• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dissenting Opinion dalamMekanisme Pengambilan Putusan Hakim Ditinjau dari Hukum Acara Pidana Indonesia

Di dalam dunia peradilan, sebenarnya hanya ada satu hal pokok yang dicari para pencari keadilan (justicia balance), yaitu putusan hakim yang diputus oleh hakim yang profesional dan memiliki integritas moral tinggi sehingga dapat melahirkan putusan-putusan yang tidak saja mengandung legal justice, tetapi juga berdimensikan moral justice dan social justice.92

Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Oleh karena itu dapat dikonklusikan lebih jauh bahwasanya putusan hakim disatu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum (rech zekerheids) tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian berupa menerima putusan ataupun melakukan upaya hukum verzet, banding atau kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya. Sedangkan dilain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim merupakan mahkota sekaligus puncak pencerminan nilai-nilai keadilan; kebenaran hakiki, hak asasi manusia; penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.

92

Dalam perkara pidana, putusan hakim dapat berupa putusan penjatuhan pidana jika perbuatan pelaku tindak pidana terbukti secara sah dan meyakinkan, putusan pembebasan dari tindak pidana (vrijspraak) dalam hal menurut pemeriksaan persidangan perbuatan pelaku tindak pidana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atau berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle rechtsverloging), dalam hal perbuatan terdakwa sebagaimana yang didakwakan terbukti, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.93

Mackenzie mengemukakan pendapatnya bahwa dalam mempertimbangkan pembuatan putusan dalam suatu perkara pidana, ada beberapa teori atau pendekatan yang biasanya dipergunakan oleh hakim, yaitu sebagai berikut:94

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan bentuk diskresi hakim dengan menyesuaikan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana baik terdakwa maupun penuntut umum.

a. Teori Keseimbangan

Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa, dan kepentingan korban. Dalam praktik peradilan pidana, keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa dirumuskan dalam pertimbangan mengenai hal-hal memberatkan yang eksistensinya untuk melindungi kepentingan masyrakat dan hal-hal meringankan yang esistensinya untuk melindungi hak-hak dan kepentingan terdakwa sebagai warga negara. Pertimbangan inilah yang nantinya akan menentukan berat tidaknya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.

b. Teori Pendekatan Seni Dan Intuisi.

95

93

Pasal 191 ayat (1) KUHAP “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Pasal 191 ayat (2) KUHAP “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka terdakwa diputusan lepas dari segala tuntutan hukum”. Pasal 191 ayat (3) KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana”

94

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. (Sinar Grafika: Jakarta, 2011), hlm. 102-113

Pendekatan seni ini digunakan hakim

95

Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan

dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh insting atau instuisi dari pada pengetahuan hakim. Dalam praktik peradilan, teori ini digunakan hakim dalam pertimbangan dalam menjatuhkan putusan dengan memperhatikan sistem pembuktian yang dianut, yaitu sekurang-kurangnya ada dua alat bukti dan harus disertai keyakinan hakim. Keyakinan hakim pada dasarnya bersifat subjektif yang hanya didasarkan kepada naluri hakim saja. Hakim juga merupakan manusia biasa yang terkadang melakukan kesalahan dalam menempatkan naluri, sehingga putusan hakim yang keliru dan tidak adil yang menimbulkan polemik dalam masyarakat bisa saja terjadi. Oleh karena itu, hakim harus berhati-hati dalam menggunakan teori ini, yang hanya mengandalkan pada seni dan instuisi semata dari hakim yang bersifat subjektif.

c. Teori Pendekatan Keilmuan.

Teori ini didasarkan kepada pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitn=annya dengan konsistensi putusan hakim dalam putusan terdahulu terhadap perkara yang mirip. Pendekatan keilmuan ini merupakan sejenis peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar pemikiran intuisinya semata, tetapi harus dilengkapi dnegan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

Oleh karena itu, hakim dituntut untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan hukum maupun ilmu pengetahuan non hukum lainnya, sehingga putusan yang dijatuhkan tersebut dapat memenuhi mencerminkan cita hukum itu sendiri dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi teori-teori yang ada dalam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa, diadili dan diputuskan oleh hakim.

Dalam persidangan, hakim sering meminta keterangan para ahli yang berkompeten dibidangnya untuk menjelaskan esensi dari suatu perkara yang diiajukan kepadanya untuk didengar keterangannya di depan persidangan. Dari keterangan ahli tersebutlah, hakim dapat menambah pemahaman terkait perkara yang sedang diperiksa untuk selanjutnya hakim akan menjatuhkan putusan yang sesuai dengan rasa keadilan.

d. Teori Pendekatan Pengalaman.

Pengalaman seorang hakim merupakan hal yang sangat membantu dalam menghadapi perkara yang dihadapi. Melalui pengalaman yang dimilikinya, hakim dapat mengetahui dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara apakah akan membawa keadilan baik terhadap pelaku, korban, maupun masyarakat secara umum.

Pengalaman hakim merupakan bekal yang bagi para hakim dalam bersikap professional, arif, dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya yang mendorong hakim untuk lebih berhati-hati dalam menjatuhkan putusan.

pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Lihat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 1 Ayat (9).

Dalam teori ini, dalam memutuskan suatu perkara hakim lebih memprioritaskan pengalaman hakim sendiri dalam perkara yang mirip ataupun perkara lain yang berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani.

e. Teori Ratio Decidendi

Selain teori yang telah dikemukakan diatas, dikenal juga suatu teori yang disebut sebagai teori ratio decidendi. Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

f. Teori Kebijaksanaan

Teori kebijaksanaan diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, dimana sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara dipengadilan anak. Teori ini dilandaskan pada rasa cinta terhadap tanah air, nusa dan bangsa Indonesia serta nilai kekeluargaan yang harus ditanam, dipupuk dan dibina. Selanjutnya aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, dan melindungi anakagar kelak dapat menajdi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bagi bangsanya.

Dalam konstitusi Republik Indonesia96

Dalam KUHAP diatur prinsip-prinsip hukum acara pidana yang menjadi acuan dalam pelaksanaan serta penegakan hukum pidana, salah satunya adalah prinsip larangan campur tangan pihak lain di luar kekuasaan kehakiman terhadap dimuat norma dasar bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghorsemata-matan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum, dalam suatu masyarakat demokratis. Hal inilah yang menjadi landasan bagi hakim dalam menerapkan kebebasan personalnya sebagai bentuk kesadaran akan tanggung jawab kepada bangsa dan negara dan terutama kepada Tuhan Yang Maha Esa.

96

dan dalam urusan peradilan.97

Kebebasan hakim dalam menemukan kebenaran materiil dalam peradilan pidana Indonesia tidak terlepas dari konsep sistem hukum eropa continental yang dianut Indonesia. Prinsip utama yang terdapat dalam sistem hukum ini yaitu hukum memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dan terkodifikasi. Dapat disimpulkan bahwa prinsip ini sendiri menggambarkan adanya suatu kedogmatikaan dari sistem hukum itu sendiri yang dapat menghambat hakim dalam menetapkan norma-norma yang dimuat dalam sumber-sumber hukum terhadap perkara yang sedang diperiksa untuk menemukan kebenaran materiil sebagai tujuan dari hukum acara pidana.

Prinsip ini secara implisit memberikan kebebasan kepada hakim dalam melaksanakan tugasnya demi menciptakan suatu keadilan.

Dalam hukum acara di Indonesia, susunan persidangan menggunakan sistem majelis. Dimana majelis ini dipimpin oleh seorang hakim ketua yang kemudian membawahi dua orang hakim anggota. Hukum Acara Pidana di Indonesia hanya mengatur proses peradilan secara umum, kemudian secara teknis diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan atau peraturan lain di bawahnya. Misalnya dalam hal mekanisme pengambilan putusan hakim. KUHAP hanya mengatur tentang hal-hal yang sifatnya mendasar.

Apabila hakim memandang pemeriksaan sidang sudah selesai, maka ia mempersilahkan penuntut umum untuk membacakan tuntutannya. Setelah itu giliran terdakwa atau penasehat hukumnya membacakan pembelaannya, yang

97

dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan terdakw atau penasehat hukumnya mendapat giliran terakhir (Pasal 182 ayat 1 KUHAP).98

Jika acara tersebut sudah selesai, Hakim Ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat dibuka sekali lagi, baik atas kewenangan Hakim Ketua sidang karena jabatannya maupun atas atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dengan memberikan alasannya. Sesudah itu hakim mengadakan sidang terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, peasihat hukum, penuntut umum dan hadirin menginggalkan ruangan sidang.99

Ditentukan selanjutnya dalam Pasal 182 ayat 4 KUHAP bahwa dalam musyawarah tersebut, majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir adalah hakim ketua dan semua pendapat harus disertai pertimbangan dan alasannya.100

Meski begitu, tidak tercapainya mufakat bukan suatu hal yang tidak mungkin terjadi karena sudah menjadi hal yang lumrah apabila dua atau tiga orang sarjana hukum berkumpul akan menghasilkan lebih dari tiga pendapat, Dari KUHAP dapat kita simpulkan apabila ketiga orang anggota majelis hakim dalam bermusyawarah menjelang pengambilan putusan terjadi perbedaan pendapat diantara satu sama lain, maka terlebih dahulu majelis mengupayakan mufakat. Hal ini dilakukan degan mengutarakan masing-masing pertimbangan dan alasan hakim secara mendalam.

98

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (CV. Saptha Arta Jaya: Jakarta, 1996), hlm. 291.

99 Ibid. 100

berangkat dari hal tersebut, adalah suatu hal yang memungkinkan pendapat hakim satu dengan hakim yang lain saling bertentangan. Apabila terjadi perbedaan pendapat hukum antara majelis yang bermusyawarah, maka perbedaan itu diselesaikan dengan voting, atau hitung suara terbanyak. Cara ini sangat logis, dan oleh karena itu maka jumlah hakim dalam satu majelis harus ganjil agar bisa diselesaikan.101

Dalam hal hakim saling berbeda pendapat, atau adanya keraguan diantara majelis hakim tentang bersalah atau tidaknya seseorang, hakim harus merujuk kembali kepada KUHAP dimana keyakinan hakim merupakan sebuah keharusan. Selain itu, asas KUHAP juga menandaskan: “lebih baik membebaskan 100 orang yang bersalah, ketimbang menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Asas ini adalah asas In Dubio Proreo yang secara harafiah berarti dalam keraguan, terdakwa harus diuntungkan. Maksudnya adalah jika pengadilan meragukan kesalahan terdakwa, maka demi hukum, terdakwa harus dibebaskan.102

Putusan yang diambil setiap hakim belum tentu sama. Penelusuran hakim terhadap fakta persidangan, pengetahuan hakim terhadap hukum, dan keyakinan Apabila hal ini terjadi, pendapat yang paling menguntungkan terdakwa yang akan dipakai dalam putusan.Sedangkan bagi hakim anggota yang kalah suara dalam menentukan putusan, dirinya harus menerima pendapat mayoritas majelis hakim dan dapat menuliskan pendapatnya yang berbeda dengan putusan dalam buku khusus yang dikelola oleh Ketua Pengadilan Negeri dan bersifat rahasia.

101

H.Insyafli, “Ikhtisar Permusyawarah Majelis Hakim”,diakses dari pada tanggal 15 Maret 2016 pukul 11.25 WIB

102

turut mempengaruhi sikap hakim saat membuat putusan. Putusan majelis hakim diambil pada saat musyawarah digelar. Suasana diskusi dan debat pada saat rapat permusyawaratan hakim itu ikut mempengaruhi. Seorang hakim junior misalnya punya rasa ewuh pakewuh103 untuk menantang pendapat hakim senior. Hakim masih enggan dan kurang berani untuk berbeda pendapat. Bukan hanya masalah senioritas, tetapi juga kekhawatiran dikucilkan hakim lain.104

Kebebasan dalam menyampaikan pandangan yang berbeda terhadap suatu perkara merupakan perwujudan dari kebebasan eksistensial hakim. Kebebasan eksistensial ini mendorong hakim untuk mewujudkan eksistensi hakim untuk menemberikan pendapatnya sendiri tanpa adanya intervensi dalam menemukan kebenaran materiil. Kebebasan eksistensial pada dasarnya bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang disertai rasa kesadaran dan tanggung jawab.

Oleh karena itu, melalui peraturan perundang-undangan diberikan jaminan kebebasan kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum (rechtvinding), dalam hal undang-undang tidak dapat mengakomodir permasalahan yang terjadi di masyarakat, mengingat bahwa hakim dilarang untuk menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan belum ada hukum yang mengatur permasalahan tersebut.105

103

Budaya Ewuh Pakewuh yang berarti sungkan dalam batas-batas normal akan meningkatkan tali silahturami dalam suatu lingkungan, kumpulan atau organisasi. Budaya demikian merupakan cerminan budaya timur yang sangat menghargai orang lain dan tanpa bermaksud menjatuhkan apalagi mempermalukan orang lain.

104

Tata Wijayanta, Buah Reformasi Dunia Peradilan; Perbedaan Pendapat dalam Putusan Pengadilan. (Pustaka Yustisia: Yogyakarta, 2011), hlm. 90.

105

Penemuan hukum menurut Paul Scholten adalah suatu keseluruhan aturan-aturan dan kewenangan yang tersusun secara logikal walaupun terus-menerus berubah dan tidak pernah

Selain itu, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman melarang pengadilan menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, sehingga mau tidak mau pengadilan harus menerima perkara yang diajukan kepadanya dengan mengedepankan prinsip keadilan.Hal inilah yang menjadi penyebab lahirnya dissenting opinion.

Dissenting opinion sesungguhnya merupakan bentuk akuntabilitas publik atas hakim dalam memutuskan perkara, dimana dalam hal terjadi perbedaan pendapat maka hakim yang berbeda pendapat tersebut menuangkan pendapatnya secara tertulis dan di dalam implementasinya pendapat tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dari suatu putusan.106

Pengertian antara lain sebagaimana disampaikan oleh Julia Laffrangue adalah: “A dissenting opinion is an opinion expressed in a case where a judge who maintains the minority position does not subscribe to the justifications and/or conclusion on the judgement of majority”.107

tertutup pada suatu masyarakat tertentu dalam suatu waktu tertentu. Lihat H. F. Abraham Amos,

Op.Cit, hlm. 24.

106

Yudi Kristiana, Op.Cit, hlm. 305.

107

Julia Laffranque, Justice of the Supreme Court, Dissenting Opinion in the European Court of Justice Estonia’s Possible Contribution to the Democration of the European Union Judical System,Juridica International IX/2004 dalam Yudi Kristiana, Op.Cit.

Yang kemudian menurut terjemahan bebas diartikan sebagai : Pendapat berbeda adalah pendapat yang dikemukakan dalam kasus di mana seorang hakim yang mempertahankan posisi minoritas tidak dapat memaksakan kesimpulannya pada penilaian hakim mayoritas.

Menurut Loebby Luqman, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi putusan hakim yang berpotensi menimbulkan dissenting opinion yakni108

M. Yahya Harahap memerinci lebih lanjut terkait faktor tersebut menjadi faktor subjektif dan faktor objektif. Faktor subjektif meliputi:

:

a.Raw in put, yakni faktor yang berhubungan dengan suku, agama, pendidikan informal, dan sebagainya;

b. Instrument input, yakni faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan pendidikan formal;

c. Enviromental input, yakni faktor lingkungan, sosial budaya yang berpengaruhi dalam kehidupan seorang hakim, seperti lingkungan organisasi dan seterusnya

109

Penerapan dissenting opinion di Indonesia kemudian mengundang respon negatif dari para sarjana. Salah satunya Susi Dwi Harijanti, yang menganggap praktek tidak tepat bila diadopsi ke peradilan di Indonesia. Sebab, Indonesia

a. Sikap perilaku yang apriori, yakni adanya sikap hakim yang sejak semula telah menganggap bahwa terdakwa bahwa yang diperiksa dan diadili adalah orang yang memang telah bersalah sehingga harus dipidana tanpa memerdulikan hak-hak terdakwa sebagai warga negara untuk mendapatkan keadilan.

b. Sikap perilaku emosional, yakni bahwa putusan pengadilan akan dipengaruhi oleh perangai hakim. Hakim yang mempunyai perangai mudah tersinggung akan berbeda dengan perangai hakim yang tidak mudah tersinggung. Demikian pula putusan hakim yang mudah marah dan pendendam akan berbeda dengan putusan hakim yang sabar.

c. Sikap arrogance power, yakni sikap lain yang mempengaruhi suatu putusan adalah “kecongkakan kekuaasaan”, disini hakim merasa dirinya berkuasa dan pintar, melebihi orang lain.

d. Moral, yakni moral seorang hakim karena bagaimanapun juga pribadi hakim diliputi tingkah laku yang didasarkan kepada moral pribadi hakim tersebut terlebih dahulu dalam memeriksa serta memutuskan suatu perkara”.

108

Muk Bam, “Mardjono Reksodiputro: Hakim Bukan Terompet UU”,diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol1090/mardjono-reksodiputro-hakim-bukan-terompet-uupada tanggal 17 Maret 2016 pukul 11.59 WIB

109

menganut sistem Eropa Kontinental atau Civil Law, yang menganggap bahwa hakim dianggap satu kesatuan dengan majelis.110

Menurutnya dengan adanya dissenting opinion, hakim akan terbiasa membuat pertimbangan hukum dengan baik, karena pertimbangan tersebut akan diuji secara sosial oleh masyarakat yang ingin tahu mutu si hakim. Selain itu,

dissenting opinion penting dalam hal perkembangan dunia akademis di bidang hukum.

Tidak hanya respon negatif, Mulyadi memberikan pendapat positif tentang penerapan dissenting opinion di Indonesia.

111

Kemudian ayat (7) mengatur bahwa pendapat hakim yang berbeda tersebut dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia”. Kerahasiaan pendapat hakim yang kalah Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengambilan putusan pengadilan didasarkan pada KUHAP, yaitu Pasal 182pada ayat(6) yang mengatur pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: (a). putusan diambil dengan suara terbanyak; (b). jika ketentuan tersebut huruf (c) tidak juga dapat diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.

110

Anonim, “Membandingkan Hukum Itu Harus Hati-Hati”, diakses dari

111

Muk Bam, “Mardjono Reksodiputro: Hakim Bukan Terompet UU”, diakses darihttp://www.hukumonline.com/berita/baca/hol1090/mardjono-reksodiputro-hakim-bukan-terompet-uu pada tanggal 17 Maret 2016 pukul 11.59 WIB

suara dalam menentukan putusan sebagaimana yang tertuang dalam KUHAP, tertuang juga dalam Buku II Mahkamah Agung tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan yang membuat peradilan menjadi tidak terbuka dan masyarakat yang menaruh harapan tinggi terhadap para hakim untuk mencari keadilan semakin tidak percaya lagi pada dunia peradilan, timbul kecurigaan dari masyarakat tentang adanya praktek KKN dan mafia peradilan.112

Kemudian lahir Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diperbaharuidengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang- Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang diperkuat dengan PERMA No. 2 tahun 2000 tentang Perubahan dan Penyempurnaan PERMA No. 3 tahun 1999 tentang Hakim Ad Hoc, yang dibuat MA untuk mengisi kekosongan hukum pada UU No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan yang tidak mengatur tentang dissenting opinion. Hal ini seakan memberi titik cerah terhadap penerapan dissenting opinion di dalam praktek peradilan. Hal ini dikarenakan pada Pasal 19 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ini menyatakan :”Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan; Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan”.113

112

Wildan Suyuthi Mustofa, Op.Cit, hlm. 71.

113

Dari himpunan Peraturan Perundang-Undangan diatas, dapat kita lihat bahwa sebenarnya dissenting opinion sudah selayaknya diterapkan dalam sistem peradilan dan harus dicantumkan dalam putusan agar masyarakat dapat mengetahui dan menilai apa yang menjadi dasar bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara.Suatu perkembangan tentunya, karena jika dahulu perbedaan pendapat yang terjadi dalam musyawarah tidak akan muncul dalam putusan, akan tetapi hanya dicatat dalam buku aduan (klachtboek)yang bersifat rahasia dan kemudian disimpan oleh Ketua Pengadilansehingga pihak-pihak yang beperkara dan orang-orang diluar pengadilan tidak dapat memperolehnya.

Dokumen terkait