• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Distribusi Pemasaran Barang Rongsok

Setelah melakukan proses daur ulang maka siap untuk dipasarkan, tahap berikutnya adalah proses pemasaran untuk menetukan metode dan rute yang akan dipakai untuk menyalurkan barang rongsok dan barang daur ulang. Adapun masalah yang menyangkut penentuan strategi penyaluran, termasuk pemilihan saluran distribusi, penanganan fisik dan distribusi fisik.

1. Saluran Distribusi

a) Pengertian saluran distribusi

Saluran distribusi disebut juga saluran perdagangan. Saluran distribusi untuk suatu barang adalah saluran yang digunakan oleh produsen untuk menyalurkan barang-barang tersebut dari produsen sampai ke konsumen atau pemakai industri (Swastha, 2002: 190).

Adapun pihak yang campur tangan atau ikut mangambil bagian dalam penyaluran barang adalah: produsen, perantara (pedagang dan agen), dan konsumen akhir atau pemakai industri. Saluran distribusi ini merupakan suatu struktur yang menggambarkan alternatif yang akan dipilih dan menggambarkan situasi pemasaran yang berbeda oleh berbagai macam perusahaan atau lembaga (produsen, pedagang besar, dan pengecer). Hal ini dapat dipertimbangkan sebagai fungsi yang harus dilakukan untuk memasarkan barang secara efektif (Swastha, 2002: 190). Dengan demikian saluran distribusi pemasaran barang rongsok sangat penting bagi daur hidup produk yang selanjutnya. Untuk itu saluran distribusi harus dilakukan secara baik dan benar guna memperlancar kegiatan ekonomi.

b) Saluran distribusi barang konsumsi

Menurut Swastha (2002: 190) ada lima macam saluran distribusi dalam penyaluran barang, yaitu:

i Produsen – Konsumen

Bentuk saluran distribusi ini paling pendek dan paling sederhana tanpa menggunakan perantara. Produsen dapat menjualk barang yang di hasilkan melalui pos atau langsung mendatangi rumah konsumen (dari rumah ke rumah). Oleh karena itu saluran ini di sebut sebagai saluran distribusi langsung.

ii Produsen – Pengecer – Konsumen

Saluran ini juga disebut saluran distribusi langsung. Pengecer besar melakukan pembelian kepada produsen atau mendirikan toko pengecer sehingga secara langsung dapat melayani pengecer.

iii Produsen – Pedagang Besar – Pengecer – Konsumen

Saluran distribusi ini banyak digunakan oleh produsen dan dinamakan sebagai saluran distribusi tradisional. Produsen hanya melayani penjualan dalam jumlah besar kepada pedagang besar saja, tidak menjual kepada pengecer. Pembelian oleh pengecer dilayani pedagang besar, dan pembelian oleh konsumen dilayani pengecer saja.

iv Produsen – Agen – Pengecer – Konsumen

Produsen memilih agen (agen penjualan) sebagai penyalurannya dan pihak yang menjalankan kegiatan saluran distribusi. Sasaran penjualannya terutama kepada para pengecer besar.

v Produsen – Agen – Pedagang Besar – Pengecer – Konsumen

Dalam saluran distribusi ini, produsen sering menggunakan agen sebagai perantara untuk menyalurkan barangnya kepada pedagang besar kemudian menjualnya kepada toko-toko kecil. Agen yang terlibat dalam saluran ini adalah agen penjualan.

Dari kelima saluran distribusi diatas dapat disimpulkan bahwa pola distribusi barang rongsok dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar II.1. Saluran Distribusi Barang Rongsok

dimana pemulung maupun pengumpul merupakan pihak yang mengawali terjadinya proses distribusi pemasaran barang rongsok. Pemulung yang memunguti barang rongsok dari tempat pembuangan sampah memilah-milah untuk dijual kepada pengepul barang rongsok, sedangkan pengumpul mencari barang rongsok dengan cara berkeliling, kemudian disetor kepada pengepul barang rongsok selanjutnya pengepul menyetorkan kepada ke pabrik-pabrik daur ulang barang rongsok.

2. Penetapan harga

Menurut Swastha (2002: 146), harga adalah jumlah uang (ditambah beberapa barang kalau mungkin) yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah

Pabrik daur ulang Pengepul

Pengumpul

kombinasi dari barang beserta pelayanannya. Untuk menetapkan harga biasanya dilakukan dengan mengadakan percobaan untuk menguji pasarnya. Dalam perekonomian harga pasar sebuah barang dapat mempengaruhi tingkat upah, sewa, bunga, dan laba atas pembayaran faktor-faktor produksi (tenaga kerja, tanah, kapital, dan kewiraswastaan). Cara tersebut sudah menjadi suatu pengatur dasar pada sistem perekonomian secara keseluruhan karena mempengaruhi alokasi sumber daya yang ada. Sedangkan dalam perusahaan, harga suatu barang merupakan faktor penentu bagi permintaan pasarnya.

Dalam bukunya, Swastha (2002: 154) menyatakan bahwa untuk menetapkan metode penetapan harga yang didasarkan pada biaya dapat dilihat dari bentuk yang paling sederhana, yaitu sebagai berikut:

a. Cost-Plus Pricing Method

Dalam metode ini penjual menetapkan harga jual untuk satu unit barang yang besarnya sama dengan jumlah biaya per unit ditambah dengan suatu jumlah untuk menutup laba yang diinginkan (disebut marjin) pada unit tersebut; formulanya dapat dilihat :

b. Mark-Up Pricing Method

Variasi lain dari metode cost-plus adalah mark-up pricing method yang banyak dipakai oleh para pedagang. Mark–up merupakan kelebihan harga jual diatas harga belinya. Pedagang yang membeli barang dagangan akan menentukan harga jualnya setelah menambah harga beli dengan sejumlah mark-up, formulanya dapat dilihat:

Pada umumnya penjual memiliki menerapkan tujuan dalam menetapkan harga. Tujuan tersebut adalah:

a) Mendapatkan laba maksimum. Makin besar daya beli konsumen semakin besar pula kemungkinan bagi penjual untuk menetapkan tingkat harga yang lebih tinggi.dengan demikian penjual mempunyai harapan untuk mendapatkan keuntungan maksimum sesuai dengan kondisi yang ada.

b) Mendapatkan pengembalian investasi yang ditargetkan atau pengembalian pada penjualan bersih. Harga yang dapat dicapai dalam penjualan dimaksudkan pula untuk menutup investasi secara berangsur-angsur.

c) Mencegah dan mengurangi persaingan. Hal ini dapat dilakukan apabila para penjual menawarkan barang dengan harga yang sama.

d) Mempertahankan atau memperbaiki market share. Memperbaiki market share dapat dilakukan bila kemampuan dan kapasitas produksi masih cukup longgar. Dalam hal ini harga merupakan faktor yang sangat penting.

3. Marjin Pemasaran

Makna marjin adalah selisih keuntungan yang diterima seseorang dari kegiatan jual beli ynag dilakukan oleh pedagang dengan konsumennya. Dalam penelitian Risnawati (2005, 23); marjin pemasaran adalah perbedaan harga yang diterima oleh produsen (pemulung) dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir, dimana dalam hal ini ialah pengepul barang rongsok yang memberikan harga jual kepada para pemulung barang rongsok.

Dalam penelitian Risnawati (2005: 23), marjin disetiap tingkat pemasaran digunakan rumus Limbong dan Sitorus. Rumus tersebut adalah:

dimana,

M = marjin pemasaran (Rp/Kg) Hj = harga jual (Rp/Kg) Hb = harga beli (Rp/Kg)

Dalam penelitian Risnawati (2005: 24), dan dikutip pula karangan Tomek dan Robinson (1989) serta Harsoyo (2000: 46) definisi marjin pemasaran adalah sebagai berikut:

i. Perbedaan harga antara harga yang dibayar konsumen (pengepul) dengan harga yang diterima oleh produsen (pemulung).

ii. Kumpulan balas jasa yang diterima oleh jasa pemasaran sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran.

Besar kecilnya marjin pemasaran sering digunakan sebagai kriteria untuk penilaian apakah pasar sudah efisien atau belum efisien. Tingginya marjin dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses kegiatan pemasaran antara lain, ketersediaan fasilitas fisik pemasaran yaitu: pengangkutan, penyimpanan (gudang), pengolahan (daur ulang barang rongsok), dan lain-lain.

4. Elastisitas Transmisi Harga

Elastisitas (harga) menunjukkan bagaimana reaksi pembeli (dalam hal jumlah yang mau dibeli) bila ada perubahan harga, atau peka tidaknya jumlah

yang mau dibeli terhadap perubahan harga. Agar dapat dibandingkan, dua-duanya dinyatakan dalam % (Gilarso, 2001: 51). Dalam penelitian Risnawati (2005), dan dikutip pula karangan George dan King (1971) dalam penelitian Harsoyo (2000: 58) mendefinisikan elastisitas transmisi harga sebagai nisbah perubahan relatif harga ditingkat produsen (Pf = harga yang diterima pemulung sebagai pencari barang rongsok) terhadap perubahan relatif harga ditingkat pengecer (Pr = harga yang diterima pengepul sebagai pembeli barang rongsok dari pemulung). Pengertian ini erat kaitannya dengan anggapan bahwa marjin tata niaga atau marjin pemasaran merupakan akibat dari adanya permintaan turunan (derived demand) dari pedagang eceran (pembeli barang rongsok yaitu pengepul) kepada produsen (para pemulung barang rongsok). Secara matematik elastisitas transmisi harga dapat dirumuskan:

r f f r f f r r P P dP dP P dP P dP Et= = × / / dimana,

Et = elastisitas transmisi harga

dPr = perubahan harga ditingkat pengepul dPf = perubahan harga ditingkat pemulung Pr = harga ditingkat pengepul

Pf = harga ditingkat pemulung

Dalam penelitian Risnawati (2005: 27) serta dikutip pula karangan Harsoyo dan Teguh (2000 & 2001) menunjukkan jika nilai elastisitas transmisi harga bernilai positif dan mendekati angka satu (1) mengidentifikasikan bahwa

perubahan-perubahan harga yang ada di pasar ditransmisikan secara baik, begitu juga sebaliknya jika diperoleh elastisitas transmisi harga pasar negatif maka mengidentifikasikan bahwa perubahan-perubahan harga yang ada dipasar tidak ditransmisikan secara baik.

Dokumen terkait