah akan terikat pada protein plasma, bukan pada darah utuh.
Dalam peneliian ini juga tidak menggunakan serum sebab pada serum, sebagian
besar protein sudah mengendap. Plasma darah yang dibutuhkan dalam penelitian
adalah bentuk cairnya. Plasma darah bila dibiarkan akan membeku sehingga
diperlukan suatu antikoagulan yang berfungsi untuk mencegah terjadinya pembekuan
darah. Antikoagulan yang digunakan dalam penelitian ini adalah heparin.
Plasma diperoleh dengan cara melakukan sentrifugasi pada darah yang telah
komponen-komponen sel darah dengan plasma sehingga dapat diperoleh plasma
dengan mudah, yaitu bagian yang berwarna bening.
C. Optimasi Metode
Metode Chafetz et al. (1971) pada awalnya digunakan untuk penetapan
kadar parasetamol dalam bentuk sediaan. Setelah itu, metode tersebut dimodifikasi
oleh Glynn & Kendal (1975) untuk menetapkan kadar parasetamol dalam plasma.
Dalam penelitian ini, dilakukan optimasi dan modifikasi metode sehingga diperoleh
metode yang sesuai dengan kondisi percobaan. Selain itu, metode yang digunakan
menjadi sama untuk setiap langkah dalam penetapan kadar parasetamol dalam
plasma yang dilakukan dalam penelitian ini.
Untuk mendapatkan larutan parasetamol bebas perlu dilakukan denaturasi
protein plasma dengan penambahan asam trikloroasetat (TCA) 20%. Penambahan
TCA akan merusak struktur tersier dan kuartener protein plasma sehingga protein
plasma tidak dapat berikatan lagi dengan parasetamol. Pada saat dilakukan
sentrifugasi selama 10 menit dengan laju 3000 rpm terhadap larutan plasma yang
telah diberi larutan TCA, protein plasma akan terendapkan dan semua parasetamol
akan terlepas ke dalam fase air. Fase air yang diperoleh diperlakukan dengan metode
Chafetz et al. (1971) untuk memperoleh larutan berwarna.
Prosedur ini diawali dengan penambahan larutan asam klorida (HCl) 6N dan
larutan natrium nitrit (NaNO2) 10%. Campuran antara HCl dan NaNO2 akan
asam nitrit menjadi ion nitrosonium. Reaksi yang terjadi dapat dilihat pada gambar 11. HCl HNO2 H+ NaNO2 NO+ HNO2 H2O NaCl + + >>> + + ion nitrosonium
Gambar 11. Reaksi antara asam klorida dengan natrium nitrit membentuk ion nitrosonium
Ion nitrosonium tersebut akan menyebabkan substitusi aromatik elektrofilik
pada posisi ortho dari gugus hidroksil parasetamol. Reaksi tersebut dapat terjadi
karena gugus hidroksil parasetamol lebih kuat sebagai pengarah ortho yang memiliki
lebih banyak elektron bebas daripada gugus asetamida.