• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Dissenting Opinion Dalam Putusan Tindak Pidana Pencucian Uang“ (Studi Kasus Putusan No.21 Pid.Sus-Tpk 2015 Pn.Mdn.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan Dissenting Opinion Dalam Putusan Tindak Pidana Pencucian Uang“ (Studi Kasus Putusan No.21 Pid.Sus-Tpk 2015 Pn.Mdn.)"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

DISSENTING OPINION DALAM MEKANISME PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA

INDONESIA

A. Mekanisme Pengambilan Putusan Hakim

Hakim sebagai salah satusubsistem peradilan merupakan pilar utama dan tempat terakhir bagi pencari keadilan untuk mencari keadilan. Sebagai salah satu elemen kekuasaan kehakiman yang menerima, memeriksa, dan memutus perkara, hakim dituntut untuk memberikan keadilan kepada para pencari keadilan.54

Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman (Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989,55 Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986),56 yakni pejabat peradilan yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 butir (8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981).57

54

Mujahid A. Latief, Op.Cit., hlm. 283.

55

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989. Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memberi penegasan yang sama: : “Hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman”.

56

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

57

Dalam Pasal 1 butir (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ditegaskan: “Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

(2)

dan tanggung jawabnya terumuskan dalam rangkaian tugas, kewajiban, sifat, dan sikap tertentu, yaitu sebagai penegak hukum dan keadilan.58

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, hakim dituntut untuk bekerja secara profesional, bersih, arif, dan bijaksana, serta mempunyai rasa kemanusiaan yang tinggi, dan juga menguasai dengan baik teori-teori ilmu hukum. Oleh karena itu, sangat berlebihan dan tidak bijaksana tanggapan dari berbagai pihak yang mengecam, merendahkan, bahkan mengejek hakim yang kadang dilakukan dengan bahasa yang kasar dan tidak proporsional, dalam menyikapi suatu putusan hakim dalam perkara tertentu. Hakim tidak boleh gentar dengan komentar-komentar tersebut, manakala ia sudah bekerja secara profesional, bersih, arif, dan bijaksana.59

Dalam diri hakim diemban suatu amanah untuk menerapkan hukum secara adil, dan apabila penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan, hakim wajib berpihak pada keadilan (moral justice) dan mengesampingkan perundang-undangan (legal justice). Ketidakadilan dalam suatu perundang-undangan adalah hal yang mungkin terjadi. Hal ini disebabkan karena pembuat undang-undang hanya menetapkan peraturan umum tanpa memahami keseluruhan cakupan kegiatan masyarakat, sedangkan hal-hal yang berupa pertimbangan yang bersifat konkret diserahkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab hakim.60

58

Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik, Etika Profesi dan Tanggung Jawab Hakim; dalam bukunya yang berjudul Kode Etik Hakim (jilid II), (Kencana: Rawamangun, 2013), hlm. 72.

59

Lihat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/V/2009 – 2/SKB/P.KY/IV/2009

60

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. (Liberty: Yogyakarta, 2007), hlm. 37; yang dikutip dari Wildan Suyuthi Mustofa, Op.Cit, hlm. 78.

(3)

Pasal 27 ayat (1) mengharuskan Hakim untuk terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.61

Dalam kasus konkret, hakim dapat diibaratkan dengan malaikat peniup sangkakala kehidupan yang menghidupkan hukum tertulis berupa pasal-pasal mati dan huruf-furuf mati menjadi hidup. Taverne pernah menyatakan:

Hal ini yang menjadi penyebab tidak ada undang-undang yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya.

62

“Berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang paling buruk pun, saya akan menghasilkan putusan yang paling adil”. Senada dengan hal tersebut, Hamilton juga menyatakan:63

Pernyataan Taverne di atas mengingatkan pendapat, betapa hakim sebagai personifikasi lembaga peradilan mengemban amanah yang tidak ringan. Hakim selain dituntut memiliki kemampuan intelektual dalam membuat putusan, juga harus memiliki moral dan integritas tinggi sebagi hakim. Bukan hanya itu, pada titik tertentu hakim bahkan harus punya kadar iman dan takwa yang tinggi, mampu berkomunikasi dengan baik, di samping sanggup menjaga peran, wibawa, dan statusnya di hadapan masyarakat. Jika semua persyaratan ini dipenuhi, diharapkan hasil kerja hakim akan merefleksikan rasa keadilan, menjamin kepastian hukum, dan bermanfaat bagi masyarakat.

“Berikan kami orang yang memiliki semangat dalam pekerjaannya dan kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan”.

61

H. F. Abraham Amos, Op.Cit, hlm. 12.

62

Kelik Pramudya dan Ananto Widiatmo, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum Hakim, Jaksa, Polisi, Notaris, dan Advokat. (PT. Suka Buku: Jakarta, 2004), hlm. 34; yang dikutip dari Wildan Suyuthi Mustofa, Op.Cit, hlm. 71.

63

(4)

Didalam mengadili suatu perkara, ada tiga langkah yang harus dilakukan:64

1. Menemukan hukum, menetapkan manakah yang akan diterapkan diantara banyak kaidah di dalam sistem hukum, atau jika tidak ada yang tepat diterapkan, setidaknya mencapai suatu kaidah untuk perkara itu yang mungkin nantinya dipakai sebagai suatu kaidah untuk perkara lain sesudahnya.

2. Menafsirkan kaidah yang dipilih atau diterapkan secara demikian yaitu menentukan maknanya sebagaimana ketika kaidah itu dibentuk dan berkenaan dengan kekuasaannya yang dimaksud.

3. Menerapkan kepada perkara yang sedang dihadapi kaidah yang ditemukan dan ditafsirkan sebelumnya.

Pengambilan keputusan adalah suatu proses untuk menyelesaikan suatu permasalahan dengan cara memilih salah satu dari berbagai alternatif yang ada untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan yaitu menghasilkan suatu keputusan yang baik untuk mengatasi suatu masalah. Pengambilan keputusan (decision

making) melibatkan proses kognitif, dimulai dari mengenali

masalah,mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah, menilai, memilih, hingga memutuskan alternatif yang paling adekuat.

Untuk melahirkan sebuah putusan, hakim harus melewati beberapa prosedur tertentu, dan ada berbagai jenis putusan yang akan dilahirkan dari dunia peradilan.65

64

Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, (Bhatara: Jakarta , 1996), hlm. 52.

Memang tidak mudah bagi hakim untuk membuat suatu putusan, karena idealnya suatu putusan harus memuat ide idee des recht(cita-cita hukum)

65

Iqbal Albanna, “Putusan Hakim dan Eksekusi”, diakses dari

(5)

yang meliputi tiga unsur, yaitu keadilan (Gerechtigheid), kepastian hukum

(Rechtszekerheid), dan kemanfaatan (Zwechtmassigheid).66

Dalam membuat keputusan pengadilan, seorang hakim dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:67

Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim dalam memutus perkara harus memiliki kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the power of solving legal problems), yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu merumuskan masalah hukum (legal problem identification), memecahkan masalah (legal problems solving), dan mengambil putusan (decision making).

1. Faktor hakim itu sendiri, misalnya adalah kepribadiannya, intelegensi, suasana hati,

2. Faktor opini publik yang tertulis dalam media massa ketika sidang tengah berlangsung,

3. Faktor pengacara, misalnya performance dan gaya bicara yang meyakinkan juga memberikan pengaruh terhadap putusan hukuman, 4. Faktor terdakwa, misalnya jenis kelamin terdakwa, ras dan kemampuan

bicara.

68

Dalam implementasinya, sangat sulit bagi seorang hakim untuk mensinergikan ketiga unsur tersebut, terutama antara unsur keadilan dengan kepastian hukum yang kadang bisa saling bertentangan. Hakim harus memilih salah satu dari ketiga asas tersebut untuk memutuskan suatu perkara dan tidak mungkin ketiga asas tersebut dapat tercakup sekaligus dalam satu putusan. Jika diibaratkan dalam sebuah garis hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara berada diantara dua titik pembatas dalam garis tersebut, yaitu berdiri pada

66

Muchtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional. (Bina Cipta: Bandung, 1986), hlm. 319-320.

67

Probowati, Y. dan Sugiyanto,Peranan Etnik dan Daya Tarik Wajah Terdakwa Terhadap Putusan Hakim. (Jurnal Anima: Jakarta, 1997), hlm. 215-228

68

(6)

titik keadilan atau titik kepastian hukum, sedangkan titik kemanfaatan sendiri berada diantara keduanya.

Pada saat hakim menjatuhkan putusan yang lebih dekat mengarah pada asas kepastian hukum, maka otomatis hakim akan menjauh dari titik keadilan. Sebaliknya jika hakim menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah pada keadilan, maka secara otomatis hakim akan menjauhi titik kepastian hukum. Disinilah letak batas-batas kebebasan hakim, dimana hakim hanya dapat bergerak diantara dua titik pembatas tersebut. Dengan suatu pertimbangan yang bernalar, seorang hakim akan menentukan kapan dirinya berada di dekat titik kepastian hukum, dan kapan harus berada di titik keadilan. Hal ini membuktikan meskipun undang-undang mengatur agar hakim dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan suatu perkara bersifat bebas dan tanpa batas.Dalam praktek. hal ini tidak sepenuhnya benar dan tidak mungkin terjadi.

Dapat diambil kesimpulan bahwa seorang hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tidak selamanya terpaku pada suatu asas, asas yang terkandung dalam putusan disesuaikan dengan kasus yang sedang diperiksa. Meski demikian, ketiga unsur tersebut tetap harus dipertimbangkan oleh hakim dan diterapkan secara proporsional, sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan masyarakat.

(7)

diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Menurut buku “Peristilahan Hukum Dalam Praktek” yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia, putusan diartikan sebagai “Hasil atau kesimpulan dari suatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan”.69

Adapun pendapat beberapa ahli mengenai putusan adalah sebagai berikut:70

Pembuatan putusan oleh hakim dipengadilan merupakan proses yang kompleks yang memerlukan pelatihan, pengalaman dan kebijaksanaan. Sebelum mengeluarkan suatu putusan, hakim menelaah terlebih dahulu data-data yang diperoleh selama proses persidangan sepertiapakah bukti- bukti yang dihadirkan sudah cukup meyakinkan dan sah secara hukum, apakah keterangan saksi dapat Rubinidan Chaidir Ali, merumuskan bahwa keputusan hakim itu merupakan suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut vonis yang menurut kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim serta memuat akibat-akibatnya.

Pendapat lain, Ridwan Syahrani memberi batasan putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan dan mengakhiri perkara perdata

Sudikno Mertokusumo kemudian juga memberi batasan putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.

Readford mengungkapkan definisi pengambilan keputusan sebagai suatu perumusan berbagai macam alternatif tindakan dalam menghadapi situasi serta menetapkan pilihan yang tepat dari berbagai alternatif.

69

Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Peristilahan Hukum Dalam Praktek, (Kejaksaan Agung: Jakarta, 1985), hlm. 221.

(8)

dipercaya, saling berkesesuaian dengan keterangan saksi yang lain, meyakinkan dan sah secara hukum, apakah saksi memberikan keterangan yang sebenar-benarnya atau tidak, bagaimanaisi pembelaan terdakwa, tuntutan jaksa hingga muatan psikologis.

Keputusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa harus didasari oleh rasa tanggung jawab, keadilan, kebijaksanaan, profesionalisme dan bersifat obyektif. Selain itu, hakim juga harus bertanya kepada hati nuraninya apakah putusan itu nantinya akan menciptakan rasa keadilan atau malah menjadi suatu bentuk ketimpangan yang kemudian merobek rasa keadilan di masyarakat.

Meskipun sistem hukum di Indonesia terkadang tidak dapat mencapai keadilan yang sempurna, namun hakim harus dapat menetapkan keputusan yang mendekati keadilan. Di negara demokrasi yang umumnya mengedepankan prinsip suara terbanyak, perselisihan dapat diatasi dengan cara yang tampak adil dan mendukung stabilitas sosial karena mustahil untuk mencapai suatu keadilan yang dapat mengakomodir kepentingan semua pihak. Hal ini disebabkan sifat egosentrisme dan paradigma masyarakat yang menanggap suatu keadilan yang hakiki itu adalah ketika keadilan itu menguntungkan bagi dirinya, meskipun demikian masyarakat harus percaya pada keadilan sistem hukum secara keseluruhan.71

71

Wildan Suyuthi Mustofa, Op.Cit, hlm. 75.

(9)

tertuang dalam pertimbangan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang memuat Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Mekanisme pengambilan putusan hakim secara umum diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, HIR (Herzeine Inlandsch Reglement), Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan peraturan-peraturan lainnya dibawah undang-undang yang mengatur secara teknis.

Kekuasaan kehakiman mempunyai beberapa asas yang menjadidasar dari ketentuan-ketentuan dalam kekuasaan kehakiman secara umum.Asas-asashukum umum kekuasaan kehakiman (peradilan) yang baikmenurut Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari diantaranya meliputihal-hal sebagai berikut:72

Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, pertama-tama harus menggunakan hukum tertulis terlebih dahulu, yaitu peraturan undangan, tetapi kalau peraturan

perundang-1. Asas Kebebasan Hakim

2. Pemeriksaan Berlangsung Terbuka 3. Hakim Bersifat Aktif

4. Asas Objektivitas

5. Putusan Disertai Alasan (Motiverings Plicht)

6. Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan” 7. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan 8. Susunan Persidangan Dalam Bentuk Majelis

9. Pemeriksaan Dalam Dua Tingkat

Berdasarkan uraian diatas, apabila putusan hakim dijatuhkan denganmemenuhi asas – asas tersebut diatas selain menjamin adanya kepastianhukum, diharapkan juga demi memenuhi rasa keadilan.

72

Bambang Sutiyoso, Sri Hastuti Puspitasari,

(10)

undangan tersebut ternyata tidak cukup atau tidak tepat dengan permasalahan suatu perkara, barulah hakim akan mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum lain seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan, atau hukum tidak tertulis.

Pasal 182 KUHAP ayat 1 dan 2 mengatur bahwa setelah penuntut umum membacakan tuntutannya dan terdakwa atau penasehat hukum terdakwa selesai mengajukan pembelaannya, maka majelis hakim menutup persidangan. Meskipun sidang telah ditutup oleh hakim ketua, pemeriksaan dapat dibuka satu kali lagi atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dan/atau kuasa hukumnya maupun karena kewenangan dari hakim ketua.

Kemudian majelis hakim mengadakan musyawarah yang bersifat tertutup dimana hanya hakim ketua dan hakim anggota yang ikut dalam musyawarah untuk mengambil suatu kesimpulan dan memberikan suatu putusan terhadap perkara yang ditangani, yang didasari pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam persidangan.73

Menurut Abdul Manan, Musyawarah Majelis hakim merupakan perundingan yang dilaksanakan untuk mengambil keputusan terhadap suatu perkara yang diajukan kepadanya dan sedang diproses dalam persidangan”.74

Selanjutnya Abdul Manan mengungkapkan bahwa tujuan diadakannya musyawarah majelis ini adalah untuk menyamakan persepsi, agar terhadap

73

Lihat KUHAP Pasal 182 ayat (4) Jo. Pasal 182 ayat (3)

74

(11)

perkara yang sedang diadili itu dapat dijatuhkan putusan yang seadil-adilnya, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.75

Menurut M. Natsir Asnawi, majelis hakim setidak-tidaknya akanmelakukan dua hal dalam musyawarah majelis, yaitu:76

a. Menetapkan pihak mana yang berhasil membuktikan dan pihak mana yang tidak berhasil membuktikan.Tiap hakim anggota akan mengemukakan pendapatnyamengenai keseluruhan fakta yang terungkap di persidangan. Masing-masing hakim akan mengkonstantir fakta-fakta sebagaijalan untuk menetapkan hukumnya.

b. Menetapkan hak-hak dan hubungan hukum di antara para pihak. Setelah hakim menetapkan fakta-fakta yang terjadi, laluhakim mengajukan konklusi yang dapat berupa menetapkansiapa berhak atas apa juga menetapkan hubungan hukum di antara para pihak.

Menurut Shidarta, terdapat enam langkah utama dalam proses penalaran hukum dalam proses pembuatan putusan hakim, yaitu:77

Pertama, mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi; Kedua, menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber hukum yang relevan sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis; Ketiga, menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung didalam aturan hukum itu (the policies underlying those rule), sehingga dihasilkan struktur aturan yang koheren. Keempat,

menghubungan struktur aturan dengan struktur kasus. Kelima, mencari alternatif penyelesaian yang mungkin. Keenam, menetapkan pilihan atas

75 Ibid. 76

M. Natsir Asnawi. Hermeneutika Putusan Hakim. (UII Press: Yogyakarta, 2014), hlm. 15.

77

(12)

salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir”.

Dalam musyawarah, majelis hakim mengupayakan adanya suatu kemufakatan dalam pendapat hakim teradap suatu perkara yang akan diputus. Dalam hal tidak mungkin mencapai suatu kemufakatan, keputusan diambil berdasarkan voting atau suara hakim terbanyak. Kemudian dalam hal pemungutan suara tidak dimungkinkan, yang diambil adalah pendapat hakim yang paling meguntungkan untuk terdakwa.

Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, isi keputusan pengadilan selain harus memuat alasan-asalan dan dasar-dasar putusan, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili

Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Hal ini diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.Selain itu, hal-hal yang harus diperhatikan dan dimuat dalam putusan hakim secara umum diatur dalam Pasal 184 HIR, yaitu:

a. Suatu keterangan singkat tetapi jelas dari isi gugatan, b. Jawaban tergugat atas gugatan itu,

c. Alasan-alasan keputusan,

d. Keputusan hakim tentang pokok perkara dan tentang ongkos perkara, e. Keterangan apakah pihak-pihak yang berperkara hadir pada waktu

(13)

f. Kalau keputusan itu didasarkan atas suatu undang-undang ini harus disebutkan,

g. Tanda-tangan hakim dan panitera

Putusan hakim yang baik harus dapat memenuhi dua persyaratan, yakni memenuhi kebutuhan teoritis maupun praktis. Yang dimaksudkan kebutuhan teoritis disini ialah bahwa menitikberatkan kepada fakta hukum beserta pertimbangannya maka putusan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmu hukum bahkan tidak jarang dengan putusannya yang membentuk yurispundensiyang dapat menentukan hukum baru (merupakan sumber hukum). Sedangkan yang dimaksud dengan kebutuhan praktis ialah bahwa dengan putusannya diharapkan hakim dapat menyelesaikan persoalan/sengketa hukum yang ada dan sejauh mungkin dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, maupun masyarakat pada umumnya karena dirasakan adil, benar dan berdasarkan hukum.78

Biasanya antara pelaksanaan musyawarah dan pembacaan putusan diberi tenggang waktu. Pemberian waktu ini berbeda dengan tenggang waktu dengan perkara-perkara tertentu yang bersifat khusus seperti praperadilan yang diatur batas waktu pembacaan putusannya. Tidak ada aturan umum yang menentukan bahwa selain perkara-perkara yang khusus disebutkan secara eksplisit batasan waktu penyelesaiannya. Dalam peradilan pidana, apabila suatu keputusan akan dijatuhkan, harus ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada penuntut umum,

78

(14)

terdakwa, dan penasehat hukum terdakwa mengenai tanggal pembacaan putusan.79

Setelah putusan dijatuhkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, maka putusan tersebut bukan lagi menjadi milik pengadilan (hakim), akan tetapi Selain dengan adanya tenggang waktu ketentuan perundang-undangan ternyata juga membenarkan putusan pengadilan negeridijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga setelah musyawarah dilaksanakan.

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 5 Tahun 1959 tanggal 20 April 1959 dan No. 1 Tahun 1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstruksikan kepada para hakim agar pada waktu putusan pengadilan tersebut diucapkan, konsep putusan harus telah dipersiapkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perbedaan antara bunyi putusan yang diucapkan hakim di depan persidangan yang terbuka untuk umum dengan yang tertulis.

Putusan hakim harus dibacakan di depan persidangan yang terbuka untuk umum. Bila hal tersebut tidak dilaksanakan maka putusan tersebut terancam batal. Akan tetapi, dalam hal penetapan pembacaan di persidangan terbuka untuk umum tidak diperlukan.

Setiap putusan hakim harus dituangkan secara tertulis dan ditandatangani oleh ketua sidang dan panitera yang memeriksa perkara tersbut. Berdasarkan Pasal 187 HIR apabila ketua sidang berhalangan menandatangi maka putusan itu harus ditandatangani oleh hakim anggota tertua yang telah ikut memeriksa dan memutus perkaranya, sedangkan apabila panitera yang berhalangan menandatangani, maka untuk hal tersebut cukup dicatat dalam berita acara.

79

(15)

milik masyarakat. Sehingga seperti yang telah diungkapkan di atas, pentingya pertanggungjawaban para hakim sehingga putusan pengadilan itu harus dipertanggungjawabkan secara moral dan yuridis kepada masyarakat. Dengan terbukanya atau publikasi dari dissenting opinion atau menjadi bagian satu kesatuan dari putusan peradilan memberikan peluang bahwa masyarakat dapat berpendapat dan mengkritik secara bebas sebagai bagian masukan yang informatif bagi lembaga peradilan itu sendiri. Serta tentu menunjukkan kemadirian dan kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara

B. Kedudukan Dissenting Opinion dalam Putusan Hakim

Sistem hukum Indonesia mengadopsi sistem hukum peninggalan Belanda, yang merupakan warisan Bangsa Romawi. Dikatakan hukum Romawi karena sistem hukum ini berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di kekaisaran Romawi pada masa Pemerintahan Kaisar Yustinianus abad ke-5 (527-565 M)yang pada masa kini dianut dihampir seluruh benua Eropa, Amerika Selatan, dan berbagai negara Asia. Sistem hukum kontinental biasanya mengandalkan kitab undang-undang atau peraturan tertulis dalam penegakan hukum dan mengedepankan prinsip kepastian hukum.Secara teori, hakim di negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental hanya boleh menerapkan hukum yang termuat dalam undang-undang atau kitab undang-undang dan tidak boleh membuat hukum (judge made law).

(16)

hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Yustianus yang merupakan kumpulan dari berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa Yustianus yang disebut dengan Corvus Juris Civiliyang dijadikan sebagai dasar dalam perumusan dan kodifikasi hukum.

Prinsip utama yang terdapat dalam sistem hukum eropa kontinental ini yaitu hukum memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi.

Dalam sistem hukum ini dikenal sebuah adagium “tiada hukum selain undang-undang”, dengan kata lain bahwa hukum selalu diidentikkan dengan undang-undang. Hakim dalam sistem hukum ini tidak bebas dalam menciptakan hukum baru karena hakim hanya menerapkan dan menafsirkan peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya, putusan hakim tidak mengikat secara umum tapi hanya mengikat para pihak yang bersengketa.

Dalam perkembang peradaban manusia terjadi pergeseran dimana sistem hukum yang telah dianut tersebut menjadi tidak bersifat kaku, telah terjadi pembauran antarsistem dengan menyerap kelebihan masing-masing sistem.Sehingga penemuan hukum tidak lagi murni otonom maupun murni heteronom, Di Indonesia misalnya, dalam proses pemeriksaan, HIR menganut asas inquisatoir yang menjadi ciri khas negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental. Kemudian KUHAP mengatur tentang tersangka yang dipandang sebagai subjek pemeriksaan dan berhak memberikan keterangan secara bebas dalam mengajukan pembelaan yang menggeser asas inquisatoir menjadi asas

(17)

memengaruhi tugas hakim dari “hakim terikat” kearah “hakim bebas” dan pergeseran keadilan menurut undang-undang (normgerechtigkeit) kearah keadilan menurut hakim seperti yang tertuang dalam putusan (einzelfallgerechtigkeit), serta terjadi pergeseran pola berpikir dari yang mengacu kepada sistem (systeemdenken) kearah berpikir mengacu kepada masalah (problem oriented). Hal ini membuka ruang kepada hakim untuk membentuk hukum (judge made law).80

Pada negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxonseperti Amerika dan Inggris, pendapat atau opini di bidang hukum biasanyamerupakan penjelasan tertulis yang dibuat oleh Hakim. Penjelasan tertulis tersebut menyatakan peranan para Hakim dalam menyelesaikan perkara. Penjelasan tertulis tersebut dibuat berdasarkan pada rasionalitas dan prinsiphukum yang mengarahkan mereka Berbeda dengan Eropa Kontinental, negara dengan sistem hukum Anglo-saxon menganggap selain sebagai pelaksana hukum, hakim juga sebagai pembentuk hukum (judge made law). Peranan hakim sangat penting dalam pembentukan hukum, karena sistem common law memiliki prinsip:“the law that develops and derives through judicial decision”. Hakim berhak membuat putusan yang lebih didasarkan pada keadaan dan norma yangberlaku di masyrakat dari pada berpegang pada norma hukum itu sendiri.Namun, perbedaan tersebut semakin lama dirasa semakin tidak penting di negara-negara penganut Eropa Kontinentalyang telah mengadopsi dan menerapkan sebagian dari tradisi hukum Anglo-saxon.

80

(18)

kepada peraturan yang dibuat. Pendapattertulis ini biasanya diterbitkan dengan arahan dari pengadilan dan hasilnya mengandung pernyataan tentang apa itu hukum dan bagaimana seharusnya hukum tersebut diinterpretasikan. Para hakim pengadilan tersebut biasanyakemudian melakukan penegakkan kembali, perubahan, dan penerbitanterhadap hal-hal yang dapat dijadikan sebagai panutan atau teladan dalamhukum.

Mengenai pengertian dissenting opinion, Pontang Moerad mendefinisikannya sebagai pendapat/ putusan yang ditulis oleh seorang hakim atau lebih yang tidak sependapat dan tidak setuju (disagree) dengan putusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim.81

Menurut Bagir Manan, Pendapat anggota-anggota majelis dalam suatu perkara dapat berupa:

Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2000 Tentang Penyempurnaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Hakim Ad Hoc merumuskan bahwa: “Perbedaan pendapat adalah pendapat yang berbeda dari salah seorang anggota majelis, baik mengenai fakta atau hukumnya dalam musyawarah majelis”.

82

1. Seluruh anggota dan ketua majelis sepakat dengan pertimbangan dan amar yang diusulkan pembaca terdahulu.

2. Seluruh anggota dan ketua majelis sepakat mengenai amar (seluruh atau sebagian) tetapi ada yang menambahkan atau mengusulkan dasar pertimbangan yang berbeda, biasa disebut dengan Concurring Opinion. 3. Ada anggota yang berbeda pendapat baik atas pertimbangan maupun

amarnya, biasa disebut dengan dissenting opinion

81

Pontang Moerad, Op.Cit., hlm. 111.

82

(19)

Pandangan mengenai pentingnya dissenting opinion ini erat kaitannya dengan pertanggungjawaban hakim secara individual. Walaupun putusan diambil secara kolektif, pertanggungjawaban hakim secara individual lebih besar dibandingkan pertanggungjawaban secara kolektif. Maka dari itu diperkenankanlah para hakim itu ketika mengambil putusan untuk menjaga tingkat kemandiriannya (independensinya) dengan mencantumkan perbedaan pandangannya (pendapat) tersebut dalam putusan.

Pelaksanaandissenting opinion sebagai salah satu terobosan hukum yang dulunya tidak memungkinkan untuk dilakukan pada Sistem Hukum Eropa Kontinental seperti Indonesia, karena selain Peraturan Perundang-undangannya tidak ada (UU No. 8 tahun 1981 tidak mengatur dissenting opinion), juga ketentuan yang ada dalam Buku II MA melarang dilakukannya dissenting opinion, tetapi ternyata hakim ad hoc yang menangani perkara kepailitan dapat melakukan dissenting opinion dengan dasar penguat PERMA No. 2 tahun 2000 tentang Perubahan dan Penyempurnaan PERMA No. 3 tahun 1999 tentang Hakim

Ad Hoc yang dibuat MA untuk mengisi kekosongan hukum pada Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan yang tidak mengatur dissenting opinion.

(20)

Ad Hoc Eliyana merupakan hakim yang pertama kali mengeluarkan perbedaan pendapat (dissenting opinion).83

Akan tetapi, sejak lahirnya Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang telah beberapa kali diatur dan mengalami perubahan,

Mahkamah Agung juga tidak keberatan atas pemberlakuan dissenting opinion sepertidalam putusan kasasi Joko S Chandra yang diputus bebas oleh majelis hakim yang dipimpin Sunu Wahadi, tetapi selama belum adanya aturan yang jelas maka tidak bisa dipaksakan agar langkah majelis hakim yang dipimpin Sunu Wahadi untuk memberlakukan dissenting opinion tersebut akan diikuti oleh hakim-hakim lainnya.

84

83

Tata Wijayanta dan Hery Firmansyah. Perbedaan Pendapat Dalam Putusan Pengadilan. (Pustaka Yustisia: Yogyakarta,2011), hlm. 75.

84

Kekuasaan Kehakiman pertama kali telah dimuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman (LN RI 1964/107 Tln Ri 2699). Selanjutnya Undang ini dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman (LN RI 1970/74 Tln RI 2951). Pada tahun 1999 Undang-Undang Tersebut Diamandemen Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU RI No. 14 Tahun 1970 RI Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman (LN RI 1999/147 Tln RI 3879). Undang-Undang ini kemudian dicabut dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (LN RI 2004/38 Tln RI 4358). Pada Tahun 2009 Undang-Undang Ini Dicabut Dengan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (LN RI 2009/157 Tln RI 5076).

(21)

Dalam konstitusi Republik Indonesia sebagai kaidah tertulis telah memuat norma yang mengatur secara tegas terkait kebebasan dalam menyatakan pikiran sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 28 E ayat (2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan

hati nuraninya”. Selanjutnya dalam Pasal 28 E ayat (3) diberikan jaminan dalammengeluarkan pendapat, “...berhak atas kebebasan...dan mengeluarkan pendapat’. Meskipun hanya secara implisit, sebenarnya dapat dijadikan sebagai landasan hakim dalam mengadili perkaraserta memuat pertimbangan yang sesuai dengan nilai kebenaran serta mengemukakan dissenting opinion jika tidak tercapai kata sepakat dalam musyawarah majelis hakim.

Namun, terjadi perbedaan dalam penerapan dissenting opinion pada Lembaga- Lembaga Yudikatif di negara kita khususnya dalam hal model pencatuman dissenting opinion itu sendiri. Perbedaan tersebut dapat ditemukan pada Pengadilan Niaga dan pada Mahkamah Konstitusi. Pada Pengadilan Niaga, model pencatuman dissenting opinionterpisah dari putusan. Sedangkan pada Mahkamah Konstitusi, dissenting opinionmerupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan, sehingga diperlukan penyeragaman model pencatuman

dissenting opinion dalam suatu peraturan yang khusus mengatur tentang

dissenting opiniontersebut.

Mekanisme dissenting opinion dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman terdapat dalam Pasal 14,yakni :

(22)

2. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

3. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.

Berdasarkan kaidah hukum yang terkandung dalam undang-undang di atas khususnya pada ayat (2), memperlihatkan bahwa bagi hakim di Indonesia dimungkinkan untuk menyampaikan pendapatnya yang berbeda dan dimuatnya dalam putusan. Perbedaan pendapat ini bercorak concurring opinion untuk adanya perbedaan pendapat diantara majelis hakim, namun hakim yang berbeda pendapat tersebut akhirnya setuju untuk mencapai mufakat dengan hakim lainnya. Sedangkan pendapat yang bercorak dissenting opinion untuk tidak adanya kata mufakat bulat dalam permusyawaratan hakim, dan putusan ditempuh dengan suara terbanyak dari hakim. Walaupun demikian, apabila terjadi kedua corak tersebut, hakim yang berbeda pendapat wajib untuk menandatangani dan mengikat dirinya kepada mufakat bulat atau pun terhadap suara terbanyak dalam permusyawaratan hakim.

Kemudian dalam ayat (3) Undang-Undang ini mengatur bahwa pencantuman perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) dalam putusan bersifat

(23)

putusan.85 Rasio dari pencantuman ini bertujuan untuk memperlihatkan kepada pihak yang berperkara maupun masyarakat, bahwa putusan yang dijatuhkan benar-benar diambil melalui pengkajian dan analisis yang matang.86

1. Menunjukkan bahwa hakim memiliki kebebasan individual dalam memutus, termasuk kebebasan terhadap sesama anggota majelis atau sesama hakim.

Namun, sebelum memasukkan dissenting opinion ke dalam Peraturan Perundang-Undangan dan memberikan dasar hukum yang kuat bagi pelaksanaan

dissenting opiniontersebut, kita terlebih dahulu harus mengetahui adakah nilai-nilai positif atau manfaat yang dapat kita peroleh dari penggunaan dissenting opinionterhadap perkembangan hukum di negara kita. Pada kenyataanya, keinginan memasukan dissenting opinion dalam KUHAP kita dilatarbelakangi oleh karena dissenting opinion dirasakan mempunyai manfaat dan nilai-nilai positif yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengontrol hakim.

Ada beberapa nilai-nilai positif yang dapat diambil dari pelaksanaan

dissenting opinion, yaitu:

2. Semakin meningkatkan tanggung jawab individual hakim, kualitas dan wawasan hakim serta meningkatkan kualitas putusan pengadilan.

3. Dapat diketahui pendapat hakim yang berbobot, dalam upaya hukum banding atau kasasi akan menjadi pertimbangan yaitu pendapat hakim mana dalam majelis tingkat pertama yang sejalan dengan putusan banding atau kasasi tersebut.

85

M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata. (Sinar Grafika: Jakarta, 2008), hlm. 240.

(24)

4. Sebagai indikator untuk menetukan jejang karir Hakim, karena dari sinilah dapat dijadikan pijakan bersama dalam standar penentuan pangkat dan jabatan, sehingga untuk mengukur prestasi hakim tidak hanya dilihat dari segi usia dan etos kerja semata. Akan tetapi juga mulai dipikirkan penilaian prestasi hakim berdasarkan kualitas putusan hakim

5. Sebagai upaya untuk menghindari kecurigaan masyarakat terhadap praktek Korupsi,Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan Mafia Peradilan

6. Dengan dissenting opinion dapat diketahui apakah putusan Hakim tersebut sesuai dengan aspirasi hukum yang berkembang dalam masyarakat;

7. Dissenting Opinion juga dapat dipakai untuk mengatur apakah suatu Peraturan Perundang-Undangan cukup responsif terhadap perubahan-perubahan dalam masyarakat.

8. Memberikan pandangan bahwa peradilan Indonesia menuju transparansi peradilan.

Perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) selain memiliki kelebihan, juga memiliki kelemahan. Adapun kekurangan perbedaan pendapat (Dissenting Opinion), yaitu:87

a. Perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) membawa konsekuensi putusan hakim ditentukan oleh suara terbanyak. Dengan demikian putusan yang benar dan adil adalah sesuai dengan kehendak terbanyak (mayoritas), sedangkan ada kemungkinan pendapat minoritas itulah yang benar dan adil. Kebenaran dan keadilan itu adalah suatu kualitas, bukankuantitas. b. Perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) dapat menimbulkan

ketidakpastian hukum secara keilmuan maupun praktek. Perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan, maka dapat dipandang sebagai unsur putusan. Segala muatan

87

(25)

dari perbedaan pendapat (Dissenting Opinion), baik pertimbangan maupun kesimpulan dapat dianggap sebagai hukum juga, walaupun sebagai hukum yang tidak diterapkan dalam kasustersebut. Namun tidak tertutup kemungkinan dalam perkara serupa dimasa yang akan datang perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) yang diikuti, dan pendapat hakim mayoritas (Majority Opinion) ditinggalkan.

c. Perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) dapat mempengaruhi harmonisasi hubungan sesama hakim. Seorang Ketua Majelis dapat merasa sebagai ditantang bahkan mungkin direndahkan oleh anggota yang berbeda pendapat, sehingga antara sesama hakim akan terjadi ketidakharmonisan.

d. Perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) dapat menimbulkan sikap individualitas yang berlebihan. Anggota majelis yang menyatakan perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) akan merasa memiliki wawasan, pengetahuan dan menguasai persoalan yang lebih dari hakim lainnya.

Terkait dengan salah satu tujuan dari diterapkannya pencantuman pendapat berbeda (dissentingopinion) dalam putusan hakim adalah untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat dan mewujudkan transparansi peradilan, hendaknya didukung dengan adanya kemudahan yang diberikan kepada masyarakat dalam mengakses putusan tersebut, sebagaimana yang ditegaskan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 48Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan”.

Transparansi peradilan ini juga dipertegas dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang dalam Pasal 4 ayat (2) mengatur:

Setiap Orang berhak:

(26)

b. Menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik;

c. Mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang- Undang ini; dan/atau

d. Menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundangundangan.

Selain untuk menciptakan suatu transparansi keadilan dan menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan, diperlukan suatu lembaga untuk mengontrol kekuasaan lembaga peradilan. Keterlibatan publik melalui proses penilaian atau pengujian dapat menjadi salah satu langkah penting dan strategis untuk dilakukan.88

Keterlibatan publik ini disebut juga dengan eksaminasi publik, yang diartikan sebagai pengujian atau pemeriksaan yang dilakukan oleh masyarakat yang dipilih karena keahlian dan integritasnya terhadap suatu produk peradilan.89

Eksaminasi publik yang dilakukan oleh masyarakat untuk memberikan suatu shock therapy bagi para aparat hukum serta untuk menunjukkan bahwa diluar aparat hukumpun masyarakat mampu memberikan analisa yang berbobot dan patut diperhatikan.90

Jelaslah kiranya pelaksanaan dissenting opinion memiliki dampak positif yang lebih besar daripada dampak negatif yang ditimbulkannya. Untuk menjadikannya sebagai suatu bagian dalam peradilan umum, perlu diciptakan

88

Wasingatu Zakiyah, dkk, Panduan Eksaminasi Publik, (Indonesia Corruption Watch: Jakarta, 2004), hlm. 25.

89

Ibid, hlm. 27

90

(27)

suatu peraturan tentang Pelaksanaan dissenting opiniondalam Hukum Acara Pidana dengan cara merevisi KUHAP yang belum mengalami perubahan sekalipun sejak 1981 yang saat ini didalamnya tidak mengatur dissenting opinion. Revisi KUHAP ini juga sebagai bentuk kedinamisan hukum dalam mengakomodir perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat dan sebagai bentuk menuju sistem peradilan yang semakin baik. Dengan demikian, diharapkan agar dissenting opiniontersebut dapat diterapkan dengan baik oleh para hakim pada lembaga-lembaga Yudikatif, dalam rangka menegakkan supremasi hukum khususnya dalam menciptakan transparansi informasi di dunia peradilan di Indonesia.Kemudian dipertegas lagi pengaturannya dalam sebuah PERMA seperti yang dilakukan MA pada hakim ad hoc Pengadilan Niaga dan atau dengan mencabut Buku II MA yang berisikan Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan.

Untuk menghindari adanya perbedaan pendapat (DissentingOpinion)yang tidak seharusnya terjadi, diperlukan hal-hal sebagaiberikut:91

91

H.Insyafli, “Ikhtisar Permusyawarah Majelis Hakim”,diakses dari

1. Lakukan atau berikan kesempatan untuk mempelajari atau mentelaah kembali berkas perkara yang bersangkutan denganmenunda permusyawaratan.

2. Penguasaan atau wawasan pengetahuan hukum formiil danhukum materiil yang seimbang dari Majelis Hakim danpemahaman terhadap materi perkara dengan tetapmemelihara prinsip saling percaya, keterbukaan serta menjaga integritas mentalitas dan integritas intelegensia

3. Jika terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam, dengan tidak mengurangi kebebasan Hakim dalam memutus perkara,ada baiknya meminta masukan dari pimpinan pengadilan,atau didiskusikan dalam forum pleno Hakim atau Pokja, dandisinilah letak perlunya melakukan diskusi secara berkala.

(28)

Apabila perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) itu tidak dapat dihindari, maka lakukanlah dengan hati yang menerima.

C. Dissenting Opinion dalamMekanisme Pengambilan Putusan Hakim Ditinjau dari Hukum Acara Pidana Indonesia

Di dalam dunia peradilan, sebenarnya hanya ada satu hal pokok yang dicari para pencari keadilan (justicia balance), yaitu putusan hakim yang diputus oleh hakim yang profesional dan memiliki integritas moral tinggi sehingga dapat melahirkan putusan-putusan yang tidak saja mengandung legal justice, tetapi juga berdimensikan moral justice dan social justice.92

Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Oleh karena itu dapat dikonklusikan lebih jauh bahwasanya putusan hakim disatu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum (rech zekerheids) tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian berupa menerima putusan ataupun melakukan upaya hukum verzet, banding atau kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya. Sedangkan dilain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim merupakan mahkota sekaligus puncak pencerminan nilai-nilai keadilan; kebenaran hakiki, hak asasi manusia; penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.

92

(29)

Dalam perkara pidana, putusan hakim dapat berupa putusan penjatuhan pidana jika perbuatan pelaku tindak pidana terbukti secara sah dan meyakinkan, putusan pembebasan dari tindak pidana (vrijspraak) dalam hal menurut pemeriksaan persidangan perbuatan pelaku tindak pidana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atau berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle rechtsverloging), dalam hal perbuatan terdakwa sebagaimana yang didakwakan terbukti, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.93

Mackenzie mengemukakan pendapatnya bahwa dalam mempertimbangkan pembuatan putusan dalam suatu perkara pidana, ada beberapa teori atau pendekatan yang biasanya dipergunakan oleh hakim, yaitu sebagai berikut:94

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan bentuk diskresi hakim dengan menyesuaikan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana baik terdakwa maupun penuntut umum.

a. Teori Keseimbangan

Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa, dan kepentingan korban. Dalam praktik peradilan pidana, keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa dirumuskan dalam pertimbangan mengenai hal-hal memberatkan yang eksistensinya untuk melindungi kepentingan masyrakat dan hal-hal meringankan yang esistensinya untuk melindungi hak-hak dan kepentingan terdakwa sebagai warga negara. Pertimbangan inilah yang nantinya akan menentukan berat tidaknya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.

b. Teori Pendekatan Seni Dan Intuisi.

95

93

Pasal 191 ayat (1) KUHAP “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Pasal 191 ayat (2) KUHAP “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka terdakwa diputusan lepas dari segala tuntutan hukum”. Pasal 191 ayat (3) KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana”

94

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. (Sinar Grafika: Jakarta, 2011), hlm. 102-113

Pendekatan seni ini digunakan hakim

95

(30)

dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh insting atau instuisi dari pada pengetahuan hakim. Dalam praktik peradilan, teori ini digunakan hakim dalam pertimbangan dalam menjatuhkan putusan dengan memperhatikan sistem pembuktian yang dianut, yaitu sekurang-kurangnya ada dua alat bukti dan harus disertai keyakinan hakim. Keyakinan hakim pada dasarnya bersifat subjektif yang hanya didasarkan kepada naluri hakim saja. Hakim juga merupakan manusia biasa yang terkadang melakukan kesalahan dalam menempatkan naluri, sehingga putusan hakim yang keliru dan tidak adil yang menimbulkan polemik dalam masyarakat bisa saja terjadi. Oleh karena itu, hakim harus berhati-hati dalam menggunakan teori ini, yang hanya mengandalkan pada seni dan instuisi semata dari hakim yang bersifat subjektif.

c. Teori Pendekatan Keilmuan.

Teori ini didasarkan kepada pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitn=annya dengan konsistensi putusan hakim dalam putusan terdahulu terhadap perkara yang mirip. Pendekatan keilmuan ini merupakan sejenis peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar pemikiran intuisinya semata, tetapi harus dilengkapi dnegan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

Oleh karena itu, hakim dituntut untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan hukum maupun ilmu pengetahuan non hukum lainnya, sehingga putusan yang dijatuhkan tersebut dapat memenuhi mencerminkan cita hukum itu sendiri dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi teori-teori yang ada dalam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa, diadili dan diputuskan oleh hakim.

Dalam persidangan, hakim sering meminta keterangan para ahli yang berkompeten dibidangnya untuk menjelaskan esensi dari suatu perkara yang diiajukan kepadanya untuk didengar keterangannya di depan persidangan. Dari keterangan ahli tersebutlah, hakim dapat menambah pemahaman terkait perkara yang sedang diperiksa untuk selanjutnya hakim akan menjatuhkan putusan yang sesuai dengan rasa keadilan.

d. Teori Pendekatan Pengalaman.

Pengalaman seorang hakim merupakan hal yang sangat membantu dalam menghadapi perkara yang dihadapi. Melalui pengalaman yang dimilikinya, hakim dapat mengetahui dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara apakah akan membawa keadilan baik terhadap pelaku, korban, maupun masyarakat secara umum.

Pengalaman hakim merupakan bekal yang bagi para hakim dalam bersikap professional, arif, dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya yang mendorong hakim untuk lebih berhati-hati dalam menjatuhkan putusan.

(31)

Dalam teori ini, dalam memutuskan suatu perkara hakim lebih memprioritaskan pengalaman hakim sendiri dalam perkara yang mirip ataupun perkara lain yang berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani.

e. Teori Ratio Decidendi

Selain teori yang telah dikemukakan diatas, dikenal juga suatu teori yang disebut sebagai teori ratio decidendi. Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

f. Teori Kebijaksanaan

Teori kebijaksanaan diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, dimana sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara dipengadilan anak. Teori ini dilandaskan pada rasa cinta terhadap tanah air, nusa dan bangsa Indonesia serta nilai kekeluargaan yang harus ditanam, dipupuk dan dibina. Selanjutnya aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, dan melindungi anakagar kelak dapat menajdi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bagi bangsanya.

Dalam konstitusi Republik Indonesia96

Dalam KUHAP diatur prinsip-prinsip hukum acara pidana yang menjadi acuan dalam pelaksanaan serta penegakan hukum pidana, salah satunya adalah prinsip larangan campur tangan pihak lain di luar kekuasaan kehakiman terhadap dimuat norma dasar bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghorsemata-matan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum, dalam suatu masyarakat demokratis. Hal inilah yang menjadi landasan bagi hakim dalam menerapkan kebebasan personalnya sebagai bentuk kesadaran akan tanggung jawab kepada bangsa dan negara dan terutama kepada Tuhan Yang Maha Esa.

96

(32)

dan dalam urusan peradilan.97

Kebebasan hakim dalam menemukan kebenaran materiil dalam peradilan pidana Indonesia tidak terlepas dari konsep sistem hukum eropa continental yang dianut Indonesia. Prinsip utama yang terdapat dalam sistem hukum ini yaitu hukum memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dan terkodifikasi. Dapat disimpulkan bahwa prinsip ini sendiri menggambarkan adanya suatu kedogmatikaan dari sistem hukum itu sendiri yang dapat menghambat hakim dalam menetapkan norma-norma yang dimuat dalam sumber-sumber hukum terhadap perkara yang sedang diperiksa untuk menemukan kebenaran materiil sebagai tujuan dari hukum acara pidana.

Prinsip ini secara implisit memberikan kebebasan kepada hakim dalam melaksanakan tugasnya demi menciptakan suatu keadilan.

Dalam hukum acara di Indonesia, susunan persidangan menggunakan sistem majelis. Dimana majelis ini dipimpin oleh seorang hakim ketua yang kemudian membawahi dua orang hakim anggota. Hukum Acara Pidana di Indonesia hanya mengatur proses peradilan secara umum, kemudian secara teknis diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan atau peraturan lain di bawahnya. Misalnya dalam hal mekanisme pengambilan putusan hakim. KUHAP hanya mengatur tentang hal-hal yang sifatnya mendasar.

Apabila hakim memandang pemeriksaan sidang sudah selesai, maka ia mempersilahkan penuntut umum untuk membacakan tuntutannya. Setelah itu giliran terdakwa atau penasehat hukumnya membacakan pembelaannya, yang

97

(33)

dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan terdakw atau penasehat hukumnya mendapat giliran terakhir (Pasal 182 ayat 1 KUHAP).98

Jika acara tersebut sudah selesai, Hakim Ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat dibuka sekali lagi, baik atas kewenangan Hakim Ketua sidang karena jabatannya maupun atas atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dengan memberikan alasannya. Sesudah itu hakim mengadakan sidang terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, peasihat hukum, penuntut umum dan hadirin menginggalkan ruangan sidang.99

Ditentukan selanjutnya dalam Pasal 182 ayat 4 KUHAP bahwa dalam musyawarah tersebut, majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir adalah hakim ketua dan semua pendapat harus disertai pertimbangan dan alasannya.100

Meski begitu, tidak tercapainya mufakat bukan suatu hal yang tidak mungkin terjadi karena sudah menjadi hal yang lumrah apabila dua atau tiga orang sarjana hukum berkumpul akan menghasilkan lebih dari tiga pendapat, Dari KUHAP dapat kita simpulkan apabila ketiga orang anggota majelis hakim dalam bermusyawarah menjelang pengambilan putusan terjadi perbedaan pendapat diantara satu sama lain, maka terlebih dahulu majelis mengupayakan mufakat. Hal ini dilakukan degan mengutarakan masing-masing pertimbangan dan alasan hakim secara mendalam.

98

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (CV. Saptha Arta Jaya: Jakarta, 1996), hlm. 291.

99 Ibid. 100

(34)

berangkat dari hal tersebut, adalah suatu hal yang memungkinkan pendapat hakim satu dengan hakim yang lain saling bertentangan. Apabila terjadi perbedaan pendapat hukum antara majelis yang bermusyawarah, maka perbedaan itu diselesaikan dengan voting, atau hitung suara terbanyak. Cara ini sangat logis, dan oleh karena itu maka jumlah hakim dalam satu majelis harus ganjil agar bisa diselesaikan.101

Dalam hal hakim saling berbeda pendapat, atau adanya keraguan diantara majelis hakim tentang bersalah atau tidaknya seseorang, hakim harus merujuk kembali kepada KUHAP dimana keyakinan hakim merupakan sebuah keharusan. Selain itu, asas KUHAP juga menandaskan: “lebih baik membebaskan 100 orang yang bersalah, ketimbang menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Asas ini adalah asas In Dubio Proreo yang secara harafiah berarti dalam keraguan, terdakwa harus diuntungkan. Maksudnya adalah jika pengadilan meragukan kesalahan terdakwa, maka demi hukum, terdakwa harus dibebaskan.102

Putusan yang diambil setiap hakim belum tentu sama. Penelusuran hakim terhadap fakta persidangan, pengetahuan hakim terhadap hukum, dan keyakinan Apabila hal ini terjadi, pendapat yang paling menguntungkan terdakwa yang akan dipakai dalam putusan.Sedangkan bagi hakim anggota yang kalah suara dalam menentukan putusan, dirinya harus menerima pendapat mayoritas majelis hakim dan dapat menuliskan pendapatnya yang berbeda dengan putusan dalam buku khusus yang dikelola oleh Ketua Pengadilan Negeri dan bersifat rahasia.

101

H.Insyafli, “Ikhtisar Permusyawarah Majelis Hakim”,diakses dari pada tanggal 15 Maret 2016 pukul 11.25 WIB

102

(35)

turut mempengaruhi sikap hakim saat membuat putusan. Putusan majelis hakim diambil pada saat musyawarah digelar. Suasana diskusi dan debat pada saat rapat permusyawaratan hakim itu ikut mempengaruhi. Seorang hakim junior misalnya punya rasa ewuh pakewuh103 untuk menantang pendapat hakim senior. Hakim masih enggan dan kurang berani untuk berbeda pendapat. Bukan hanya masalah senioritas, tetapi juga kekhawatiran dikucilkan hakim lain.104

Kebebasan dalam menyampaikan pandangan yang berbeda terhadap suatu perkara merupakan perwujudan dari kebebasan eksistensial hakim. Kebebasan eksistensial ini mendorong hakim untuk mewujudkan eksistensi hakim untuk menemberikan pendapatnya sendiri tanpa adanya intervensi dalam menemukan kebenaran materiil. Kebebasan eksistensial pada dasarnya bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang disertai rasa kesadaran dan tanggung jawab.

Oleh karena itu, melalui peraturan perundang-undangan diberikan jaminan kebebasan kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum (rechtvinding), dalam hal undang-undang tidak dapat mengakomodir permasalahan yang terjadi di masyarakat, mengingat bahwa hakim dilarang untuk menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan belum ada hukum yang mengatur permasalahan tersebut.105

103

Budaya Ewuh Pakewuh yang berarti sungkan dalam batas-batas normal akan meningkatkan tali silahturami dalam suatu lingkungan, kumpulan atau organisasi. Budaya demikian merupakan cerminan budaya timur yang sangat menghargai orang lain dan tanpa bermaksud menjatuhkan apalagi mempermalukan orang lain.

104

Tata Wijayanta, Buah Reformasi Dunia Peradilan; Perbedaan Pendapat dalam Putusan Pengadilan. (Pustaka Yustisia: Yogyakarta, 2011), hlm. 90.

105

(36)

Selain itu, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman melarang pengadilan menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, sehingga mau tidak mau pengadilan harus menerima perkara yang diajukan kepadanya dengan mengedepankan prinsip keadilan.Hal inilah yang menjadi penyebab lahirnya dissenting opinion.

Dissenting opinion sesungguhnya merupakan bentuk akuntabilitas publik atas hakim dalam memutuskan perkara, dimana dalam hal terjadi perbedaan pendapat maka hakim yang berbeda pendapat tersebut menuangkan pendapatnya secara tertulis dan di dalam implementasinya pendapat tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dari suatu putusan.106

Pengertian antara lain sebagaimana disampaikan oleh Julia Laffrangue adalah: “A dissenting opinion is an opinion expressed in a case where a judge who maintains the minority position does not subscribe to the justifications and/or

conclusion on the judgement of majority”.107

tertutup pada suatu masyarakat tertentu dalam suatu waktu tertentu. Lihat H. F. Abraham Amos,

Op.Cit, hlm. 24.

106

Yudi Kristiana, Op.Cit, hlm. 305.

107

Julia Laffranque, Justice of the Supreme Court, Dissenting Opinion in the European Court of Justice Estonia’s Possible Contribution to the Democration of the European Union Judical System,Juridica International IX/2004 dalam Yudi Kristiana, Op.Cit.

(37)

Menurut Loebby Luqman, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi putusan hakim yang berpotensi menimbulkan dissenting opinion yakni108

M. Yahya Harahap memerinci lebih lanjut terkait faktor tersebut menjadi faktor subjektif dan faktor objektif. Faktor subjektif meliputi:

:

a.Raw in put, yakni faktor yang berhubungan dengan suku, agama, pendidikan informal, dan sebagainya;

b. Instrument input, yakni faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan pendidikan formal;

c. Enviromental input, yakni faktor lingkungan, sosial budaya yang berpengaruhi dalam kehidupan seorang hakim, seperti lingkungan organisasi dan seterusnya

109

Penerapan dissenting opinion di Indonesia kemudian mengundang respon negatif dari para sarjana. Salah satunya Susi Dwi Harijanti, yang menganggap praktek tidak tepat bila diadopsi ke peradilan di Indonesia. Sebab, Indonesia

a. Sikap perilaku yang apriori, yakni adanya sikap hakim yang sejak semula telah menganggap bahwa terdakwa bahwa yang diperiksa dan diadili adalah orang yang memang telah bersalah sehingga harus dipidana tanpa memerdulikan hak-hak terdakwa sebagai warga negara untuk mendapatkan keadilan.

b. Sikap perilaku emosional, yakni bahwa putusan pengadilan akan dipengaruhi oleh perangai hakim. Hakim yang mempunyai perangai mudah tersinggung akan berbeda dengan perangai hakim yang tidak mudah tersinggung. Demikian pula putusan hakim yang mudah marah dan pendendam akan berbeda dengan putusan hakim yang sabar.

c. Sikap arrogance power, yakni sikap lain yang mempengaruhi suatu putusan adalah “kecongkakan kekuaasaan”, disini hakim merasa dirinya berkuasa dan pintar, melebihi orang lain.

d. Moral, yakni moral seorang hakim karena bagaimanapun juga pribadi hakim diliputi tingkah laku yang didasarkan kepada moral pribadi hakim tersebut terlebih dahulu dalam memeriksa serta memutuskan suatu perkara”.

108

Muk Bam, “Mardjono Reksodiputro: Hakim Bukan Terompet UU”,diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol1090/mardjono-reksodiputro-hakim-bukan-terompet-uupada tanggal 17 Maret 2016 pukul 11.59 WIB

109

(38)

menganut sistem Eropa Kontinental atau Civil Law, yang menganggap bahwa hakim dianggap satu kesatuan dengan majelis.110

Menurutnya dengan adanya dissenting opinion, hakim akan terbiasa membuat pertimbangan hukum dengan baik, karena pertimbangan tersebut akan diuji secara sosial oleh masyarakat yang ingin tahu mutu si hakim. Selain itu,

dissenting opinion penting dalam hal perkembangan dunia akademis di bidang hukum.

Tidak hanya respon negatif, Mulyadi memberikan pendapat positif tentang penerapan dissenting opinion di Indonesia.

111

Kemudian ayat (7) mengatur bahwa pendapat hakim yang berbeda tersebut dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia”. Kerahasiaan pendapat hakim yang kalah Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengambilan putusan pengadilan didasarkan pada KUHAP, yaitu Pasal 182pada ayat(6) yang mengatur pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: (a). putusan diambil dengan suara terbanyak; (b). jika ketentuan tersebut huruf (c) tidak juga dapat diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.

110

Anonim, “Membandingkan Hukum Itu Harus Hati-Hati”, diakses dari

111

(39)

suara dalam menentukan putusan sebagaimana yang tertuang dalam KUHAP, tertuang juga dalam Buku II Mahkamah Agung tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan yang membuat peradilan menjadi tidak terbuka dan masyarakat yang menaruh harapan tinggi terhadap para hakim untuk mencari keadilan semakin tidak percaya lagi pada dunia peradilan, timbul kecurigaan dari masyarakat tentang adanya praktek KKN dan mafia peradilan.112

Kemudian lahir Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diperbaharuidengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang- Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang diperkuat dengan PERMA No. 2 tahun 2000 tentang Perubahan dan Penyempurnaan PERMA No. 3 tahun 1999 tentang Hakim Ad Hoc, yang dibuat MA untuk mengisi kekosongan hukum pada UU No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan yang tidak mengatur tentang dissenting opinion. Hal ini seakan memberi titik cerah terhadap penerapan dissenting opinion di dalam praktek peradilan. Hal ini dikarenakan pada Pasal 19 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ini menyatakan :”Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan; Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan”.113

112

Wildan Suyuthi Mustofa, Op.Cit, hlm. 71.

113

(40)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka penataan dan penyampaian informasi kegiatan pelayanan yang lengkap dan tepat waktu dalam WARTA JEMAAT, dihimbau kepada Koordinator dan Wakil Koordinator Sektor

(2006) telah melakukan penelitian atas perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Kuala Lumpur (Malaysia) degan tujuan untuk memeriksa salah satu aspek dalam hubungan

[r]

[r]

penjualan online begitu penting bagi perusahaan sekarang ini dikarenakan pemasaran produk dalam internet memudahkan konsumen untuk memilih produk yang di ingini, ini

Dari tiga sampel yang dipilih dan dianggap mewakili kelima kecamatan yang terkena dampak pembangunan Waduk Jatigede, dengan kriteria masyarakat yang tempat tinggalnya

Se- bagai contoh adalah penggunaan ensam- bel gondang sabangunan yang masih selalu dianggap memiliki afi liasi terhadap keper- cayaan lama, khususnya di dalam tata cara atau

Ide dasar berupa bentuk figur tokoh-to- koh punakawan Semar, Gareng, Petruk dan Bagong diterapkan pada bentuk bilah tombak dapat dikreasikan menjadi karya seni yang menarik..